Logo Oneweb
Resensi Buku

Buku Seni

- Lynching Photography in America
- Oulet
- Paintings, Drawings, and Scetches - Tak Enteni Keplokmu
- Semiotika Tiga Film Sejarah
- The Beatles Anthology
- Menonton Bengkel Teater Rendra


Without Sanctuary : Lynching Photography in America
James Allen (editor), Hilton Als, Jon Lewis, Leon F. Litwack, Leon Litwack, John Lewis, Hilton Als
Twin Palms Publisher, New Mexico, AS
Februari 2000 (hardcover)
0944092691

Lynching Photography
Kebiadaban dalam Foto-Foto Seukuran Kartu Pos

oleh Kurniawan

Detikcom 08/06/2000

Kuburan itu terletak di pemakaman Dunsmuir, Oregon, AS. Kuburan yang masih segar dan merah. Siang itu, Kepala Polisi FR Daw baru saja disemayamkan. Dalam suasana duka, sejumlah peziarah yang hadir diam-diam berkumpul di satu pojok. Mereka tengah merencanakan untuk menghukum sendiri pembunuh Daw, Clyde Johnson.

Dini hari, 3 Agustus 1945, segerombolan orang bertopeng --konon berjumlah sekitar 50 orang-- secara paksa memindahkan Johnson dari selnya. Lelaki yang belum diputus perkaranya itu diseret sejauh tiga mil ke Selatan kota. Esoknya, seluruh Oregon gempar, karena Johnson ditemukan telah digantung pada sebuah pohon pinus.

Pejabat lokal dan negara berkomentar macam-macam terhadap kabar penggantungan itu. Jaksa Distrik James Davis mengumumkan bahwa dia akan membuka sebuah penyelidikan dan "melakukan apapun sejauh hukum mengijinkan untuk memberangus gerombolan itu," katanya. Di pihak lain, Jaksa Agung California, mengacu pada eksekusi yang tertunda sebelumnya atas terdakwa, menyatakan bahwa "kegelisahan tak terkendali" itu adalah akibat alamiah dari "keapatisan pengadilan Tinggi Amerika Serikat".

Di tempat lain, Jesse Washington, remaja kulit hitam berusia 17 tahun dengan mental labil, dihukum semena-semena pada 16 Mei 1916 di Waco, Texas, setelah mengaku membunuh pekerja perempuan kulit putihnya. Dia digantung dengan sebuah rantai di depan toko perkakas. Kakinya dibakar hingga ke lutut, bentuknya tak lagi bisa dikenali. "Inilah barbeque yang kami bakar tadi malam," tulis Joe Meyers muda pada punggung kartu pos yang memuat foto penghakiman brutal atas Washington itu. Catatannya tak cuma menggambarkan tubuh Washington yang berantakan tapi juga penulisnya. "Gambarku di sebelah kiri," catatnya.

Apapun komentar mereka pada masa itu, adalah fakta bahwa sebuah jaman kegelapan tengah terjadi, dan sebagiannya terus berlangsung hingga kini. Tuskegee Institute mencatat telah terjadi kebiadaban di luar hukum terhadap 4.742 orang kulit hitam antara 1882-1968.

Namun, yang sering terabaikan adalah hadirnya seorang biasa, kadang memang fotografer profesional, yang merekam peristiwa itu lewat kameranya. Foto-foto tentang kebiadaban ini sering dijadikan kartupos dan dijual sebagai cinderamata di AS pada masa itu. Anehnya, terkadang foto-foto itu melukiskan suatu tampilan yang menggelisahkan: seorang kulit putih menatap langsung ke kamera dan tanpa rasa malu dia tersenyum dengan latar seorang kulit hitam tergantung di sebuah pohon. Orang mungkin lupa, tapi foto-foto itu terlanjur merekamnya dan suatu saat akan mengingatkannya.

Kini, kolektor foto James Allen menggelar sebuah pameran yang tidak biasa, pameran foto dan kartu pos yang menggambarkan kebiadaban di luar hukum dari seluruh penjuru AS selama 25 tahun terakhir ini. Dengan esai-esai yang ditulis Hilton Als, Leon Litwack, John Lewis, dan James Allen, foto-foto itu dipublikasikan oleh Twin Palms Publisher, penerbit dari Santa Fe, New Mexico, yang biasa menerbitkan buku-buku fotografi.

Foto-foto itu dicetak dengan 98 pelat warna pada 212 halaman dan diberi tajuk Without Sanctuary : Lynching Photography in America yang baru terbit Februari lalu. Foto-foto itu pula yang dipamerkan di New York Historical Society (http://www.nyhistory.org/) hingga 9 Juli nanti.

"Foto-foto itu menggoreskan kenaifan kita, bahkan membekukan benak dan indra kita terhadap dalamnya horor itu, tapi mereka harus diuji jikalau kita hendak memahami bagaimana lelaki dan perempuan normal dapat hidup bersamanya, berpartisipasi di dalamnya, dan membela kebrutalan," demikian penggalan esai dari Leon F. Litwak dalam Without Sanctuary. Foto-foto dari masa silam itu menggaungkan sebuah ketidakadilan tapi juga potret kesenangan. Ini bisa jadi sebuah peringatan agar tak berulang, tapi cukupkah demikian? "

SRC: http://www.detik.com/buku/rak/seni/2000/06/08/200068-031808.shtml 29


Oulet: Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia
M Dwi Marianto, Sumartono, Asmudjo Jono Irianto, dan Rizki Zaelani
Yayasan Seni Cemeti, Yogyakarta
2000

Outlet
Macam Apakah Seni Rupa Kontemporer Yogya?

oleh Kurniawan

detikcom Sabtu, 28/10/2000

"Yayasan Seni Cemeti baru saja meluncurkan "Oulet: Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia" di Erasmus Huis, Jakarta. Buku ini berisi hasil penelitian para peneliti dari Bandung dan Jakarta. Jadi, mahluk acam apakah seni rupa kontemporer Yogya itu?"

"Yayasan Seni Cemeti, Yogyakarta, baru saja meluncurkan buku Oulet: Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia di Erasmus Huis, Jakarta, pada Jumat malam (27/10/2000). Buku ini berisi hasil penelitian seni rupa kontemporer di lingkup Yogyakarta yang dilakukan oleh M Dwi Marianto, Sumartono, Asmudjo Jono Irianto, dan Rizki Zaelani.

Keempat penulis buku ini berasal dari dua lembaga yang berpengaruh terhadap perkembangan seni rupa Indonesia. Dwi dan Sumartono berasal dari Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, sedangkan Asmudjo dan Rizki berasal dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung.

Penelitian mereka dimulai pada 1997 dan berakhir pada Juli 1999. Hasilnya adalah sebuah buku setebal 250 halaman dengan 74 gambar (hitam putih dan berwarna). Sampulnya berwarna hijau muda dengan ilustrasi sebuah gambar botol kecap bertulisan "kecap kontemporer" dan gelembung kecap bertulisan "nomor 1" dan berlabel "harga diskon". Ilustrasi sampul ini diambil dari karya Samuel Indratmo, Jangan Berbohong, yang juga dibahas dalam salah satu artikel di buku ini.

Buku seharga Rp 75.000,- ini tak sebatas memaparkan seni rupa kontemporer macam apa yang mereka teliti, tapi juga mengritiknya. Keempat artikel di buku ini berjudul "Peran Kekuasaan dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta", "Konteks Tradisi dan Sosial-Politik dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta Era '90-an", "Menyoal Karya Seniman Yogyakarta Angkatan '90-an, Sebuah Kasus Perkembangan Seni Rupa Kontemporer Indonesia", dan "Gelagat Yogyakarta Menjelang Millenium Ketiga".

Satu artikel pengantar yang ditulis penulis seni rupa Jim Supangkat, "Di Mana Letak Yogyakarta dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta?" memberi catatan tentang metode dan paparan hasil penelitian dalam buku ini yang menurutnya menghasilkan "ketidakjelasan dalam mengidentifikasi seni rupa kotemporernya".

Kesukaran dalam memetakan hal yang ingin diangkat buku ini adalah belum adanya wacana seni rupa kontemporer Indonesia yang jelas yang bisa dijadikan dasar untuk meneliti. Akibatnya, teori yang tepat untuk membahasnya jadi masalah. Hal inilah yang kemudian dikritik oleh Nirwan A Arsuka dan Nirwan Dewanto yang jadi pembahas dalam diskusi buku setelah acara peluncuran buku di tempat yang sama.

Nirwan A Arsuka menyoroti hubungan seni rupa dan kekuasaan yang mendominasi isi buku ini. Pembahasan itu, menurutnya, lebih menonjolkan lingkungan sosial-politik yang dianggap menindas dibandingkan pembahasan atas karyanya sendiri. Akibatnya berbagai karya seni rupa yang tampil dalam Outlet, "lebih sebagai bentuk pembebasan, bukan sebagai hasil jerih payah penciptaan," kata penulis yang juga aktif di Bentara Budaya, Jakarta itu.

Sementara, Nirwan Dewanto mempersoalkan perangkat teoritik yang dipakai dalam dalam buku ini. Pengasuh jurnal Kalam ini mempertanyakan seberapa berguna teori-teori dari Barat yang sarat dengan isme-isme atau aliran-aliran itu dalam membahas seni rupa Yogya. "Karena sepanjang sejarah kita tidak punya komponen diskursif yang punya argumen yang kuat atas hadirnya karya-karya seni rupa," katanya. "Buat saya, Yogya tidak lain dari lembaga seni rupa dan harus dilihat sebagai titik tolak perkembangan seni rupa, bukan aliran seni rupa," tambahnya.

Berbagai kritikan ini mempertegas lagi betapa sulitnya membahas karya-karya seni rupa. Namun, buku ini setidaknya telah mendokumentasikan dengan cukup rinci tentang siapa, apa yang mereka lakukan, dan macam apa karya seni rupa Yogyakarta pada kurun waktu 1990-an.


Paintings, Drawings, and Scetches
Bambang Sriyanto Salamoen
13/02/02

Paintings, Drawings, and Scetches
Mantan Dirut Bank Duta Akan Luncurkan Koleksi 217 Lukisan Impresionis

oleh Kurniawan

detikcom 14/11/2001

Dulu dia bankir, kini dia pelukis. Di masa menjelang pensiunnya dari jabatan presdir BNI Securities, Bambang Sriyanto Salamoen memilih menggeluti dunia lukisan, hobi yang ditekuninya dengan serius selama 40 tahun. Barangkali sebagai penyegaran, mantan dirut Bank Duta ini memutuskan akan menerbitkan buku koleksi lukisannya pada Kamis (23/11/2000). Pada saat itu dia juga akan memamerkan 60 dari 217 lukisan yang termuat dalam buku tersebut di Galeri Sriyanto, Pondok Indah, Jakarta, rumahnya yang dialihfungsikan jadi galeri sejak Mei 2000.

Buku Paintings, Drawings, and Scetches tersebut mencatat produktivitas dan eksperimen warna yang dilakukannya selama 40 tahun, termasuk beberapa karya-karya terakhir yang dipuji oleh Barli Sasmitawinata, Ketua Indonesian Watercolor Society. "Saya dapat menyimpulkan bahwa dia telah menjalani sebuah proses pendewasaan spiritual yang meletakkan karyanya lebih sublim, lebih dalam dan lebih dewasa -- sejajar dengan usia dan pengalamannya," aku Barli dalam pengantar yang termuat di buku tersebut.

Karya yang sublim adalah tujuan yang terus dikejar oleh Sriyanto yang memilih gaya impersionisme dalam menggoreskan kuasnya. Impresionisme yang menekankan pada kesan inderawi pelukis memungkinkannya untuk mengungkap objek secara berbeda dan menghindari ekspresi vulgar. "Jakarta di masa kerusuhan dulu saya tangkap seperti kota yang asing, bukan kerusuhan dan kebakaran," katanya seraya menunjuk lukisan To a Strange Town ketika ditemui Detikcom di studio lukisnya yang terletak di lantai atas galeri.

Buku setebal 212 halaman itu --seperti subjudulnya-- memuat ragam lukisan cat minyak, cat air, pastel, drawing dengan tinta cina dan pensil. Sebagai anggota Indonesian Watercolor Society sejak 1997, secara otodidak Sriyanto mempelajari teknik pewarnaan, sketsa, lukis potret, dan menggambar bunga lewat buku. Itulah sebabnya, mengapa buku ini dibagi dalam enam bagian, landscpaes, flowers, portraits, Chinese ink on rice paper, abstracts, dan other works. Khusus bagian "other works" adalah karya terakhir yang belakangan ditambahkan setelah karya-karya lainnya sudah terlanjur dipilih dan dikelompokkan.

Dalam buku itu nampak bahwa bunga adalah salah satu favoritnya, selain melukis potret yang kebanyakan berbentuk sketsa dan lukisan pemandangan. Untuk objek lukisan pemandangan, Sriyanto beruntung bisa melancong ke banyak tempat, sehingga rekaman objek yang terungkap dalam lukisannya beragam sekali, dari Gedung Putih di Washington hingga pantai Scheveningen di Belanda, dari Pasar Senen di Jakarta hingga Ngarai Sihanok di Sumatera Barat. Sriyanto juga berencana akan melancong ke Padang tahun depan untuk membuat lukisan tematik yang diberinya judul "West Sumatera Landscapes".

Dalam buku itu terdapat pula sebuah artikel pengantar yang ditulis Shintawati Purboroni, putri Sriyanto sekaligus pengelola Galeri Sriyanto. Maksud artikel ini mestinya sebuah pertanggungjawaban seorang kurator. Sayangnya, Shintawati hanya mendasarkan pada wawancara yang dilakukannya, belum menggagas lebih jauh karya yang terpilih. Untuk ini, nampaknya masih diperlukan kupasan yang kritis dari seorang pengamat seni rupa yang berkompeten untuk memperkaya isi buku tersebut.

SRC: http://www.detik.com/buku/rak/seni/2000/11/14/20001114-210751.shtml


Tak Enteni Keplokmu: Tanpa Bunga Dan Telegram Duka
Sindhunata
Gramedia Pustaka Utama
Januari 2000

Tak Enteni Keplokmu
Melepas Gambar, Menangkap Celeng

oleh Kurniawan

detikcom 08/06/2000

Terinspirasi oleh lukisan-lukisan celeng Djokopekik, Sindhunata menulis sebuah prosa tentang celeng. Bukunya bisa jadi panduan memahami lukisan celeng, bisa pula sebuah prosa mandiri tentang kehidupan rakyat kebanyakan dan segala perilaku dan kepercayaan mereka.

Mulanya mungkin cuma sebindang gambar celang yang dilukis dengan sapuan kuat di atas kanvas oleh pelukis Djokopekik. Pelukisnya sendiri mungkin hanya ingin melukis tentang celeng. Di beberapa media massa, Pekik bicara tentang celeng yang banyak, celeng mitos yang membawa kekayaan, celeng yang angkara, dan celeng yang diburu dan dibunuh orang. Apapun itu, hasilnya tetap sebuah lukisan celeng, yang bahkan untuk salah satu serinya berharga satu miliar rupiah. Itulah karya pelukis.

Namun, Sindhunata bukanlah Djokopekik. Dia adalah doktor filsafat lulusan Jerman. Dia jadi sastrawan lewat karya-karya sastranya yang luar biasa, seperti "Anak Bajang Menggiring Angin" dan "Cikar Bobrok". Dia juga wartawan yang menulis dengan sangat menyentuh dan manusiawi tentang kehidupan rakyat kecil dan sepakbola.

Maka, bila kemudian dia menulis dari sebuah insiprasi lukisan celeng Djokopekik, hasilnya tentulah berbeda. Seperti dinyatakannya sendiri dalam buku "Tak Enteni Keplokmu" ini, bahwa "Di zaman kekejaman memancar, Djokopekik telanjur menggambar/ Tak mungkin lagi celengnya ditangkap hanya sebatas gambar" (hal. 21)

Dan begitulah. Djokopekik makin hilang, seiring celeng yang terus berlari dan dikejar dengan sangat hati-hati, impresif, dan sistematis oleh seorang Sindhunata. Buku ini kemudian mampu memaparkan sebuah tafsir yang kaya dan terbuka terhadap lukisan celeng itu.

Secara sederhana, buku ini bisa menjadi panduan yang baik untuk memahami lukisan itu sendiri. Namun, sesungguhnya buku ini pun menjadi suatu karya tersendiri dari seorang Sindhunata. Dia jadi sebuah hasil permenungan dan refleksi yang mandiri, sebuah prosa tentang celeng, dengan seting rakyat kebanyakan, tentang perilaku dan kepercayaan yang melekat dalam tradisi dan benak mereka.

SUMBER: http://www.detik.com/buku/rak/seni/2000/06/08/200068-033221.shtml


Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia
Budi Irawanto, Eros Djarot (Pengantar)
Media Pressindo bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation
1999

Film, Ideologi, dan Militer
Semiotika Tiga Film Sejarah

oleh Kurniawan
Detikcom Kamis, 08/06/2000

Dominasi militer di Indonesia tak melulu tampil dalam seragam dan senjata yang disandangnya, tapi juga menampak dalam tiga film sejarah masa Orde Baru dan Orde Lama.

"Semiotika dan analisa struktural memang belum populer dalam dunia akademik Indonesia. Paling-paling baru dimanfaatkan dalam penelitian di bidang sastra dan bahasa.

Budi Irawanto dalam bukunya ini mencoba menerapkan metode itu dalam bidang yang sebenarnya sangat dekat dengan bahasa, yakni dalam komunikasi, dan lebih sempit lagi dalam film. Dengan peranti semiotika dan sederet teori lain, Budi membedah tiga "film sejarah" Indonesia, yakni "Janur Kuning", "Enam Djam di Yogya", dan "Serangan Fajar".

Berangkat dari tesis-tesis tentang hegemoni militer di Indonesia, Budi mengupas ketiga film itu. Hasilnya, tak jauh berbeda dari kesimpulan kebanyakan ilmuwan politik, bahwa militer memang mendominasi percaturan politik Indonesia.

Hal yang penting dicatat dari buku ini adalah upaya Budi untuk menunjukkan praktik hegemonik itu dalam media yang sementara ini dianggap cuma sekedar hiburan belaka. Dengan terbitnya buku ini, berarti menambah lagi deret panjang kajian tentang hegemoni militer di Indonesia.

Buku ini merupakan contoh yang menarik untuk melihat bagaimana semiotika sebagai sebuah pisau bedah dipakai untuk mengkaji sesuatu di luar bidang ilmu sastra dan bahasa.


The Beatles Anthology
The Beatles
Chronicle Books, AS
5 Oktober 2000
0-811-82684-8

The Beatles Anthology
"Neneknya" Babon Beatles Tahun Ini"

Kurniawan

detikcom Sabtu, 19/08/2000

Bergembiralah para beatlesmania! Tahun ini tampaknya akan menjadi tahun bersejarah bagi The Beatles, karena Paul McCartney, George Harrison, dan Ringo Starr sepakat untuk merayakannya dengan mempersembahkan milik terbaik mereka dalam sebuah buku The Beatles Anthology.

"Bergembiralah para beatlesmania! Tahun ini tampaknya akan menjadi tahun bersejarah bagi The Beatles, karena Paul McCartney, George Harrison, dan Ringo Starr sepakat untuk merayakannya dengan mempersembahkan milik terbaik mereka dalam sebuah buku The Beatles Anthology. Meski ada 500 judul buku lebih tentang Beatles, namun buku ini mereka juluki "neneknya buku-buku Beatles".

Buku yang dicetak lebih dari 1,5 juta eksemplar ini akan beredar di pasaran seluruh dunia pada 5 Oktober nanti. Tebalnya 368 halaman dan memuat 1300 foto lebih, kebanyakan belum dipublikasikan. Buku ini juga memuat wawancara terbaru dengan tiga angota Beatles yang masih ada, materi yang belum dipublikasikan dari John Lennon, catatan harian, dokumen, dan memorabilia dari arsip pribadi Beatles.

Buku seharga US$ 60 (sekitar Rp 500.000,-) ini digarap sesempurna mungkin. Meskipun penerbit Chronicle cukup berpengalaman memasarkan buku-buku ilustrasi dan nama Beatles sudah melegenda, tapi kampanye pemasarannya tetap penting dan mahal. Capitol Records, pemilik hak atas musik Beatles, akan menopang Chronicle dengan projek publikasi yang menggabungkan buku dan musik. Kampanyenya termasuk promosi lewat radio nasional dan tempat-tempat pemesanan buku. Promosi lewat internet tengah dikerjakan.

Lennon

Selain The Beatles Anthology, ada beberapa buku lain yang turut memarakkan kembalinya Beatles ini. Penerbit Verso misalnya, akan menerbitkan Lennon Remembers: The Famous Rolling Stone Interviews yang diedit oleh Jann S. Wenner. Buku ini akan diluncurkan pada 9 Oktober nanti, bertepatan dengan ulang tahun ke-60 Lennon.

Kelebihan buku ini adalah dimuatnya transkrip wawancara lengkap Wenner (pendiri, editor, dan penerbit majalah Rolling Stone) dengan Lennon di tahun 1970. Dengan cetakan pertama mencapai 75.000 eksemplar, buku ini konon memuat hal-hal substansial dan sensitif yang dulu diedit untuk artikel dalam majalah, seperti ungkapan Lennon tentang manajernya, Brian Epstein, dan rincian bunuh diri Epstein, juga kehidupannya di jalanan yang menyakitkan. Transrip itu juga akan dilengkapi dengan komentar Yoko Ono yang dalam versi majalahnya dihilangkan meskipun Yoko hadir pula dalam wawancara tersebut.

Untuk mengimbangi publikasi The Beatles Anthology, penerbit Verso akan memuat nukilan dari buku tesebut di majalah Rolling Stone. Yoko Ono kabarnya telah bersedia menuliskan pengantarnya untuk buku tersebut. Dalam buku itu juga dimuat reproduksi manuskrip lirik asli dari dua lagu Lennon, "Working Class Hero" dan "God," yang diberikan Ono.

Yoko sendiri tengah sibuk menyiapak bukunya, Grapefruit: A Book of Instructions and Drawings, dengan pengantar baru yang ditulis Yoko. Buku ini merupakan cetak ulang dari bukunya di tahun 1970. Selain itu, Yoko juga menulis pengantar baru untuk buku Lennon: In His Own Write, yang memuat tulisan dan lukisan Lennon. Buku ini adalah versi cetak ulang buku tahun 1964. Satu lagi, Yoko akan mempublikasikan Yes Yoko Ono karya Alexandra Munroe dan Jon Hendricks yang merupakan buku plus CD yang memuat penampilan karya seni Ono di berbagai museum. Buku-buku ini akan diluncurkan Oktober nanti.

Paul McCartney tak ketinggalan akan menerbitkan Paul McCartney: I Saw Him Standing There yang diterbitkan Watson-Guptill. Buku yang dikarang Jorie B. Gracen ini adalah sebuah rekaman fotografis dari sejarah sang musisi. Paul juga akan meluncurkan karyanya, Paul McCartney: Paintings, yang memuat karya seni dan fotografi McCartney oleh Linda McCartney. Kedua buku ini akan diluncurkan September nanti. Dan pada bulan Desember, sebuah buku berejudul In My Life: the Brian Epstein Story karya Debbie Geller yang memuat biografi manajer Beatles itu akan diterbitkan pula. Yah, lengkap sudah tahun kebesaran Beatles.


Menonton Bengkel Teater Rendra: 1968-1999
WS Rendra
Kepel Press Yogyakarta
2000

Dari 4500 Artikel
Bengkel Teater dan Kibasan Burung Merak

Kurniawan

detikcom

Rabu, 19/7/2000

Dari sekitar 4500 artikel yang tersebar dalam berbagai media, Kepel Press akan menerbitkannya jadi empat buku. Isinya tentang apresiasi dan perjalanan Bengkel Teater dan WS Rendra. Agustus mendatang buku pertama dipastikan terbit.

Akhirnya, Detikcom mendapat kepastian bahwa empat buku tentang WS Rendra akan terbit tahun ini. Seperti disampaikan Edi Haryono, penyusun dan penyunting buku-buku tersebut, satu dari empat buku tersebut akan terbit Agustus mendatang. "Satu lagi masih dalam negosiasi dengan satu penerbit besar di Indonesia yang nyata berperan besar terhadap kemunculan Bengkel Teater," katanya.

Buku-buku tersebut terdiri dari Menonton Bengkel Teater Rendra: 1968-1999, Rendra dan Teater Modern Indonesia, Membaca Kepenyairan Rendra, dan Ketika Rendra Baca Sajak. Buku pertama tebalnya mencapai 1100 halaman, yang kedua dan ketiga tebalnya sama-sama 340 halaman, sedang yang ketiga setebal 180 halaman. Semuanya akan diterbitkan oleh Kepel Press Yogyakarta.

Buku-buku ini sebenarnya merupakan dokumentasi dari ragam bentuk apresiasi terhadap Bengkel Teater dan Rendra sejak kemunculannya di Yogyakarta hingga pondokannya di Depok, Jakarta. Dokumen-dokumen tersebut bersumber dari berbagai berita, esai, dan resensi dari media, seperti majalah, koran, dan buku pertunjukan. Ada banyak media yang menjadi sumber, di antaranya Gelora Mahasiswa, Kompas, Indoensia Raya, Angkatan Bersenjata, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, Mercu Suar, Masa Kini, Berita Buana, Tempo, Caraka, Aktuil, dan Basis.

Para penulis di berbagai media tersebut umumnya memang berkecimpung dalam dunia teater dan kebudayaan, seperti Prof. Nakamura, Goenawan Mohamad, Umar Kayam, Ikranegara, Yudistira Adi Nugraha, Arswendo Atmowiloto, Emha Ainun Najib, Emanuel Subangun, Alfons Taryadi, TH Sumartana, Ramadhan KH, Dick Hartoko, Bakdi Sumarto, T. Sularso, Wing Karjo, Mahbub Djunaedi, dan Kwik Kian Gie. Jumlah dokumennya mencapai 4500 artikel. Itulah sebabnya mengapa dipecah menjadi empat buku.

Menurut pimpinan Teater Bela Studio yang pernah menjadi asisten naskah Rendra itu, selama ini banyak keluhan dari para peneliti dan mahasiswa ketika hendak meneliti Bengkel Teater, karena dokumen yang ada yang mencatat perjalanan kelompok teater tersebut sangat terbatas, apalagi buku. Sementara, tidak ada lembaga semacam PBS HB Jassin yang khusus mendokumentasikan kehidupan teater, dan Bengkel sendiri memang tidak memiliki kelembagaan yang mengurusnya. "Bengkel nggak punya, Mas Willy menganggap itu tidak penting," katanya.

Almarhum Arifin C. Noor memang pernah mencoba membangun Laboratorium Teater, tapi tak berkembang jauh. Beberapa teater lain mencoba mendokumentasikan secara sendiri-sendiri, tapi belum mencapai taraf yang ideal.

Menurut Edi, selain kebutuhan akan dokumentasi tersebut, alasan utama penerbitan buku-buku ini adalah untuk menjawab pertanyaan tentang seberapa jauh peran Rendra dan Bengkel Teater sebenarnya. "Mas Willy telah dianggap sebagai tokoh yang mempengaruhi abad 20 di Indonesia, tapi mempengaruhi apa dan macam apa belumlah jelas. Harus saya jawab bahwa macam apa Rendra, karyanya dipentaskan seperti apa, dan reaksi masyarakat seperti apa. Itulah kewajiban saya," jelas Edi.

Ketika ditanya, seberapa jauh peran Rendra sendiri terhadap penerbitan ini, Edi menjawab bahwa Rendra lebih banyak memberikan masukan terhadap data yang kurang. "Ketika saya ajukan outline-nya, Rendra misalnya menambahkan 'Oh, ini ada yang kurang ini, Bengkel pernah mementaskan tiga drama pendek Brecht' katanya, padahal saya sendiri baru tahu kalau Mas Willy pernah meneerjemahkan tiga naskah Brecht," jelasnya. Tiga drama itu adalah Istri Yahudi, Mencari Keadilan, dan Informan yang naskahnya sendiri entah ada dimana sekarang.



Lihat siapa pengunjung situs ini.