Saya bukanlah kritikus sastra [siapa sih, kritikus sastra sebenarnya?], tapi cuma komentator sepakbola yang tak bisa main bola :). Anda tentu bisa lebih baik dari saya, jadi, apa salahnya bila Anda turut urun rembuk mendiskusikan sebuah karya.
Kali ini, kami turunkan puisi karya Fandra Febriand alias Butre berjudul Galau dan Yang Tersisa (sajak selengkapnya ada di halaman Profil Butre). Dari judulnya, tampak bahwa sang pengarang mencoba melukiskan suasana galau dalam hati seseorang, dalam hal ini adalah "aku" puitiknya. Berhasil tidaknya pelukisan itu adalah bertitik tumpu pada ketrampilan Butre merangkai kata demi kata sehingga mampu melukiskan temanya dengan lugas dan padat. Tak banyak sastrawan yang mampu melakukan ini. Sedikit diantaranya adalah Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri.
Nah, bagaimana dengan Butre? Puisi ini dibuka dengan dua pernyataan yang cukup kuat, "Ajari aku melepas dikau/ Ajari aku biarkan kau terbang tinggi". Inilah inti dari kegalauan itu: sebuah upaya untuk melepaskan sesuatu tapi ada kerinduan hebat untuk menahannya dalam dekapan. Namun, mengapa seakan ada kontradiksi pada bait lain, "Ajari aku menangkap dikau/ Ajari aku dekap kau dalam pangkuan".
Nampaknya, Butre sendiri masih galau memaparkan gagasannya. Atau barangkali ada ketidaktepatan dalam memilih judul yang justru jadi panduan untuk mengikat seluruh bait-baitnya.
Sementara, pada puisi Yang Tersisa, Butre melukiskan suasana kemabukan tersebab aroma mawar mekar, sebuah kegilaan yang membikin lupa. Dalam puisi ini nampak Butre tengah bereksperimen dengan diksi. Memang ada banyak diksi menarik yang dilahirkannya, seperti "Biar kuapikan hingga terabu" atau "Terjaga tanpa sapa/Berlalu tanpa lagu" yang punya efek ritmis.
Namun, Butre rupanya terhanyut dengan diksi ciptaannya dan terlupa dengan konteksnya. Coba perhatikan bait ini:
Hingga malam turun berganti
Terjaga tanpa sapa
Berlalu tanpa lagu
Bekukan sumbang alunan dua simfoni
Pertanyaannya, mengapa rangkaian kalimat ini harus dimunculkan? Apa makna ketiga baris kalimat itu dalam konteks puisi tersebut? Baris kedua dan ketiga berupaya membangun sebuah suasana kesepian, sendirian. Bisa dibayangkan, betapa sepinya bila bangun sendirian ("tanpa sapa") dan "tanpa lagu". Suasana sunyi juga ditegaskan kembali oleh bait berikutnya, "Seekor gagak bergegas kepakkan sayap/ Sang ular menjalari liang". Paparan suasana demikian kadang memang berhasil untuk membangun suasana yang hendak kita suguhkan, namun perulangan yang berlebihan kadang tak cukup berhasil. Puisi modern bagaimanapun bersandar pada kalimat efektif dengan pemilihan kata yang bemakna padat.
Tabik
Kurniawan
Catatan: Sajak dan biografi singkat Butre ada di halaman Profil Butre.