PROFIL
KLIPING ARTIKEL
OPINI
PUSTAKA
GALERI
 
HUMOR
KESEHATAN
BUDAYA INDONESIA
KULIAH HUKUM

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 
 
GENDER & POLITIK LOKAL
KUOTA, HAMBATAN KULTURAL, DAN LEADERSHIP DALAM
PELAKSANAAN PILKADA DI JAWA TIMUR
 
Hasil Seminar Regional diselenggarakan oleh :
Lembaga Pemberdayaan Perempuan Surabaya (LP2S)

I. LATAR BELAKANG

Tindakan manusia dalam usaha terus melawan ketidakadilan sosial telah melahirkan analisis dan telaah teori sosial yang sampai kini berpengaruh dalam membentuk system kemasyarakatan. Sebagai contoh adalah Antonio Gramsci dan Luis Althusser yang membahas ideologi dan kebudayaan serta menggugat keduanya karena dianggap sebagai alat dan bagian dari mereka yang diuntungkan dan melanggengkan ketidakadilan. Bahkan ilmu pengetahuan dan wacana yang selama ini dianggap netral, akhir-akhir ini juga telah dipertanyakan—menurut pemikiran pasca modern—karena ilmu pengetahuan bisa dan telah menjadi alat untuk melanggengkan ketidakadilan. Dari beberapa usaha untuk memerangi ketidakadilan, terdapat suatu analisis yang mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan jenis kelamin, yaitu gender.
Berdasar latar belakang uraian di atas, seminar ini bertujuan memperoleh format tentang aspek gender dari perspektif yang berbeda-beda. Panitia perumus akan menyerahkan format ini untuk pengembangan program BAKESBANG JATIM dalam Pelaksanaan Pilkada.
II. PERMASALAHAN
Pemahaman yang lebih mengarah ke arti laki-laki dan perempuan dalam berbagai alokasi peran bukanlah mengambil posisi diametral antara dua jenis kelamin. Pemberdayaan yang acapkali ditujukan kepada perempuan sudah barang tentu senantiasa dibingkai oleh struktur patriarkal dan hal itu perlu dukungan transformasi gender. Sasarannya di samping kepada system juga ke lembaga-lembaga yang mengarah kepada pengaturan hak dan kewajiban yang adil. Memang perubahan sistem tidak akan datang dari dalam—karena kepentingan-kepentingan akan terus mereproduksi hegemoni gender—tetapi dapat melalui potensi intelektual dan kpasitas individu yang memiliki akal budi. Yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah format melawan ketidakadilan sosial baik pada tingkat struktural maupun kultural.
III. TUJUAN
Untuk mencapai tujuan panel diskusi, disajikan tiga pembicara dengan makalah sebgai berikut;
1. Dr. Budi Prasetyo, Drs., M.Si      ; Peluang Kepemimpinan Perempuan   Dalam   Politik Lokal.
2. Dra. Sri Endah Kinasih, M.Si         : Hambatan Kultural Politik Perempuan Dalam Pelaksanaan Pilkada Di Jaw Timur
3. Sukamto, SH, MS                         : Partisipasi Politik Dan Kuota Perempuan Dalam Politik
 
IV. RINGKASAN HASIL DISKUSI PANEL
1.      Pada dasarnya masyarakat menjatuhkan pilihan dalam pelaksaaan Pilkada bukan sekedar siapa yang menyenangkan  dan memuaskan secara moril maupun materiil sesaat dalam proses kampanye dan pemilihan suar, namun lebih penting adalah mencari pemimpin yang tidak terlalu memiliki ‘hutang’ dalam pemilihannya. Hal itu penting dalam proses nantinya dapat bekerja lebih konsisten dalam memperjuangkan dan mewujudkan visi dan misinya.
  1. Perempuan dalam hal ini dapat dijadikan harapan. Kasus efektivitas Polisi Wanita (POLWAN) dalam mengatasi pelanggaran lalu lintas dan kejahatan dapat dijadikan acuan. Para POLWAN ini sult diajak kompromi/KKN dibanding dengan Polisi Pria, meskipun tidak seratus persen benar. Hal ini telah menimbulkan traumatik bagi pelaku kejahatan atau pelanggaran lalu lintas untuk mencoba ber86 (KKN) dengan para polisi wanita. Sehingga ke depan pemimpin perempuan  mempunyai peluang untuk muncul sebagai pemimpin  yang ‘dicari dan dibutuhkan’ untuk mengatsi de-legitimasi para pemimpin yang terbukti kurang ‘tegas’ dalam belitan KKN atau justru menikmati KKN itu sendiri selama menjadi pemimpin.
  1. Di samping peluang yang telah dipaparkan di atas, terdapat beberapa sub-ordinasi perempuan, hal ini disebabkan adanya kondisi iklim politik yang ada, terlebih di desa-desa. Ada hambatan system nilai dan budaya, pandangan semacam ini banyak dipengaruhi oleh kondisi structural. Posisi perempuan telah dipinggirkan oleh negara yang melihat dari kacamata laki-laki. Tak urung, kondisi ini turut mempengaruhi sikap dan pandangan publik. Terbukti dengan besarnya proporsi responden yang memilih calon pemimpin laki-laki untuk berperan dalam fungsi-fungsi formal.
  2. Di tingkat kelembagaan, akuntabilitas juga masih rendah, karena masih kuatnya dikotomi wilayah public dan wilayah domestic adalah salah satu akar masalah dari isu yang diperjuangkan para feminis. Dikatakan, pembagian kerja berbasis jenis kelamin (gender based division of labor) melandasi terjadinya stratifikasi jender, di mana perempuan hanya bekerja di wilayah domestic, sementara wilayah public adalah tempatnya laki-laki. Selain itu, ada kendala internal, konteksnya psikologi individu, di mana kepercayaan perempuan terhadap diri sendiri masih rendah.
  3. ‘Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena itu, Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan)  karena laki-laki telah menafkahkan dari sebagian harta mereka …’. Penafsiran arti qowwamun dalam ayat tersebut berarti laki-laki sebagai penjga, penanggung jawab, pemimpin dan bisa jadi pendidik kaum perempuan. Dengan merujuk pada qouwwumun itu tradisi keagamaan kita mendudukkan status laki-laki lebih berhak menjadi pemimpin daripada perempuan. Dengan kata lain, pihak laki-laki yang lebih berhak memimpin, termasuk memimpim perempuan.
6.                  Namun penafsiran lain, tidak ada larangan bagi kaum perempuan tampil dalam panggung public atau melakukan aktivitas sosial politik. Kalaupun ada sebagian kaum muslimin beranggapan sebaliknya, maka pemahaman seperti itu merupakan upaya penafsiran atas dalil hukumnya. Secara garis besar, Islam membagi peran atau tugas dan tanggung jawab pasangan suami isteri demi kelangsungan manajemen rumah tangga yang kondusif.
 
V. REKOMENDASI
1. Diharapkan Bakesbang secara aktif juga peduli kepada perempuan dalam hal mencetak pemimpin perempuan di tingkat politik lokal, walaupun tanda –tanda kea rah itu sudah mulai tampak. Yang perlu ditegaskan, perlulah diuji apakah pemimpin perempuan itu benar-benar pemimpin perempuan karena latar belakang ‘prestasi’ yang berbeda dalam arti lebih baik dibanding dengan para pemimpin laki-laki.
 
2. Kebijakan pemerintah yang tidak memberi cukup ruang terhadap perempuan, iklim politik,dan kendala cultural adalah faktor-faktor dalam lingkup structural yang perlu dilakukan dekonstruksi. Sementara perubahan di dalam pemikiran pembangunan harus disetai dengan suatu keberanian untuk memulai, dengan perubahan yang radikal di dalam organisasi. Untuk itu Bakesbang Jatim hendaknya mengakomodasi semua pemikiran dan perjuangan gender, agar kaum perempuan dapat berpartisipasi dalam pilkada, bukan hanya sebagai obyek tetapi justru dapat berperan sebagai subyek. 
 
3. Bakesbang Jatim mempunyai peran yang signifikan dalam memberikan pemahaman tentang tradisi agama yang acapkali dijadikn legitimsi dalam membolehkan tidaknya perempuan menduduki jabatan publik. Oleh karena perlulah sering diadakan sarasehan para tokoh agama dalam menafsirkan teks-teks agama yang terlepas dari kepentingan politiknya masing-masing. Meskipun, secara yuridis hak-hak perempuan mendapatkan kepastian hokum, namun dalam pelaksanaanya masih memerlukan dukungan dari struktur sosial yang melingkupinya.