On Writing: A Memoir of the Craft
Stephen King
Scribner
2001
Stephen King
Imajinasinya Lebih Liar daripada Novelnya
Kurniawan
Detikcom Kamis, 05/10/2000
Pengarang novel horor populer Stephen King biasanya hanya butuh waktu tiga bulan untuk mengarang satu buku. Tapi, untuk menyelsaikan otobiografinya yang baru dilucurkan hari Selasa (3/10/2000) di New York, Amerika, dia perlu waktu tiga tahun. "Otobiografi berjudul On Writing : A Memoir of the Craft tersebut mulai ditulis King di akhir tahun 1997. Namun, penulisan ini dihentikannya karena dia tak yakin bagaimana membuat ending buku itu. Jadilah buku itu disimpannya saja di laci meja kerjanya.
Setahun kemudian, King memutuskan untuk menyelesaikan buku itu. Draf buku itu pun dikeluarkannya kembali dan dia mulai menulis. Sialnya, pada akhir Juni 1999, King terpaksa masuk rumah sakit selama tiga minggu karena tertabrak mobil.
Setelah sembuh, ia memutuskan untuk menyelesaikan On Writing. Jerih payahnya berakhir dengan diterbitkannya On Writing: A Memoir of the Craft oleh penerbit Scribner. Bukunya itu berkisah tentang pengalaman hidupnya dan caranya menulis novel.
Buku yang terinspirasi oleh obrolan King dengan pengarang Amy Tan itu dibuka dengan kenangannya tentang proses penulisan buku ini. Lalu, dalam lembar-lembar memoar berikutnya, kehidupan masa kecilnya dilukiskannya dengan jernih.
King bercerita tentang kesukaannya membaca yang bagaikan orang kelaparan. Ia juga menuliskan bagaimana khayalannya semasa remaja mengembara melampaui cerita dalam buku-buku yang dibacanya. ""Yang kuinginkan adalah cerita monster-monster yang memakan seluruh kota, mayat-mayat korban radioaktif yang muncul dari laut dan memakan para peselancar, dan gadis-gadis dengan bra hitam yang tampak seperti pelacur pinggir jalan,"" tulisnya. Khayalannya ini diwujudkannya menjadi sebuah buku berjudul I Was a Teen-Age Graverobber.
Pada bagian-bagian berikutnya, King banyak mengungkapkan kisah di balik kelahiran novel-novelnya. Sebagian dari kisah ini sudah pernah terungkap di media massa, sebagian lagi hal-hal baru yang menarik untuk disimak. Dari buku ini pembaca bisa membayangkan bagaimana sebuah gagasan memasuki benak King dan mendorongnya untuk menulis.
Novel pertamanya yang populer, Carrie, lahir dari obrolan King dengan istrinya. Sang istri yang bersekolah di lingkungan SMA khusus putri itu bercerita tentang dua teman badungnya yang mati muda. Inilah yang jadi plot utama Carrie.
King pernah mengalami ketergantungannya pada kokain dan minuman keras. Pengalaman ini melatari lahirnya karakter penculik dalam Misery, monster-monster perasuk pikiran dalam The Tommy Knockers, dan karakter sang penulis dalam The Shining.
King juga menghidupkan kembali masa-masa kuliahnya dan masa ketika ia selamat dari tabrakan mobil yang hampir membuatnya mati. Kisah-kisah hidupnya mengalir deras, tapi fokusnya tetap satu: apa makna itu semua bagi kemampuan menulis. Ia seperti memberikan sebuah tool kit, sebuah kotak perkakas untuk penulis yang berisi daftar bacaan, tugas menulis, cerita yang sudah dikoreksi, plot dan karakter, dasar membuat paragraf, serta contoh-contoh cerita.
King menunjukkan apa saja yang bisa pembaca pelajari dari rampingnya kalimat-kalimat Ernest Hemingway atau keotentikan John Grisham. Pada bagian ini, King beralih peran dari pengarang menjadi seorang guru yang berbagi ilmu kepengarangannya."
Sisi Lain Mao Zedong
"Seorang wanita muda yang adil
Yang menunggu untukku di pojok kota
Tetapi tidak pernah melangkah pergi
Tinggal bersamaku sepanjang hari"
Mungkin Anda tak percaya bahwa penggalan bait ini adalah puisi karangan Mao Zedong, pemimpin tertinggi Partai Komunis Cina. Namun demikianlah adanya.
Seloka pendek ini dibikin Mao untuk kekasih Yao Shuxian, seorang wanita pelayan di kereta api khusus Mao. Saat itu, Yao lupa pada janjinya untuk bertemu dengan kekasihnya dan takut pula untuk mengatakannya. Karena itu, Mao khawatir kekasih Yao akan jadi sedih dan menuliskan bait puisi ini buatnya.
Ada suatu kala ketika sisi manusia dari seorang besar seperti Mao Zedong dibukakan tepat di depan hidung kita, ada kekagetan, keraguan, penolakan, dan barangkali juga keharuan. Tapi, itulah tujuan dari buku Mao Zedong, Manusia, Bukan Tuhan (Tarawang, 2000) ini, untuk mengungkap sisi manusiawi dari seorang pemimpin partai.
Buku yang diterjemahkan dari "Mao Zedong, Man Not God" karya Quan Yanchi ini sebagian besar merupakan tuturan yang bersumber dari Li Yinqiou, pengawal pribadi terakhir Mao. Banyak sisi keseharian Mao terungkap disini yang mungkin akan menunjukkan bahwa sebesar apapun Mao, dia tetaplah manusia biasa saja. (One)
Hirohito and the Making of Modern Japan
Herbert Bix
HarperCollins
2000
Menyanggah Kaisar, Membuka Luka Lama Jepang
Kurniawan
detikcom Rabu, 30/08/2000
Rasa bersalah memang tak mudah dilupakan. Itulah yang kini dialami Jepang terhadap masa lalunya. Apalagi, sebuah buku tentang Kaisar Hirohito baru terbit dan membuktikan keterlibatannya dalam Perang Dunia II. Luka pun dibuka kembali.
"Rasa bersalah memang tak mudah dilupakan. Itulah yang kini dialami Jepang terhadap masa lalunya. Apalagi, sebuah buku tentang Kaisar Hirohito baru terbit dan membuktikan keterlibatannya dalam Perang Dunia II. Luka pun dibuka kembali.
Sebelum wafatnya di tahun 1989, Hirohito digambarkan sebagai manusia setengah dewa yang tanpa senyum, dingin, dan berjarak. Dengan berpakaian militer di atas kuda putih, dialah kepala sebuah negara yang menjajah secara agresif dan membanggakan perang dan pengorbanan demi negara. "Hidupmu sama ringannya dengan sehelai bulu, tapi loyalitasmu sama beratnya dengan sebuah gunung," katanya kepada rakyatnya.
Kini, citra sang kaisar ditentang oleh sejarawan Amerika, Herbert Bix, dalam bukunya yang baru terbit, Hirohito and the Making of Modern Japan (HarperCollins, 2000). Buku ini pun segera memicu perdebatan di kalangan sejarawan Jepang.
Dalam buku setebal 800 halaman itu, Bix menunjukkan bahwa Hirohito terlibat secara langsung dan dalam pada Perang Dunia II. "Dia bukan Hitler atau Mussolini, tapi dia adalah seorang yang aktif, intervensionis, kaisar yang dinamik, yang menekankan sepanjang masa bahwa dialah yang membuat kebijakan nasional," kata Bix seperti dikutip Reuters, Selasa (30/8/2000).
Bix melukiskan sebuah gambaran rinci tentang seorang kaisar yang lebih dari sekedar tokoh, seorang yang dipersiapkan untuk berperan sebagai pemimpin perang sejak kecil dalam tradisi militeristik Jepang. Kala Hirohito menjadi kaisar, dia telah menguasai situasi militer dan diplomasi dan memainkan peranan aktif untuk mengarahkan strategi menyebar konflik dari Cina ke wilayah luas Pasifik.
Namun, argumen Bix dibantah oleh beberapa sejarawan lain. Diantaranya oleh Barbara Brooks, sejarawan dari Universitas New York dan pengarang sebuah buku tentang diplomasi kekaisaran Jepang. Menurut Barbara, setelah perang, orang-orang memutihkan kaisar dan Amerika juga turut berperan untuk mencoba membuatnya menjadi orang yang jauh dari proses politik dan perang.
Sementara, sejarawan Takashi Ito, mantan profesor di Universitas Tokyo, menyatakan bahwa "Premis dasarnya adalah bahwa Amerika punya hak pada pihaknya (dalam perang) dan bahwa Jepang tidak, tapi dalam suatu perang, ada hak bagi kedua belah pihak". Ito juga beranggapan bahwa gambaran tentang Hirohito sebagai seorang yang aktif itu berlebihan. "Peran kaisar adalah untuk menandatangani hal-hal yang diputuskan kabinet dan tentu saja dia punya pendapatnya sendiri dan memberikannya dan mencoba untuk mendapatkan beberapa pengaruh," katanya kepada Reuters. "Tapi, secara umum pengaruhnya sebagai individu sangatlah terbatas," lanjutnya.
Selama lebih dari lima dekade setelah perang berakhir, topik tentang kebersalahan atas perang masih memancing emosi di Jepang. Memang, Jepang telah menyatakan permintaan maafnya secara resmi kepada negara-negara tetangganya. Kepada Indonesia, Jepang bahkan memberi sejumlah "ganti rugi" kepada jugun ianfu yang menjadi korban balatentara Jepang semasa pendudukan Jepang atas Republik Indonesia. Namun, hingga kini, berbagai kritik masih terus dilontarkan dari sana sini.
Sumitro Djojohadikusumo: Jejak Perlawanan Begawan Pejuang
Aristides Katoppo (ketua tim penulis), Hendra Esmara, Heru Cahyono, Robert Palandeng (editor)
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
979-416-632-4 c
15/11/01
Biografi Sumitro Djojohadikusumo
Keluarga Sumitro vs. Keluarga Cendana
oleh Kurniawan
detikcom - Jakarta Kamis, 08/06/2000
Tahun itu 1998, tahun kala Indonesia mengalami kegoncangan ekonomi yang luar biasa. Hubungan Presiden Soeharto dan pakar ekonomi Sumitro Djojohadikusumo makin renggang. Sikap terbuka Sumitro --meski dia besan Soeharto-- untuk terus mengritik kebijakan ekonomi politik RI-1 itu malah makin meningkatkan rasa tidak suka Soeharto kepada keluarga Sumitro.
Tahun itu 1998, tahun kala Indonesia mengalami kegoncangan ekonomi yang luar biasa. Hubungan Presiden Soeharto dan pakar ekonomi Sumitro Djojohadikusumo makin renggang. Sikap terbuka Sumitro --meski dia besan Soeharto-- untuk terus mengritik kebijakan ekonomi politik RI-1 itu malah makin meningkatkan rasa tidak suka Soeharto kepada keluarga Sumitro.
Angin buruk politik makin berhembus kencang. Soeharto memendam prasangka buruk bahwa Letjen Prabowo Subianto --putra ketiga Sumitro-- bersama-sama Habibie sedang menggalang persekongkolan untuk membangkangnya. Isu bahwa "putra mahkota" Prabowo hendak mendongkel sang raja telah menyebar di masyarakat.
Prabowo
Salah satu bagian yang menarik dari buku ini adalah versi lain tentang apa yang terjadi pada masa kritis di Indonesia itu. Dengan mengandalkan sumber utama Sumitro dan tujuh nara sumber lain, serta dilengkapi dengan referensi berbagai buku, artikel, serta kliping berita di majalah dan koran, tim penulis buku ini mengungkap peristiwa itu dari sisi lain, yakni konflik yang cukup keras antara dua keluarga besar dan berpengaruh, Keluarga Sumitro dan Keluarga Cendana.
Versi yang diberikan mungkin sudah banyak orang duga atau sempat menjadi isu, namun, kelebihan buku ini adalah pengakuan yang dikeluarkan langsung dari Sumitro yang mempertegas fakta-fakta yang kabur itu. Dengan terang, Sumitro menunjukkan bagaimana hubungannya dengan Soeharto pada 10 tahun terakhir itu makin memburuk, terutama karena kritikan pedas dan nasehat pribadinya kepada Orang Nomor Satu itu soal Soeharto yang memberikan proyek bisnis kepada anak-anaknya.
Hubungan Prabowo dengan Bambang, Tutut, Mamiek, dan Tommy juga menjadi dingin. "Semua anak Soeharto mendendam kepada Bowo (Prabowo -Red). Cuma Sigit yang sedikit netral," ungkap Sumitro. Prabowo pernah menentang pembelina tank dan pesawat lantaran mark up-nya mencapai empat kali lipat dari harga sebenarnya dan dengan ketus menyebut perbuatan itu sebagai penjarahan! (hal. 426)
Kalau berselisih paham dengan Prabowo, maka anak-anak itu akan mengadu pada ayahnda tercintanya, Soeharto. Rupanya, tindak tanduk Sumitro dan keluarganya makin tak berkenan di hati Keluarga Cendana. Sebenarnya, menurut Sumitro, Soeharto termakan isu yang dihembuskan putra-putrinya.
Di sisi lain, sebarisan perwira tinggi di ABRI telah lama memendam kecemburuan dan kebencian pada Prabowo. Tentu saja karena karier Prabowo yang menanjak dengan sangat pesat. Salah satu yang tidak lagi menyembunyikan perasaan bencinya adalah Pangab Jendral Wiranto. Bersama kelompoknya, niscaya Wiranto dalam posisi terus mengintai, dan bahkan mungkin sebagai pihak yang berusaha mengambil inisiatif. (hal. 429)
Tanggal 21 Mei 1998, Soeharto lengser. Keluarga Cendana marah besar kepada Prabowo. "Kamu kemana saja dan mengapa membiarkan mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR?" kata Tutut dan Mamiek memarahi Prabowo. Prabowo dengan sengit balik bertanya, apakah ia harus menembaki para mahasiswa itu! (hal. 427)
Namun, Wiranto melihat peluang untuk menghempaskan Prabowo. Kabarnya (penulis buku ini mengutip keterangan dari sumber yang dapat dipercaya, tak jelas apakah itu Sumitro sendiri ataukah orang lain), Wiranto sekitar tanggal 21 Mei itu mengeluh kepada Soeharto mengenai pergerakan Prabowo, Soeharto pun langsung "menginstruksikan" agar Prabowo segera dilepaskan dari pasukan. "Copot saja Prabowo dari Kostrad!" katanya (hal. 429).
Prabowo resmi dicopot tanggal 25 Mei 199. Malam hari sebelum pengumuman, Prabowo menelepon ayahnya. "Saya dikhianati," katanya. "Papi nggak percaya kalau saya bilang, saya dikhianati oleh mertua. Dia bilang kepada Wiranto, dingkirkan saja Prabowo dari pasukan," tambah Prabowo (hal. 429). Prabowo belakangan diberhentikan sama sekali dari masa kedinasannya setelah Dewan Kehormatan Perwira yang diketuai Kasad Jendral Subagyo HS memberi sanksi sehubungan dengan dengan kasus penculikan yang dilakukan Tim Mawar Kopassus, antara bulan Februari 1998 hingga Maret 1998.
Buku ini mengungkapkan taktik dan tipu daya dari langkah Wiranto. Wiranto mulanya mengambil simpati publik dengan memahmilkan beberapa oknum Kopassus. Lalu membuka sesegera mungkin kasus penculikan yang melibatkan Prabowo, sehingga dia bisa menggeser Prabowo.
Sumitro membaca ketidakberesan tindakan Wiranto pada masa kritis bulan Mei. Pada tanggal 14 Mei itu, Jakarta mengalami kekosongan perwira tinggi ABRI, karena Wiranto ngotot untuk memberangkatkan semua jenderal penting ke Malang guna menghadiri upacara peralihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) dari Divisi I ke DIvisi II. Padahal sudah ada info bahwa akan ada kerusuhan dan Prabowo sudah pula mengingatkan untuk menunda acara itu.
Mengenai hal ini, Sumitro menilai sikap Wiranto sangatlah janggal dan menduga keras tersembunyi maksud-maksud terselubung mengapa ia "mengungsikan" para pimpinan pasukan keluar Jakarta (hal. 436). Sedangkan isu-isu yang mneyerang Prabowo, bagi Sumitro, adalah propaganda hitam yang dijalankan para pembenci anaknya itu.
Begawan
Sisi kehidupan Prabowo ini mengambil tempat yang tak banyak, hanya empat bab dari 46 bab dalam buku setebal 504 halaman ini. Wajar saja, karena bagian itu, meski aktual, tapi hanya terjadi beberapa tahun dari 83 tahun kehidupan putra Raden Mas Margono Djojohadikusumo. Bagian lainnya banyak melukiskan perjalanan hidup Sumitro sejak kecil, berkelana ke Belanda, Prancis, balik ke Indonesia, mengalami masa Orde Lama, jadi pemberontak, lari ke Singapura, jadi menteri pada masa Orde Baru, membangun Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, hingga dikenal sebagai ahli ekonomi yang mumpuni.
Jalan hidupnya memang ditakdirkan sebagai seorang cendikiawan. Lelaki kelahiran Kebumen, 29 Mei 1917, itu meraih gelar doktornya di Nederlandse Economise Hogschool, Rotterdam, Belanda, pada 11 Maret 1943 dengan disertasi berjudul Het Volkscredietwezen in de Depressie (dalam bahasa Indonesia: Kredit Rakyat di Masa Depresi, LP3ES, 1989).
Sebelumnya, Sumitro pernah pula mengembara ke Prancis, belajar filsafat dan sejarah di Universitas Sorbonne. Di kota itu pula, Sumitro muda mulai bergabung dengan kelompok sosialis dan melakukan perjalanan intelektual. Sedikitnya, ada empat tokoh yang memepngaruhinya pada saat itu: Andre Malraux, Jawaharlal Nehru, Henri Bergson, dan Henri Cartier-Bresson. Kepada mereka dia belajar banyak tentang pengabdian, perlawanan, keadilan sosial, dan kekonsistenan hidup.
Nama Sumitro tentu tak bisa dilepaskan dari usahanya untuk membangun Fakultas Ekonomi UI. Dia ingin menjadikannya Jakarta School of Economics yang punya integritas. Dari sana, lahirlah orang-orang seperti Widjojo Nitisastro, Barli Halim, JB Sumarlin, dan Ali Wardhana.
Dalam usia 33 tahun, dia telah dipercaya untuk menjadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian RI. Dunia pun mengakui kepakarannya. PBB pernah mengangkatnya sebagai anggota "lima ahli dunia" yang bertugas menyusun laporan ke lembaga dunia itu (1953). Dia pun diangkat sebagai anggota dari seven eminent persons yang bertugas menyusun rekomendasi untuk General Agreement on Tariffs and Trade. Erasmus University Rotterdam memberikan gelar doctor honoris causa kepadanya.
Namun hidup Sang Begawan ini tidaklah selancar namanya yang gemilang. Sumitro harus mengalami masa sulit ketika sekolah di luar negeri. Dia juga konflik dengan Soekarno, bergabung dengan PRRI/Permesta dan menjadi pemberontak. Sepuluh tahun dari hidupnya kemedian dijalaninya di luar negeri sebagai pelarian. Kembali ke Indoensia, dia sempat menjadi menteri, toh begitu, pada akhirnya badai pun menerpa keluarganya di senja usianya.
Smiling in the face of adversity/ Contemptous of danger/ Undaunted in defeat/ Magnanimous in victory (Tersenyum menghadapi kemalangan/ Berani menantang bahaya/ Tegar dalam kekalahan/ Rendah hati akan kemenangan). Demikian pedoman hidup seorang ksatria menurut Sang Begawan itu. Pedoman dalam bentuk sajak itulah yang ditanamkannya pada putra-putrinya untuk tetap bertahan dalam segala kesulitan keluarga besar itu. Itulah yang hendak digambarkan buku yang penuturannya lancar, jernih, dan berbobot ini.
Judul : Revolusi Rakyat Che Guevara
Penerjemah : Ruslani
Penerbit : Teplok Press, Jakarta
Waktu terbit: Mei 2000 (Cetakan II)
Judul : Che Guevara Sang Revolusioner
Penerjemah : Kurniawan Adi Saputro
Penerbit : INSIST PRESS, Yogyakarta
Waktu terbit: April 2000
Tebal : 188 Halaman
Judul : Sikap Politik Che
Penerbit : Yayasan Litera Indonesia, Yogyakarta
Waktu Terbit : Mei 2000
Tebal : 102 halaman
Judul : Catatan Revolusioner Che
Penerbit : Yayasan Litera Indonesia, Yogyakarta
Waktu Terbit : Mei 2000 (Cetakan II)
Tebal : 112 halaman
Che Guevara
Wajah Sang Legenda dalam Empat Buku
oleh T. Supriyadi dan Kurniawan
detikcom - Jakarta Rabu, 19/07/2000
Dia jadi ikon revolusi yang potretnya melekat di kaos oblong, poster, pin, dan aksesori lainnya. Kalimat "Hasta la victoria siempre!" yang ditulisnya kepada Castro saat meninggalkan Kuba telah menjadi salam heroik anak-anak muda.
Apa boleh buat, Che Guevara telah menjadi tokoh legendaris abad XX. Dia jadi ikon revolusi yang potretnya melekat di kaos oblong, poster, pin, dan aksesori lainnya. Kalimat "Hasta la victoria siempre!" yang ditulisnya kepada Castro saat meninggalkan Kuba telah menjadi salam heroik anak-anak muda. Sementara, kisah-kisah revolusionernya saat bergerilya banyak dibukukan.
Di Indonesia sendiri, setidaknya ada empat buku tentang Che dengan gambar sampul sama dan isi yang hampir tidak berbeda beredar hampir serentak di pasaran, yakni Revolusi Rakyat Che Guevara (Teplok Press), Che Guevara Sang Revolusioner (Insist Press), dan dua buku yang dicetak Yayasan Litera Indonesia dengan judul Sikap Politik Che dan Catatan Revolusioner Che. Tentulah Anda para penggemar buku perlu memilih buku-buku mana yang tepat dengan kebutuhan dan keinginan Anda.
Che Guevara
Secara umum keempat buku tersebut melukiskan riwayat -baik pendek atau panjang- dari kehidupan Che yang heroik. Che dilahirkan secara prematur di Rosario pada 14 Juni 1928. Sang ayah kemudian memberi nama yang sama dengan dirinya, Ernesto Guevara. Nenek moyang Che dari garis ayah adalah Juan Antonio Guevara. Sedangkan ayahnya adalah keturunan Vieroy Liniers, bangsawan Argentina awal yang berperang melawan diktator Juan Manuel Ramos, tapi gagal dan melarikan diri di pengasingan sekitar tahun 1850 dan berakhir di California.
Sama dengan ayahnya, ibu Che, Celia de la Serna, juga keturunan bangsawan. Che adalah anak sulung dari lima bersaudara. Adik-adiknya yang lain adalah Celia (lahir 1930), Roberto (lahir 1931), Anna Maria (lahir 1932), dan si bungsu Juan Martin (lahir 1941).
Pada usia empat tahun Che diboyong keluarganya ke Kordoba dan tinggal di kota Alta Gracia. Di sinilah Che menghabiskan masa kecilnya. Tapi, tidak seperti kebanyakan anak pada umumnya, Che tidak bisa mengikuti sekolah dasarnya hingga ia berusia tujuh tahun. Penyakit asma yang dideritanya memaksa Che untuk tinggal di rumah. Baru pada tahun-tahun berikutnya Che bisa mengikuti pelajaran di sekolah. Di sinilah, pada usia 11 tahun, debut politiknya tampak dengan mengorganisir kawan-kawannya untuk menyerang setiap lampu tunggal di seluruh kota dengan ketapel. Saat itu para pekerja lampu melakukan pemogokan di seluruh provinsi dan sebuah perusahaan berupaya menyewa orang untuk menghentikannya.
Setelah menyelesaikan sekolah dasarnya, Che pindah ke Kordoba, ibu kota provinsi dengan nama yang sama. Tepatnya pada tahun 1943. Di kota inilah Che melanjutkan sekolahnya dengan biaya sendiri. Maklum, pada saat bersamaan orang tuanya mengalami kebangkrutan usaha. Tapi, Che merampungkan sekolahnya dengan baik. Pada masa ini aktivitas Che di dalam politik semakin tinggi. Lelaki itu lalu memutuskan bergabung dalam Civico Revolucionario Monteagudo, kelompok anak muda nasionalis yang akhirnya lebih banyak menentang diktator Juan Peron dalam aksi-aksi jalanan ketimbang larut dalam perdebatan-perdebatan politis.
Pada usia 19 tahun, Che melanjutkan sekolahnya ke University of Buenos Aires sebagai mahasiswa paramedis. Menjadi mahasiswa ternyata belum juga mengubah nasib Che. Ia tetap saja harus bekerja untuk biaya kuliahnya. Menjadi penjaga malam, wartawan untuk mingguan ultranasionalis Accion Argentina, dan juru tulis untuk sebuah perusahaan konstruksi.
Pada bulan Maret 1953, Che berhasil menyelesaikan kuliahnya dan mendapatkan gelar Medical Doctor-nya. Tapi, tidak seperti laiknya dokter, Che sama sekali tidak membuka praktik atau pun bekerja di rumah sakit. Che justru pergi dan melakukan perjalanan kembali seperti pernah dilakukan sebelumnya.
Perjalanan inilah yang di kemudian hari mempertemukan Che dengan Fidel Castro. Tepatnya, pada musim panas 1955 di Meksiko, saat Fidel masih dalam pengasingan. Keterlibatan Che dalam revolusi Kuba dimulai. Che menjadi dokter, meski sejak semula menolak dan menganggap dirinya sebagai pejuang. Memang dalam perjalanan selanjutnya keterlibatan Che bukan hanya sebatas mengobati dan merawat prajurit Castro yang terluka, tapi juga memanggul dan memberondongkan peluru ke pasukan musuh.
Peran Che yang demikian ini telah membawanya ke karier militer pasukan Castro dengan cepat. Setelah tiga tahun bergabung, Che sudah menjadi comandante (mayor, pangkat tertinggi dalam pasukan itu). Sampai kemudian Che memberikan kemenangan terhormat bagi rakyat Kuba pada 4 Januari 1959. Che selanjutnya bukan lagi sebagai warga Argentina, tapi jadi warga negara Kuba yang disahkan oleh Dewan Menteri Kuba pada 9 Januari 1959, dan sekaligus menjadikan "Che" yang dalam bahasa Argentina berarti "Bung" atau "Kawan Baik" sebagai nama depannya.
Che akhirnya menemui ajalnya dalam sebuah pertempuran di Bolivia, setelah sebelumnya dia mencurahkan perhatiannya untuk kemajuan Kuba dengan menjabat sebagai Direktur Bank Nasional, Ketua Departemen Perindustrian, selain tentunya menjadi delegasi Kuba dalam berbagai forum internasional.
Laris
Ketokohan Che tampaknya menjadi magnit tersendiri bagi pembaca yang kebanyakan kaum muda untuk menyerbu toko buku. Buktinya, dua di antara empat buku yang beredar, telah mengalami cetak ulang untuk kedua kalinya. Revolusi Rakyat Che Guevara hanya butuh waktu 30 hari untuk dicetak ulang oleh Teplok Press. Sedangkan Sikap Politik Che yang dikemas dalam bentuk buku saku dicetak ulang setelah empat bulan setelah cetakan pertamanya beredar di pasaran.
Larisnya buku-buku Che ini nampaknya tidak lepas dari tren maraknya buku kiri. Tapi, apakah buku-buku itu dipelajari atau sekedar dipajang di lemari buku tampaknya perlu satu studi tersendiri.
Terlepas dari itu, yang jelas kehadiran buku-buku tersebut semakin menambah perbendaharaan bacaan masyarakat. Di samping itu, banyaknya buku yang mengungkap satu tokoh memberikan peluang kepada pembaca untuk menafsir secara komprehensif. Hanya saja perlu hati-hati, karena tidak sedikit yang memiliki kualitas rendah.
Revolusi Rakyat Che Guevara yang diterbitkan Teplok Press boleh dibilang menjadi buku yang isinya memuat kisah Che paling lengkap bila dibandingkan tiga buku lainnya. Dengan tebal 348 halaman, buku ini menyajikan kisah Che secara detail. Secara runtut buku ini menuturkan masa kecil Che, Perang Gerilya, serta gagasan Che baik dalam forum maupun artikel.
Pada bagian awal, pembaca diajak berkenalan dengan Che, orang tua dan keluarganya, teman-teman, dan awal mula ketertarikan Che dengan dunia politik. Juga sisi-sisi lain Che yang "lucu" (hal. 1-52). Bagian ini sekaligus menjadi kekuatan buku yang sampulnya didesian oleh Buldanul Khuri. Pada tiga buku yang lain hal tersebut justru tidak mendapatkan perhatian.
Selanjutnya, pembaca diajak untuk mengikuti penuturan panjang Che selama mengikuti Perang Gerilya (hal. 55-201). Pada bagian inilah pembaca dapat menemukan sosok revolusioner seorang Che, dengan sedikit bumbu romantisme. Dalam bagian ini pula kita dapat menemukan konsistensi sikap Che yang menganggap Perang Gerilya adalah satu-satunya jalan untuk membebaskan rakyat yang tertindas.
Selesai bertutur tentang perang gerilya dan kemenangan yang diraih, Che dalam buku ini mengingatkan bahwa tugas revolusi belum selesai. Masih berjalan dan terus berjalan untuk mengakhiri keterbelakangan (hal. 202). Che juga menekankan pentingnya kerelaan untuk berkorban dalam revolusi (hal. 209), dan pentingnya militansi partai (hal. 300) serta tidak perlunya birokrasi yang berbelit-belit (hal. 322).
Demam Kiri
Berbeda dengan Revolusi Rakyat Che Guevara yang diterbitkan Teplok Press, Insist Press lebih memilih Che Guevara Speak karya Goerge Lavan untuk diterbitkan dengan judul Che Guevara Sang Revolusioner. Tampil dengan judul mencolok, Insist Press tampaknya ingin menarik kaum muda yang sedang "demam kiri" untuk membeli buku ini. Namun, sepertinya pembaca tidak akan menjumpai
sosok Che yang revolusioner itu dalam buku ini. Karena, Pidato, artikel, wawancara, serta surat Che Guevara yang disajikan buku ini tak serevolusioner judulnya.
Menjadikan buku ini sebagai panduan untuk berorasi saat demontrasi ataupun berpidato di forum resmi mungkin akan lebih baik bagi pembaca. Selain retorika yang bagus, kemampuan Che menarik benang merah setiap persoalan berikut solusinya adalah sesuatu yang pantas ditiru.
Ketokohan Che telah membawa berkah bagi para penerbit, termasuk Yayasan Litera Indonesia ini. Tanpa penjelasan jelas tentang sumber tulisan, buku Catatan Revolusioner Che tetap saja laku. Bahkan setelah Januari lalu mencetak edisi I, bulan Mei Yayasan yang bermarkas di Yogyakarta ini telah mengeluarkan cetakan II. Bukan itu saja, pada bulan yang sama Yayasan ini juga menerbitkan lagi buku tentang Che dengan judul berbeda, Sikap Politik Che.
Kedua buku ini nyaris sama. Dari sampul sampai isi. Yang membedakan hanyalah pada bab-bab terakhir di mana pada Catatan Revolusioner Che memuat keterlibatan Che di PBB dan Konferensi Asia Afrika, sedangkan dalam Sikap Politik Che yang ditampilkan adalah surat-surat Che kepada anak-anaknya, orang tuanya dan juga suratnya untuk Fidel Castro.
Perbedaan yang lain hanya terlihat dalam riwayat singkat Che dan "Kader Tulang Punggung Partai" yang boleh dikatakan merupakan bagian kecil dari bagian awal (hal. 1-52) dan bagian akhir (Perihal Militansi Partai, hal. 300) dari buku Revolusi Rakyat Che Guevara terbitan Teplok Press. Selebihnya, buku ini tidak memiliki keistimewaan lain. (one)
Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid: Gagasan dan Pemikiran
Ahmad Bahar
Bina Utama, Jakarta,
1999
Biografi Politik Gus Dur
Merajut Cerita Secara Ringkas
oleh Kurniawan
detikcom Kamis, 08/06/2000
Adalah Rubi'ah, guru bahasa Inggris yang telah memaksa Abdurrahman Wahid untuk membaca. Paksaan yang kelak menjadikannya orang yang haus akan karya-karya Lenin, Gramsci, Mao Zedong, dan pemikir-pemikir dunia lainnya. Sedangkan pemikiran yang liberal, progresif, dan inklusif, yang menempatkan negara dalam Islam sebagai hukum, adalah karena kuatnya pengaruh khasanah intelektual Sunni tradisional dalam diri Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang sekarang menjadi presiden Republik Indonesia itu.
"Gus Dur adalah tokoh NU (Nahdatul Ulama) yang kontroversial dalam sejarah politik negeri ini. Sejak pendirian pertama ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia), dia telah menolak masuk organisasi pimpinan BJ Habibie itu. Gus Dur memandang ICMI yang juga menempatkan salah seorang pamannya, KH. Yusuf Hasyim, sebagai pengurus, mengandung benih-benih primordialisme dan cenderung eksklusif. Ketika Ketua Umum PB NU ini nampak mesra dengan mBak Tutut setelah sebelumnya bergandengan dengan Megawati, orang-orang pun meributkannya. Sampai akhirnya, deklarator PKB ini menduduki kursi kepresidenan, banyak orang masih tercengang setengah tak percaya. Tapi, itulah Gus Dur.
Demikian secara ringkas, Ahmad Bahar memaparkan perjalanan Kiai Abdurrahman Wahid dan menyajikannya dalam buku yang terkemas praktis. Sebuah buku biografi tokoh politik terkenal yang tidak tebal dan dengan bahasa yang sederhana. Tidak perlu waktu lama untuk membaca karya ini.
Ahmad Bahar menjalin isi bukunya dari berbagai sumber, baik buku maupun kliping koran dan majalah. Kerjanya ibarat perajut yang rajin. Tak ada yang baru yang ditawarkan buku ini, namun upaya Bahar untuk memperkenalkan sosok Gus Dur secara agak luas dalam format buku saku memang patut dihargai. Pengalamannya menulis biografi politik sejenis untuk tokoh Megawati Soekarnoputri dan Amien Rais nampaknya telah membiasakan dirinya untuk menulis secara ringkas, sederhana, dan sekomperhensif mungkin. Buku ini cukup baik sebagai pengantar bagi kalangan yang awam sekali terhadap sosok Gus Dur atau orang yang malas membaca biografi yang panjang-panjang.
Teras Terlarang: Kisah Masa Kecil Seorang Feminis Muslim
Fatima Mernissi, Nurul Agustina (Pengantar), Ahmad Baiquni (Penerjemah)
Mizan, Bandung, 1999
Kisah Feminis Muslim
Menyeberangi Batas-Batas
Kurniawan
detikcom Senin, 03/07/2000
Buku ini mengungkap bagaimana seorang Fatima dibesarkan di sebuah harem di Fess, Maroko, dan seiring waktu bergulir dia tumbuh di tengah lingkungan yang juga berubah dan keingintahuan yang terus bertambah.
"Ketika Allah menciptakan bumi, kata ayah, Dia memisahkan kaum lelaki dari kaum perempuan, dan meletakkan lautan di antara kaum Muslim dan kaum Kristen karena suatu alasan. Kedamaian hanya akan terwujud jika setiap pihak menghormati batas-batas pihak lain; melampaui batas-batas itu hanya akan membawa penyesalan dan kepedihan. Akan tetapi, kaum perempuan selalu bermimpi untuk melintasi batas-batas itu," demikian Fatima Mernisi menuturkan satu persatu batu-batu gagasn yang membangun dirinya menjadi seroang feminis di kemudian hari.
Buku ini mengungkap bagaimana seorang Fatima dibesarkan di sebuah harem di Fess, Maroko, dan seiring waktu bergulir dia tumbuh di tengah lingkungan yang juga berubah dan keingintahuan yang terus bertambah. Dia terus bermimpi di tengah kungkungan harem dan melampauinya, menyeberang ke dunia sana, yang asing dan penuh pesona.
Di dunia sana itu dijumpainya gagasan dan pengalaman tentang seks, kecantikan, kumis, dada, lelaki, perempuan, rokok, dan sebagainya. Fatima menyusurinya dalam tarikan yang kuat dari tradisi yang mengakar dan Islam yang dianutnya. Dia menggali gagasan tentang kebebasan dan pemberontakan perempuan dari dongeng 1001 malam dan orang-orang di sekitarnya.
Available Light: Anthropological Reflections on Philosophical Topics
Clifford Geertz
Princeton University Press
Juni 2000
0691049742
Available Light
Kala Geertz Memasuki Filsafat
Kurniawan
detikcom Senin, 03/07/2000
Para sarjana Indonesia tentulah sangat familiar dengan nama Clifford Geertz. Lewat hasil penelitiannya yang dibukukan, The Religion of Java (1960), kita kemudian mengenal trikotomi santri-abangan-priyayi yang hingga kini masih populer digunakan dalam analisa kebudayaan masyarakat Jawa.
Buku-buku Geertz banyak diterjemahkan ke Indonesia. Bahkan, kumpulan esai dan kuliahnya yang ditulis selama dua dekade terakhir juga telah diterjemahkan dan menjadi karya klasik Geertz, Tafsir Kebudayaan (Kanisius, 1990) dan Kebudayaan dan Agama (Kanisius, 1990). Dalam buku tersebut, esai-esai yang ditulis dengan argumen-argumen yang kuat makin meneguhkan posisi Geertz sebagai antropolog. Tampak disana bahwa Geertz tak cuma tampil sebagai seorang antropolog, tapi sudah mulai mengkritisi antropologi itu sendiri.
Belakangan, satu buku tentang catatan perjalanannya melakukan penelitian di beberapa negara selama empat dekade telah pula diterbitkan dengan tajuk After The Fact: Dua Negara, Empat Dekade, Satu Antropolog. Dalam buku ini, tak cuma cerita suka dukanya sebagai peneliti dan karirnya dalam antropologi, tapi juga refleksinya terhadap apa yang selama ini dilakukannya.
Geertz rupanya sudah memasuki tahapan reflektif terhadap ilmu yang selama ini dipelajari dan digunakannya. Perlahan refleksinya mulai memasuki ranah filsafat, terutama filsafat kebudayaan dan epistemologi.
Hal ini makin tegas, setelah buku terbarunya terbit dengan judul Available Light: Anthropological Reflections on Philosophical Topics. Dalam esai-esai sepanjang 2604 halaman ini, dia mengkritisi penilaian-penilaian moral yang selama ini tak terhindarkan dipakai para antropolog terhadap subjek yang dibahas. Bagaimana bisa, seorang asing masuk ke suatu kebudayaan lain, menelitinya, dan menilai kebudayaan tersebut dalam suatu perspektif tertentu? Kesesatan tafsir berpeluang besar terjadi disini.
Dalam jaket buku ini, penerbit mencatat bahwa "Clifford Geertz mengeksplorasi hakikat karya antropologinya dalam hubungan dengan sebuah publik yang lebih terbatas. Refleksinya melibatkan kita dalam topik-topik yang membentang dari relativisme moral ke hubungan antara perbedaan psikologis dan budaya, dari keragaman dan tekanan di antara kepercayaan-kepercayaan aktivis sampai "konflik etnis" pada politik saat ini"."
30 Top Pengacara Muda Memasuki Milenium Ketiga
Jurnalis 2000, Ir. Deni Boy (Koordinator), Ir. Indra Utama, Budi Sanjaya, SH, Tim Editor Balai Pustaka
PT Balai Pustaka
April 2000
979-666-354-6
30 Pengacara Muda
Tentang Karir dan Pandangan Hidup Mereka
Kurniawan
detikcom Jumat, 11/08/2000
Mungkin belum banyak yang tahu, ada banyak pengacara muda Indonesia yang sukses berprofesi sebagai pengacara.
"Sebagai salah satu bisnis jasa di bidang hukum, profesi pengacara dirasa sangat penting untuk menyelesaikan kasus-kasus tertentu. Apalagi menjelang era perdagangan bebas, para pengacara Indonesia harus siap bersaing dengan para pengacara dari luar negeri. Berangkat dari situlah Tim Jurnalis 2000 menyusun sebuah buku bertajuk 30 Top Pengacara Muda Memasuki Era Milenium Ketiga.
"Sungguh bukan suatu hal mudah untuk bisa mewawancarai para pengacara muda yang senantiasa sibuk dengan aktivitasnya. Tapi untunglah berkat kerja keras dari Tim Jurnalis 2000, akhirnya bisa terangkum 30 nama para pengacara muda yang telah sukses berkiprah di bidang ini," ujar Ir. Deni Boy koordinator tim tersebut kepada Detikcom.
Buku ini merangkum riwayat hidup dan karir 30 pengacara muda. Semuanya dikerjakan oleh enam wartawan dan dua fotografer. Dari 100 nama pengacara, akhirnya dipilih 30 nama, termasuk Sekretaris Tim Advokasi TNI Yan Juanda Saputra SH, pengacara wanita spesialis kelautan Dr Hj Chandra Motik Y Djemat SH, pengacara khusus perbankan Desri Novian, konsultan hukum spesialis kekayaan intelektual Imam Sjahputra SH, dan pimpinan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Apong Herlina SH.
Eggi Sudjana: Menggapai Bulan, Meraih Bintang
Eksponen Pemuda Bulan Bintang
Keluarga Besar Bulan Bintang
Maret 2000
Eggi Sudjana
Biografi dari Suntingan Media Massa
Kurniawan
detikcom Senin, 03/07/2000
Inilah sebuah biografi ringkas Eggi Sudjana versi Partai Bulan Bintang. Tiga perempat isinya merupakan suntingan artikel berbagai media massa. Siapakah Eggi sebenarnya?
"Inilah sebuah biografi ringkas Eggi Sudjana versi Partai Bulan Bintang, partai tempat Eggi sendiri banyak berkiprah dalam politik nasional. Isinya menyusuri kembali jejak-jejak langkah aktivis Islam lulusan Institut Pertanian Bogor ini. Berbeda dengan kebanyakan biografi, buku ini buknalah sebuah tulisan yang padu yang menyoroti satu sosok saja. Buku tipis ini kebanyakan justru diisi oleh artikel-artikel (baik berita maupun wawancara) mengenai Eggi yang dimuat di berbagai media massa. Tiga perempat isinya merupakan suntingan artikel-artikel tersebut.
Sebagai pengantar dasar mengenai pribadi Eggi, buku ini boolehlah direkomendasikan untuk dibaca. Namun, untuk mendapat potret yang utuh, nampaknya dibutuhkan satu buku lagi yang lebih sistematis dan dan padu memaparkan sosok Eggi dan Partai Bulan Bintang sendiri."
Muhammad Ali
Suatu kali, petinju legendaris Muhammad Ali mengaku kepada mantan penulis majalah Sports Illustrated, Mark Kram, bahwa dia dan Joe Frazier berangkat ke Manila untuk pertandingan legendaris ketiga mereka "sebagai juara-juara, dan kami pulang sebagai orang gaek". Namun, tinju bagi orang-orang gaek itu adalah olahraga yang tak akan terlupakan. Suatu kali, keduanya sahabat. Tapi, di lain kali, pertandingan yang menakutkan dan perbedaan pandang soal ras telah menghancurkan hubungan mereka.
Kini, Mark Kram, peliput tinju tahun 1960-an dan 1970-an, menulis sebuah karya mencampur sejarah dan biografi berjudul "Ghosts of Manila: The Fateful Blood Feud Between Muhammad Ali and Joe Frazier" (HarperCollins, Mei 2001). Kram memotret Ali dan Frazier dan hubungan mereka satu sama lain selama bertahun-tahun. Kram menyusurinya dan menemukan titik pertemuan itu pada pertandingan tinju kelas berat antara Ali dan Frazier di Manila pada tahun 1975 dan terkenal dengan sebutan Thrilla in Manila.
Di bukunya ini, Kram maunya jadi seorang revisionis dengan pandangannya yang tak selamanya positif kala menguliti sosok Ali. Ali terlanjur jadi ikon dengan mitos yang tumbuh bersamaan dengan simpati publik atas kondisi fisiknya kini. Sementara, Frazier hidup dalam kepahitan. Dia jadi mantan petinju yang dikelilingi keluarga dan teman-teman yang secara tak adil memandangnya rendah. Kram pada intinya ingin menunjukkan hal sederhana: Ali adalah petinju besar tapi bukanlah orang besar. Frazier juga petinju besar tapi bukanlah orang yang buruk. Bagaimana menurut Anda?(One)
Natalie Cole dan Pelacur
September 1964. Penyanyi legendaris Nat "King" Cole tengah mengantarkan putrinya, Natalie Cole, masuk Northfield School, di Massachussetts. Nat duduk dengan asap rokok terus mengepul dari mulutnya. Dari depan, terdengar Diana Ross dan Supremes menjeritkan "Baby Love" di radio.
Itulah, "Terakhir kali kusaksikan ayahku santai dan gembira," tulis Natalie dalam otobiografi yang ditulisnya bersama Digby Diehl, "Angel on My Shoulder: the Autobiography of Natalie Cole" (Warner Books, 2000). Karena, pada 15 Februari tahun berikutnya, Nat meninggal karena kanker paru-paru. Dalam buku ini, pemenang Grammy Award itu menulis tentang masa-masa gelap yang harus dilaluinya setelah meninggalnya Nat.
"Ketika orang-orang bertanya padaku apakah ayahku bernyanyi untukku ketika aku kecil, mereka tampaknya akan kecewa dengan kebenaran ini: Dia tak pernah menyanyikan balada romantik macam 'Mona Lisa'. Dia menyanyikan lagu-lagu yang meracau yang membuat kami tergelak-gelak," tulisnya. Namun, sejak wafatnya Nat, "Aku terhanyut, tanpa seorang ayah dan tanpa hubungan yang baik dan erat dengan mamaku," tulisnya.
Di sini, Natalie juga mencatat perkenalannya dengan seorang pelacur, Peaches, yang mengajarinya jadi pencuri cek dari kotak surat kawan seasramanya dan membuat cek palsu. Di New York, Natalie berkisah tentang serang mucikari yang menyewanya sebagai "gadis panggilan" yang bertugas memancing lelaki hidung belang. "Sekali aku membuat kontak dan Ronnie menghitung transaksi finansialnya, bisnis yang sesungguhnya mungkin terjadi di bawah jembatan," akunya. (One)
Who's Who in Hell: A Handbook and International Directory for Freethinkers, Humanists, Naturalists, Rationalists, and Non-Theists
Warren Allen Smith
Barricade Books, New York
2000
1-56980-158-4
Who's Who in Hell
Direktori Tokoh Atheis dan Agnotis Sepanjang Masa
oleh Kurniawan 13/02/02
Detikcom
Judul buku ini saja begitu mengejutkan. Lebih mengejutkan lagi isinya. Buku setebal 1200 halaman lebih ini mendaftar orang-orang atheis, humanis, free thinker, agnostik, atau secara umum orang-orang tanpa kepercayaan atau tanpa agama. Disusun oleh Warren Allen Smith selama lebih dari 50 tahun, Who's Who in Hell adalah direktori kedua tentang tokoh dan tema tentang kebebasan berpikir sejak dulu hingga kini. Buku pertama yang sejenis pernah terbit adalah karya Pierre Sylvain Marèchal Dictionnaire des athèes (1798)
Judul buku ini saja begitu mengejutkan. Lebih mengejutkan lagi isinya. Buku setebal 1200 halaman lebih ini mendaftar orang-orang atheis, humanis, free thinker, agnostik, atau secara umum orang-orang tanpa kepercayaan atau tanpa agama. Disusun oleh Warren Allen Smith selama lebih dari 50 tahun, Who's Who in Hell adalah direktori kedua tentang tokoh dan tema tentang kebebasan berpikir sejak dulu hingga kini. Buku pertama yang sejenis pernah terbit adalah karya Pierre Sylvain Marèchal Dictionnaire des athèes (1798).
Smith mendaftar lebih dari 10.000 nama-nama, diantaranya Sang Sofis Protagoras, Demokritos Sang Materialis, Voltaire yang Deistik, Emerson yang Transendentalis, juga para filsuf seperti Ayer, John Dewey, David Hume, Bertrand Russel, George Santayana, Noam Chomsky, dan Sartre.
Rentang tokoh yang dikumpulkannya sangat luas. Selain para filsuf di atas, dia juga menyebut sastrawan, pengusaha, dan ilmuwan. Maka, muncullah pula nama-nama seperti Albert Einstein, penemu DNA Francis Crick, Kurt Vonnegut Jr, pengarang fiksi ilmiah Isaac Asimov, HG Wells, dan Sir Arthur C Clarke, juga Salman Rushdie, Charles Dickens, Joyce Carol Oates, Gore Vidal, dan Taslima Nasrin. Selain itu deretan nama para seniman dan entertainer muncul. Sebutlah Woody Allen, Bruce Willis, George Clooney, Katherine Hepburn, Larry King, Marlon Brando, Christopher Reeve, Paul Newman, Matt Groening si pencipta karakter Simpsons, Billy Joel, dan Barry Manilow.
Namanya sendiri muncul di halaman 1026 dan menggambarkan dirinya sebagai "rouè dan sybarite", simbol Humanist Manifesto II dan Humanist Manifesto 2000, pernyataan yang diumumkan oleh gerakan humanisme sekular di AS.
Selain nama dan keterangan atas nama tersebut, isi buku ini dicampur pula dengan entri untuk istilah-istilah filsafat yang berhubungan dengan freethinking, seperti agnostisme, antropomorfisme, kausalitas, budaya etik, positivisme logis, naturalisme, humanisme sekular, transendetalisme, dan unitarianisme. Dimasukkan pula entri untuk kelompok atheis dan humanis internasional sekarang, lengkap dengan alamat, situs dan emailnya.
Waren A Smith sebenarnya adalah pensiunan guru dan pengusaha bisnis rekaman yang tinggal di Greenwich Village, New York, AS. Dia adalah kolumnis dan seorang yang skeptis terhadap semua kepercayaan dan agama. Istrinya, Carol, juga didaftarkannya dalam bukunya itu. Waren kini aktif mengeditori jurnal humanisme sekular, Free Inquiry.
Buku Who's Who in Hell ini diterbitkan oleh Barricade Books, sebuah penerbit yang menerbitkan banyak buku, dari biografi selebriti hingga buku-buku kontroversial seperti manual pembuatan bom Anarchist Cookbook. Nampaknya, buku Smith ini akan menjadi terbitan kontroversial berikutnya.