SAYA yakin setiap orang dapat mengingat suatu peristiwa penting di masa lalu yang mengubah hidupnya. Sebuah peristiwa yang barangkali akan tetap Anda simpan sebagai rahasia dari orang-orang tertentu hanya untuk menjaga perasaan Anda sendiri. Bagi saya, peristiwa itu terjadi pada tahun 1988, ketika saya masih duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama.
Pada bulan Januari tahun itu, Rudi kakak saya mengikuti kompetisi matematika tingkat SMA di kota kami. Perlombaan itu dilangsungkan di sebuah auditorium kecil di SMA 1. Para peserta duduk berhadap-hadapan dalam deretan kursi di kedua sisi dinding. Lima di kiri, lima di kanan. Di dinding depan ruang terpampang logo sekolah itu berupa gambar dua telapak tangan menampung kobaran api. Enam juri duduk di deretan meja paling depan membelakangi logo itu.
Saya datang bersama ayah dan ibu beserta sobat karib kakak saya, Ibra. Saya sebenarnya tak begitu berminat menyaksikan sebuah kompetisi matematika, tontonan yang saya kira akan sangat menjemukan karena hanya menyaksikan orang-orang yang sibuk tertunduk mengerjakan soal matematika yang memumetkan kepala, tapi ibu mendesak agar saya ikut. Kami duduk di ujung kanan baris kedua deretan bangku yang berjenjang di belakang ruangan. Bang Rudi dapat terlihat jelas dari tempat kami, karena dia duduk di ujung terluar barisan kanan tapi tentu saja kami tidak cukup jelas melihat apa yang tertulis di lembaran jawabannya kecuali gerak tangannya yang kelihatan begitu bersemangat, seperti gaya bicaranya yang selalu berapi-api. Sesekali dia meluruskan punggung, menyandar sambil mengusap-usap rambut belakangnya, gayanya persis seperti ayah yang duduk di samping kanan saya saat itu.
Lima menit sebelum waktu habis, Bang Rudi bangkit dari kursinya, menyerahkan hasil pekerjaannya ke meja panita dan datang mendekati kami. Dia adalah peserta yang paling awal menyelesaikan pekerjaannya. Dia menyerahkan lembaran soal kompetisi kepada ayah. Saya ikut mengintip dari belakang ayah. Ada lima soal dalam lembaran itu meliputi aritmetika, aljabar, geometri, statistika, dan trigonometri.
Soal A, B dan C diberikan dalam perlombaan matematika. Dua puluh lima peserta diminta menyelesaikan paling sedikit salah satunya. Jumlah peserta yang tidak menyelesaikan soal A dua kali lebih banyak dibanding yang menyelesaikan soal B dan C. Jumlah yang menyelesaikan hanya soal A lebih banyak satu dibanding yang menyelesaikan soal A dan satu soal lain. Jumlah yang menyelesaikan soal A sama dengan jumlah yang menyelesaikan soal B plus jumlah yang menyelesaikan soal C. Berapa orang yang hanya menyelesaikan soal B?
Untuk mengerti soalnya saja saya sudah kesulitan, tapi Bang Rudi hanya tertawa ketika Ibra bertanya bagaimana menjawab satu soal itu. Ayah mencoba mengotak-atik dengan penanya. Ibu sudah berdiri, menyambut Bang Rudi dengan pelukan ketika menghampiri kami dan kini membiarkan tangannya menggantung di bahu kanan Bang Rudi. Dari belakang punggung ayah, saya menyaksikan sebuah lingkaran keluarga yang hangat.
Kemampuan matematika Bang Rudi bagi saya adalah sebuah teka-teki. Dia bisa memahami matematika seolah-olah ilmu itu lahir darinya. Tes IQ terakhir yang diambilnya memberikan hasil 140. Tapi dia tidak punya kecenderungan menyendiri seperti banyak jenius lain, dia punya banyak teman dan gampang menjadi pusat perhatian teman-teman sebaya. Matematika memang menjadi penanda bagi keluarga kami, sebagaimana bakat berdagang bisa menjadi penanda bagi keluarga para pedagang. Turun temurun ada "darah matematika" dalam keluarga kami. Kakek adalah seorang guru matematika, ayah adalah guru besar matematika di universitas dan ibu juga punya latar belakang bidang akuntansi yang tak jauh dari hitung menghitung.
Tapi tampaknya darah itu tidak mengalir lancar di dalam diri saya. Sejak sekolah dasar saya tak pernah meraih prestasi gemilang untuk bidang yang satu ini, bahkan mungkin saya bisa dibilang membencinya meski sebenarnya saya ingin sekali menjadi seperti kakak. Ayah selalu meminta saya untuk menyimpan lembar soal setiap kompetisi yang diikuti kakak. Tak ada perintah lain setelah itu tapi saya tahu apa yang diinginkan ayah. Saya pun selalu bertekad untuk bisa memecahkan soal-soal itu suatu saat. Soal kompetisi yang diikuti Bang Rudi ketika kelas enam sekolah dasar baru bulan lalu berhasil saya selesaikan.
Malam itu ada makan besar di rumah kami, sebuah kebiasaan setelah satu kompetisi matematika usai diikuti kakak. Acara itu layaknya syukuran mendahului pengumuman panitia, karena lima tahun berturut-turut juara pertama selalu diraih Bang Rudi. Saudara-saudara ayah dan ibu yang tinggal sekota selalu diundang dalam acara keluarga ini.
"Sudah berhasil memecahkan soal tahun lalu?" tanya Paman Hadi, adik ayah yang hadir malam itu. Paman Hadi yang tinggal di seberang jalan depan rumah kami memang tahu tentang tekad saya untuk menyamai langkah Bang Rudi. Dia kerap datang ke rumah, membantu saya dengan cara membelikan buku-buku matematika atau langsung memberi saran penyelesaian soal. Saya tak pernah minta bantuan Bang Rudi. Saya enggan bicara tentang matematika dengannya. Meski Bang Rudi gampang lengket dengan teman-temannya, saya dan dia bagaikan anjing dan kucing yang saling menggeram dan menyeringai ketika bertemu.
"Baru yang kelas enam, Paman," jawab saya pelan-pelan meski di sekitar kami waktu itu tidak ada siapa-siapa.
"Kamu pasti bisa seperti kakakmu, lihat saja nanti," kata Paman memberi semangat. Saya sendiri tak yakin dengan itu meski dari tahun ke tahun saya merasa penasaran dan hampir putus asa menaklukkan matematika.
Usai acara malam itu ibu masuk ke kamar saya. Di meja saya saat itu sedang berserakan koleksi soal-soal matematika. Saya sedang menyusun dokumen itu ke dalam map yang baru. Ibu berdiri di belakang kursi sambil memegang bahu saya. Ibu masuk ke kamar kalau ada sesuatu yang bersifat pribadi ingin dibicarakannya, kalau tidak tentu sayalah yang dipanggil ke luar. Saya bisa menebak arah pembicaraan ibu.
"Bagaimana sekolahmu, Ardi," ibu membuka pembicaraan.
"Baik-baik, Bu. Besok saya harus mengumpulkan esai sejarah, sudah saya selesaikan kemarin malam." Saya paling suka menulis esai sejarah, tugas kelompok itu biasa selalu saya selesaikan sendiri dan teman-teman lain hanya numpang nama di atas lembar pekerjaan saya.
Ibu melihat buku-buku di rak pojok kamar saya. Di rak paling atas buku tulis dan buku-buku pelajaran, kebanyakan buku matematika. Dua rak bawah berisi buku-buku cerita petualangan, misteri, dan buku-buku sejarah, paling bawah lagi majalah-majalah dan beberapa kaset.
"Ardi, kamu tak perlu menjadi seperti kakakmu," kata ibu tiba-tiba. Dari jendela kamar yang masih terbuka saya bisa melihat rumah Paman Hadi di seberang jalan. Lampu ruang tamunya baru dimatikan, kemudian lampu kamar utama di sampingnya menyala, sayup-sayup terdengar suara tangisan putri keduanya yang berusia dua tahun.
"Coba kalikan 1025 dengan 1975," kata ibu lagi. Angka-angka itu adalah kombinasi tanggal kelahiran saya. "Ibu hanya ingin mengatakan, orang-orang biasa seperti kita tidak bisa melakukannya tanpa mencorat-coret kertas sejenak atau menggunakan kalkulator. Kakakmu punya sesuatu yang tak dimiliki kebanyakan orang, sebuah pengecualian."
"Apakah ibu mendengar pembicaraan saya dengan Paman tadi?"
Ibu hanya tersenyum sambil berjalan keluar kamar. Sejenak kemudian saya dengar bunyi pintu kamar Bang Rudi di sebelah terbuka dan suara ibu sayup dari balik dinding. Mungkin ibu menyampaikan versi lain nasihatnya kepada Bang Rudi.
Seminggu kemudian Bang Rudi resmi diumumkan sebagai pemenang pertama kompetisi matematika tahun itu. Deretan piala di ruang keluarga bertambah satu lagi. Ayah menghadiahkan sebuah komputer untuk Bang Rudi, sebuah mesin yang masih sangat mahal dan tak banyak dimiliki orang waktu itu. Saya makin merasa gerah saja ingin memenangkan sebuah kompetisi matematika.
Pada bulan Mei tahun itu saya akhirnya bisa lolos seleksi sekolah untuk ikut kompetisi matematika tingkat SMP di kota saya. Saya tidak memberi tahu anggota keluarga lain kecuali Paman Hadi. Dialah yang melatih saya dan memberi semangat, dan menjadi satu-satunya anggota keluarga yang hadir menyaksikan kompetisi yang pertama saya ikuti itu.
Di antara delapan orang yang ikut, enam di antaranya adalah peserta rutin kompetisi tahunan ini sejak kelas lima SD. Saya mengenal nama-nama mereka dari kliping berita kompetisi matematika yang selalu saya kumpulkan, tapi baru kali ini bertemu wajah-wajah yang kelihatan begitu bersemangat melahap soal-soal matematika itu.
Kompetisi dimulai tepat pukul sepuluh. Peserta bertarung dengan diri sendiri selama dua jam. Mata saya terpaku menatap soal pertama di lembar yang dibagikan:
Sebuah pertandingan olah raga memperebutkan m medali selama n hari. Pada hari pertama satu medali dan 1/7 dari medali tersisa telah dimenangkan. Pada hari kedua dua medali dan 1/7 dari medali tersisa telah dimenangkan, dan seterusnya. Pada hari terakhir, tersisa n medali untuk diperebutkan. Berapa jumlah medali yang diperebutkan, dan dalam berapa hari?
Barangkali soal itu tidak terlalu sulit tapi setelah membacanya otak saya tiba-tiba seperti dipenuhi berbagai lintasan pikiran. Saya teringat cerita-cerita petualangan dan misteri yang saya gemari, berbagai esai sejarah yang pernah saya tulis untuk tugas sekolah. Saya teringat koran dinding sekolah yang saya kelola dan pertandingan basket antarkelas yang akan dimulai akhir pekan itu. Saya sulit untuk berkonsentrasi sementara di kiri kanan saya lihat para peserta mulai mencorat-coretkan sesuatu di atas kertasnya. Lima belas menit berlalu, mata saya hanya menatap lembar soal tanpa membacanya. Lembar jawaban saya masih kosong. Saya lirik Paman Hadi yang segera melambaikan tangannya sambil mulutnya tampak komat-kamit meneriakkan sesuatu. Saya tahu dia ingin menyemangati saya, tapi saat itu saya justru mulai tersadarkan bahwa mengejar posisi juara di sebuah kompetisi matematika bukanlah panggilan bagi saya. Saya menimbang-nimbang beberapa saat, akankah saya mencoba memecahkan soal-soal itu atau meninggalkan semua. Akhirnya saya berdiri meninggalkan bangku dan berjalan keluar ruangan. Kandaslah semua ambisi saya untuk menjadi kampiun matematika seperti Bang Rudi.
Ketika dewasa saya selalu mengenang peristiwa itu sebagai sebuah kelokan tajam dalam hidup saya. Saya bisa mengingatnya secara persis, lengkap dengan dengan emosi dan suasana yang ada saat itu, seperti orang bisa mengingat kapan pertama kali dia jatuh cinta, atau seorang anak perempuan ingat kapan pertama kali dia mendapat haid. Namun pada saat itu kejadian tersebut tidak terlalu memukul saya karena tak seorang pun di rumah yang mengetahuinya. Tak ada orang yang bertanya dan berharap mendengar kabar tentang hasil sebuah kompetisi yang sebenarnya merupakan kompetisi antara saya dengan kakak. Tak ada seorang pun yang saya kira akan memberitakannya kepada mereka karena saya bisa mempercayai Paman Hadi sebagai mentor saya.
Saya barangkali hanya akan tampak berubah di mata ibu dan ayah, juga bang Rudi. Saya merasa kalah atau terpaksa mengalah. Saya jadi sering terlambat berangkat ke sekolah dan semakin jarang keluar kamar. Saya banyak menghabiskan waktu untuk membaca semakin banyak buku petualangan dan misteri. Barangkali ibu benar bahwa matematika bukan panggilan hidup saya. Saya hanya ingin menguji sendiri kebenaran pernyataan itu. Kini kepastian yang saya peroleh justru membuat saya merasa tersisih dari jalur utama keluarga, membuat saya merasa semakin berbeda dengan Bang Rudi. Namun rupanya rahasia sebesar itu layaknya sebuah luka yang ditutup perban saja. Berita itu sampai juga ke telinga orangtua saya melalui Ibra, adiknya satu sekolah dengan saya. Segala upaya saya menghalangi tibanya surat-surat dari sekolah mengenai kompetisi itu ke rumah rupanya tak cukup untuk membendung rahasia saya. Ketika orangtua saya menanyai soal itu, hanya satu hal yang saya minta, agar berita itu tidak sampai diketahui Bang Rudi.
Suatu malam di pertengahan bulan Mei itu ibu kembali mengetuk kamar saya. Saya sedang membaca Hardy Boys di tempat tidur. Ibu masuk dengan membawa sebuah majalah.
"Ardi, kamu menang lomba ini ya?" kata ibu sambil menyodorkan halaman sebuah majalah berita nasional.
Saya terkejut karena merasa tak ikut lomba apa pun belakangan ini. Saya lihat di halaman itu tertera nama saya, dalam daftar pemenang lomba penulisan esai hari pendidikan nasional.
"Saya tidak pernah mengirimkan tulisan ke perlombaan ini," kata saya sambil masih keheranan. Saya baca lagi judul tulisan saya yang tertera sebagai pemenang pertama tingkat SMP, persis seperti judul esai untuk tugas sejarah yang saya tulis bulan lalu tapi tidak jadi saya serahkan. Esai itu saya rasa keluar terlalu jauh dari topik yang diinginkan guru. Pada saat itu tiba-tiba Bang Rudi masuk ke kamar saya, menyodorkan tangannya, "Selamat Ardi. Juara pertama ya."
Saya menyambut jabatan tangannya dengan ragu. "Bang Rudi yang mengirimkan esai saya?"
"Ya, siapa lagi. Aku mencari-cari lembar soal kompetisi tahun ini untuk dibahas di sekolah dan menemukan karanganmu di dalam map yang sama. Kebetulan aku tahu tentang lomba esai itu, ya kukirim saja karena aku rasa tulisanmu sangat bagus. Maaf aku tidak minta izin. Tapi, aku tidak keliru, kan?"
Bang Rudi memang tidak keliru. Sejak kompetisi yang gagal itu saya berhenti memburu matematika dan lebih mengarahkan energi saya ke bidang tulis menulis, terutama dalam bentuk esai. Bang Rudi melanjutkan studi di bidang matematika dan saya menjadi mahasiswa jurusan jurnalistik. Saya dan Bang Rudi memang punya jalan yang berbeda. Dua belas tahun kemudian, ketika Bang Rudi sudah menjadi doktor matematika dari Universitas Kyushu di Fukuoka dan saya sudah dua tahun duduk sebagai redaksi sebuah majalah berita, kami sering bertemu meski tinggal di kota yang berbeda. Dalam berbagai perjumpaan itu kami bisa saling berbicara dengan keakraban yang saya harapkan dapat kami alami ketika kami masih anak-anak. Tapi, saya masih menyimpan satu rahasia dari Bang Rudi, saya pernah ikut kompetisi matematika untuk menjadi seperti dia.[]
Tokyo, November 2002. Tidak dipublikasikan
Kembali ke Halaman Depan