FURUKAWA Masuzo bermimpi menjadi komikus. Selama sepuluh tahun sejak menyelesaikan sekolah lanjutan atas, tak henti-hentinya dia mencoba mengirimkan coretannya ke berbagai majalah dan penerbitan. Beberapa kali ditolak, dia tak putus asa. Akhirnya sebuah penerbit meneleponnya. Dia diundang datang untuk mendiskusikan penerbitan karyanya secara serius. Kesempatan ini takkan dilewatkannya. Tapi, malang, Furukawa tak punya uang untuk membeli tiket kereta ke sana. Tak kehabisan akal, dia melego koleksi buku sains-fiksinya ke toko buku bekas. Buku-buku kesayangan Furukawa itu terjual dengan harga 500 yen saja, padahal sebagai penggemar novel sains-fiksi dia tahu persis harga pasaran untuk koleksinya itu bisa mencapai 20 hingga 30 ribu yen. Furukawa tak bisa menawar, dia menerima uang seadanya itu untuk mengongkosi perjalanannya. Pengalaman pahit inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya jaringan toko buku bekas terbesar di Jepang, Mandarake.
Mandarake pertama kali dibuka di distrik Nakano, Tokyo, pada tahun 1980. Sebagai langkah awal, toko ini hanya menjual buku komik bekas. Tujuh tahun kemudian, toko kecil Furukawa berubah status menjadi perusahaan. Lingkup bisnisnya berkembang mencakup penjualan karakter manga (komik) dan anime (film animasi) berupa mainan dan boneka, hingga penerbitan majalah dan buku komik. Kehadiran Mandarake mendapat sambutan luas dari penggemar manga dan anime Jepang. Pada Desember 1999, Mandarake meraup penjualan hingga 3,1 miliar yen dari tiga toko di Tokyo dan Osaka.
Mandarake mulai mengoperasikan cabang tokonya di Los Angeles sejak Agustus 1999. Ini adalah cabang pertamanya di luar Jepang. Orang-orang suka mencari komik dan karakter anime lama untuk bernostalgia, kata Furukawa, tapi banyak juga yang datang untuk membeli komik dan anime terbaru.
Tujuh puluh persen pemasukan Mandarake cabang Los Angeles berasal dari konsumen Amerika, bukan dari warga Jepang di AS yang merupakan 90 persen pengunjung toko itu. Fenomena ini menunjukkan bahwa budaya manga dan anime Jepang telah mendunia dan tak asing lagi di kalangan konsumen Amerika. Itulah sebabnya Furukawa membuka pula cabang baru Mandarake di New York pada tahun 2001 dengan target penjualan sekitar tiga juta dolar per tahun.
Dua puluh tahun setelah kelahirannya, tepatnya pada Juli 2000, Mandarake mulai menawarkan sahamnya ke publik. Ini merupakan toko buku bekas pertama yang masuk ke dalam pasar saham Tokyo. Perusahaan ini terus berkembang dengan membuka cabangnya di Nagoya pada September 2000 dan di Fukuoka pada Maret 2001. Jumlah stok buku dan item lainnya mencapai angka empat juta.
Apa kunci sukses Mandarake? Pengalaman pahit Furukawa ketika menjual koleksi novel sains-fiksinya memberi pelajaran berharga bagi kesuksesan Mandarake. Furukawa merasakan sendiri betapa orang menjadi malas untuk menjual koleksi buku atau barang bekasnya jika toko membeli barang-barang itu dengan harga yang terlalu rendah dibanding harga pasarannya. Padahal teknik inilah yang sering digunakan berbagai toko buku bekas untuk memaksimalkan laba. Sebaliknya, Mandarake selalu membeli barang bekas yang ditawarkan kepada mereka dengan separo harga pasaran.
Mandarake memiliki 35 orang staf terlatih yang bertugas memilih barang yang akan dibeli dan menentukan harganya. Kebijakan pembelian yang transparan ini menyemangati para konsumen untuk datang berbelanja di tokonya karena mereka yakin dapat menjual kembali barang tersebut dengan harga yang pantas. Setiap hari sekitar 1000 orang datang ke toko itu untuk menjual barang bekas yang terkait dengan manga dan anime. Konsumen merupakan sumber sekaligus pembeli barang-barang yang dijual di tokonya.
Mandarake kini telah merambah pula ke pasar virtual dengan penjualan melalui situsnya di internet. Namanya semakin berkibar dan menjadi pusat berkumpulnya para otaku (penggila) manga dan anime di Jepang dan Amerika. Hingga hari ini nama Mandarake, si penjual komik bekas itu, masih bertengger di Mother Section Bursa Efek Tokyo.[]
Tokyo, Juni 2001. Pernah dimuat di Rubrik Sakura Mizan Online
Kembali ke Halaman Depan