Jalan Menikung, Para Priyayi 2
Umar Kayam
PT Pustaka Utama Grafiti
1999
Para Priyayi 2
Merantau itu Artinya Melewati Jalan Tikung
oleh Kurniawan
detikcom Senin, 03/07/2000
Kayam akhirnya menyelesaikan dan menerbitkan novel lanjutan Para Priyayi. Kali ini bukan melulu kejawaan dan kepriyayian, tapi tentang perantauan.
Umar Kayam memenuhi janjinya pada banyak orang: menerbitkan novel lanjutan Para Priyayi. Akhir tahun 1999 lalu, janjinya terwujud, Jalan Menikung (Para Priyayi 2) diterbitkan sebagai tanda kesetiaannya di dunia sastra yang dicintainya dan memenuhi obsesinya untuk membuat sebuah novel yang selama ini tak bisa dia lakukan karena berbagai kesibukan yang dihadapinya.
Seperti judulnya, buku ini merupakan kisah lanjutan dari Para Priyayi. Beberapa tokoh di novel terdahulu, seperti Lantip dan Harimurti, masih muncul, namun tokoh utama episode kali ini justru berpusat pada generasi ketiga dari keluarga besar Sastrodarsono di Wanagalih, pasangan Harimurti-Sulistianingsih dan anaknya, Eko.
Harimurti dipecat dari jabatan sebagai redaktur senior sebuah penerbitan di Jakarta lantaran tebentur masa lalu ayahnya dan terkena tudingan "tidak bersih diri" alias terlibat G30S/PKI. Karena itulah, Hari menyarankan kepada putranya yang tengah menyelsaikan studi di Sunnybrook, Amerika, untuk menetap dahulu disana.
Tenyata, Eko, telah menempuh jalan hidup yang begitu jauh dari akarnya. Dia bekerja sebagai editor di penerbitan Asianbooks dan jatuh cinta dengan seorang perempuan Yahudi. Dia terus melangkah dengan menikahi Claire, kekasih Yahudinya itu, dan perdebatan pun pecah di tengah keluarga besar Sastrodarsono atas tindakannya.
Kayam kali ini mengangkat sebuah perubahan yang tak terelakkan dari sebuah gejala perkembangan keluarga di tengah arus waktu yang terus mengalir. Tarik menarik antara tradisi dan segala bentuk ikatan masa lalu dihadapkan dengan keadaan terkini yang telah jauh berbeda. Kayam melukiskan gejolak di batin Eko kala dia menimbang keIslaman, kejawaan, dan keindonesiaan yang tak bisa dia tolak namun telah tertinggal jauh di masa lalunya.
Eko telah merantau begitu jauh dan mencoba menemukan jejaknya sendiri. "Merantau itu pergi jauh. Kadang-kadang jauh, jauh sekali. Kadang-kadang, rasanya sewaktu-waktu akan dapat kembali. Rasanya. Padahal jalan yang telah dilalui dan akan ditempuh begitu banyak yang menikung. Kita akan terus merantau. Bagaimanapun, jalan akan terus menikung...," gerendeng Harimurti di salah satu bagian buku ini. Dan Eko harus mengambil keputusan bagaimanapun jua adanya. "
SRC: http://www.detik.com/buku/rak/novel/2000/07/03/200073-233033.shtml
Menolak Pangggilan Pulang
Ngarto Februana
Media Pressindo, Yogyakarta
2000
Keprihatinan Kemanusiaan dalam Dua Novel
oleh Kurniawan
Detikcom Selasa, 10/10/2000
Penerbit Yogyakarta, Media Pressindo, baru saja menerbitkan dua novel tentang keprihatinan pengarang terhadap kehancuran budaya dan kemanusiaan, Menolak Pangggilan Pulang karya Ngarto Februana dan Jangan Menangis, Bangsaku karya N. Marewo
"Penerbit Yogyakarta, Media Pressindo, baru saja menerbitkan dua novel tentang keprihatinan pengarang terhadap kehancuran budaya dan kemanusiaan, Menolak Pangggilan Pulang karya Ngarto Februana dan Jangan Menangis, Bangsaku karya N. Marewo.
Menolak Pangggilan Pulang ditulis pengarang lulusan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada yang rajin menulis cerpen di berbagai media massa, seperti Bernas, Masa Kini, Yogya Post, Eksponen, Suara Pembaruan, Bisnis Indonesia, Idola, Aneka Ria, Ceria Remaja, dan Hai. Novel Ngarto ini merupakan novel kedua setelah Lorong Tanpa Cahaya (1999).
Menolak Pangggilan Pulang mengangkat kisah masyarakat Loksado, Kalimantan Selatan. Masyarakat yang hidup terpencil itu menganut kepercayaan setempat yang menghormati roh-roh. Perubahan terjadi ketika teknologi dan budaya baru yang datang dari kota memasuki wilayah yang semula tertutup ini. Intervensi teknologi maju ini menghancurkan budaya setempat karena ketidaksiapan mental dan intelektual masyarakatnya.
Berkaitan dengan tema ini, pengulas sastra Bakdi Sumanto membandingkan karya Ngarto dengan Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dan The Last of Mohicans karya James Fenimomre Cooper. Kedua karya tersebut mengambil tema serupa dengan setting yang berbeda.
Sedangkan Jangan Menangis, Bangsaku mengungkapkan renungan-renungan tokoh Tambor tentang nasib negrinya yang penuh persoalan, dari kebencian ras, kehancuran moral, kejahatan, dan sebagainya. Marewo menjalin renungan-renungannya dengan kisah cinta tokoh Tambor dan Riska.
Marewo sebenarnya lebih dikenal sebagai cerpenis. Harian Bali Post bahkan pernah menobatkan cerpen Cincin-nya sebagai cerpen terbaik. Namun, dia pernah pula menulis novel Lambo yang dimuat bersambung di harian Jawa Post pada awal 1995 dan novel Satu Hari di Jogja yang diterbitkan Pustaka Pelajar di tahun 1998.
Hikayat Kadiroen: Sebuah Novel
Semaoen
Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta
979-8793-95-1
15/11/01
Hikayat Kadiroen
Borjuis, Komunisme, dan Sekeping Romansa Cengeng
oleh Kurniawan
detikcom Kamis, 08/06/2000
Cara novel ini bertutur khas realisme sosialis. Dipaparkan bagaimana penderitaan yang dialami rakyat yang ditindas kaum borjuasi. Kadiroen, meski borjuis juga, tapi menjadi pahlawan, karena berupaya memakmurkan kelas proletar yang tertindas oleh budaya feodal itu.
Kalau seorang aktivis Partai Komunis menulis sebuah novel, apakah kemudian novel itu jadi novel komunis? Pertanyaan ini bisa dijawab ya, bisa dijawab tidak, atau malah jadi perdebatan panjang. Namun, membaca satu karya seorang tokoh Partai Komunis Indonesia, Semaoen, yang sekarang diterbitkan kembali oleh Bentang Budaya, bertajuk Hikajat Kadiroen: Sebuah Novel, perdebatan itu mungkin tidaklah sangat rumit.
Novel yang diterbitkan pertama kali di Semarang pada tahun 1920 itu dengan jelas menunjukkan simpati yang besar kepada komunisme, tepatnya Partai Komunis di Hindia masa itu. Bahkan, di salah satu bagiannya digambarkan dengan gamblang gagasan sosial politik komunisme.
Kini, di tengah kontroversi soal gagasan Presiden Abdurrahman Wahid untuk menghapus ketetapan MPR mengenai pelarangan ajaran komunisme, novel ini seakan menginterupsi. Dia menyela dengan sebuah fakta sejarah, yakni dirinya sendiri, untuk dipertimbangkan kembali eksistensinya sebagai bagian dari sejarah yang terlanjur termanipulir sedemikian rupa pada rentang panjang masa Orde Baru.
Sinopsis
Tokoh utama buku ini adalah Kadiroen, anak seorang lurah yang beruntung bisa meniti karir di pemerintahan Hindia Belanda. Seratus halaman pertama buku ini mengisahkan kecemerlangan dan jalan lempang karir Kadiroen, mulai dari mantri polisi hingga akhirnya jadi wedono dan sempat menjadi wakil patih di Kota S (Semarang?).
Kadiroen dilukiskan sebagai pemuda yang sempurna dengan segala faktor positif melekat pada dirinya. "Kadiroen memiliki perawakan yang sedang, tidak besar tidak juga kecil, tetapi di dalam tubuhnya tampak tersimpan kekuatan yang besar. Wajahnya ganteng. Kulitnya hitam bersemu merah halus. Matanya terbuka lebar, serta bersinar tajam jika memandang. Hal itu menandakan bahwa pemiliknya mempunyai kepribadian yang kuat, berwatak ksatria, dan tidak suka berbuat dosa," tulis Semaoen.
Jalan hidupnya berubah setelah dia mendengar pidato Tjitro, seorang tokoh Partai Komunis, pada sebuah propaganda vergadering di alun-alun Kota S. Isi pidato ini ditempatkan satu bab sendiri oleh Semaoen dan memenuhi 48 halaman buku. Tjitro bicara di hadapan massa Kota S itu tentang kapitalisme dan asal usulnya, tentang perlunya berserikat dan mendirikan koperasi, dan tentu saja tentang komunisme.
Kadiroen merasa menemukan jawaban atas idealismenya selama ini pada konsep perkumpulan itu. Simpatinya itu mendorongnya untuk mendukung partai itu secara diam-diam. Dia memilih jalan hidup lain dengan melepas karirnya di Gupermen (pemerintahan kolonial) dan menjadi penulis pada Harian Sinar Ra'jat, harian partai tersebut, bahkan sempat terkena pasal delik pers.
Pada novel ini juga diselipkan romansa Kadiroen yang jatuh hati kepada Ardinah, istri seorang lurah yang terkena kawin paksa. Kisahnya romantis, malah terkesan cengeng dan menghanyutkan. Meski begitu, kisah ini pula yang jadi penutup seluruh buku.
Ketuhanan
Cara novel ini bertutur khas realisme sosialis. Dipaparkan bagaimana penderitaan yang dialami rakyat yang ditindas kaum borjuasi. Kadiroen, meski borjuis juga, tapi menjadi pahlawan, karena berupaya memakmurkan kelas proletar yang tertindas oleh budaya feodal itu.
Yang menarik, gagasan ketuhanan menonjol sekali dalam nadi ceritanya. Motif-motif yang melandasi sikap sosial politik Kadiroen adalah motif ketuhanan juga. Sama sekali tidak ada perbenturan antara agama dengan pilihan ideologi Kadiroen, sebagaimana diskusi yang selama ini terjadi mengenai komunisme dan agama. Kalaupun ada goncangan, itu dalam pertimbangan Kadiroen soal karirnya, bukan pada ideologinya.
Apakah ini berhubungan dengan riwayat Semaoen sendiri? Semaoen, sebelum jadi komunis, adalah seorang sosialis. Dia sudah bergabung dengan organisasi politik pribumi terbesar saat itu, Sarekat Islam, di Surabya sejak usia 13 tahun.
Anak buruh kereta api di Mojokerto, Jawa Timur, ini lalu bergabung dengan Vereeniging van Spoor-en Tramweg Vereeniging (VSTV) dan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV). VSTV adalah sebuah organisasi buruh kereta api yang dianggap sebagai tonggak gerakan buruh di Indonesia. Sedang ISDV adalah organisasi sosial politik pertama yang cukup berpengaruh masa itu dan kebanyakan anggotanya beraliran sosialisme.
Pada 23 Mei 1920, Semaoen terpilih sebagai Ketua Perserikatan Komunis di Hindia Belanda. Namun, novel ini ditulis pada tahun 1919 dan diperbaharui pada 1920. Novel ini ditulis ketika dia dipenjara selama empat bulan karena terkena delik pers.
Dengan munculnya kembali novel ini, juga novel semacam Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo yang diterbitkan oleh penerbit yang sama, setidaknya kita bisa menimbang kembali sejarah sastra Indonesia yang telah menghapuskan karya-karya semacam itu dari buku-buku teks resmi.
SRC: http://www.detik.com/buku/rak/novel/2000/07/03/200073-235021.shtml
Student Hidjo: Sebuah Novel
Mas Marco Kartodikromo
Penerbit Bentang Budaya, Yogyakarta
2000
979-8793-95-1
Student Hidjo
Cinta Bersegi Banyak ala Mas Marco
oleh Kurniawan
detikcom Senin, 03/07/2000
Novel Student Hidjo ini pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Suratkabar Sinar Hindia, pada tahun 1918. Penerbitan kali ini dilakukan oleh Bentang Budaya sebagai bagian dari Seri Sastra Tempo Doeloe, satu seri dengan buku Semaoen, Hikajat Kadiroen.
Kisahnya berpusat pada sosok Hidjo, seorang pemuda putra bangsawan Solo, Raden Potronojo. Plotnya sederhana saja, berupa cinta segi banyak antara Hidjo dengan Raden Ajeng Biroe, kemudian Hidjo dengan Raden Ajeng Woengoe, Hidjo dengan Betje, lalu Biroe dengan Raden Wardojo.
Ceritanya sendiri berlangsung di tiga tempat: Solo, Djarak, dan Belanda. Di tiga tempat itulah Hidjo menggariskan jalan hidupnya. Cerita langsung dibuka dengan rencana keberangkatan Hidjo ke Belanda untuk meneruskan sekolahnya. Hidjo akhirnya berangkat dan terpaksa meninggalkan untuk sementara tunangannya, Biroe. Di Belanda itulah dia berkenalan dengan Betje, putri dari tuan rumah yang ditumpanginya. Cerita pun bergerak pada upaya Betje untuk mendapatkian cinta Hidjo yang dilukiskan sebagai pria pendiam itu.
Sepeninggal Hidjo, Biroe kemudian secara tak sengaja berkenalan dengan Wardojo, putra Regent Djarak yang juga sahabat Hidjo, saat sedang berdarmawisata. Biroe juga berkenalan dengan Woengoe, adik Wardojo, yang sebenarnya juga menaruh hati pada Hidjo. Belakangan hadir tokoh lain, Controleur Walter, yang juga jatuh hati pada Woengoe.
Plot utama cerita ini memang cuma berpusat pada cinta bersegi banyak itu. Mas Marco membangun cerita ini dengan alur yang mudah dipahami, meski bukan berarti jadi novel picisan tentunya.
Namun, satu poin penting dari kehadiran buku ini adalah rekaman budaya dan peristiwa pada masa itu. Mas Marco, misalnya, menjadikan Kongres pertama Syarikat Islam sebagai salah satu setting dalam novelnya. Sayang, satu dari tonggak sejarah gerakan kemerdekaan Indonesia itu kurang dipaparkan secara rinci suasana, tokoh-tokohnya, dan perbincangan mereka.
Yang menarik lagi, bahwa Marco mengutip utuh satu brosur berjudul "Bangsa Belanda di Hindia" sepanjang enam halaman yang menelanjangi tindak penghisapan Belanda terhadap Tanah Air. Mungkin ini sejalan dengan atmosfir politik semasa Marco hidup, ketika gerkan Politik Etis mulai berjalan di Belanda, dan kesadaran akan identitas sebuah bangsa dan kemerdekaan tengah bersemai di kalangan pemuda Indonesia masa itu.
Sebagai catatan tambahan, kita tak banyak mengenal Mas Marco Kartodikromo sebagai satu dari tokoh pers Indonesia yang sezaman dengan Soewardi Soerjaningrat dan Tjokroaminoto. Meski sumbangannya pada gerakan kemerdekaan dan pers cukup terbukti, tapi entah mengapa namanya terhapus dari sejarah. Buku ini setidaknya menggaungkan kembali kehadirannya di dunia pers."
SRC: http://www.detik.com/buku/rak/novel/2000/07/03/200073-234503.shtml
Sumber Terpilih, Sejarah Sastra Indonesia Abad XX
E. Ulrich Kratz (penyusun dan Pengantar)
Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation
Januari 2000
9799023343
Dokumen Sejarah Sastra
Jejak-Jejak Perdebatan Sastra dalam Esai
oleh Kurniawan
detikcom - Jakarta Senin, 03/07/2000
Kratz dengan telaten telah mengumpulkan esai-esai sastra yang tersebar dan nyaris hilang selama ini. Kerja keras dan ketekunannya berbuah sebuah buku setebal bantal yang kaya dan jadi dokumen penting dalam sejarah sastra Indonesia
Kratz dengan telaten telah mengumpulkan esai-esai sastra yang tersebar dan nyaris hilang selama ini. Kerja keras dan ketekunannya berbuah sebuah buku setebal bantal yang kaya dan jadi dokumen penting dalam sejarah sastra Indonesia.
E. Ulrich Kratz adalah pengajar sastra Indonesia dan Melayu di School of Oriental and African Studies (SOAS), Universitas London, Inggris. Sebagai sarjana yang menekuni kesastraan Indonesia, Kartz nampaknya memahami betul arti penting naskah-naskah asli sastra yag diperlukan sebagai referensi. Setidaknya terlihat dari salah satu buku yang diterbitkannya, "Southeast Asian Languages and Literatures : A Bibliographical Guide to Burmese, Cambodian, Indonesian, Javanese, Malay, Minangkabau, Thai and vietname" (1996).
Maka, penerbitan "Sumber Terpilih, Sejarah Sastra Indonesia Abad XX" yang diluncurkan akhir bulan Januari 2000 ini merupakan bentuk nyata dari minat dan ketelatenannya menekuni sejarah sastra Asia Tenggara, terutama Indonesia. Dalam pengantarnya, dengan jelas Kratz menyebut tujuan penerbitan buku ini, yakni "untuk memudahkan para pembaca menemukan karangan dan pandangan sastra yang baru dan lain" dan "Para pembaca juga diharapkan dapat menikmati secara langsung karangan yang sering disebut-sebut dan dianggap penting dalam sejarah sastra Indonesia, tetapi agak susah dicari di perpustakaan ataupun penerbitan".
Semua karangan dalam buku ini merupakan esai-esai terpilih dan --dalam batas-batas tertentu-- yang terbaik dalam diskusi panjang kesastraan Indonesia, sejak Soempah Pemoeda dicetuskan (naskah ini jadi tulisan pertama di buku ini) hingga kontroversi seputar Hadiah Magsasay. Kartz memilih esai yang layak muat berdasarkan "soal perumusan dan sifat-sifat sastra Indonesia".
Karya Kartz ini merupakan dokumen berharga apabila hendak meninjau pergolakan gagasan dalam sastra Indonesia, karena perdebatan yang ahistoris dan merujuk pada sumber kedua atau ketiga, terkadang mengalami penyimpangan. Kartz mencontohkan misalnya bagaimana istilah "Angkatan 45" pertama dimunculkan Rosihan Anwar lebih bermakna politik dan sosial ketimbang pengelompokan sejumlah sastrawan dan gagasan sastra. Namun, belakangan perdebatan yang melelahkan tentang angkatan justru banyak terjadi pada makna angkatan sebagai suatu kelompok sastrawan dan gagasan sastra tertentu.
Dokumen ini memang tidak mendetil benar, namun pokok-pokok gagasan yang pernah terlontar sepanjang seabad itu sudah cukup terwakili. Dokumennya meliputi gagasan yang dilontar suatu kelompok atau individu tentang kesusatraan Indonesia, baik kredo, paparan, atau analisa yang termuat dalam majalah, koran, bahkan ceramah. Buku ini kemudian jadi bernilai karena menyodorkan ke tengah publik berbagai naskah rujukan yang biasanya sering disebut-sebut tapi tak pernah dibaca umum atau bahkan bisa hilang bila tidak segera didokumentasikan seperti ini.
Arok Dedes
Pramoedya Ananta Toer
Hasta Mitra
1999
Arok Dedes Pramoedya
Menafsir Sebuah Kudeta Politik
oleh Kurniawan
detikcom Senin, 03/07/2000
"Buku Pramoedya Ananta Toer terbaru, Arok Dedes, merekonstruksi sejarah kudeta Arok atas Akuwu Tumapel Tunggul Ametung. Setting sejarah yang kuat dan premis dasar kudeta politik yang masuk akal membuat bangun karya ini kokoh sebagai sebuah "fiksi sejarah politik" yang tak sekedar novel biasa. Pram membuktikan kembali kepiawaiannya dan laku keras."
Pramoedya dikenal sebagai sastrawan yang bicara tentang sejarah. Sesudah karya masterpisnya, "Trilogi Pulau Buru", dia telah mengajukan sebuah versi sejarah. Kepiawaiannya adalah kemampuannya menilai sejarah dalam karya sastra. Apapun yang terjadi sebenarnya tidaklah penting, karena bagaimanapun juga, karyanya tetaplah sebuah karya sastra, bukan penelitian sejarah.
Dengan kebebasan yang sangat luas yang diberikan kesastraan, seorang pengarang lebih bebas menafsir sebuah sejarah. Apalagi sebuah sejarah politik yang umumnya sarat dengan kepentingan, data yang kabur, pengakuan bermakna ganda, dan gelapnya waktu itu sendiri. Namun, kekaburan itu akan jadi begitu terang benderangnya di mata seorang pengarang, tanpa mengabaikan kerumitan yang sesungguhnya tetap terkandung dalam pelbagai peristiwa sejarah.
Dalam "Arok Dedes" ini, Pram menafsir siapa sesungguhnya sosok seorang Ken Arok dan Ken Dedes yang terlanjur melegenda di masyarakat itu. Dengan referensi yang kuat, Pram bak seorang sejarawan yang sedang menyuguhkan sebuah disertasi tentang sejarah kudeta pertama di tanah Jawa yang diperankan oleh anak keturunan Sudra yang tak bernama dan tak juntrung asal usulnya, Arok.
Pram melukiskan bagaimana keberhasilan penggulingan kekuasaan seorang Akuwu Tumapel bisa terjadi tanpa menyandarkan diri pada daya-daya magis yang dimiliki seorang Arok seperti dikenal dalam legendanya. Kekuatan utama yang menjadi dasar keberhasilan kudeta Arok adalah dukungan yang kuat dari kaum Brahmana pemuja Wisnu yang pada masa itu telah tersingkirkan dalam peta politik tanah Jawa. Kekuatan lain adalah kecerdasannya yang luar biasa dalam menghapal naskah-naskah rontal yang dianggap suci dan bahasa Sansekerta yang dianggap bahasa para dewa.
Digambarkan juga bagaimana pertarungan kepentingan di tingkat elit politik masa itu, antara kepentingan kerajaan pusat Kediri, Gerakan Mpu Gandring yang berkoalisi dengan kasta satria, para resi Brahmana, dan Tunggul Ametung yang ingin mempertahankan status quonya. Semuanya berada di bawah bayang-banyang bangkitnya perlawanan rakyat pimpinan Arok. Dan ketika kaum Brahmana memihak Arok, gempuran pasukan Arok yang bergerilya di wilayah Tumapel tak tebendung lagi dan kudeta pun terjadi.
Pesan moral yang tampaknya ingin disampaikan dalam novel yang digarapnya sekitar tiga bulan (1 Oktober-24 Desember 1976) sewaktu ditahan di Pulau Buru ini adalah betapa kompleks sebenarnya sebuah kudeta terjadi, dan betapa licik para aktornya untuk bersegera mengambil kesempatan, memenangkannya, dan mengaburkan peristiwa sejarah yang sesungguhnya terjadi. Misalnya, hingga halaman terakhir, tak begitu jelas, siapa pembunuh Tunggul Ametung sebenarnya, sementara Kebo Ijo yang jadi tertuduh menyanggah telah membunuhnya. Demikianlah, Pram menggunakan sepenuhnya kelebihan yang diberikan kesusastraan dalam menafsir peristiwa sejarah yang tetap meninggalkan misteri itu. "
SRC: http://www.detik.com/buku/rak/novel/2000/07/03/200073-233341.shtml
Tarian Bumi
Oka Rusmini
Indonesia Tera
April 2000
979-95428-8-X
Tarian Bumi
Penari Joged Itu Menuju Griya
oleh Wildan Hakim dan Kurniawan
detikcom Senin, 03/07/2000
Banyak sudah yang mengakui bahwa Bali adalah sumber inspirasi. Terlebih lagi bagi sosok Oka Rusmini. Terlahir sebagai perempuan keturunan Bali yang berdarah bangsawan, Oka fasih meramu alur cerita bernuansa Bali dengan segala detil kehidupan ritualnya.
Lewat novel Tarian Bumi ini, Oka Rusmini menyuguhkan sebuah realita Bali yang dari jauh terkesan eksotik, namun sesungguhnya memendam luka yang teramat dalam bagi para penghuninya. Jalinan kisah dalam novel ini boleh jadi merupakan sebuah warta bagi orang-orang yang mungkin sering terkesima dengan Bali. Berikutnya setelah dihayati lebih jauh lagi, tampaklah ada setumpuk gugatan yang ingin disampaikan oleh Oka.
Lebih jauh lagi, perempuan yang lebih dikenal sebagai penyair ini ingin menyadarkan arti pentingnya pilihan hidup yang dikaitkan dengan guratan takdir Sang Hyang Widhi. Keyakinan, ketabahan, kejujuran, keprasahan, semuanya terangkai menjadi satu dalam novel ini. Muara dari semuanya itu adalah sebuah perjuangan seorang insan untuk meraih kebahagiaan dalam hidupnya dengan segala aturan adat yang sangat mengikat. Dalam perjuangan itu ada konflik adat yang cukup pelik, antara kasta Brahmana dan kasta Sudra. Alur cerita dikemas secara flash back oleh pengarang menjadikan jalinan kisahnya semakin menarik untuk dibaca.
Tarian Bumi sebelumnya adalah cerita bersambung yang dimuat di harian umum Republika pada 4 Maret - 8 April 1997. Ada tiga alasan yang diajukan pihak Indonesia Tera untuk menerbitkan novel ini dalam bentuk buku. "Pertama, novel ini ditulis oleh generasi baru yang nat bene penulis 'perempuan'. Kedua, tema yang diangkat adalah posisi kaum perempuan dalam kebudayaan Bali. Ketiga, novel yang berbicara mengenai tema tersebut (kultur Bali) sangat sedikit jumlahnya, apalagi yang ditulis oleh sastrawan perempuannya," tulis penerbit dalam pengantar buku ini.
Kisah Telaga
Jalinan kisah Tarian Bumi diawali oleh seorang tokoh perempuan bernama Telaga. Telaga sesungguhnya adalah perempuan keturunan Brahmana bernama Ida Ayu -sebuah gelar kebangsawanan bagi gadis Bali- Telaga Pidada. Perjuangan panjang dari ibunyalah hingga akhirnya Telaga terlahir sebagai perempuan keturunan Brahmana. Sebelumnya, ibu Telaga adalah gadis Sudra bernama Luh Sekar. Kelak aroma hidup Luh Sekar dan neneknya akan membayangi Telaga Pidada dalam mengarungi hidup.
Perjuangan Luh Sekar untuk meraih kasta bukanlah perjuangan yang mudah. Takdir terkadang susah dipahami mengapa harus ada kasta Brahmana dan Sudra dalam hidup. Luh Sekar si penari joged kenamaan desa mencoba mengubahnya. Ia ingin mengubah nasib dengan mengubah derajat kemanusiaannya di mata masyarakat."Aku capek miskin, Kenten. Kau harus tahu itu. Tolonglah carikan aku seorang Ida Bagus. Apapun syarat yang harus kubayar, aku siap!" ujar Luh Sekar kepada sahabat karibnya Luh Kenten.
Luh Kenten sempat ragu dengan keinginan Luh Sekar. Sebagai sahabat terdekat, diam-diam Luh Kenten memendam cinta kepada Luh Sekar walaupun sama-sama perempuan. Setiap kali melihat Luh Sekar menari, darah Luh Kenten menggelora. Tanpa sadar, sebuah kenikmatan tersendiri mengalir melalui celah liang keperempuanannya. Luh Kenten sadar akan perasaan lain yang diidapnya, tapi ia tak mampu mengatasinya. Keinginan Luh Kenten untuk melihat lebih jauh sisi tubuh Luh Sekar akhirnya terpenuhi. Pada suatu malam, selepas berdoa di pura, Luh Sekar menari dalam keadaan telanjang bulat. Luh Sekar ingin tahu pengakuan dari sahabatnya, apakah ia cantik. Luh Kenten kaget dan tak mampu menatap.
Obsesi Luh Sekar terwujud. Ia disunting oleh seorang lelaki keturuna Brahmana bernama Ida Bagus Pidada. Semuanya tak lepas dari bantuan Luh Kenten. Luh Kenten hanya meminta sebuah imbalan yang aneh. Sebelum upacara perkawianan ia ingin tidur bersama Luh Sekar, dan Luh Sekar menyanggupinya.
Luh Sekar memasuki hidup baru, nama baru harus disandangnya. Jero Kenanga demikianlah orang-orang menyebutnya. Ternyata bukan hal mudah menyesuaikan diri dalam griya -sebutan rumah bagi kalangan Brahmana- di masa-masa awal. Luh Sekar tidak mendapatkan cinta dari suaminya. Yang didapatkannya adalah derjat yang berubah dan gaya hidup yang lain dari sebelumnya. Penderitaan dan pandangan miring tentang keluarganya sudah terhapus. Jero Kenanga puas dengan obsesinya yang telah terkabul, walau cinta tak ia rasakan. Ida Bagus Pidada ternyata adalah seorang lelaki penuh nafsu terhadap perempuan.
Kehidupan di griya adalah sebuah hidup yang penuh aturan adat yang mengikat. Dalam hal ini Jero Kenanga harus berkompromi dengan mertuanya, seorang perempuan yang memang keturunan asli bangsawan. Otoritas sang mertua terus berlanjut hingga Telaga lahir. Sang nenek begitu bangga dengan kelahiran cucunya, Ida Ayu Telaga Pidada. Sebagai anak yang terlahir dari darah bangsawan, Telaga harus banyak belajar tentang beragam aturan pergaulan hingga ritual keagamaan. Dua sosok perempuan terdekatnya mengajarinya akan makna hidup. Padahal dua sosok ini terlahir dari latar belakang yang berbeda, dari situlah seiring perjalanan kedewasaannya Telaga menghirup dua aroma tadi secara bersamaan.
Selain dari kedua wanita tadi, Telaga juga banyak belajar dari guru tarinya Luh Kumbren. Luh Kumbren ini adalah simbol idealisme penari Bali tulen yang tak hirau oleh ramainya jaman. Hidupnya hanya untuk menari, karena ia yakin mendapat taksu -semacam kekuatan supranatural- dari Dewa Tari untuk hidup sebagai penari. Banyak hal yang diajarkan oleh Luh Kumbren kepada Telaga.
Kisah hidup Telaga terus terukir hingga menjelang dewasa. Di benaknya mulai tumbuh rasa cinta. Lelaki yang menjadi tambatan hatinya siapa lagi kalau bukan Wayan Sasmitha, seorang lelaki kalangan Sudra namun banyak menyimpan pesona di hati para dayu, para gadis desa. Sebuah keberanian harus ditempuh oleh dua insan yang berbeda kasta ini. Di sinilah klimaks novel Oka, Telaga telah memilih jalan kebahagian yang diyakininya bersama Wayan Sasmitha. Mereka menikah secara sembunyi-sembunyi. Telaga telah siap mengganti haluan hidupnya dari perempuan Brahmana menjadi seorang perempuan Sudra, dan di mata mertuanya itu adalah sebuah kegilaan.
Walau derita harus dirasa, Telaga tetaplah seorang Ida Ayu yang memiliki kecantikan sekaligus ketegaran yang luar biasa. Sang kakek pernah bertanya,"Kau tidak bahagia Telaga ?". Telaga pun menyahut, "Jangan tanyakan itu, Tulukiang. Kebahagiaan itu sulit digambarkan. Juga tidak bisa diucapkan. Kadang-kadang sesuatu yang tidak bernilai bisa membuat kita tentram, lalu beberapa detik kemudian terenggut lagi. Tiang tidak tahu bagaimana merasakan kebahagiaan itu sendiri. Terlalu mahal." "
SRC: http://www.detik.com/buku/rak/novel/2000/07/03/200073-234037.shtml
KAHLIL GIBRAN, Cinta Keindahan Kesunyian
Kahlil Gibran
Penerjemah : Dewi Candraningrum, Ahmad Lintang Lazuardi, Ahmad Norma (editor)
Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta
1999
Gibran Laris Manis
Sastra yang Puitik dan Romantik
T. Supriyadi
detikcom Sabtu, 5/8/2000
Penerbitan kembali karya-karya Gibran disambut hangat dan terus dicetak ulang. Gaya sastranya yang puitik romantik dan metafor yang mudah ditangkap menjadikan karya-karyanya populer.
"Buku ini merupakan kompilasi karya-karya puisi dan prosa Gibran, baik dalam bentuk sajak, cerita pendek, maupun drama yang tersebar dalam berbagai penerbitan. Di tengah rimba penerbitan sastra, karya-karya Gibran nampaknya yang paling laris manis. Karyanya terus dicetak ulang dalam berbagai versi. Buku terbitan Bentang Budaya (yang juga menerbitkan kumpulan lain Gibran ,seperti "Yesus Sang Anak Manusia") ini dilengkapi dengan paparan perjalanan hidup Gibran yang bisa menjadi pengantar yang baik untuk mengenal sosok penyair.
Dengan alasan agar lebih "spontan", editor buku ini tidak mencantumkan sumber naskah itu yang biasanya diletakkan di catatan kaki/akhir. Dengan alasan yang sama pula, editor tidak mengelompokkan naskah-naskah itu dalam susunan tertentu. Jadinya, pembaca seperti dihadapkan dengan belukar gagasan. Satu-satunya panduan hanyalah sebuah daftar isi yang memuat judul-judulnya belaka.
Meskipun demikian, karya Gibran selalu laku keras. Gaya tuturnya yang ringkas dan romantik selalu jadi kerinduan banyak orang. Pesan moralnya lewat metafor yang orisinil tapi mudah ditangkap adalah kelebihan Gibran, sesuatu yang sering sastrawan lain gagal melakukannyas. Untuk hadiah buat kekasih atau sahabat, nampaknya buku-buku Gibran masih menjadi pilihan.
Corat-coret di Toilet
Eka Kurniawan
Aksara Indonesia, Yogyakarta
Agustus 2000
979-95817-12-10
Corat-coret di Toilet Cerpen
Kurniawan
detikcom Jumat, 25/08/2000
"Cerpen Eka ini merayakan kembali kekuatan dongeng. Bahkan, beberapa cerpennya "meminjam" dongeng-dongeng yang sudah familiar."
Kekuatan dari sebuah cerita pendek (cerpen) adalah kemampuannya untuk melukiskan seringkas mungkin sebuah peristiwa secara padu dalam ruang sempit yang tersedia. Cerpen-cerpen Eka Kurniawan yang dikumpulkan dalam buku Corat-coret di Toilet ini nampak mampu memanfaatkan ruang yang terbatas tersebut. Meski, dalam beberapa cerpennya, Eka masih belum cukup hemat dalam menyusun kalimat dan membangun cerita.
Misalnya, dalam "Kisah dari Seorang Kawan" yang berbentuk cerita berbingkai. Bingkainya adalah kisah percakapan beberapa aktivis mahasiswa tentang orangtua masing-masing. Inti cerpen ini adalah kisah seorang mahasiswa tentang ayahnya yang pedagang beras kecil tapi dipenjara karena membunuh seorang pedagang besar yang berhasil menguasai pasar beras dan merebut pelanggan-pelanggan para pedagang kecil itu.
Sebenarnya, inti cerita ini cukup kuat dan bermakna. Tapi, bingkai utama cerita jadi kehilangan kekuatan dan terkesan hanya mendramatisir "kemiskinan" dan "orang-orang kalah" yang menjadi tema utamanya.
Pemborosan kalimat -kalau boleh diistilahkan begitu- muncul pula dalam "Corat-coret di Toilet". Disini banyak peristiwa pencoretan dinding toilet oleh beragam orang jadi perulangan adegan yang semestinya bisa dipadatkan sehingga bisa menyeruakkan tema utamanya.
Secara umum, cerpen Eka ini merayakan kembali kekuatan dongeng. Bahkan, beberapa cerpennya "meminjam" dongeng-dongeng yang sudah familiar. Perhatikan kemiripan gagasan antara "Dongeng Sebelum Bercinta" dengan "Kisah 1001 Malam", juga "Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam" yang mirip "Cinderella".
Meminjam istilah yang sering muncul dalam cerpen-cerpennya, Eka nampaknya tengah mencoba jadi "subversif". Teks atau dongeng yang ada dilawan dengan teks baru yang merupakan versi lain dari tafsirnya. Bagaimana sosok Peter Pan disubversikan dalam cerpen "Peter Pan" menjadi sosok mahasiswa yang "tak mau tua", seorang mahasiswa abadi dan aktivis yang tak putus asa meski akhirnya jadi korban penculikan. Namun, apa yang dilakukannya nampak belum cukup subversif sehingga bisa menggetar pembaca.
Cerpen-cerpen disini pernah dimuat di Hai, Bernas, Media Indonesia, Terang, dan Terompet Rakyat. Buku ini adalah buku kedua Eka, setelah bukunya yang laris di pasar, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (Aksara Indonesia, 1999)."
Dua Tengkorak Kepala: Cerpen Pilihan Kompas 2000
Kompas
Juni 2000
Cerpen Pilihan Kompas
Malam Kemenangan Motinggo Busye
Kurniawan
detikcom Kamis, 29/6/2000
"Dan pemenangnya adalah... "Dua Tengkorak Kepala" karya Motinggo Busye! Demikian kesimpulan Panitia Cerpen Pilihan Kompas 2000 yang diumumkan pada Rabu malam (28/6/2000) pukul 20.00 WIB, di Bentara Budaya, Jakarta."
Selain Motinggo, terpilih 14 cerpen lain dari 38 judul cerpen yang pernah dimuat Kompas sepanjang tahun 1999. Cerita-cerita pendek lain tersebut adalah Anjing! (Herlino Soleman), Santan Durian (Hamsad Rangkuti), Lebaran Ini, Saya Harus Pulang (Umar Kayam), Usaha Beras Jrangking (Prasetyohadi), Darmon (Harris Effendi Thahar), Salma yang Terkasih (Ratna Indraswari Ibrahim), Mawar, Mawar (Yanusa Nugroho), Metropolitan Sakai (Abel Tasman), Seusai revolusi (Jujur Prananto), Telepon dari Aceh (Seno Gumira Ajidarma), Bulan Angka 11 (Arie MP Tamba), Wanita yang Ditelan Malam (Bre Redana), Ruang Belakang (Nenden Lilis A.), Dua Orang Sahabat (AA Navis), dan Laba-laba (Gus tf Sakai).
Pengumuman itu juga dibarengi acara peluncuran buku Dua Tengkorak Kepala: Cerpen Pilihan Kompas 2000 yang memuat seluruh cerpen para pemenang, sebagaimana dilakukan seperti tahun-tahun sebelumnya. Sementara, panitia juga memutuskan memberi pengharagaan kepada Ali Akbar Navis atas "kesetiaannya terus menerus bergelut dalam penulisan cerpen".
Navis, lelaki kelahiran 17 November 1924 itu, dalam sambutan yang diberikan menyatakan dirinya terbilang terlambat dalam menulis cerpen. "Dibanding Asrul Sani dan Pramoedya, saya tertinggal sepuluh, lima belas tahun, dalam menulis cerpen," kata Pemimpin Harian Ruang Pendidik INS Kayutanam yang sangat populer dengan cerpennya, Robohnya Surau Kami tersebut.
Sebagai sastrawan yang pernah ditolak naskahnya tiga kali oleh HB Jassin, Navis mengeluh tentang banyaknya sastrawan muda sekarang yang berhenti di tengah jalan. Mereka menulis di kala muda, lalu sesudah menikah misalnya, menghentikan kegiatan tersebut. "Yang cepat seperti komet, cepat pula hilangnya," katanya.
Malam itu nampaknya adalah malam yang dipersembahkan khusus buat almarhum Motinggo Busye. Hadiah sebesar Rp 7,5 juta yang diraih Motinggo, malam itu diserahkan Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama kepada Ny Motinggo Busye. "Ketika menulis cerpen ini, Motinggo sedang sakit," cerita istri almarhum. "Dia bilang, dia bilang 'saya ingin buat karya besar' katanya, 'judulnya bom' katanya'," lanjutnya mengenang almarhum yang terkenal dengan karya dramanya Malam Jahanam.
Pada kata sambutannya, Jacob Oetama mengabarkan bahwa ternyata buku-buku cerpen sekarang mulai memiliki pembacanya. "Saya dengar Derabat (Cerpen Pilihan Kompas 1999 -red) telah memasuki cetak ulang keempat. Ini menunjukkan bahwa adanya pasar dan peminat terhadap buku cerpen. Saya pribadi membaca cerpen dalam buku itu merasa lebih pas," katanya. (Kurniawan)
Antologi Puisi Cyber Pertama
Sebuah antologi puisi cyber untuk pertama kalinya diterbitkan di Indonesia. Antologi bertajuk "Graffiti Gratitude" itu menghimpun karya dari 118 penyair. Buku setebal 320 halaman tersebut diterbitkan Yayasan Multimedia Sastra yang dipimpin penyair Medy Loekito.
Seluruh karya dalam antologi ini pernah berseliweran di berbagai mailing list, seperti milis Penyair, milis Puisikita, milis Gedongpuisi, milis Sastera-malaysia, atau dipajang di situs-situs web, seperti Cybersastra.net atau situs pribadi penyairnya. Kehadirannya di dunia cyber itulah yang menjadi ciri utama dan satu-satunya dari puisi-puisi dalam antologi ini, bukan pada genre baru atau bentuk baru yang diusungnya.
Keterbukaan dan ketakterbatasan internet memungkinkan lahirnya penyair-penyair muda dari berbagai lapisan dan latarbelakang. Itulah apa yang oleh penyair Saut Sitomorang disebut sebagai sebuah "pendobrakan terhadap hegemoni dalam dunia sastra".
Para penyair yang sudah mapan pun turut meramaikan, seperti Eka Budianta, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Acep Zamzam Noor. Ada pula penyair asing yang berasal dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Canada, Thailand, India, dan Pakistan.
Nampaknya, kata-kata memang harus segera ditemukan, bahka di dunia cyber sekalipun, seperti sajak "Cari" Sutardji Calzoum Bachri dalam buku ini: "dari balik puing-puing ini/ dari balik gosong nyeri/ dari balik abu dan tulang-tulang ini/ cepat temukan kata!/ sebelum cuaca semakin memburuk/ sebelum datang lagi El Nino/ sebelum datang pula La Nina/ agar tak kembali muncul El Dictator/..." (One)
Filsafat Perempuan Versi Toeti Heraty
Riwayat Calon Arang mungkin paling menarik dalam sastra Indonesia. Setidaknya, dua sastrawan terkemuka pernahmengangkatnya, Goenawan Mohamad dengan libretto King's Witch dan Pramoedya Ananta Toer dengan Dongeng Calon Arang (Bentang Budaya, 1999).
Namun, Dr Toeti Heraty menyadari bahwa ada bias dalam sejarah, sehingga kenyataan tentang Calon Arang di masa lalu berbeda dengan sekarang. "Kita harus mempertanyakan siapa itu Calon Arang," kata Toeti. Pertanyaannya itulah yang dieksplorasinya dalam sebuah prosa lirik Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki (Yayasan Obor Indonesia, 2000).
Toety menyelami jiwa janda terkutuk itu dan menunjukkan bagaimana sebenarnya Calon Arang punya trauma-trauma yang sama dengan perempuan lain dalam meniti hidupnya, dari menstruasi, status janda, hingga kepedihan seorang ibu yang menyaksikan anak perempuannya tidak ada yang mau dilamar. (One/Siska Widyawati)
Gleyengan Lancar dari Umar Kayam
Satrio Piningit ing Kampung Pingit (SPKP) merupakan buku ke-4 kumpulan kolom Umar Kayam di Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, dari 1997 sampai dengan 1999. Sebagaimana tiga buku terdahulu, SPKP juga mengangkat beraneka ragam topik, mulai dari persoalan rumah tangga sampai masalah-masalah yang sedang hangat di masyarakat. Semuanya dikemas dalam latar budaya priyayi Jawa, dengan Pak Ageng sebagai tokoh utamanya.
Kejelian Umar Kayam menangkap berbagai nuansa reformasi di Indonesia yang mulai meletup pada 1998 menambah daya tarik buku ini. Kekhawatiran akan dampak melonjaknya harga kertas, kreativitas rakyat kecil mencari sumber pendapatan dalam masa ''krismon'', kesulitan membedakan partai-partai politik yang lambangnya mirip, adalah beberapa diantara topik-topik seputar reformasi.
SPKP tetap mempertahankan gaya glenyengan, sebagaimana diungkapkan oleh Sapardi Djoko Damono dalam pengantar ini. Glenyengan adalah suatu bentuk penyampaian sindirian, protes, nasihat, usul, dan sebagainya, dengan bercanda, tidak ngotot, dan sering secara tidak langsung. Geyengan demi gelyengan lancar diungkap oleh Umar Kayam yang telah banyak membuat karya sastra.
Umar Kayam, kelahiran Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932, meraih gelar doktor dari Cornell University, AS, dan mengajar sebagai guru besar pada Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada sampai pensiun pada 1997. Mantan dirjen RTF dan ketua Dewan Kesenian Jakarta ini juga anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Karya tulisnya yang lain adalah Seribu Kunang-kunang di Manhattan, Sri Sumarah dan Bawuk, Mangan Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Banda, Madhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih, novel-novel Para Priyayi dan Jalan Menikung.
Pram dan Jugun Ianfu
Tahun 1943, pasukan Sekutu melakukan penyerangan besar-besaran ke kawasan Asia Tenggara yang tengah dikuasai Jepang. Balatentara Jepang memilih bertahan.
"Hubungan laut dan udara antara balatentara pendudukan Jepang di Asia Tenggara dangan Jepang menjadi sulit... Sulitnya hubungan laut dan udara menyebabkan tentara Dai Nippon tak lagi bisa mendatangkan wanita penghibur dari Jepang, Cina, dan Korea. Sebagai gantinya, para gadis Indonesia dikirim ke garis terdepan sebagai penghibur," tulis Pramoedya Ananta Toer pada pengantar buku terbarunya, "Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer" (KPG, 2001).
Buku ini bukan fiksi, tapi sebuah laporan penyelidikan tentang nasib perempuan-perempuan Indonesia yang jadi budak seks balatentara Jepang. Sumber bahan buku ini sepenuhnya adalah ingatan teman-teman seperjuangan Pramoedya di Pulau Buru dan penyelidikannya terhadap para budak seks yang ditinggalkan begitu saja di Pulau Buru segera setelah Jepang ditaklukkan Sekutu.
Buku yang mulai ditulis tahun 1978 ini mencoba menyusun kembali keping-keping sejarah menjadi sebuah cerita yang relatif utuh. Pengarang mengupas satu persatu kesaksian para Jugun Ianfu (wanita penghibur) itu atau cerita kerabat dekatnya. Dari mereka ditemukan sebuah pola bagaimana balatentara Dai Nippon merekrut perempuan-perempuan muda berusia antara 13-17 tahun untuk dijadikan budak nafsu mereka. (One)
Sayatan Suling Siau Ling
Marilah kita kembali ke masa Majapahit, abad ke-15. Ketika perahu Laksamana Ceng Ho, panglima perang Cina beragama Islam yang terkenal, mendarat di Jawa, bersamanya datang pula Tan Kim Seng. Tan Kim Seng beranakkan seorang putri, Lay Kun, yang nantinya jadi inti utama cerita drama "Siau Ling" (KPG, 2001) karya Remy Silado ini.
Kerumitan cerita mulai kala Lay Kun berjumpa Samik, putra Renggoning. Dengan nyanyiannya, Samik mampu membuai dara Lay Kun, tapi ditampik oleh Tan Kim Seng, karena sesungguhnya Lay Kun telah dijodohkan dengan Adipati Wilotikto. Sementara, Wilotikto tak lain dari suami Renggoning yang dikabarkan senang kawin, beristri 50, dan membawa tahtanya kemana-mana.
Sampai suatu ketika, ketika Adipati Wilotikto tiba melamar Lay Kun di Semarang, putri cantik itu jatuh pingsan. Hanya tiupan seruling Samik yang datang menyamar sebagai Santang yang dapat menyembuhkan Lay Kun. Bukannya dihargai, Samik malah diseret ke hadapan Wilotikto dan dihukum.
Puncaknya, Wilotikto bangkit amarahnya ketika Samik tertangkap basah bercinta dengan Lay Kun. Dalam kemarahannya, adipati yang konon tergolong kasim itu menikam Samik. Tentu saja ibu Kasim, Renggoning murka dan balas menusuk Sang Adipati. Bisa dibayangkan kemudian, bagaimana para bawahan adipati yang selama ini menyaksikan kerakusan dan kedurjanaannya itu kemudian turut pula menghabisi. Tragedi itu terjadi seperti seruling yang jatuh di atas panggung dengan bunyi menyayat pada adegan terakhir drama yang sempat dipentaskan di Teater Tanah Airku, TMII, Jakarta, beberapa waktu lalu ini. (One)
Cakrawala Estetik dan Budaya
Dr. Abdul Hadi WM
Penerbit Pustaka Firdaus, Jakarta
Februari 2000
979-541-117-9
Cakrawala Budaya Islam Abdul Hadi WM
oleh Kurniawan
detikcom Senin, 31/7/2000
"Kajian yang dipaparkan dalam buku ini lumayan luas, dari "Rasulullah di Mata Goethe dan Iqbal" hingga "Cinta di Persujudan Sunan Bonang"."
Abdul Hadi Wiji Muthari atau biasa disebut siingkat dengan Abdul Hadi WM itu selama ini dikenal sebagai sastrawan dan pengajar yang intens menggeluti budaya Islam, terutama kesufiannya. Sejumlah sastra sufi dan sastra dunia pernah ditertjemahkannya, seperti karya Iqbal, Rumi, Hafiz, dan juga Goethe. Dari sanalah lahir buku-buku Rumi: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Rubaiyat Omar Khayam, dan Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik.
Selain buku-buku tersebut, Abdul Hadi juga rajin menulis berbagai artikel tentang kebudayaan Islam di berbagai media, seperti rubrik "Khazanah" harian Pelita, rubrik "Dialog" harian Berita Buana, Republika, Ulumul Quran, Kiblat, dan Horison. Karya-karyanya yang berserakan itulah yang kini dirangkum dalam buku setebal 438 halaman ini, Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya.
Abdul Hadi yang menulis sendiri pengantar buku ini mengakui bahwa kesulitan dan kekurangan utama dari buku ini adalah ketidaksinambungan tematik dari artikel-artikel yang ada. Padahal, pengelompokan artikel-artikel itu sebenarnya sudah cukup luas, yakni "Sastra dan Hikmah", "Sejarah", dan "Estetika, Seni Rupa, dan Musik".
Kajian yang dipaparkan dalam bukunya ini juga lumayan luas, dari "Rasulullah di Mata Goethe dan Iqbal" hingga "Cinta di Persujudan Sunan Bonang", dari "Latar Islam Novel Iwan Simatupang" hingga "Rumi dan Karya Profetik Masnawi", dari "Geografi dan Pelayaran Bangsa Arab" hingga "Latar Islam Perang Diponegoro", dari "Musik Kerohanian Sufi" hingga tentang lukisan AD Pirous.
Dengan begitu luasnya kajian yang dilakukan Abdul Hadi ini, kita bisa iri pada keluasan cakrawala pemikirannya sendiri. Namun, adakah Abdul Hadi sendiri punya keinginan untuk menata gagasannya yang tersebar ini dalam satu penuturan yang sistematik, suatu tatanan yang memepertemukan kebudayaan dan sejarah Islam di Indonesia dan dunia. Tentunya, hanya dia sendiri yang mengetahuinya. Namun, kita boleh berharap buku berikutnya yang diangkat dari disertasinya, "Estetika Sastra Sufistik: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Shaykh Hamzah Fansuri", akan memperkaya khasanah kajian budaya Islam di Indonesia."
CATATAN:
[ ] Semua artikel berinisial One adalah tulisan saya pribadi.