TIKA menutup buku yang tengah dibacanya. Sejenak dia mencoba membayangkan anak-anak sekolah Hogwarts berkumpul di peron stasiun menunggu kereta yang akan mengantar mereka ke sekolah setelah libur panjang. Keributan di sana-sini, barang-barang yang menumpuk di peron. Teriakan anak-anak yang girang berjumpa lagi dengan teman-teman sekelas. Jerit binatang piaraan dalam sangkarnya, burung hantu, tikus, kucing, dan entah apalagi. Betapa gambaran itu dapat hidup dan terasa nyata di dalam pikirannya, bagaikan sebuah pengalaman yang dialaminya sendiri. Kekuatan kata-kata. Itulah yang tengah menguasainya saat ini.
Seperti terkena sihir, tak hendak dia berhenti membaca meski saat ini, pukul sembilan malam, dia semestinya mendatangi Tio, anak pertamanya yang masih kecil, mengantarnya ke kamar, menemani melakukan serangkaian tugas menjelang tidur, sikat gigi, kencing dan cuci kaki, kemudian membacakan tiga hingga empat buku cerita pengantar tidurnya. Biarlah suaminya yang melakukan semua itu hari ini. Ketika Tika beranjak masuk kamar untuk melanjutkan bacaannya dua jam yang lalu, dia melihat mereka berdua sedang asyik bermain di ruang tengah, menyusun puzzle lima ratus keping-jenis permainan yang mampu menyerap seluruh perhatian mereka selama berjam-jam.
Tika kembali masuk ke dalam bacaannya. Buku ini hadiah ulang tahun dari suaminya, bersama tiga novel lain yang belum mulai dibacanya. Dia berusia tiga puluh tahun dua hari yang lalu. Keempat buku baru itu pertama-tama hanya dia biarkan menumpuk di atas meja kecil di samping tempat tidur. Untuk dilihat-lihat. Matanya merasa mendapat pemandangan yang sangat indah menatap tumpukan buku yang akan menemaninya selama satu-dua bulan ke depan. Setelah puas memandangi, dia mulai mengambilnya satu persatu. Memeriksa halaman sampul depan dan belakangnya.
Mencermati gambar dan pilihan huruf sampul buku selalu mengingatkannya pada masa-masa ketika dia bekerja di biro desain. Dia sering mendapat pesanan merancang sampul buku. Berbekal informasi tentang pengarang, ringkasan dan daftar isi buku, dia mencoba memancing imaji yang cocok untuk mewakili ide yang ada di dalam buku itu. Jenis dan ukuran huruf, letak judul dan nama pengarang, ilustrasi dan logo penerbit ditata dengan pertimbangan yang kreatif. Kadang empat sampai lima rancangan dibuatnya sebelum pilihan tiba pada satu yang paling cocok untuk ditawarkan kepada penerbit. Tika tidak suka sampul buku yang terkesan dirancang dengan malas, hanya mengandalkan tipe huruf dan gabungan beberapa warna sebagai latar-sama sekali tidak menggoda calon pembeli, bahkan untuk sekadar menyentuhnya di antara deretan buku di toko.
Puas mencermati kulit depan, dia membalik buku itu, membaca sinopsis di halaman belakang. Puja-puji yang biasanya bertebaran di halaman itu sering kali membuat dia muak sekaligus ingin tahu apakah semua itu benar-benar layak bagi buku tersebut. Dia ingin memberi penilaian sendiri. Tidak ada pujian yang tidak bombastis di sana, entah kenapa penerbit tidak mau memuat kutipan yang berisi kritik, padahal itu bisa jadi pancingan bagi kelompok pembaca lain untuk membeli. Tapi memang berisiko. Lebih mudah mengambil komentar positif untuk memastikan dukungan bagi pengarang dan keuntungan bagi penerbit.
Baru setelah semua ritual perkenalan dengan buku-buku baru itu selesai, Tika mulai membaca yang paling menarik baginya. Biasanya novel yang seperti itu telah ramai dibicarakan orang. Resensinya bertebaran di mana-mana, nama pengarangnya disebut-sebut orang seperti nama seorang kenalan dekat mereka. Jalan ceritanya sudah menjadi rahasia umum tapi orang tetap ingin membacanya sendiri-pengalaman membacanya langsung tidak pernah tergantikan oleh sekadar mendengar penggalannya daTiorang lain. Atau bahkan menonton versi filmnya. Tika sudah mendengar kabar bahwa buku serial ini akan difilmkan. Pertengahan tahun depan akan mulai bisa ditonton di bioskop-bioskop Indonesia. Film Harry Potter 1. Yang dihadiahkan suaminya untuk ulang tahunnya kali ini adalah jilid ketiga. Dua jilid sebelumnya telah dibelinya sendiri tidak lama setelah edisi sampul tipisnya terbit. Dia yakin, buku ini akan membuat sebuah gelombang penggemar berat yang akan dimanfaatkan oleh industri hiburan habis-habisan. Dia tidak ingin jadi korban gelombang pasang Harry Potter meski tetap menyimpan kekaguman besar pada si pengarangnya yang punya imajinasi demikian fantastis. Tapi memulai membacanya saja sudah membuat masalah sendiri baginya.
Seharian ini, sejak suaminya berangkat ke kantor dan Tio ke sekolah, Tika menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk membaca. Semua urusan dapur, semua pekerjaan sampingan, dan daftar belanjaan seperti tersingkir dari medan perhatiannya. Seperti tidak ada yang lebih penting untuk dilakukan selain membaca dan membaca, mengikuti petualangan seru Harry dan kawan-kawannya. Sesekali dia berhenti hanya untuk melakukan sesuatu yang betul-betul tidak bisa ditunda, mandi, makan, menjawab telepon, bergerak atau pindah duduk karena pegel lantaran menstruasinya hari pertama.
Pukul satu, ketika Tio pulang, dia terpaksa menghentikan sejenak aliran mimpi itu. Disela untuk sementara oleh dunia nyata yang ada di dekatnya. Tio bercerita tentang kegiatannya di sekolah, melukis dengan jari, bermain pasir, membuat mosaik. Dia membawa pulang lukisannya, minta ditempel di dinding kamarnya yang sudah penuh tempelan. Menatap mata Tio yang memancarkan terang semangat dalam dadanya, Tika membayangkan bercakap-cakap dengan Harry ketika seusia Tio. Tiba-tiba menyelusup rasa ibanya pada Harry yang yatim-piatu dan mempunyai masa kecil yang sulit bersama keluarga Dursley. Sisa hari itu dilewatkan Tika bagaikan seorang pendosa yang mencuri-curi waktu untuk mengerjakan sesuatu yang terlarang.
Bukan pekerjaan terlarang, sebenarnya. Daya pikat buku ini teramat besar sehingga dia merasa seperti telah menggeser semua yang dekat di hatinya. Itulah yang membuatnya merasa bersalah. Tapi dia merasa apa yang dilakukannya bukan sebuah kejelekan. Dia bersyukur tidak termasuk penggila serial sinetron dan telenovela yang menghabiskan waktu di depan televisi. Jika waktu tayang acara itu tiba, mereka seperti patung yang tak mampu melakukan apa-apa, duduk terpaku di depan televisi. Hampir mirip sebenarnya. Kalau sedang membaca, dia juga tak mampu melakukan apa-apa, kecuali duduk menghadap bukunya, sampai selesai. Tapi setidaknya membaca membuat pikiran Tika terus terjaga, imajinasinya bekerja lebih aktif daripada menjadi penonton televisi yang hanya menanti rangsangan gambar dan suara menghampiri otak mereka.
Hingga malam ini, ketika dia tiba di bagian paling seru, yang tidak mungkin dia tinggalkan kecuali setelah genderang klimaksnya dilalui, ketika nasib tokoh utamanya telah ditentukan dan dia dapat ikut tenang, sedih atau marah dengan hasil akhirnya. Sejak pukul tujuh tadi, sehabis makan malam, Tika menjadikan menstruasinya sebagai alasan untuk masuk kamar lebih awal. Begitu dia mulai membaca, kamarnya seolah-olah menjadi lebih luas, dipenuhi tokoh-tokoh rekaan dalam cerita itu. Tika seolah dapat mendengar keriuhan suara penonton pertandingan antarkelas di sekolah para penyihir muda itu. Pendengarannya kini seperti terselubung. Ketika suaminya datang untuk tidur di sampingnya malam itu, Tika masih berada di alam yang tak terjangkau itu, dia menanggapi perkataan suaminya hanya dengan hmm dan ya, tanpa komentar. Ketika tarikan napas suaminya dalam tidur terdengar teratur, naik dan turun, dia baru menyadari betapa panjang waktu yang telah berlalu. Sudah saatnya dia beristirahat dan melanjutkan bacaannya besok. Dia harus rela berpisah sebentar dari mimpi fiksi itu.
Keesokan paginya Tika bangun terlambat. Dia baru terbangun setelah lewat pukul tujuh. Pagi bulan Mei yang cerah. Matahari sudah membentuk bayangan kotak terang berpendar di jendela kamar tidurnya. Gorden masih tertutup. Suaminya sudah bangun, barangkali sedang menyiapkan sarapan sendiri. Karena dari tempat tidurnya dia bisa mendengar kesibukan di dapur. Harum telur dadar dan kopi panas. Kenapa tidak membangunkan aku, pikir Tika. Dia menoleh ke meja samping, secara otomatis tangannya menjangkau buku yang semalam terpaksa ditutup demi menjaga kondisi badannya. Buku itu terlalu tebal untuk diselesaikan sekali pegang. Dibukanya halaman terakhir yang dibacanya. Di perbatasan antara tidur dan jaga dia merasa belum siap untuk turun menghadapi kewajiban-kewajibannya pagi ini. Dia ingin meneruskan satu bab saja sebelum harus turun.
Satu bab lagi saja, katanya dalam hati, untuk membuatnya merasa tersambung kembali dengan dirinya yang baru, yang sudah dipengaruhi oleh dunia lain lantaran bersentuhan dengan kata-kata yang menghidupkan imajinasi dalam cerita yang sedang dibacanya. Tapi, tidak. Keraguan menahan tangannya. Mestinya dia tidak membiarkan dirinya membaca lagi pagi ini. Ulang tahunnya sudah lewat tiga hari yang lalu, tidak ada lagi alasan yang membolehkannya merasa istimewa, yang memberinya izin tak terucap untuk tetap berada dalam kamar pagi ini ketika keluarganya membutuhkan kehadiran dia di saat yang paling mungkin bagi mereka untuk berkumpul bersama. Dia berniat untuk menebus kesalahannya pagi itu dengan membuat sebuah masakan istimewa untuk suaminya dan mengajak Tio berenang sore nanti.
Suara Tio terdengar, bertanya di mana ibunya. Tidak terdengar jawaban ayahnya, barangkali hanya dengan gerakan kepala ke arah kamar tidur. Terdengar langkah-langkah kecil Tio ke arah kamarnya. Tika tertegun. Apakah dia akan pura-pura tertidur kembali. Suaminya tentu tahu alasan mengapa dia bangun terlambat. Semalam Tika baru tidur pukul satu. Semoga dia bisa maklum, harap Tika di dalam hati. Tapi Tio yang kini telah menyelusup masuk ke dalam selimut di sampingnya tidak bisa memberikan permakluman seperti itu. Tika membuka matanya lebar-lebar. Meregangkan badan. Menarik Tio ke dekatnya, mendekap erat dan menghirup dalam-dalam bau tubuh anaknya yang baru bangun itu. Empat tahun, sudah bisa tidur di kamar sendiri, tapi begitu bangun langsung mencari ibunya. Tio pun memeluk Tika erat-erat. Memanjat tubuh ibunya yang masih berbaring malas. "Ibu, kita sarapan yuk," ajaknya. Tika membatalkan niatnya melanjutkan satu bab saja pagi ini.
Dia bangkit dari tempat tidur. Membasuh muka, menyikat gigi, dan menyikat rambut, kemudian berjalan ke dapur bersama Tio. Udara terasa lebih dingin di dapur yang pintunya membuka ke halaman belakang. Kembang melati menyeruakkan harum segar. Tika berdiri tertegun di pintu, tersenyum ke arah suaminya yang sedang duduk di depan meja makan dalam pakaian kerja, kemeja oranye muda, celana hitam, dasi bercorak kotak-kotak. Sarapannya telah habis. Koran di tangannya membuka di halaman ekonomi dan bisnis. Pukul tujuh dua puluh. Lima menit lagi dia berangkat. Tika pun akan mengantar Tio ke sekolahnya pukul delapan. Dia tidak sabar menunggu saat-saat ketika dia sendirian lagi di rumah, melanjutkan kencannya dengan buku. Dia ingin menamatkan novel tebal itu hari ini. Meski itu berarti dia akan menghabiskan waktu berjam-jam lagi tanpa melakukan apa-apa. Jari-jari rasa bersalah kembali menggetarkan senar-senar nuraninya. Di dalam hati dia berjanji, setelah menamatkan novel itu dia akan melakukan sesuatu yang paling membahagiakan kedua laki-laki penting dalam hidupnya ini.[]
Tokyo, Juli 2003. Tidak dipublikasikan
Kembali ke Halaman Depan