Absennya Gandrik selama 6 tahun ternyata tak membuatnya berubah, gaya teater rakyat masih menjadi ciri khas. Rupanya, dengan bertahan, penonton merasa dipuaskan. Apalagi, model sampakan-nya yang cerdas dan menggelitik.
Selamat malam Warga Praja tercinta
Kami tak butuh identitas dan kartu nama
Kami hanya ingin data, berapa nomor hati Anda
Kalau masih menyimpannya
Berikan pada kami segera.
Nyanyian para prajurit kerajaan Program Penyerahan Hati Nasional itu segera dijawab warga setianya:
Maafkan kami Bapak Pemeriksa
Ini data hati kami semua
Kami serahkan dengan sukarela
S'moga hati kami ada gunanya.
Operasi Penyerahan Hati untuk menyelamatkan Praja dari krisis ketidakpatuhan yang mengakibatkan instabilitas. Masing-masing orang bahkan rela bertukar namanya menjadi deretan angka-angka. Ada yang kemudian beregister 1917, 1966, 2000. Tetapi tidak bagi seorang pembangkang bernama Kamil (Butet Kartaredjasa).
Di sinilah sebenarnya muncul hambatan program nasional untuk kepentingan Praja bermula. Meski jutaan orang telah menyerahkan 'hati'nya secara sukarela kepada petugas negara, tapi Kamil tetap menolak. Benang merah inilah yang kemudian makin memanaskan intrik dalam lakon Brigade Maling-nya Teater Gandrik yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 19-21 Juli lalu.
Di sebuah negeri yang sedang getol menggalakkan proyek persembahan hati rakyatnya kepada penguasa itulah, Kamil tetap pada pendiriannya. Karena itu, satu-satunya cara yang bisa ia lakukan adalah melarikan diri. Dan tentu saja, oleh negara Kamil dinyatakan buron dalam perkara subversif.
'Pasukan Siluman' di bawah kendali Tumenggung Suro Alap-Alap (Y.B. Widjaja), yang diam-diam ikut mereguk kepentingan dalam proyek itu, memburunya. Begitu pula Resi (Whani H. Darmawan), sang ideolog dan cendekiawan yang merancang dan merumuskan Program Penyerahan Hati itu. Sementara Eyang Kantong (Djaduk Ferianto), tokoh spiritual, mencoba menancapkan pengaruhnya melalui mobilisasi massa.
Namun, meski bertahun-tahun pelarian Kamil tak ketahuan, nasib sang istri selalu membayangi pikirannya. Sehingga Kamil pun harus kembali menemui istrinya Suri Lebet (Dyah Arum Retnowati). Tetapi hal yang tak terduga terjadi. Istrinya --yang sudah termakan bujukan Eyang Kantong-- justru menentang sikap 'keras kepala' Kamil. ''Segera saja menyerahkan hati,'' katanya. Tapi Kamil tetap Kamil. Ia marah besar, ketika istrinya memanggilnya '200 juta'!. Kamil tetap bertahan.
Ketika kerusuhan sosial meledak, keadaan kian tak menentu. Dan, kemudian muncullah sikap saling curiga di antara elite negeri Praja, antara Resi, Eyang Kantong, dan Senopati Grangsang (Heru Kesawa Murti). Tapi, perburuan terhadap Kamil tetap dilanjutkan. Sampai suatu saat prajurit kerajaan menangkap Suri, istri Kamil.
Rupanya, Kamil gamang dengan semua sikapnya, begitu mendengar istrinya diringkus. Maka ia pun menyerahkan diri kepada Senopati Grangsang. Dengan begitu, ia berharap Suri dibebaskan. Tapi kemunculan Kamil malah membuat panik Senopati. Karena, baginya, perlawanan Kamil justru menguntungkan dirinya. Kamil menjadi bagian dari proyek dan strategi yang sedang dijalankan.
Itu sebabnya, meski terus didesak, ia menolak menangkap Kamil. Malah Senopati menegaskan bahwa ia tak pernah memberi perintah untuk menangkap istri Kamil. Situasi itu membuat Senopati sadar bahwa ada pihak yang memojokkan dan menjebaknya.
Sayang, ia terlambat. Soalnya, ketika negosiasi itu berlangsung, Tumenggung Suro Alap-Alap dan pasukannya sudah menyergapnya. Senopati dan Kamil dituduh telah melakukan persekongkolan jahat dan membahayakan buat negara. Lantaran itu, Tumenggung menangkap Senopati dan Kamil. Saat penyergapan, tongkat komando Senopati sudah beralih tangan ke Tumenggung. Sebuah kudeta tak berdarah baru saja berlangsung.
Naskah serius yang ditulis Agus Noor, Heru Kesawa Murti, dan Indra Tranggono ini, di tangan sutradara Jujuk Prabowo, ternyata, pementasannya tak harus selalu serius pula. Penonton dibawa tertawa.
Penguasa bisa seperti badut, lagak dan bicaranya tak lagi menyebabkan kepatuhan, apalagi ketakutan, tapi kelucuan. Gaya Senopati yang teramat cermat, peragu, dan mbanci sering membuat para prajuritnya tertawa. Begitu pula dengan tampilnya Butet (Kamil) yang karikatural, Eyang Kantong yang mencla-mencle, kian memancing penonton tertawa lepas.
Mengemas pesan dalam kelucuan tak harus menggelincirkan Gandrik ke pentas ketoprak humor. Teater yang lahir di Yogyakarta (1983) itu tetap membawakan lakonnya Brigade Maling --dipentaskan di Monash University, Australia, Maret lalu-- dengan bersahaja, dan keseriusan pemeranan dari beberapa tokohnya menjadi pengimbang.
Pemanfaatan terhadap spirit tradisi teater rakyat yang dibawakannya pun malah memperkuat tampilan Gandrik yang tidak terjebak pada 'ektase kebebasan' hingga menjerumuskannya ke dalam verbalisme.
Memang, di tengah adanya 'kebebasan' sekarang ini, cukup dengan mengembangkan verbalitas kritis sudah bisa melampaui keterbatasan ruang pemaknaan yang dikikis negara. Yaitu, melalui wacana cemooh dengan dramatika (sampakan) yang menghasilkan suatu pola satir dan sarkasme yang tajam.
Lalu, tokoh-tokoh politik, pejabat, cendekiawan, rohaniwan, pahlawan, seperti dalam Brigade Maling, sama karikaturalnya dengan tukang becak, mahasiswa yang tolol, atau bahkan penjaja seks. Di sinilah, kesan beberapa penonton, kekuatan Teater Gandrik. (dikki nursa)
GALERI
Wayang Dolanan di Puncak Pinus
Sebuah keputusan sulit harus dilakukan Dewi Kunti; memilih Karna atau Arjuna. Mau memilih Karna tentu tak mungkin karena Adipati Karna adalah pembela Kurawa. Sementara kalau memilih Arjuna serasa diskriminatif karena ternyata Karna adalah anaknya sendiri --kakak Arjuna-- yang selama ini dicari-carinya.
Pilihan sulit inilah yang dihadapi Dewi Kunti sebagai ibu dari kedua anaknya yang mewakili kedua kelompok yang saling berlawanan. Karna adalah personifikasi 'kebiadaban' Kurawa, karena sewaktu kecil dibuang dan kemudian dipelihara oleh keluarga Kurawa, sehingga titisan Dewa Suryaputra Narpati Ngawangga ini diangkat menjadi Adipati dalam kekuasaan Kurawa. Sedangkan Arjuna --seperti keempat adiknya-- adalah personifikasi 'perlawanan' Pandawa kepada Kurawa.
Seting cerita Karna Tanding dalam epos Mahabharata ini ditampilkan sangat memikat oleh dalang Slamet Gundono di pelataran Kuil Myogan-ji, Mega Mendung, Jawa Barat, Sabtu pekan lalu. Dalam judul ''Kelingan Lamun Kelangan'' hasil gubahan Slamet, cerita mengalir tanpa kemenangan. Dewi Kunti terpaku dalam ketakberdayaan memutuskan pilihan paradoksal itu.
Dan yang baru dari dalang kelahiran Tegal ini adalah media yang dipakainya. Di samping wayangnya sendiri terbuat dari suket (rumput), pertunjukannya digelar di tanah lapang, hanya dengan beberapa wayang, ditambah dua orang pemain --Mugiono dan Dede, serta peralatan musiknya beragam jenis; dari beberapa alat seperti gending hingga cangkul.
Di tangan Slamet, wayang suket yang baru pertama kali dipentaskannya itu benar-benar memikat sekaligus membebaskan. Tak ada lagi batas antara dalang, wayang, dan penonton. Slamet sebagai dalang sekaligus menjadi wayang, pun dengan Mugiono dan Dede sebagai penari dan pangrawit juga sekaligus sebagai wayangnya. Begitu pun ritme pertunjukannya. Pengadeganan wayang menjadi semacam campursari; di dalamnya ada tari, teater, dan pantomim.
Pria gendut berbobot sekitar 140 kilogram ini benar-benar dolanan (bermain-main). Ia dan dua teman mainnya mengangkat wayang suket yang biasa dimainkan anak-anak Banyumas yang berkhayal menjadi dalang, ke pentas wayang yang justru kemudian bermakna universal.
Ceritanya yang open ending sangat membuka cakrawala dan bebas tafsir, beragam unsur kesenian dan musik yang dikolaborasi, serta dialog dalangnya dalam pengadeganan. Penonton bisa menyumbangkan pendapat dalam berlangsungnya cerita, serta banyolan-banyolannya yang bebas dan kaya. ''Tanpa tahu bahasanya pun rasanya senang melihat pertunjukan wayang model ini,'' kata beberapa penonton.
Jadi, dolanan Slamet layak dipertahankan? ''Ya,'' kata seorang pemirsa yang komponis. ''Pesan moralnya sampai juga kan?'' katanya. Kelingan Lamun Kelangan memang terasa ketika Dewi Kunti tak bisa memutuskan harus memilih siapa. Karna atau Arjuna?
dikki