Repolitisasi Islam
Nampaknya Islam dan politik seperti dua sisi dari sekeping mata uang. Yang satu dan yang lain tak bisa dilepaskan. Bahkan, kita tahu, sejak Nabi Muhammad Saw mulai menyebarkan agama ini, persepsi bahwa Islam mengusung politik di bahunya telah terjadi.
Namun, tekanan untuk "memurnikan" Islam sebagai jalan suci keagamaan sama kuatnya untuk "mempraksiskan" Islam dalam kehidupan nyata. Pun, hingga kini, tarik menarik dua kutub itu terus terjadi dan semuanya tak lepas dari kekuatan-kekuatan politik yang saling berebut pengaruh.
Di belahan dunia macam Indonesia, masalah ini telah terjadi. Dalam buku "Re-Politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?" (Mizan,200) karya Bahtiar Effendy ini, dipaparkan bagaimana masalah tarik menarik dua kutub itu muncul dalam panggung sejarah politik Indonesia.
Bachtiar misalnya mencatat bagaimana awalnya ada upaya untuk mendiskusikan masalah ini secara terbuka pada masa penyusunan konsep Piagam Jakarta. Namun, pintu diskusi itu tertutup kembali setelah Piagam Jakarta dianulir. Demikian pula pada masa Soekarno dan Soeharto berkuasa.
Buku Bachtiar ini adalah kumpulan tulisannya di berbagai media massa yang merekam bagaimana Islam berupaya memunculkan dirinya di tengah tekanan untuk meniadakan diskusi tentang peranan politiknya. Pemabca akan menemukan catatannya mengenai Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Ikatakan Cendekiatan Muslim Indonesia, dan lainnya.
Syiah di Indonesia
Serentak dengan keberhasilan revolusi Islam Iran (1979) yang dipimpin Ayatollah Imam Khomeini, muncul pula dua hal. Pertama, makin meluasnya paham Syiah ke seluruh penjuru dunia dan terangkat kembali perseteruan historis antara Sunni dan Syiah.
Di Indonesia, reaksinya kala itu begitu keras. Kehadiran Syiah mendapat tentangan luas, bahkan paham Syiah dituduh sesat dan akan menjadi ancaman bagi akidah umat Islam Indonesia yang mayoritas berpaham Sunni. Sebuah seminar di Istiqlal, Jakarta, pada September 1997, malah merekomendasikan pelarangan ajaran itu di Indonesia. Mengapa Syiah dianggap berbahaya dan seperti apa Syiah di Indonesia?
Dengan latar belakang hal-hal inilah, Puslitbang Politik dan Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPW-LIPI) melakukan penelitian tentang hubungan Syiah dan politik di tiga daerah, Jakarta, Bandung, dan Pekalongan. Hasilnya diterbitkan dalam buku berjudul "Syiah dan Politik di Indonesia" (Mizan, 2000).
Dalam soal praktik keagamaan dan poltik, memang ada beberapa perbedaan mendasar antara Sunni dan Syiah, antara lain soal rukun Islam, imamah (kepemimpinan), Al-Quran, dan nikah mut'ah. Dalam politik, misalnya soal kepemimpinan. Bagi orang Sunni, pemimpin itu sama seperti manusia lain, dapat berbuat salah. Sementara, bagi Syiah, imam adalah penerus kenabian dan seperti Nabi, imam punya sifat ma'shum (terjaga dari kesalahan).
Dengan demikian, wajar bila muncul reaksi keras terhadap Syiah. Buku ini justru mencoba mengupas masalah mengapa kehadiran Syiah begitu ditentang di Indonesia. (One)
Syekh Siti Jenar, Pergumulan Islam-Jawa
Abdul Munir Mulkan, Mohamad Sobary (Pengantar)
Yayasan Bentang Budaya
05/11/01
Mitos Syekh Siti Jenar
Pertarungan Politik Kaum Pinggiran vs. Wali Songo
oleh Kurniawan
detikcom - Jakarta Kamis, 08/06/2000
Syekh Siti Jenar adalah tokoh kontroversial sekaligus legendaris dalam sejarah Islam di Jawa, karena "pembangkangan tasawuf"-nya dan mitos kesaktian yang dimilikinya.
Buku ini mencoba memahami secara lebih jernih, konteks peristiwa penghukuman mati Syekh Siti Jenar yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam oleh Wali Songo ini. Pengarang buku ini secara kritis melihat ketegangan internal dan eksternal yang terjadi masa itu. Ketegangan itu berkaitan dengan berbagai kelompok kepentingan yang saling bersinggungan dan hendak mengambil tempat utama dalam peta politik.
Secara singkat dan hati-hati, pengarangnya menguraikan ajaran Siti Jenar dan mengkritisinya dalam tradisi sufistik Islam dan filsafat Barat. Kemudian, ditunjukkan bagaimana Siti Jenar menerapkan ajarannya itu dan akhirnya tidak bisa tidak bertemu dengan kekuatan ulama paling dominan, Wali Songo.
Sudah jelas bahwa pada saat itu, peran ulama yang terorganisir dalam Wali Songo mengambil ruang paling besar dalam legitimasi agama. Kehadiran Siti Jenar dengan ajarannya yang jauh berbeda dari "kebenaran" yang digariskan Wali Songo menjadi ganjalan besar, baik untuk penyebarluasan Islam maupun pengaruh politik Wali Songo sendiri.
Nilai lebih buku ini adalah dilampirikannya Serat Syekh Siti Jenar (Keluarga Bratakesawa, Yogyakarta, 1958) terjemahan dari R. Sosrowidjojo, sehingga pembaca bisa melihat langsung "ajaran" Syekh Siti Jenar ini.
Teologi Pembebasan Islam dari Afrika Selatan
Pizza yang kau makan datang dari Italia, sistem bilangan yang kau pakai berasal dari Arab, hurufmu datang dari orang-orang Roma, mainanmu dari Hong Kong, perangkat elektronikmu dari Jepang, bajumu dari Taiwan, kekayaanmu adalah hasil perdaganganmu dengan yang lainnya. Jadi, apakah kemudian engkau masih juga berteriak "Keluar kau, orang asing!"
Demikian bunyi sebuah kalimat yang terpasang di depan sebuah gereja Offenbach, di pinggiran Frankfurt, Jerman. Kalimat ini dikutip Farid Esack dalam bukunya, Membebaskan yang Terindas: Al-Qur'an, Liberalisme, Pluralisme (Mizan, 2000), untuk mengingatkan orang-orang yang masih percaya bahwa ada jalan khusus untuk setiap hal.
Bukunya ini merupakan sebuah refleksi pengalaman hidupnya menyaksikan penindasan yang terjadi pada umat Islam Afrika Selatan pada masa rejim apartheid. Dia menunjukkan bagaimana keragaman agama ternyata tidak menjadi kendala dalam perjuangan melawan penindasan tersebut.
Dengan pisau bedah hermeneutika, Farid yang yang menyandang gelar doktor di bidang tafsir Al-Quran dan tokoh senior dalam World Conference on Religion and Peace ini mendedah dan menguji teks-teks Al-Quran yang selama ini dipercaya melegitimasi eksklusivitas sebuah agama. Farid menunjukkan bahwa Islam sesungguhnya inklusif dan memiliki kunci-kunci untuk untuk menerima kaum lain sebagai kawan dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Demikianlah sebuah rintisan menuju teologi pembebasan Islam dibukanya.
Tantangan Ekonomi Islam
Bila ada sebuah strategi yang mampu mengentaskan kemiskinan, memberikan kesempatan kerja penuh, memenuhi kebutuhan pokok, dan meminimalkan ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan, maka macam apakah strategi itu. Dengan seabrek pertanyaan itulah Umer Chapra mulai menulis buku "Islam dan Tantangan Ekonomi" (Gema Insani, 2000) ini.
Umer Chapra adalah ekonom Pakistan yang bekerja sebagai penasehat ekonomi senior pada Monetary Agency Kerajaan Arab Saudi sejak 1965 dan dianugerahi medali kehormatan dari Islamic Development Bank. Dalam bukunya ini, Chapra memaparkan kegagalan tiga sistem ekonomi besar (kapitalisme, sosialisme, dan negara kesejahteraan) dalam upaya mencapai kesejahteraan yang adil dan merata. Chapra mengkaji logika, hakekat, dan implikasi dari ketiga sistem tersebut dengan melihat bagaimana sistem tersebut bekerja di negara-negara yang menganutnya.
Kemudian Chapra menunjukkan bagaimana konsep ekonomi Islam menjawab hal tersebut. Chapra menekankan pentingnya filter moral dalam sebuah sistem ekonomi yang dalam Islam berpijak pada syariat. Baginya, strategi ekonomi yang perlu dikembangkan harus mengandung tiga hal: 1. mekanisme filter yang secara sosial disepakati untuk memungkinkan orang membedakan mana penggunaan sumber-sumber daya yang efisien dan yang bukan; 2. sistem motivasi yang mendorong individu menggunakan sumber-sumber daya sesuai dengan kehendak mekanisme filter; 3. restrukturisasi sosioekonomi yang akan menegakkan kedua hal tersebut. (One)
Sufi dan Iblis
Setan pada umumnya dipahami sebagai mahluk penggoda yang menggiring manusia ke jalan tol Neraka. Buku Buku "Tragedi Setan, Iblis dalam Psikologi Sufi" (Bentang Budaya, 2000) ini pun intinya memperbicangkan soal setan juga, terutama dalam kaitannya dengan para sufi, orang-orang yang memilih jalan spiritual Islam untuk menyatukan diri dengan Tuhan.
Penelusuran konsep setan ini dilakukan Peter J Awn melalui berbagai kitab suci dan literatur para sufi. Pada bab pertama, Peter menggali asal usul setan ini dari ayat-ayat suci Al Qiran, hadist, dan kitab-kitab suci lain, seperti Injil dan Taurat.
Pada bagian ini, dengan mudah kita akan menemukan wajah familiar iblis. Peter kembali menceritakan bagaimana iblis menolak sujud kepada Adam dan kemudian dihukum menjadi penghuni neraka. Kita akan menemukan wajah iblis yang mengerikan, mengancam akan menjerumuskan manusia ke lembah dosa, dan menjadi sahabat setianya menghuni neraka.
Bagian menarik, tentu saja pada bab-bab berikutnya, dimana Peter membahas pandangan para sufi mengenai setan ini, mulai Jalaluddin Rumi hingga Fariduddin Attar.
Kemudian Peter membahas pandangan-pandangan sufi yang kontroversial, seperti Al-Hallaj dan Ain Al-Qdat. Dua sufi terakhir ini dihukum mati lantaran teori mereka yang melawan pandangan umum. Al-Hallaj, misalnya, menganggap iblis adalah model spritual yang sempurna bagi manusia. Di antara alasannya adalah karena iblislah mahluk yang monoteis sempurna, karena dia tidak bersedia menyembah selain Allah. (One)
NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja
Badrun Alaena
Tiara Wacana, Yogyakarta
Juli 2000
Mengkaji Ruh Kaum Muda NU
Kholilul Rohman Ahmad
detikcom Kamis, 21/09/2000
Buku ini merupakan hasil penelitian terhadap proses pergeseran pemaknaan doktrin Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) di kalangan generasi muda Nahdlatul Ulama (NU) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang aktif di lembaga otonom NU maupun lembaga independen non-NU.
Buku ini merupakan hasil penelitian terhadap proses pergeseran pemaknaan doktrin Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) di kalangan generasi muda Nahdlatul Ulama (NU) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang aktif di lembaga otonom NU maupun lembaga independen non-NU. Dalam istilah penulis, doktrin yang telah bergeser ini disebut neo-Aswaja. Neo-Aswaja ini merupakan bentuk alternatif yang mampu menjadi jembatan bagi kecenderungan dua kutub, baik dalam bentuk pemikiran maupun aksi sosial yang bersifat ekstrem.
Melalui buku ini pembaca dapat menelaah, bagaimana geliat kaum muda NU di kota budaya ini sehingga mampu menampilkan paradigma neo-Aswaja sebagai paradigma keagamaan sekaligus sosial yang lebih mengedepankan aspek-aspek kreatifitas kolektif untuk diimplementasikan dalam konteks pluralisme, bersifat inovatif, dan progresif.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada dua pertanyaan kunci sehingga buku ini tersusun secara sistematis dan mudah dipahami. Pertama, faktor apa yang mempengaruhi terjadinya transformasi keagamaan (Aswaja) di lingkungan generasi muda NU DIY? Kedua, sejauh mana pengaruhnya terhadap pola pikir dan perilaku mereka, baik dalam aspek sosial, politik, maupun keagamaan?
Sebagaimana dinyatakan KH Said Aqiel Siradj, pemahaman Aswaja sebagai metode berpikir (manhaj al-fikr) -bukan madzhab- harus menjadi titik awal kerangka berpikir dalam menggali hukum (syari'ah). Metode tersebut bersifat tawasuth (bersikap tengah), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang) serta selalu mencari jalan tengah (moderat) yang diterima oleh sebagian besar golongan (hlm. 5). Sedikit banyak metode tersebut telah memberikan warna baru di lingkungan masyarakat muda NU DIY yang dalam dinamikanya bahkan cenderung liberal dan dalam aspek-aspek tertentu tidak mudah tunduk pada postulat-postulat resmi agama.
Proses pergeseran pemaknaan ini dalam pandangan penulis merunut pada tiga dimensi: Pertama, dimensi struktural yang mengacu pada perubahan peranan, seperti munculnya peran baru dan perubahan struktur kelas sosial. Kedua, dimensi kultural yang mengacu pada perubahan kebudayaan. Dan ketiga, dimensi interaksional yang mengacu pada perubahan hubungan sosial di masyarakat, seperti jarak sosial, perantaraan, dan aturan atau pola-pola (hlm. 17-19).
Mengapa penelitian ini menggunakan sampel kaum muda NU DIY? Penulis menjelaskan, Yogyakarta adalah "kota" yang juga "desa". Disebut kota karena di dalamnya tersedia sarana fisik yang sangat memadai dan memberikan kemudahan bagi masyarakatnya. Sementara itu, disebut desa kerena tradisi yang dikembangkan merepresentasikan ruh pedesaan. Bahkan ia sering dinilai sebagai masyarakat yang kuat berpegang pada tradisi.
Ia adalah kota budaya, kota pelajar, dan kota yang banyak memproduksi manusia-manusia intelektual yang telah memberikan kontribusi penting bagi pembangunan bangsa. Meskipun di sisi lain Yogyakarta mendapat predikat "kota kumpul kebo" yang hingga kini masih sulit dihapus di sebagian benak dan imajinasi masyarakat kita
Sebagai kota aman yang bebas dari bentuk kerusuhan massal, dinamisasi masyarakatnya berkembang dan militansi mahasiswanya tergolong kuat. Setidaknya pada era 1990-an, Yogyakarta-lah yang paling keras mengecam rezim otoriter Orde Baru. Sehingga cukup beralasan jika penulis menilainya sangat potensial bagi siapa saja untuk berpikir kritis, inovatif, dan dinamis (hlm. 129-132).
Di antara realitas sosial-budaya seperti itulah yang kemudian mempengaruhi jalan pikiran kaum muda NU DIY. Sehingga pembaruan doktrin keagamaan yang dilakukan dipandang sebagai keharusan zaman yang mesti dijalankan. Kendati oleh banyak pihak tindakan-tindakan itu sering dinilai "menyimpang", namun bagi kaum muda NU hal itu dianggap sebagai hal yang wajar: bahwa hal baru akan selalu dibarengi dengan munculnya dialektika dan perdebatan.
Di samping berdasarkan wawancara di lapangan dengan aktivis-aktivis muda NU yang aktif, buku ini dilengkapi telaah pustaka yang cukup komprehensif sebagai penguat argumentasi. Namun demikian, ada dua hal perlu dikemukakan sebagai komentar atas terbitnya buku ini.
Pertama, penelitian yang terkandung dalam buku ini bersifat lokal. Sehingga kiranya tidaklah layak jika buku ini digeneralisir untuk melihat geliat kaum muda NU secara nasional. Kaum muda NU DIY berbeda dengan kaum muda NU Surabaya, Jakarta, atau daerah-daerah lain.
Kedua, buku ini cukup provokatif bagi (calon) peneliti NU. Paling tidak dapat memberikan gambaran bagaimana meneliti NU yang baik dan akan lebih banyak bermanfaat bagi mayoritas warga NU: meneliti NU kota atau NU desa/pedalaman?"
Kholilul Rohman Ahmad, Peminat dunia pustaka dan mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Fiqih Dakwah: Prinsip dan Kaidah Asasi Dakwah Islam
Jum'ah Amin Abdul Aziz (Penyusun), Abdul Salam Masykur, Lc. (Penerjemah)
Era Intermedia Solo
Cetakan III Juni 2000 (Cetakan I Maret 1997)
979-9183-04-09
Fiqih Dakwah
Dibutuhkan Da'i untuk Pemulung
T. Supriyadi
detikcom
Senin, 28/08/2000
Buku hasil karya Jum'ah Amin Abdul Aziz ini hadir laiknya buku pedoman yang menyuguhkan berbagai resep dakwah, terutama yang terkait dengan prinsip dan kaidah-kaidahnya.
Sebagai sebuah aktivitas, kecenderungan yang muncul dalam dakwah dewasa ini adalah ditinggalkannya kelompok-kelompok marginal dalam masyarakat oleh para da'i. Mereka justru lebih suka berdakwah untuk kalangan tertentu saja. Penyebabnya, mereka seringkali tidak dibekali dengan pemahaman tentang seluk-beluk (fiqih) dakwah yang memadai. Buku hasil karya Jum'ah Amin Abdul Aziz ini hadir laiknya buku pedoman yang menyuguhkan berbagai resep dakwah, terutama yang terkait dengan prinsip dan kaidah-kaidahnya.
"Sebenarnya tidaklah sulit untuk menjadi seorang da'i. Karena, di dalam Islam tidak ada seorang pun yang akan mentahbiskan Anda sebagai juru dakwah. Yang diperlukan hanyalah ahlak," ungkap Drs M Dian Nafi, pengasuh Pondok Pesantren Al Muayyad Windan, Solo ini mengawali diskusi dalam "Bedah Buku Fiqih Dakwah Karya Jum'ah Amin Abdul Aziz" yang digelar Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Solo di gedung Insan Cita, Minggu (27/8/200).
Ahlak menjadi penting dalam dakwah, karena sesungguhnya dakwah bukanlah sekedar aktivitas di dalam masjid atau pondok pesantren saja. Yang dibutuhkan saat ini menurut Dian, adalah da'i yang mau berdakwah kepada para pemulung, tukang becak, dan bagian masyarakat kelas bawah lainnya. "Saat ini kan orang lebih suka mengisi pengajian di arisan-arisan atau di hotel-hotel berbintang," tambah Dian.
Memang tidak ada larangan untuk berdakwah di arisan atau di hotel, asal jangan kemudian menjadikan posisi da'i semakin eksklusif. Sebab, menurut Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU) Cabang Solo ini, aktivitas dakwah tidak bisa dilepaskan dari kedekatan da'i dengan masyarakat.
Kebutuhan akan da'i yang mau berdakwah kepada kelompok masyarakat ekonomi lemah ini, menurut Dian, bukan semata karena kebanyakan dari mereka tidak mampu mengeyam pendidikan formal maupun agama, tapi, lebih dari itu, sektor tersebut sampai saat ini belum disentuh oleh pemerintah. Oleh karenanya, Dian berharap agar kalangan mahasiswa mau memulainya melalui organisasi-organisasi yang diikuti.
Selain Dian, hadir pula sebagai pembicara dalam acara yang juga merupakan rangkaian prosesi pelantikan Pengurus KAMMI Daerah Solo dan Komisariat Solo, Sekretaris Jendral (Sekjen) KAMMI Pusat, Haryo Setyoko. Dalam kesempatan ini, mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UGM ini lebih banyak menyoroti perkembangan dakwah yang dilakukan mahasiswa di kampus-kampus.
Menurut Haryo, kegiatan dakwah yang dilakukan mahasiswa mulai menguat justru pada saat penguasa represif dengan mengeluarkan kebijakan NKK/BKK. Pada perjalanan selanjutnya aktivitas dakwah yang dilakukan kalangan mahasiswa ini terorganisir ke dalam berbagai wadah organisasi, baik ekstra seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), maupun organisasi-organisasi intra kampus seperti Seksi Kerohanian Islam (SKI).
Pedoman
Menyinggung soal isi buku, Dian menyebut bahwa buku yang memiliki judul asli Ad-Dakwah, Qawaa'id wa Ushuul ini layak untuk dijadikan pedoman bagi para aktivis di organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam dalam menjalankan syiar Islam. Pasalnya, buku ini sangat lengkap. Membahas dakwah dari soal aqidah sampai jenazah. "Rugi kalau Anda tidak membeli," kelakar Dian.
Tidak berlebihan kalau Dian menyebut buku yang diterbitkan Era Intermedia Solo ini sebuah buku pedoman. Dengan bahasa yang ringkas, 464 halaman buku yang sudah mengalami cetak ulang untuk ketiga kalinya ini memberikan keterangan yang rinci, poin per poin, lengkap dengan contoh-contoh pada jaman Nabi maupun para Sahabat.
Bab Pertama dari buku ini memberikan definisi yang sangat jelas tentang dakwah, keutamaan dakwah, dan 20 prinsip dakwah yang menuntun kita pada pemahaman yang mendasar mengenai prinsip-prinsip dakwah yang harus dipegang (hal. 59). Bab Kedua, buku yang diterbitkan pertama kali di Iskandariah, Mesir, ini menjelaskan beberapa hal yang terkait dengan dakwah. Sifat-sifat yang seharusnya dimiliki para da'i, serta upaya-upaya meneruskan capaian yang telah diraih para pendahulu ("Buih Hari ini dan Tokoh Masa Lalu", hal. 74).
Bab Ketiga, memuat prinsip dan kaidah dakwah para Rasul yang dilengkapi pula dengan contoh-contoh dakwah yang pernah dilakukan. Bab Keempat, tampaknya menjadi kunci buku ini. Karena, 253 halaman dalam bab ini memberikan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan sebelum dan ketika berdakwah. Lebih tepat lagi, dalam bab ini kita benar-benar diajari cara berdakwah yang efektif. (iwank)"
Islam Autentik: dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun
Robert D. Lee
Mizan
Februari 2000
9794332380
Mencari Islam Otentik
Pengembaraan Abadi Umat Islam
Kurniawan
detikcom Minggu, 30/4/2000
"Otentisitas Islam adalah pengembaraan abadi di kalangan Muslim. Demikian salah satu pokok gagasan Prof. Dr. Azyumardi Azra yang dipaparkan melalui makalahnya yang berjudul "Mencari Islam: Perspektif Doktrinal dan Historis" dalam diskusi buku karya Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun yang diadakan atas kerjasama Penerbit Mizan dan Yayasan Paramadina"
Diskusi selama dua setengah jam lebih yang dilaksanakan di Hotel Regent, Rasuna Said, Jakarta, pada Jumat (28/4/2000) malam, selain menghadirkan pembicara Azyumardi Azra, juga Drs. Ahmad Rifai Hasan, MA, dan Dr. Komaruddin Hidayat. Diskusi kali ini dimoderatori Budhy Munawar-Rahman dari Paramadina.
Mulanya, ketiga pembicara membawakan makalahnya masing-masing, sebelum akhirnya ditanggapi oleh para peserta diskusi yang cukup aktif mengomentari. Azyumardi Azra pada prinsipnya mengritik lingkup pembahasan buku Robert D. Lee itu yang baru mengkaji aspek historis pencarian otentisitas pada empat tokoh modern-kontemporer: Muhammad Iqbal (pemikir anak benua India), Sayyid Quthb (tokoh organisasi al-Ikhwan al Muslimun Mesir), Ali Syariati (ideolog par excellence revolusi Islam Iran), dan Mohammed Arkoun (cendikiawan Aljazair yang bermukim di Prancis).
Alasan Azyumardi Azra, dengan pengkajian semacam itu, seolah-olah wacana dan gerakan pencarian otentisitas Islam hanya terjadi pada masa modern dan kontemporer, bahkan Lee telah mereduksinya sebagai "sekedar reaksi terhadap modernisme". Sebaliknya, dosen IAIN Jakarta ini menunjukkan betapa luas, rumit, beragam, dan tumpang tindihnya gagasan dan gerakan pencarian otentisitas itu.
Komaruddin Hidayat pada kesempatan itu tidak banyak mengulas buku Lee. Dia hanya memberi pengantar diskusi dengan makalah pendek Mencari Islam Autentik. Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina ini mempertanyakan dua kata kunci yang dipakai dalam buku itu, tentang "autentik" dan "Islam".
Komaruddin melihat bahwa banyak sekali tokoh Islam yang menggagas model bagi pengembangan jati diri yang autentik tanpa harus menmgambil jarak dari tuntutan modernitas. Empat tokoh yang diangkat Lee hanyalah sebagian kecil dari tokoh dan kelompok gerakan yang ada. Untuk Indonesia, Komaruddin mencontohkan gerakan organisasi Muhammadiyah yang peduli pada pendidikan dan pelayanan kesehatan sebagai upaya pencarian jati diri keislaman yang autentik sekaligus partisipatif dalam agenda modernisasi.
Sementara, Ahmad Rifai Hasan mengelaborasi kembali kehidupan dan gagasan politik Muhammad Iqbal. Dalam makalahnya, Otentisitas Pemikiran Politik Iqbal: antara Modernitas dan Tradisi, Ahmad menunjukkan bagaimana penyair dan filsuf Indo-Pakistan yang kecewa dengan Barat itu berupaya merancang sistem politik yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat muslim India.
Igbal menolak ide nasionalisme dan konsep negara-bangsa yang lahir dari paham sekularisme Barat. Akhirnya, Iqbal menemukan model negara berideologi Islam itu lahir di Pakistan. Iqbal mencita-citakan Pakistan yang saat itu belum terpisah dari India, namun kenyataannya, sekarang ketika Pakistan sudah berdiri sebagai negara yang merdeka, realitas politik yang pahit masih dihadapinya. Pada akhir diskusi, Ahmad menyeletuk, "Sebagai wacana, (otentisitas Islam -Red) bagus, tapi apa maunya dengan keotentikan itu?" tanyanya setengah menggugat.
Buku Robert D. Lee ini rencananya juga akan didiskusikan di Teater Utan Kayu, Jakarta, pada pukul 19.00 WIB, hari Kamis (4/5/200) mendatang. Sebagai pembicara dalam diskusi di Jl Utan Kayu 68 H ini adalah Ulil Abshar Abdala. (Kurniawan)
Politik Kristen di Indonesia, Sebuah Tinjauan Etis
Pendeta Saut Hamonangan Sirait
PT BPK Gunung Mulia
2000
Politik Kristen di Indonesia
Kajian yang Masih Banyak Lubangnya
T.Supriyadi
detikcom Senin, 29/5/2000
"Semula, buku ini merupakan tesis saya untuk memperoleh gelar Magister Theologiae di Sekolah Tinggi Theologi Jakarta. Dan judul aslinya Menuju Kota Setia: Sebuah Tinjauan Etis di Indonesia. Tapi, lagi-lagi kalah dengan kepentingan ekonomi. Sehingga, judulnya berubah seperti yang sekarang saudara-saudara lihat," ungkap Pendeta Saut Hamonangan Sirait, mengawali paparannya dalam Bedah Buku Politik Kristen di Indonesia, Sebuah Tinjauan Etis, di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Manahan Solo, Sabtu (27/5).
Selain Saut, hadir sebagai penanggap dalam acara yang digelar oleh Yayasan Advokasi dan transformasi Masyarakat (ATMA) Solo, bekerja sama dengan GMKI Solo dan Komisi Pemuda Lokal (Kompalok) GKJ Manahan Solo ini adalah Pendeta Indri Jatmiko dari GKJ Dagen, Palur, Solo.
Melalui buku ini, Saut mencoba merangkum historiografi peranan berikut konflik umat Kristen sejak masa kedatangan Portugis sampai jatuhnya Soeharto. Sayangnya, terlalu sedikit peran umat kristen yang diungkap dalam buku ini.Yang dominan justru perjalanan sejarah Kristen yang diawali dengan dikabarkannya Injil oleh Portugal yang kemudian peran itu digantikan oleh Belanda.
"Tapi, justru Belanda yang melakukan distorsi terhadap nilai-nilai Kristen di tanah air," papar Saut. Belanda, tambahnya, menggunakan agama sebagai alat bagi umat untuk patuh. Sehingga, perlawanan sipil yang ditasbihkan dalam Injil pun disalahartikan.
Namun, berbagai kelemahan dari buku ini banyak mendapat kritik dari para peserta. "Harusnya, Pendeta Saut Sirait bisa lebih memetakan peran gereja dan umat Kristen dalam konstalasi politik di Indonesia dengan melakukan periodisasi sejak masa kolonial Portugis sampai masa pasca Soeharto," kata salah seorang peserta.
Selain itu, paradigma "baru" yang ditawarkan buku setebal 258 ini juga belum jelas. Pasalnya, "Konsepsi yang ditawarkan Pak Saut lewat buku ini sangat strukturalis. Padahal sejarah telah membuktikan bahwa pendekatan tersebut justru membodohi massa rakyat," tambah peserta lainnya.
Sebenarnya, kritik terhadap buku terbitan PT BPK Gunung Mulia ini telah diungkapkan pula oleh Pendeta Eka Dharma Putra pada Kata Sambutan. "Topik bahasan Politik Kristen di Indonesia yang ditulis murid, adik, dan kawan seperjuangan saya ini, masih banyak lubang-lubang yang menganga," tulisnya.
Menanggapi banyaknya kritik peserta terhadap buku karya perdananya ini, Saut berkilah bahwa dia cukup sulit untuk mendapatkan data-data yang valid yang bisa digunakan untuk referensi. Oleh karena itu, pendeta kelahiran Porsea, 24 April 1962 ini, hanya bisa mengusahakan untuk memperbaikinya pada cetakan kedua. "Itu pun kalau ada proyek dan orang yang konsen terhadap buku ini," tambahnya berseloroh.
Meski banyak kekurangan di sana-sini, mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Anas Urbaningrum, memandang buku karya Wakil Sekretris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) ini cukup penting dalam menambah khasanah kepustakaan politik dan agama di tanah air. "Di atas segalanya, buku ini cukup bagus untuk khasanah kepustakaan politik dan agama yang saya rasa masih sangat jarang kita temukan," tulisnya dalam Kata Pengantar buku tersebut.
Kelangkaan buku jenis ini juga diungkapkan salah seorang peserta."Terus terang, saya cukup kesulitan untuk menemukan buku-buku tentang kristen, gereja, dan politik karya cendekiawan kristen sendiri di toko-toko buku. Dan kalaupun ada hampir seluruhnya adalah karya-karya orang Barat yang sarat dengan kepentingan kapitalis," ungkap Dina yang juga aktivis GMKI Solo."