Logo Oneweb
Catatan Seni Rupa

Senarai Seni Rupa


Suwaji, dari Sumber Tradisi
Suwaji dikenal sebagai teks yang berupa patung-patung etnis. Objek-objek ritual, pernik-pernik dekoratif, serta ekspresif. Semua itu menjadi citra modern yang eksotis dalam lukisannya. Pelukis kelahiran Yogyakarta 1942 ini, selama 30 tahun telah bergulat dengan sikap seni lukisnya yang tercermin lewat jati diri dalam mengolah sumber tradisi.
Dalam karya-karyanya muncul misteri dari karakter magis objek-objek yang diungkapkan secara ekspresif. Ada intensitas yang kuat pada pengolahan deformasi bentuk-bentuk, pengolahan warna, dan kekayaan dekoratif. Unsur-unsur itu dapat dimujaratkan dengan ekspresi yang tinggi, sehingga hal itu dapat dilihat dari jejak goresan dan tekstur yang terasa garang.
Lalu, Suwaji melakukan pergeseran cara pengucapan dengan penyederhanaan pembentukan objek-objek dan isian dekoratifnya. Kekuatan goresan menuju pada kemantapan yang sublim. Warna-warnanya juga bergeser dari kemeriahan menuju kesederhanaan monokhromatik. Model-model pengucapan Suwaji, dosen FSRD ISI Yogyakarta ini, bisa disaksikan di Legong Fine Arts, Pejompongan, Jakarta, 10-17 September ini.

Pameran Entang di Amerika
Pelukis Entang Wiharso, 32, kembali berpameran tunggal di Amerika Serikat. Di Hunt-Cavanagh Gallery ia gelar lukisan-lukisannya bertajuk ''The New God Series'' (TNGS), berlangsung 7 September - 8 Oktober. Sementara tema ''Melting Souls'' (MS) ia pamerkan di Hewlett Gallery, 23 September - 29 Oktober.
TNGS & MS lahir dari perenungan, pertanyaan, dan jawaban Entang terhadap perilaku manusia yang semakin memuja komunitas global, kekuasaan, kekayaan, kekerasan, dan konsumerisme. Ketergantungan manusia pada hal-hal yang bersifat fisik itu mampu mencuri ruang psikologi dan emosionalnya, hingga sulit membedakan antara kenyataan dan fantasi.
Bahasa visualnya yang membebaskan emosi, warna, dan kesimpulan memungkinkan dirinya mengeksplorasi isu yang sensitif. Karena baginya, seni juga berguna sebagai kritik politik. Sehingga suatu ketika, Entang pernah menggelar tema politik dan kesenjangan sosial.
Kali ini, pelukis yang berpameran ke-10 kalinya di negeri Paman Sam tersebut mengungkapkan betapa manusia lebih merasa kuat dan percaya diri justru ketika tampak seperti tuhan barunya. Sangat obsesif terhadap kekuasaan, sampai jiwa-jiwanya pun mencair.

Seni Rupa Sejarah
Pameran Srihadi Soedarsono dalam Seni Rupa dan Sejarah di Galeri Lontar, Jakarta Timur, 26 Agustus-26 September, menampilkan sejumlah sketsa yang dibuatnya pada masa perjuangan 1946-1949. Ia memaparkan awal mula bekerjanya kekuatan-kekuatan lokal pada karya seni lukisnya.
Tampak pada sketsa-sketsanya ini, peristiwa-peristiwa sejarah dan nasionalisme, seperti pesawat Dakota ditembak Belanda dan Kongres Taman Siswa Yogya. Namun koleksinya juga meliputi sketsa wajah, model, objek-objek, penari, latihan gamelan, pemandangan alam, dan pemandangan kota.
''Pada setiap sketsa, Srihadi seolah-olah ingin menyampaikan bahwa apa yang digambarnya mengandung sesuatu yang penting seperti peristiwa sejarah. Bahkan pemandangan alam, penari dan bunga, bukan sekadar kenyataan yang menyajikan keindahan,'' kata kurator dan kritikus seni rupa Jim Supangkat. (esha)

Kosa Mayarupa Freddy
Untuk ketiga kalinya Freddy berpameran tunggal. Pameran abstrak di Bali, 1993; pameran abstrak di Help Institute Kuala Lumpur, Malaysia, 1998; dan kini, dengan tema Kosa Mayarupa di Gallery Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 11-21 Agustus 1999.
Freddy Sofian mengusung 30-an lukisannya dengan 15 lukisan terbaru buah karyanya tahun ini. Benda-benda metal seperti seng bekas-- ikut menjadi mainan barunya. Kedalaman torehan, retakan, kerutan, kusamnya warna tanah dengan selipan warna karat logam, juga metal, makin menampilkan kekuatan gayanya. Material berperan sangat besar dalam pengolahan karyanya.
Pelukis yang sejak tahun 1970 mulai memamerkan karyanya ini, masih eksis menganut langgam abstrak. Meski dalam karya-karyanya masih ada pembidangan ruang, garis-garis lurus yang memisah-misahkan ruangan, membentuk lempengan dan bongkahan. Ada pula tumpukan serat dan tekstur yang saling tindih menampilkan torehan barik lintang kedak.
Dari semua karya yang dipamerkan, Freddy seolah melukis perjalanan waktu. ''Manusia telah menghimpun pengertian mengenai kesemestaan kenyataan ini, namun tak mengindahkannya,'' katanya kepada ADIL. ''Sehingga seringkali perilaku kita bertentangan dengan gerak alam,'' ucapnya. Dalam Metamorphism misalnya, Freddy melukiskan bagaimana manusia tahu siklus alam tapi kurang mencintainya. (dikki)

Batok Kelapa dan Obsesi Wajah
Perupa asal Bali yang menimba ilmu di Yogyakarta, Pande Ketut Taman, menggelar instalasi dari pongpong (batok kelapa kering) dan akar bambu. Di Galeri Milenium, Fatmawati, Jakarta, instalasi itu digelar bersama 80 buah lukisan berukuran sama 30 x 30 cm, sejak 17 Juni hingga 7 Juli mendatang.
Seluruh lukisannya berangkat dari obsesi atas kepala yang berasosiasi dengan wajah dan "penguasa". "Kalau saya tak bisa membawa baik-baik kepala saya, suatu hari nanti kepala saya pun akan jatuh juga..." ucap Taman seperti dikutip dalm katalog pameran bertajuk "Pongpongan" ini.
Tarikan garis-garis ekspresionistik menjadi pilihan gayanya. Warna-warna muda, bahkan putih, hitam, dan abu-abu, mendominasi kanvas. Beberapa potongan koran yang memuat beragam berita kadang ditambahkan dan menjadi bagian dari profil wajah di atas kanvas. Namun wajah yang tertangkap itu lebih sebagai bentuk, yakni bentuk sederhana dari mulut, mata, dan hidung yang relatif kabur. (one)

Virtual Reality Heri Dono
Perupa Heri Dono (39) kerap dikenal dengan gaya lukisannya yang mendeformasi bentuk wayang. Lukisannya dengan bebas mencampur profil wayang kulit maupun wayang beber di satu kanvas. Karakter yang muncul pun melepas dari karakter wayang yang biasanya mengacu pada mitologi India, Ramayana dan Mahabharata. Di tangan Heri, karakter wayang dibumikan.
Pada pamerannya, Virtual Reality, di Erasmus Huis, Jakarta, sepanjang 12 Juni hingga 10 Juli nanti, tak cuma lukisan model itu yang ditampilkan. Sebuah karya instalasi bertajuk Interogator juga digelar dengan memanfaatkan lima buah televisi dan sebuah pistol mainan.
Pamerannya kali ini menunjukkan daya kritis Heri terhadap situasi sosial politik aktual makin kuat saja. Sapuan-sapuan kuasnya masih kuat, deformasi yang gila-gilaan, dan asosiasi yang kaya. Perhatikan lukisan Ketoprak Kontemporer, Mencari Presiden Palsu, atau lukisan Main Catur yang menampilkan figur Habibie, Sri Sultan, Gus Dur, dan Megawati di papan catur.
Apa yang tampaknya ingin ditegaskan Heri adalah --seperti judulnya-- sebuah realitas maya (virtual reality) terus direproduksi di sekitar kita. Tak cuma di medium semacam televisi, tapi dalam medium sosial politik kita sendiri.

Keterbukaan di Kloset IKJ
Yang namanya kloset, WC, atau toilet rupanya menyimpan inspirasi yang kaya dan objek yang potensial. Seniman Piero Manzoni (1933-1963) pernah memamerkan tahinya sendiri dan dijual dengan judul 100% Pure Artist's Shit misalnya. Lantas sekarang beberapa mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tak tanggung-tanggung, mengubah kloset Fakultas Seni Rupa menjadi ruang pamer.
Pamerannya tak cuma lukisan perempuan telanjang, tapi mengubah seluruh dindingnya menjadi kanvas besar dengan berbagai coretan dan tempelan. Mereka berenam berekspresi dengan caranya sendiri-sendiri. Ada Jimi, Anggun, Bondan, Hauritsa, Helen, dan Henry.
Gagasan-gagasan yang tertuang mengisyaratkan gugatan pada pembungkaman yang terjadi selama ini. Dan mereka menohok langsung ke bagian paling pribadi dari kehidupan manusia: kloset, seks, dan kebertubuhannya.

Jeihan dan Hidajat Pameran Bareng
Jeihan Sukmantoro bersama Hidajat L.P.D. pamer lukisan di Galeri Cipta II TIM (27 April-4 Mei). Sebanyak 35 lukisan Jeihan dipajang, sementara karya Hidajat ada 34 lukisan. Kedua pelukis yang sejak lama berteman ini masing-masing punya kelebihan.
Jeihan adalah figur fenomenal dunia seni lukis kita. Sejak tahun 1960-an ia menawarkan tonggak baru dengan menciptakan gerakan reformasi dalam mencipta dan berkarya. Ia tak lagi mau mengikuti aliran seni rupa Moei Indie yang dipelopori Rijs Moelder di ITB. Sedangkan Hidajat L.P.D. adalah tokoh 1966 yang memegang teguh idealisme keseniannya. Kegigihan serta daya juang hidupnya mengingatkan kita pada vitalitas Chairil Anwar.
Jeihan pernah mencipta boom seni lukis tahun 1985 yang menyebabkan masyarakat (seniman) memandang kaum seniman secara lebih terhormat. Tema lukisan Hidajat diangkat dari kondisi sosial sekitarnya. Dalam beberapa lukisannya yang terakhir, ia sudah membaca masa depan, terutama pada lukisan Peradilan Terakhir tahun 1997.
Pada pameran kali ini, Jeihan terkesan sedang mengalami metamorfosis bagai menjalani daur baru kehidupannya. Seperti diisyaratkan oleh lukisan-lukisan terbarunya: Bulan di Atas Kabah, Mabit di Mina, Tawaf, Jumra Aqaba, Tafakur di Muzdalifah, dan Matahari di Atas Laut Merah.
Keselusin lukisan baru yang adalah hasil perjalanan spiritualnya selama menunaikan ibadah haji tahun lalu itu, hanya tiga yang akan dijual. Selain Bulan di Atas Kabah yang berharga Rp 3 miliar, dua gambar lainnya juga dipasangi harga 'wah'. Tafakur di Muzdalifah Rp 2 miliar dan Wukuf di Arafah Rp 1 miliar.
Pengungkapan komplet, baik objek maupun latar, serta dominasi biru yang mencolok masih mewarnai kekhasan Jeihan. Pun sentuhan minimal citra artistiknya, dengan elemen utama garis kedataran dan ruang kosong. Jeihan tetap tak tergoda dengan detail. (dikki)

Mendengar Roh
Ada kengerian yang mengukung ruang galeri Pusat Kebudayaan Perancis, Salemba, Jakarta. Kengerian yang memancar dari deretan lukisan-lukisan yang terpasang di sekelilingnya, di dinding, di lantai, bahkan sampai bagian atas meraih langit-langit.
Ini pameran lukisan Diah Yuliani, 25, anak Kalimantan yang cukup lama menyelami dunia roh suku Bukit, salah satu suku pedalaman Kalimantan Selatan. Diah juga jadi anak angkat salah seorang penghulu suku itu. Tinggal di rumah-rumah panjangnya dan belajar memahami dunia roh mereka.
Diah dibimbing berkomunikasi dengan para roh, lewat indra dengar dan penciuman, dan mengungkapkannya dalam bahasa seni lukis. Jadilah sekumpulan lukisan dengan sapuan buram membentuk citra para roh. Warna dominan merah, kuning, hijau, putih, dan cokelat mengguratkan keanehan yang mencekam.
Dalam Babidadari (1997) tergambar sekumpulan roh perempuan dengan pelukisan mata yang menarik, tergurat jelas tapi sunyi. Atau seperti karya Rumah Orang Haluis (1997) yang memanfaatkan beberapa batang kayu berbentuk rumah yang dilukis dengan goresan misteri. (one)

Instalasi Berpikir dengan Dengkul
Pelukis Tisna Sanjaya mengekspresikan kegelisahan batinnya dengan instalasi 33 Tahun Berpikir dengan Dengkul. Sejak 29 November-10 Desember, di Galeri Yayasan Pusat Kesenian (YPK), Jl Naripan, Bandung, Tisna berkolaborasi dengan perupa Verry Aprianto, alumnus Seni Rupa ITB dan Heru Susilo, mahasiswa Seni Rupa IKIP Bandung memakai bahan anyaman bambu.
Anyaman berjumlah tiga helai itu dilumuri cat warna hitam-putih. Dua fragmen pertama menggambarkan sosok Soeharto sedang bersalaman, serta jabat tangan dengan Habibie. Pada lukisan ketiga, Tisna nimbrung dengan berpakaian batik Korpri, tangannya dicium oleh Habibie.
Menurut Tisna, idenya adalah pemusatan kekuasaan pada Soeharto, hubungan Soeharto-Habibie yang setali tiga uang, dan Habibie yang mengampanyekan prodemokrasi dan proreformasi dengan menyambangi orang-orang kecil seperti anggota Korpri. "Padahal, itu hanya 'baju', esensinya tetap Orba," katanya. "Saya adalah bagian dari kebusukan bangsa ini," tandas dosen seni rupa ITB ini.
Selain itu ada patung manusia telanjang dari anyaman bambu karya Paiman, mahasiswa IKIP Bandung. Patung dengan kemaluan ereksi terus itu posisinya terbalik beralaskan tampan berisi beras merah dan putih. Di atas beras tertera tulisan "33 Tahun Monumen Berpikir dengan Dengkul".
Dipajang pula 19 botol air cucian kaki seniman dari berbagai kota. "Selama 32 tahun, kaki kita ini sudah terlalu kotor, maka kini harus dicuci," kata Edi Purnawadi, seniman teater dan wartawan majalah Ummat, yang ikut cuci kaki. Seniman Sujewo Tedjo, Suyatna Anirun, Boedi S Otong dan Andar Manik, ikut menyumbangkan air cucian kakinya. Perupa Krisna Murti, membuat catatan khusus dalam secarik kertas berbunyi "... yang jelas karya-karya ini dahsyat dan efisien, juga fresh." (asep nurzaman)

Lihat siapa pengunjung situs ini.