SAYA suka naik kereta di Tokyo. Bukan hanya karena kepraktisannya dengan jalur yang menjangkau ke seluruh pelosok, atau karena ketepatan waktu tiba dan berangkatnya hingga hitungan detik. Saya suka melihat orang-orang yang asyik membaca di dalamnya. Sekalipun ketika gerbong penuh sesak dijejali manusia pada jam-jam sibuk, pemandangan itu selalu dapat ditemukan. Begitu pula di tempat-tempat umum seperti halte bis, taman, ruang tunggu, atau kafe. Pemandangan orang membaca di ruang publik sering dicuplik sebagai indikator tingginya kebiasaan membaca orang Jepang, atau masyarakat negara maju lainnya.

Akan tetapi, sebuah survei yang dilakukan tahun lalu oleh dua koran besar Jepang, Yomiuri dan Mainichi Shimbun, memperlihatkan bahwa minat baca orang Jepang sedang berada dalam grafik menurun. Survei itu dilakukan dalam rangka kampanye tahunan "Pekan Membaca" yang dimulai setiap tanggal 27 Oktober.

Menurut survei Mainichi Shimbun, orang Jepang rata-rata membaca 1,5 buku perbulan, turun sebanyak 0,3 dibanding survei tahun sebelumnya. Hanya 42 persen dari responden survei yang mengatakan mereka "membaca satu buku atau lebih pada bulan sebelumnya". Ini merupakan angka terendah dalam tiga puluh tahun terakhir. Artinya, persentase orang yang tidak membaca satu buku pun pada bulan sebelumnya, naik nyaris tiga kali lipat dibanding tahun 1980-an dan 1990-an.

Jajak pendapat yang dilakukan oleh koran yang sama pada 1998 menunjukkan bahwa 67 persen pelajar sekolah lanjutan atas mengatakan mereka tidak membaca buku apa pun pada bulan sebelumnya. Ini hampir dua kali lipat dari hasil survei yang sama pada 1975.

Selain itu, survei Yomiuri Shimbun menunjukkan bahwa lebih banyak orang yang tertarik pada buku-buku praktis dibanding literatur yang memuat banyak teks. Penemuan ini bisa menjadi pertanda bahwa kecenderungan orang untuk makin kurang membaca akan terus menurun.

Kelesuan ini tercermin pula pada kinerja industri perbukuan. Nilai penjualan buku pada 1998 turun 5,9 persen dibanding tahun sebelumnya menjadi 1,01 triliun yen. Jumlah eksemplar buku yang terjual pada tahun yang sama turun 7,1 persen menjadi 813,37 juta eksemplar. Sementara tingkat pengembalian buku yang tak terjual di toko kepada penerbit pada tahun 1998 naik sebesar 1,7 persen, menjadi 41 persen (sistem distribusi buku di Jepang --yang menggabungkan pendistribusian buku dengan majalah dan terbitan periodik lainnya-- membuat angka pengembalian buku jauh lebih besar dibanding di Indonesia).

Ketika angka-angka statistik menyangkut buku dan membaca menurun, kecenderungan menaik terlihat pada angka statistik menyangkut pemilikan telepon genggam (istilah b. Jepangnya: keitai) dan aktivitas seputarnya. Sebuah survei mengindikasikan bahwa generasi muda Jepang sekarang lebih banyak menghabiskan uang untuk membayar rekening keitai dan internet, dan tak banyak yang tersisa untuk membeli buku.

Berita yang dilansir Menteri Pos dan Telekomunikasi Jepang pada 25 Mei 2000 menyebutkan lebih dari 10 juta telepon selular yang memiliki kapasitas e-mail atau Internet telah terjual di Jepang. Dua pertiga pelajar sekolah lanjutan atas Jepang memiliki telepon genggam sendiri.

Fasilitas i-mode dari NTT DoCoMo yang diluncurkan pada Februari 1999 memungkinkan orang untuk mengakses Internet lewat keitai. Peluang ini dimanfaatkan oleh beberapa penerbit. Penerbit-penerbit besar seperti Kodansha, Shueisha, dan Shogagukan, mulai menyediakan bacaan yang bisa diakses dengan keitai, kebanyakan berupa komik.

Di dalam kereta, jumlah orang yang asyik membaca buku memang banyak. Tapi kini kelihatannya tak lebih banyak dibanding orang yang asyik mengutak-atik telepon genggam. Generasi yang "membaca keitai".[]


Tokyo, Oktober 2001. Pernah dimuat di Rubrik Sakura Mizan Online


Kembali ke Halaman Depan