Logo Oneweb
Resensi Buku

Filsafat dan Psikologi

- Pijar Peradaban Manusia
- Diskusi Nietzsche
- Sejarah Tuhan
- Pemogokan Massa
- Mobilisasi Rasa Malu
- Catatan Gramsci dari Penjara
- Buku yang Mengubah Dunia
- Bebaskan Masyarakat Dari Belenggu Seekolah
- Anarkisme Noam Chomsky
- Oksidentalisme
- Psikologi Imajinasi
- Daulat Manusia


Pijar Peradaban Manusia: Denyut Harapan Evolusi
Franz Dahler
Kanisius
2000

Pijar Peradaban Manusia
Mendialogkan Agama dan Evolusi

T.Supriyadi

detikcom Senin, 23/2/2000

Dalam buku yang merupakan penyempurnaan dari buku Asal dan Tujuan Manusia yang terbit tahun 1971 dan mengalami 12 kali cetak ulang itu, Dahler bicara tentang evolusi. Menurut pria asal Appenzell, Swiss, itu, mempertentangkan ilmu pengetahuan dengan agama sudah bukan pada tempatnya lagi sekarang ini.

"Dahulu, tepatnya pada 1858, seluruh manusia tergoncang. Pasalnya, Charles Darwin dalam bukunya yang berjudul On the Origin of Species by Means of Natural Selection memberikan sebuah kesimpulan yang bukan saja membuat manusia seakan-akan diturunkan dari takhtanya sebagai raja alam, tapi menjadi bagiannya. Manusia berasal dari kera," demikian pernyataan Franz Dahler, penulis buku Pijar Peradaban Manusia: Denyut Harapan Evolusi, pada acara diskusi bukunya yang baru diterbitkan itu di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, TIM, Jakarta, pada Jumat (3/2/2000) lalu.

Kesimpulan inilah yang menurut Dahler menjadikan pangkal perseteruan panjang antara ilmu pengetahuan dan agama, terlebih pada agama-agama samawi. "Karena," ungkapnya,"menurut interpretasi tradisional agama Yahudi, Kristen, dan Islam, bumi seisinya diciptakan oleh Allah. Manusia pertama, Adam dan Hawa, diciptakan secara khusus dan dan ditempatkan di taman Firdaus."

Diskusi yang dihadiri Jose Rizal Manua, Titis Basino, dan beberapa mahasiswa itu berlangsung datar-datar saja. Meskipun Dahler mencoba memancing diskusi dengan beberapa pertanyaan, tapi tak banyak tanggapan yang menghangatkan diskusi di sore hari itu.

Dalam buku yang merupakan penyempurnaan dari buku Asal dan Tujuan Manusia yang terbit tahun 1971 dan mengalami 12 kali cetak ulang itu, Dahler bicara tentang evolusi. Menurut pria asal Appenzell, Swiss, itu, mempertentangkan ilmu pengetahuan dengan agama sudah bukan pada tempatnya lagi sekarang ini. Karena, menurut ketua organisasi interkultural Interteam ini, seharusnya, ilmu pengetahuan dijadikan alat untuk memahami dan meyakini agama yang dianut. "Apa pun nama agamanya, saya pikir bisa ditelaah dengan ilmu pengetahuan," tandas Dahler yang pernah menjabat sebagai pastor mahasiswa dan dosen agama/filsafat di Magelang dan Jakarta.

Keyakinan inilah yang menjadikan Dahler menggali evolusi melalui ragam ilmu, dari geologi sampai agama. Franz Magnis-Suseno, dalam pengantar di buku ini menyebut bahwa Dahler menulis sebuah antropologi kosmologis, karena Dahler tidak berhenti pada antropologi. "Antropologi hanya ditempatkan dalam kerangka hasrat manusia untuk memahami diri dalam konteks makna menyeluruh, dan itu berarti, dalam konteks metafisik," tulis Magnis.

Hal tersebut juga diakui Dr. Komaruddin Hidayat, yang saat itu tampil sebagai pembicara. Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI ini juga mengakui karya Dahler sebagai karya yang cukup sempurna. "Saya pikir karya ini cukup sempurna dan saya harap akan lahir karya-karya berikutnya yang lebih sempurna lagi," ujarnya sambil membuka-buka lembaran buku yang baru kali itu dia baca.

Karya ini, menurutnya, cukup bagus karena tidak hanya memandang evolusi dari satu sudut saja, tapi menggunakan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu, khususnya agama yang cukup kaya. Komaruddin juga memandang buku ini bisa menjadi jembatan antara kaum Muslim dan Nasrani di Indonesia yang saat ini sedang dirundung isu sara.

Komaruddin sedikit banyak turut menyumbangkan gagasan dalam buku ini. Pada Pasal 5 Bab V (halaman 138-141), Dahler menyisipkan artikel Komaruddin yang berjudul Asal Usul Manusia sebagai Mahluk Biologis. Entah kesalahan cetak atau apa, pada bab yang sama tercantum pula Pasal 5 berjudul Mukjizat dalam Alkitab (halaman 136).

Sebenarnya, tema yang disajikan buku ini ditujukan kepada ruang pembaca yang luas, baik cendekiawan, mahasiswa, atau siapapun yang haus akan pengenalan bumi dan manusia. Bahkan, menurut Eka Budiyanta yang tampil sebagai pembicara kedua, buku tersebut lebih ditujukan kepada para siswa SMA. "Oleh karena itu," tambah Eka, "istilah-istilah ilmiah tidak diandaikan, tetapi diuraikan dan bahan diperkaya, dijelmakan dengan contoh-contoh, gambar, sketsa, dan kisah-kisah yang menarik."

Namun, gagasan Eka untuk menjadikan buku ini sebagai bacaan siswa SMA sempat dikritik oleh sastrawan Titis Basino. Menurut penulis novel Pelabuhan Hati ini, harga yang ditawarkan terlalu tinggi. "Meski bahasa dan ilustrasinya cukup memudahkan pemahaman para siswa, harga buku ini masih terlalu mahal untuk mereka," ungkapnya.

Memang, dengan harga jual Rp 35.000,- buku ini terbilang mahal. Apalagi bila patokannya kantong pelajar. Namun, ada baiknya perpustakaan di sekolah-sekolah menambah koleksinya dengan buku yang mengenalkan satu jenis metode ilmiah yang lintas ilmu."


Diskusi Nietzsche Si Pembunuh Tuhan: Masih Perlukah Agama bagi Manusia?
Sumber: Detikcom

Berlututlah di sini, berdoalah
bukan dengan sembahyangan katakata
tapi dengan nyanyian Zarathustra

detikcom - Jakarta, Sindhunata melantunkan syair karangannya sendiri ini, tidak dalam sebuah forum penyair, tapi dalam sebuah diskusi yang menghadirkan para sarjana filsafat. Forum diskusi bertajuk "Nietzsche Si Pembunuh Tuhan" itu digelar di Bentara Budaya, Jakarta, pada Jumat (8/12/2000).

Diskusi yang dimoderatori doktor Filsafat dari Universitas Indonesia, Karlina Leksono-Supeli, itu pada intinya membahas laporan utama Majalah Basis Edisi Khusus Akhir Abad 20 yang mengangkat tema "Mengenang 100 Tahun Matinya Friedrich Nietzsche". Sindhunata sebagai pemimpin redaksi Basis hadir dan menggelar isi majalahnya. Hadir pula beberapa pembicara yang juga menyumbangkan tulisannya dalam majalah tersebut, seperti Haryatmoko (dosen Filsafat> di Universitas Sanata Dharma dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) dan Bernhard Kieser (theolog dan pengajar Filsafat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta).

Sindhunata, pada kesempatan itu, mengulas kembali kritik Nietzsche terhadap agama Kristen dan Tuhan. Bagi Nietzsche, Kristen adalah biang kebobrokan moral manusia, dan Tuhan adalah penghalang bagi kebebasan manusia. Ditegaskan oleh Sindhunata bahwa kritik Nietzsche itu dilakukannya hanya karena ia ingin membela manusia dan kemanusiaan, yang de facto telah disia-siakan oleh agama. Padahal, "Tidaklah seharusnya agama mencintai manusia dan kemanusiaan itu, karena demi kesempurnaan manusialah Tuhan berkenan menciptakan manusia," katanya.

Sementara, Haryatmoko memandang Nietzsche sebagai pengritik segala otoritas tunggal, seperti juga kebenaran tunggal. Sedangkan Bernhard Kieser mempertanyakan soal relevansi Nietzsche terhadap Indonesia, terutama mengritik penolakan Nietzsche terhadap agama. Menurutnya, Nietzsche tidak layak jadi rujukan karena agama masih penting sekarang ini. Namun, Kieser mencatat mengapa buku-buku Nietzsche ramai diterbitkan. Jangan-jangan, katanya, Nietzsche diangkat karena ramainya penerbitan buku-buku kiri yang cukup laku keras itu.

Mochtar Buchori, mantan rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, yang hadir pada acara tersebut sempat berkomentar mengenai penting tidaknya agama. Menurutnya, harus dipertanyakan bagaimana pendidikan agama terjadi, karena disitulah letak masalahnya. Buchori sempat melontarkan peryataan mengenai tak banyaknya orang yang yang mengerti mengapa Nietzsche memilih Zarathustra. Sayang, pertanyaannya ini tak bergulir jauh.

Nietzsche yang lahir pada 15 oktober 1844 dan meninggal 25 agustus 1900 itu memang tak habis-habisnya dibicarakan. Di Indonesia, dua tahun terkahir ini diramaikan dengan penerbitan terjemahan atas karya-karyanya. Beberapa di antaranya adalah Ecce Homo-Lihatlah Dia! (Pustaka Pelajar, 1998), Senjakala Berhala dan Anti Krist (Bentang Budaya, 1999), Also Sprach Zarathustra (Sabda Zarathustra) (Pustaka Pelajar, 2000), Nietzsche Zarathustra (Bentang Budaya, 2000). (Kurniawan/Hendra)


Sejarah Tuhan

Satu dari banyak alasan mengapa agama-agama tampaknya tidak relevan sekarang ini adalah bahwa banyak dari kita tak lagi memiliki perasaan bahwa kita tengah dikelilingi oleh yang tak terlihat. Demikian salah satu paparan Karen Armstrong dalam "A History of God : The 4000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam" yang diindonesiakan sebagai "Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4000 Tahun" (Mizan, 2001)

Armstrong dulunya adalah seorang biarawati gereja Katolik Roma. Tahun 1969, dia melepaskan statusnya dan masuk Universitas Oxford. Meski demikian, ketertarikannya kepada agama mendorongnya untuk terus melakukan studi di bidang spiritualitas dan agama dan melahirkan banyak buku, misalnya "The Battle for God", "In the Beginning : A New Interpretation of Genesis", "Muhammad : A Biography of the Prophet", dan yang terbaru adalah "Buddha (Penguin Lives)".

Dalam "A History of God" ini, Armstrong melakukan studi yang luas mengenai asal usul dan perkembangan agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Buku ini jadi sebuah kaledioskop perjalanan agama-agama besar selama empat milenium, dari masa Nabi Ibrahim hingga pertumbuhan dan saling pengaruh dengan perkembangan agama Yahudi, Kristen, dan Islam, dan terus menembus abad dua puluh dengan atheisme-nya. Letak penting karya Armstrong ini adalah pada tekanannya pada korespondensi historis antar agama-agama tersebut.


Pemogokan Massa

Rosa Luxemburg (1871-1919) adalah satu tokoh penting yang menggagas Liga Spartacus, organisasi yang nantinya berkembang menjadi Partai Komunis Jerman. Perempuan kelahiran Polandia ini belajar hukum dan ekonomi poolitik di Zurich, Swis, tempat dia mulai melangkah memasuki lapangan politik dan bertemu politikus Jerman, Karl Liebknecht, yang menjadi partnernya dalam berpolitik. Gagasan-gagasannya yang radikal menggelisahkan pemerintah Rusia, hingga Rosa akhirnya ditahan dan dihukum mati semasa revolusi Spartacus meletus di Berlin.

"Pemogokan Massa, Partai Politik dan Serikat Dagang" (Bentang Budaya, 2000) adalah satu karya klasik yang diwariskan Rosa. Buku yang diterjemahkan dari edisi berbahasa Inggris "The Mass Strike, the Political Party and the Trade Unions" ini membedah dasar-dasar gerakan pemogokan. Rosa membahas seberapa jauh pemogokan massal bermakna bagi lahirnya sebuah unit perjuangan dari kelas pekerja.

Buku yang ditulis pada bulan Agustus 1906 ini mengupas sejarah pemogokan di Rusia selama satu dasawarsa


Mobilisasi Rasa Malu

Robert F. Drinan adalah pengarang yang cukup kaya pengalaman. Dia pendeta Jesuit, pernah jadi profesor ilmu hukum di Georgetown University, dan pernah pula jadi anggota Kongres AS. Dalam buku terbarunya, "The Mobilization of Shame: A World View of Human Rights" (Yale University Press, 2001), Drinan mengopak kembali kulit-kulit sejarah Hak-hak Asasi Manusia.

Kelebihan buku ini adalah keberimbangannya dalam menyodorkan fakta dan argumentasi. Drinan kagum pada partisipasi Amerika dalam pembentukan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan kampanye HAM-nya. Tapi, pada saat yang bersamaan, dia mengkritiknya karena AS mengabaikan hak-hak ekonomi dan menolak menandatangani International Criminal Court. Drinan mahfum atas komplain dari negara-negara berkembang tentang bias gerakan HAM, tapi juga tak membiarkan mereka mengizinkan perbudakan.

Drinan menghargai AS karena negeri itu punya Torture Victims Protection Act dan laporan rutin tahunan tentang HAM di setiap negara bagian. Namun, Drinan mengkritik keengganan AS bekerja sama dalam usaha-usaha HAM internasional. AS juga satu-satunya bangsa --di samping Somalia-- yang belum meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak.

Akhirnya, Drinan mengusulkan rasa malu dan kehinaan sebagai senjata terkuat HAM. "Inilah kekuatan moral yang, lebih daripada hukum atau sanksi ekonomi, merangkum bangsa-bangsa untuk menyusuri jalan kecil menuju demokrasi dan persamaan," tulis Drinan. Tapi, efektifkah senjata ini? (one)


Etika Politik Pejabat

Dennis F. Thompson mendapat kedudukan terhormat sebagai Alfred North Whitehead Professor of Political Philosophy dan pendiri University Center for Ethics and the Professions di Universitas Harvard, AS. Tompson banyak berkecimpung dalam studi etika dan demokrasi dan melahirkan beberapa buku yang umumnya jadi acuan di berbagai perguruan tinggi, seperti "Democracy & Disagreement" (bersama Amy Gutmann) dan "Ethics in Congress: From Individual to Institutional Corruption".

"Political Ethics and Public Office" (Harvard University Press, 1987) yang edisi Indonesianya diterbitkan sebagai "Etika Politik Pejabat Negara" (Yayasan Obor Indonesia, 2000) ini sebenarnya telah memenangkan penghargaan dari American Political Science Association sebagai "publikasi terbaik dalam ilmu politik di ranah kebijakan nasional Amerika serikat" pada tahun 1987. Selain itu, Thompson juga jadi konsultan di beberapa departemen pemerintahan AS dan anggota Joint Ethics Committee of the South African Parliament.

Dalam "Etika Politik Pejabat Negara", Thompson membentangkan siapa sesungguhnya mahluk yang disebut pejabat negara tersebut dan mengapa publik wajib mengenal mereka dengan baik. Menurutnya, para pejabat bukanlah warga negara biasa, karena mereka berkuasa atas warga lain. Apapun kelakuannya, sekecil apapun itu, pastilah sedikit banyak berpengaruh terhadap masyarakat secara luas. Hal ini mengakibatkan publik berhak tahu persis diri sang pejabat dan akibatnya ruang pribadi dia makin mengecil.(One)


Gagasan Abadi Filsafat dan Agama

Penerbit Kanisius, Yogyakarta, adalah salah satu penerbit yang rajin mempublikasikan buku-buku pengantar filsafat dan agama, terutama agama Kristen. Hal ini wajar, karena filsafat yang berkembang di Barat besar dari saling pengaruh dan saling tarik dengan agama Kristen.

Buku "Ide-ide Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang" (Kanisius, 2000) karangan Linda Smith dan William Raeper ini merupakan sebuah pengantar ringkas semacam itu yang menyusuri kembali gagasan-gagasan utama dalam teologi (agama) dan filsafat.

Buku ini diterjemahkan teolog P Hardono Hadi dari buku berjudul asli "A Beginner's Guide to Ideas" (1991). Dalam buku yang diterbitkan Kanisius ini, pembaca diajak menengok ke belakang, mengenal bagaimana filsafat dan agama yang beda pendekatan itu saling mencari kebenaran.

Sebagai sebuah pengantar, buku ini tidak menguraikan seperti buku-buku teks sekolahan, tapi berangkat dari pengalaman keseharian untuk kemudian direfleksikan melalui pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan dan keagamaan.

Selanjutnya, pengarang menuntut pembaca memasuki alam pikir filsafat dengan mengajukan konsep-konsep kunci yang telah digagas oleh para filsuf dahulu. Di dalamnya, pembaca akan menemukan gagasan tentang Postmodernism, Platonism, Humanism, Existentialism, Feminism, Rationalism, Fundamentalism, New Age, dan bertemu dengan lebih dari 40 filsuf utama dunia, seperti Plato, Aristoteles, Augustinus, Descartes, Kant, Locke, Marx, Nietsche, Freud, Wittgenstein.


Catatan Gramsci dari Penjara

Antonio Gramsci bisa dibilang jadi pemikir paling berpengaruh dalam tradisi Marxisme setelah Marx dan Mazhab Franfurt. Gagasan utamanya mengenai konsep hegemoni memberi pendekatan yang segar pada pandangan Marxisme tentang hubungan kekuasaan dalam praktik politik.

Gagasannya ini lahir dari pengalaman politik dan intelektual yang dialaminya ketika berjuang menentang fasisme Italia. Dia melihat bahwa praktik kekuasaan yang berlangsung di Italia tak cukup dipahami dengan paradigma Marxisme lama.

Ketika dia dipenjara selama dua puluh tahun karena kegiatan politiknya, pada saat itulah Gramsci sempat mencorat-coret gagasannya itu. Kumpulan coretannya selama di penjara itulah yang kemudian dikenal dengan "Gramsci's Prison Notebooks" dan edisi Indonesianya diterjemahkan sebagai "Sejarah Dan Budaya" (Bentang Budaya, 2000). Namun, bila Anda membaca buku ini janganlah berharap akan menemukan gagasan yang sistematis disana. Sebagaimana sebuatannya, isi buku ini berupa catatan-catatan dengan gagasan yang menyebar kemana-kemana. Diperlukan suatu ketekunan dan penelusuran ke literatur lain untuk dapat memahami gagasan Gramsci sesungguhnya. (One)


Buku yang Mengubah Dunia

"Tidak ada orang yang menginsafi daripada seorang adikuasa bagaimana hebatnya bahan peledak yang tertimbun dalam buku-buku," tulis Robert B Downs, pengarang buku "Books That Changes The World" (ALA, 1956). Itulah sebabnya mengapa seorang Hitler mampu menulis "Mein Kampf" atau Soekarno menulis "Di Bawah Bendera Revolusi".

Untuk menunjukkan kekuatan buku-buku tersebutlah maka Downs menerbitkan bukunya ini dengan mengajukan 16 judul buku yang dianggapnya punya pengaruh besar dalam sejarah. Sastrawan Asrul Sani lalu menerjemahkan buku ini yang untuk pertama kalinya diterbitkan Penerbit Djambatan di tahun 1959. Lalu, Tarawang Press, Yogyakarta, menerbitkan kembali buku ini dengan judul "Buku-buku Pengubah Sejarah" (Tarawang, 2001).

Dengan alasan aneh, penerbitan versi Indonesia ini hanya memuat 10 judul dario 16 judul pilihan Downs. "...sepuluh judul yang dipilih tersebut merupakan buku-buku aktual yang paling pas dan serasi dengan kondisi masyarakat kita," tulis penerbitnya. Tidak begitu jelas, makna aktual, pas, dan serasi yang dijadikan alasan penerbitnya.

Beberapa judul yang tak dimuat itu antara lain, "Influence on Sea Power Upon History" karya Laksamana Mahan, "Uncle Tom's Cabin" karya Beecher Stowe, "Civil Disobidience" karya David Thoreau, dan "Geographic Pivot of History" karya Mackinder. Sementara, beberapa buku karya tokoh besar dalam sejarah dan terbilang klasik tetap dipertahankan, seperti "Das Kapital" Karl Marx, "Mein Kampf" Hitler, "Il Principle" Machiavelli, "Wealth of Nation" Adam Smith, dan "Relativity" Albert Einstein.(One)


Bebaskan Masyarakat Dari Belenggu Sekolah
Judul Buku : Bebaskan Masyarakat Dari Belenggu Sekolah
Penulis: Ivan Illich
Penerbit: Yayasan Obor

"Salah satu buku 'subversif' yang paling galak dalam reinterprestasinya mengenai realitas sosial," (David Gow, The Scotsman)

Dalam buku yang tajam ini, Illich menggedor kesadaran kita untuk segera membuat revolusi budaya. Yaitu sekali lagi menguji secara mendasar mitos-mitos sosial dan lembaga yang ada di era industri teknologi yang semakin mekanistik, anonim, massal, namun memperkurus kemanusiaan ini.

Telaah atas realitas 'kemajuan' yang amat kompleks tersebut dimulai Illich dengan membedahnya dari sudut sekolah. Menurut dia sekolah tidak otomatis sama dan sebangun dengan pendidikan.

Justru sekolah telah memfrustasikan anak didiknya; mensponsori 'kemajuan pembangunan' yang mengagung-agungkan produksi, konsumsi dan laba sebagai pendongkrak mutu hidup manusia.

Universitas pun terancam sekedar pencetak dan pemasok tukang-tukang yang melayani masyarakat kapitalis -konsumeristik; memberi ijazah tanda legitimasi dan mendesak ke pinggir orang-otang yang tidak cocok dengannya.

Buku yang amat berbahaya bagi yang menangkapnya setengah-setengah!


Pemikiran Noam Chomsky atas Anarkisme, Marxisme, dan Harapan Masa Depannya
Noam Chomsky
LP4M, Jakarta
2000

Anarkhisme dan Sosialisme dalam Pandangan Chomsky

Kurniawan

detikcom Senin, 06/03/2000

Noam Chomsky, profesor linguistik pada Massachusset Institute of Technology, punya cara pandang sendiri tentang anarkhi.

Anarkisme (Inggris: anarchism) umumnya dikenal sebagai sekumpulan doktrin dan perilaku yang menganggap pemerintah itu tidak perlu. Istilahnya diturunkan dari istilah Yunani yang harfiahnya berarti "tanpa pemerintah". Namun, pada perkembangan selanjutnya istilah ini mengalami pergeseran makna (peyoratif) dan untuk memahami arti sesungguhnya, seseorang harus menggali sejrah dan konteks kata itu dipakai. Itulah sebabnya, ada banyak teori dan tokoh yang memiliki gagasan tertentu, baik menentang maupun mendukung, anarkhisme.

Sepanjang Revolusi Prancis, pemimpin kaum Girondin Jacques-Pierre Brissot misalnya, malah mengumumkan dirinya sebagai pendukung anarkhi. "Hukum yang tidak berakibat apa-apa, otoritas tanpa kekuasaan dan despised, kejahatan tidak dihukum, harta diserang, keamanan individu dirusak, moralitas manusia dikorup, no constitution, no government, no justice, these are the features of anarchy," tutur pemimpin moderat itu pada tahun 1793 dan menjadi model gagasan anarkhi.

Menurut Encyclopaedia Britannica ( www.britannica.com), orang pertama yang menyebut dirinya anarkhis adalah penulis politik dari Prancis dan pionir sosialis Pierre-Joseph Proudhon. Pada tahun 1840, dia menulis tentang studi dasar-dasar ekonomi masyarakat yang kontroversial. Di bawah tajuk Qu'est ce que la propriété? (Apa itu Kepemilikan?) , Proudhon menjelaskan bahwa hukum-hukum nyata yang ada dalam masyarakat jadi "macan ompong" dengan otoritasnya. Dia melihat kegagalan otoritas dan munculnya tatanan sosial alamiah. "Sebagaimana manusia mencari keadilan dalam persamaan, maka masyarakat mencari tatanan dalam anarkhi. Anarkhi --absennya sebuah kekuasaan-- adalah sebentuk pemerintahan pada mana kita setiap hari tengah mendekatinya," demikian kata Proudhon yang menjadi unsur esensial filsafat anarkhinya yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh beragam pemikir setelahnya.

Noam Chomsky, profesor linguistik pada Massachusset Institute of Technology, punya cara pandang sendiri tentang anarkhi. "Saya pikir, adalah benar untuk mencari dan mengidentifikasi struktur kekuasaan, hirarki, dan dominasi dalam semua aspek kehidupan, dan untuk menentangnya; kecuali bila ada justifikasi yang bisa diberikan, struktur-struktur tersebut tidak sah, dan harus dihancurkan, untuk meningkatkan lingkup kebebasan manusia," kata Chomsky dalam buku Pemikiran Noam Chomsky atas Anarkisme, Marxisme, dan Harapan Masa Depannya yang diterbitkan LP4M (Lembaga Penerbitan, Pendidikan, dan Pengembangan Pers Mahasiswa).

Buku ini merupakan satu dari rangkaian bacaan tentang anarkhisme. Anak judul buku ini diberi nama "Seri Lanjutan Dasar-Dasar Anarkhisme", jadi wajarlah bila gagasan yang dimunculkan sudah pada tahap diskusi. Buku yang diterjemahkan dari wawancara Chomsky dengan Red and Black Revolution ini tak cukup mudah dibaca, meski ringkas (21 halaman isi). Pertama, karena penerjemahannya yang kurang "akrab" dengan bahasa Indonesia sehari-hari. Kedua, wawancara ini lebih merupakan diskusi dengan alur yang cepat sekali berkembang.

Diskusi mengenai anarkhisme dan sosialisme sekarang dengan mudah bisa kita jumpai di berbagai situs internet. LP4M pun mengembangkan situs yang telah memuat berbagai artikel tentang anarkhisme yang bisa dibaca/didownload gratis di situsnya. Paparan singkat yang padat dan cukup baik merangkum perkembangan gagasan anarkhisme bisa dijenguk di Encyclopadia Britannica.

Sementara untuk studi akademis yang lebih runtut, salah satu situsnya telah dibangun oleh Dana Ward, profesor Political Studies di Pitzer College, yang menghimpun berbagai arsip tentang anarkhisme dalam situs An Online Research Center on the History and Theory of Anarchism.


Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat
Hassan Hanafi
Paramadina, Jakarta
Juli 2000
979-8321-52-9

Oksidentalisme
Mengakhiri Monolog Barat Tentang Timur

M. Mushthafa

detikcom

Kamis, 07/09/2000

Proyek intelektual Hassan Hanafi adalah suatu upaya penyikapan terhadap realitas kekinian dengan melakukan rekonstruksi terhadap tradisi lama, penegasan posisi di hadapan kebudayaan Barat, dan sikap kritis terhadap realitas kekinian.

Menurut Marshall McLuhan, kebudayaan merupakan suatu bentuk "perluasan manusia" (the extension of man) dalam rangka mengatasi keterbatasan ruang-waktu yang melingkupinya. Dalam pengertian yang kurang lebih masih bersifat paralel, dengan meminjam pemikiran Gramsci, kebudayaan pada tahapan yang lebih jauh adalah juga suatu bentuk hegemoni dari suatu kelompok kepada kelompok lainnya.

Hal yang demikian ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang buruk, melainkan memang sudah menjadi suatu aspek dinamis dari kebudayaan. Persoalannya adalah bahwa hegemoni kebudayaan itu berlanjut pada pembentukan citra-citra kebudayaan yang dijelaskan secara berbeda: ada kebudayaan superior dan ada kebudayaan inferior. Lebih parah lagi, ketika kebudayaan superior lalu merasa berhak untuk memperadabkan kelompok kebudayaan inferior. Asumsi inilah yang menjadi landasan pembenaran bagi dilakukannya kolonialisme dan imperialisme.

Dalam bentuknya yang lebih canggih, kolonialisme dan imperialisme kontemporer adalah kesadaran untuk membentuk, menundukkan, mendisiplinkan, dan menggiring nalar dan alam bawah sadar suatu masyarakat. Cara-cara yang dilakukan adalah dengan media. Masih menurut McLuhan, the medium is the message, media itu sendiri membentuk pesan dan citra kultural tertentu. Perkembangan teknologi, terutama teknologi multimedia, jelas sangat menguntungkan bagi upaya-upaya kolonisasi kesadaran ini.

Model-model seperti ini kemudian membentuk suatu monolog kebudayaan superior yang diperdengarkan kepada masyarakat kebudayaan inferior. Tentang oposisi-biner antara rasio dan kegilaan misalnya, Michel Foucault (1926-1984) dalam Madness and Civilization mengatakan bahwa selama ini bahasa psikiatri yang mengungkapkan tentang kegilaan hanyalah semacam monolog rasio tentang kegilaan yang berada dalam suatu ruang yang sunyi. Apa yang dilakukan Foucault dalam bukunya itu adalah suatu upaya untuk mengakhiri monolog rasio tentang kegilaan, yang dilakukannya dengan mengurai arkeologi keheningan itu dari perspektif historis.

Seperti juga Foucault, Hassan Hanafi dalam buku ini juga berada dalam kerangka pemikiran untuk mengakhiri monolog kesunyian suatu kebudayaan yang dianggap superior, yakni kebudayaan Barat. Selama ini, citra kebudayaan Barat sedemikian superior, berhadapan dengan kebudayaan Timur yang dianggap inferior. Citra superioritas Barat ini kemudian dituangkan dalam wacana orientalisme yang menjadikan kebudayaan Timur sebagai obyek kajian. Inilah awal monolog kebudayaan Barat tentang kebudayaan Timur.

Sebagai sebuah wacana yang bersifat ilmiah, orientalisme sudah memiliki akar historis yang cukup panjang. Bersamaan dengan gelombang kolonialisme Eropa ke wilayah Timur pada abad ke-17, dilakukan pula sejumlah aktivitas "ilmiah" berupa studi kebudayaan Timur. Kebudayaan Timur dianggap sebagai the other -seperti juga kegilaan berhadapan dengan rasio- sehingga sah-sah saja bila kebudayaan Timur itu dijadikan obyek kajian.

Selanjutnya, orientalisme menjadikan Barat sebagai sentral kebudayaan. Tentu saja, yang namanya pusat tentu cenderung menggilas yang berada di wilayah pinggiran. Demikianlah, identitas kultural masyarakat Timur lambat-laun tersingkir dan ikut terlebur dalam identitas kultural masyarakat Barat bersama-sama dengan arus globalisasi yang kian tak terbendung.

Karena itu, dengan usahanya untuk mulai membangun suatu wacana baru yang disebutnya oksidentalisme, yakni studi tentang ke-Barat-an, Hassan Hanafi sebenarnya menginginkan adanya suatu perimbangan diskursif dalam kajian-kajian kebudayaan. Hassan Hanafi menginginkan agar identitas kultural masyarakat Timur tidak tergilas begitu saja tanpa berarti harus mengisolasi diri dari interaksi masyarakat kosmopolitan.

Agenda wacana oksidentalisme ini dalam pengertian yang lain oleh Hassan Hanafi dimaksudkan untuk mempertegas posisi ego (kebudayaan masyarakat Timur, Islam) di hadapan the other (kebudayaan masyarakat Barat). Dalam terang keutuhan seluruh proyek intelektual Hassan Hanafi, wacana oksidentalisme ini berada dalam tahapan kedua, yang kesemuanya berada dalam konteks upaya menghidupkan kembali semangat agama. Proyek intelektual Hassan Hanafi adalah suatu upaya penyikapan terhadap realitas kekinian dengan melakukan rekonstruksi terhadap tradisi lama, penegasan posisi di hadapan kebudayaan Barat, dan sikap kritis terhadap realitas kekinian.

Hassan Hanafi menegaskan bahwa oksidentalisme ini tidak berada dalam tataran politis, melainkan berada dalam tataran analisa ilmiah. Sepertinya, Hassan Hanafi tidak menginginkan wacana oksidentalisme ini menjadi suatu bentuk sikap reaksioner terhadap hegemoni kebudayaan Barat. Bila yang terjadi adalah demikian, maka wacana oksidentalisme berada dalam medan dominasi-represif yang secara substantif tidak bersifat produktif. Dalam konteks ini, oksidentalisme harus pula dimaknai sebagai awal dimulainya masa-masa kreasi inovatif kelompok kebudayaan Timur untuk menemukan rumusan teoritik yang bersifat mandiri untuk memahami realitas.

Langkah-langkah awal Hassan Hanafi untuk mencoba membuka wacana oksidentalisme ini dilakukannya secara cukup serius dan menarik. Melalui pendekatan historis, Hassan Hanafi mengurai satu-persatu perkembangan sejarah Filsafat Barat yang menjadi ruh kesadaran kebudayaan Eropa (Barat). Seperti yang juga dilakukan Foucault dalam menelusuri sejarah kegilaan (atau juga sejarah penjara dan sejarah seksualitas), Hassan Hanafi mengangkap wacana-wacana yang tertindas (atau ditindas) dan disingkarkan dari ladang sejarah kebudayaan Barat.

Pada awal pertumbuhan kesadaran Eropa yang dalam ungkapan Hassan Hanafi merupakan sumber kesadaran Eropa, Hassan Hanafi berhasil membuka lebar tabir-tabir historis yang mendukung bagi terbentuknya citra superioritas kebudayaan Eropa. Dalam mengklasifikasikan sumber-sumber kesadaran Eropa, Hassan Hanafi secara tegas menyebutkan bahwa ada sumber-sumber yang tidak terekspos ke permukaan. Sumber yang tak terekspos yang sebenarnya ikut menjadi sumber kesadaran Eropa (yakni yang juga ikut menebar benih pemikiran filsafat di dunia Barat) adalah sumber-sumber dari kebudayaan Timur lama (Persia, Mesir, Syria, Cina, dan sebagainya) dan dari lingkungan kebudayaan Eropa sendiri dengan corak-corak tertentu. Hal ini kemudian semakin menegaskan bahwa pertumbuhan kesadaran Barat sama sekali tak bisa terlepas dari kebudayaan Timur dan akar historis yang membentuk corak kesadaran Eropa sendiri. Dengan begitu, universalitas kebudayaan Barat digugat.

Buku ini jelas menarik dan berguna sekali untuk dibaca, terutama untuk menumbuhkan sikap kritis yang lebih konkret terhadap kebudayaan dan kesadaran Eropa (Barat) yang saat ini telah nyaris menggenangi seluruh kesadaran masyarakat dunia. Buku ini secara gamblang menegaskan bahwa superioritas kebudayaan Barat itu hanyalah mitos yang dibangun dengan penyembunyian informasi-informasi tertentu yang mengiringi pertumbuhannya. Apa yang diinginkan dari buku ini secara lebih jauh tidak lain adalah upaya untuk berbagi informasi secara lebih adil terhadap berbagai kebudayaan dunia, demi menghindari rasialisme kultural yang jelas-jelas tidak manusiawi.

Sebagai catatan akhir, patut diketahui, bahwa buku bagus yang diangkat dari karya Hassan Hanafi berjudul Muqaddimah fi Ilm al-Istighrab ini sebenarnya belum seluruhnya tuntas penerjemahannya dalam buku ini. Terjemahan ini baru memuat dua bab dari delapan bab yang ditulis Hassan Hanafi, yang seluruhnya hampir berjumlah 900 halaman itu. Yang pasti, diskursus oksidentalisme ini menarik untuk ditanggapi, dengan ikut membaca dan mengkritisi pemikiran Hassan Hanafi, untuk kemudian dikembangkan dalam bentuk studi-studi kebudayaan kontemporer."

M. Mushthafa adalah mahasiswa Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta, alumnus Pesantren Annuqayah Sumenep Madura.


Psikologi Imajinasi
Jean Paul Sartre
Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta
Maret 2000

Psikologi Imajinasi
Berfenomenologi Bersama Jean-Paul Sartre

Kurniawan

detikcom Jumat, 11/8/2000

Sartre mencoba memaparkan macam apa sebenarnya sesuatu yang disebut imajinasi itu, bagaimana kemunculannya, dan bagaimana memahaminya. Pada akhirnya, Sartre tak dapat menghindari pertanyaan puncak dari paparannya tentang imajinasi, yakni apakah imajinasi itu sendiri sungguh-sungguh ada?

Jean Paul Sartre adalah satu dari tokoh eksistensialisme Prancis Abad 20. Buku ini, Psikologi Imajinasi, diterjemahkan dari karya Sartre tahun 1950, The Psychology of Imagination. Aslinya dalam bahasa Prancis, buku ini berjudul L'Imaginaire: Psychologie phénoménologique de l'imagination (1940). Dari judul aslinya ini kita tahu bahwa Sartre tengah mempraktekkan metode fenomenologi pada bidang studi psikologi.

Sartre mengambil alih metode fenomenologi ini dari filsuf Jerman Edmund Husserl. Metode ini berupaya melukiskan secara hati-hati dan tanpa prasangka suatu subjek. Langkah ini dibedakan dengan cara lama yang memilih mempraktikkan metode deduksi.

Ada tiga buku Sartre tentang fenomenologi dan imajinasi, yakni L'Imagination (1936; Imajinasi), Esquisse d'une théorie des émotions (1939; Sketsa untuk Sebuah Teori Emosi), dan buku yang diterjemahkan Silvester G. Sukur ini sendiri. Karya-karya Sartre ini pada masanya mencetak sukses luar biasa. Namun, sebenarnya, puncak dari segala karyanya itu adalah L'Être et le néant (1943; Ada dan Ketiadaan).

Dalam buku Psikologi Imajinasi ini, Sartre mencoba memaparkan macam apa sebenarnya sesuatu yang disebut imajinasi itu, bagaimana kemunculannya, dan bagaimana memahaminya. Pada akhirnya, Sartre tak dapat menghindari pertanyaan puncak dari paparannya tentang imajinasi, yakni apakah imajinasi itu sendiri sungguh-sungguh ada?

Ada dua jalan yang ditelusuri Sartre untuk memahami imajinasi. Pertama dengan menyusuri imajinasi dalam kaitannya dengan karya-karya seni, terutama lukisan. Kedua dengan mengamati gejala bahasa (simbol, ungkapan, tindakan, isyarat, dsb.) Dari kedua jalur ini, dia sampai pada hubungan antara imajinasi, pikiran, dan persepsi. Ketiganya tidak lain dari hubungan antara imajinasi dan "kesadaran" (dalam karya-karya selanjutnya istilah ini menjadi kata kunci utama untuk memahami pemikiran Sartre).

Setelah pemaparannya yang panjang dan rinci, lengkap dengan argumen dan contoh kasus, Sartre kemudian menguji kembali kesimpulan-kesimpulan sementaranya dengan membahas dua fenomena pokok dalam psikologi, patologi imajinasi (yang terjadi pada orang yang mengalami schizofrenia) dan mimpi (tema favorit kaum Freudian). Dua hal ini penting, karena banyak teori imajinasi yang sukar mempertemukan keduanya dalam satu gagasan."


Daulat Manusia
Thomas Paine
Yayasan Obor Indonesia
Februari 2000
979-461-341-X

Daulat Manusia
Menimbang Kembali Makna Revolusi dan HAM

Kurniawan

detikcom Selasa, 15/08/2000

"Diskusi ini bermuara pada penggalian paling rumit tentang kedaulatan manusia, tentang hak-hak asasi manusia sebenarnya, atau dengan ringkas sebuah "Daulat Manusia"."

Buku itu tebit pertama kali pada 13 Maret 1791. Yayasan Obor Indonesia menerbitkannya dengan judul Daulat Manusia: Jawaban atas Serangan Burke terhadap Revolusi Prancis. Seperti judulnya, Paine memang sengaja menulis buku --atau tepatnya pamflet-- itu sebagai komentar panjang atas tulisan Edmund Burke, pengarang dan politisi Inggris yang pernah menjadi anggota Parlemen di Bristol. Memanglah, membaca buku ini tanpa memahami konteks kelahirannya akan jadi seperti berjalan di gang gelap.

Paine adalah pembela gigih Revolusi Prancis. Ketika di tahun 1789 Paine mendengar bahwa Perdana Menteri Inggris William Pitt hendak menyeret Inggris untuk terlibat perang Prancis atas Belanda, Paine mempublikasikan secara anonim sebuah peringatan kepada rakyat Inggris bahwa perang itu cuma akal-akalan pemerintah untuk menaikkan pajak.

Namun, dihadapannya telah berdiri Burke dengn bukunya, Reflections on the Revolution in France (1790). Paine pun balas meluncurkan Rights of Man yang segera menjadi sensasi publik. Kurang lebih delapan edisi diterbitkan sepanjang tahun 1791. Ketika Burke menjawab serangan itu, Paine kembali membalas dengan Rights of Man, Part II yang terbit 17 Februari 1792.

Mereka berdua sebenarnya memperdebatkan tentang makna kebebasan, revolusi, negara, dan rakyat. Ujung-ujungnya, diskusi ini bermuara pada penggalian paling rumit tentang kedaulatan manusia, tentang hak-hak asasi manusia sebenarnya, atau dengan ringkas sebuah "Daulat Manusia".

Penemuan Daulat Manusia itu sendiri adalah sebuah revolusi yang bagi Paine ditemukannya pada Revolusi Prancis. "Revolusi-revolusi (masa lalu -red) itu hanya sekedar sampai pada pergantian orang dan langkah tindakan, tetapi bukan pergantian prinsip-prinsip, dan jatuh atau bangun sesuai dengan kegiatan-kegiatan pada saat itu," tulis Paine dalam Rights of Man.

Bagi kita sekarang, perdebatan itu tak sesensasional yang dirasakan masyarakat masa itu. Namun, serangan utama Paine terhadap kedaulatan manusia dan makna revolusi tentu masih relevan, sebelum kita sendiri berani bicara tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Reformasi."


Lihat siapa pengunjung situs ini.