The Cross
Under the Cross

English
Indonesian
Search
Archives
Photos
Pattimura
Maps
Ambon Info
Help Ambon
Statistics
Links
References
Referral

HTML pages
designed &
maintained by
Alifuru67

Copyright ©
1999/2000 -
1364283024
& 1367286044


Ambon Island 

 

AMBON Berdarah On-Line
About Us

 

 

  Ambon Island

  Ambon City

 

 

   Latupatti

  Want to Help?

BERITA HARIAN UMUM SIWALIMA
EDISI: Jumat, 04 Mei 2001

  1. DPRD Didesak Keluarkan Memorandum kepada Gubernur
  2. Tak Peduli Larangan Attamimi, Pedagang Ngaku Cuma Cari Makan
  3. Larangan Attamimi Langgar HAM
  4. Antisipasi Monopoli Orang Luar, Kualitas Jadi Taruhan
  5. Ketua FPDI-P DPRD Maluku, Bitto S. Temar Soal Pelembagaan Humas
  6. Soal Proses Hukum Terhadap FKM


Sejak 10 Maret, Syariat Islam Mulai Berlaku di Maluku
Ja'far Umar Thalib: Itu Kesepakatan Muslim Ambon!

Ambon, Siwalima

Diam-diam syariat Islam telah diberlakukan di Maluku. Sedikitnya, empat orang dikabarkan telah dibunuh gara-gara melakukan pelanggaran terhadap syariat Islam. Pemberlakuan syariat Islam ini dimulai sejak dideklarasikan pemberlakuannya di Mesjid Al-Fatah, Ambon, 10 Maret lalu.

Hal itu terungkap dari laporan Gatra edisi terbaru, no. 24 Tahun VII. Pada rubrik "Agama" halaman 40, tiga wartawan Gatra --Herry Mohammad, Kholis Bahtiar Bakri dan Mujib Rahman-melaporkan mengenai hukum rajam hingga tewas terhadap seorang anggota Laskar Jihad Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah pada tanggal 27 Maret lalu di Ahuru, dengan judul: 'Hukum Rajam, Laskar Meninggalkan Wacana'.

"Memang, sejak 10 Maret silam, masyarakat muslim Ambon sudah mendeklarasikan berlakunya syariat Islam. Deklarasi tersebut dilangsungkan di mesjid Al-Fatah, dan diumumkan melalui radio dan pamflet-pamflet yang disebarkan ke seluruh pelosok," tulis Gatra.

Menurut catatan Siwalima, pada akhir Maret hingga awal April lalu, aksi-aksi pemberantasan kemaksiatan memang gencar dilakukan Laskar Jihad dan para pendukungnya. Misalnya, lokalisasi Pekerja Seks Komersial (PSK) di Tanjung Batu Merah dipaksa untuk ditutup. Bahkan, tempat-tempat hiburan malam pun dikenakan berbagai ketentuan yang harus dipatuhi oleh para pengelolanya.

Tak cuma itu. Laskar Jihad juga melakukan pemberantasan minuman keras. Hal ini dilakukan sampai sekarang. Malah, larangan Ustad Mohamad Atamimi bagi para agen transaksi pun disinyalir berkaitan dengan mulai diberlakukannya syariat Islam tersebut.

Menurut laporan Gatra, setelah diberlakukannya syariat Islam, empat orang sudah dihukum mati. Tiga korban pertama adalah pengedar minuman keras yang ditangkap Laskar Jihad ketika mereka melewati perbatasan Jembatan Dua, Kecamatan Salahutu. Ketiganya langsung dieksekusi, ditembak mati. Sedangkan korban terakhir adalah seorang anggota Laskar Jihad asal Surabaya. Korban dilaporkan seorang ibu asal Kampung Ponegoro, Kecamatan Nusaniwe telah memperkosa pembantunya setelah mengancam bunuh dengan gunting. Anggota Laskar Jihad itu akhirnya dirajam hingga tewas di Desa Ahuru, setelah menjalani pemeriksaan dari tim yang beranggotakan lima orang dan diketuai seorang Ustad selama empat hari, dimana korban mengakui perbuatannya.

Menurut Panglima Laskar Jihad Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah, Ja'far Umar Thalib, hukum rajam itu dilakukan sesuai dengan hukum Islam karena yang bersangkutan sudah menikah. Bagi yang belum menikah, cukup didera 100 kali. "Tindakan tegas Laskar Jihad merupakan wujud dari kesepakatan masyarakat Muslim Ambon untuk menerapkan syariat Islam," jelas Umar Thalib, sebagaimana dikutip Gatra.

Menurut dia, eksekusi rajam, dilempari batu sampai mati tersebut merupakan momentum penegakan syariat Islam di Ambon. Ya, "Peristiwa ini merupakan momentum penegakan syariat Islam di bumi Ambon," ujar Ustad Ja'far Umar Thalib sembari menyitir ucapan korban hukum rajam sebelum menghembuskan nafas terakhir, "Saya mohon diberi kesempatan cium tangan Ustad, tolong saya dimaafkan dan didoakan."

Majelis Ulama Indonesia (MUI) rupanya tak sependapat dengan apa yang dilakukan Laskar Jihad Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah. Menurut ketua MUI, KH Umar Shibab (61), pemberlakuan hukum Islam harus mengikuti satu mekanisme undang-undang yang disahkan negara. Pasalnya, jelas dia, dalam Al-Quran yang diperintahkan menegakan hukum adalah pemerintah sebagai pemegang kekuasaan. "Hukum Islam harus berdasarkan hukum yang disepakati," tandasnya.

Hal senada diutarakan guru besar IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Prof. Drs. Asmuni Abdurrahman. Menurut dia, dalam memberlakukan hukum Islam, aturannya harus jelas. "Pemerintahnya harus Islam, perzinanya diproses, dan diputuskan oleh majelis hakim," tutur Asmuni.

Sementara itu, pakar hukum Islam dari IAIN Sunan Ampel, Surabaya, Prof. Dr. Syechul Hadi Permono mencoba menawarkan solusi. "Kalau mau otonomi dalam bidang hukum, setidaknya ada wilayah yang berdaulat dan wiliyulamri," ujarnya.

Karena itu, ia menganjurkan, bila hukum Islam diterapkan harus dikolaborasikan kedalam KUHP yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia. (S14)


DPRD Didesak Keluarkan Memorandum kepada Gubernur
Latuconsina Dinilai Gagal Tuntaskan Konflik

Ambon, Siwalima

Lagi-lagi kebijakan Gubernur Dr. Ir. Saleh Latuconsina selaku Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) Maluku dipermasalahkan. Pasalnya, berbagai kebijakannya selama ini untuk menuntaskan konflik Maluku dinilai masih belum membuahkan hasil apa-apa, bahkan terkesan gagal. Karenanya, DPRD Maluku didesak untuk mengeluarkan momerandum kepadanya.

Ya, "Ini harus jujur dikatakan bahwa Gubernur Dr. Ir. Saleh Latuconsina telah gagal dalam menyelesaikan konflik di Maluku ini. Coba bayangkan saja, dari daerah ini berstatus Banmil (bantuan militer) sampai dengan status darurat sipil semua terobosan atau kebijakan yang dibuat oleh orang nomor satu ini, apa hasilnya? Malah kondisi saat ini dirasakan semakin parah. Untuk itu, DPRD Maluku harus segera mengeluarkan momerandum kepada Gubernur Maluku selaku PDSD," tandas pengamat sosial politik dari Fisip UKIM, Drs. Marthen J. Maspaitella, MSi, kepada Siwalima di Ambon, kemarin.

Menurutnya, kondisi Maluku saat ini semakin parah, sehingga Dewan sudah harus segera mengeluarkan memorandum kepada Latuconsina atas semua kebijakannya dalam rangka penyelesaian konflik. Ya, "Persoalan Maluku sudah sangat parah. Berbagai penderitaan, bahkan sampai saat ini masih saja terjadi penyerangan yang dilakukan perusuh terhadap masyarakat di Buru Selatan. Dan tidak ada sebuah kebijakan yang tegas dari pemerintah daerah selaku PDSD untuk mengeliminir persoalan ini," jelas Maspaitella.

Dikatakan, masyarakat Maluku sedang berada pada kondisi yang terpuruk dan membutuhkan langkah yang tepat dari para wakilnya di DPRD Maluku. Ya, "DPRD Maluku selaku wakil-wakil rakyat harus kita minta perlindungan dari mereka (rakyat Maluku-Red). Mereka-mereka ini saja yang bisa masyarakat Maluku harapkan. Oleh karena itu, DRPD Maluku harus segera melakukan perundingan bersama secara institusional terhadap sikap Gubernur Maluku selaku PDSD, dan harus segera mengeluarkan momerandum," ungkap Maspaitella.

Dikatakan, DPR RI saja bisa mengeluarkan memorendum kepada Kepala Negara. "Kenapa DPRD Maluku tidak bisa mengeluarkan memorandum. Ini kan sebuah mekanisme kerja legislasif yang jelas. Dan ini diatur dalam tata tertib legislatif. Jadi sah-sah saja kalau DPRD Maluku mengeluarkan memorandum kepada Kepala Daerah," papar dia.

Menjawab pertanyaan apakah dalam status darurat sipil, DPRD Maluku boleh mengeluarkan memorandum, Maspaitella mengaku, tidak menjadi masalah. "Oh, tidak ada masalah. Anda lihat, apakah dalam kedaan darurat sipil ini, aktiftas dewan dan berbagai instansi lainnya darurat juga? Kan tidak ada. Semuanya berjalan normal kok. Anda lihat kegiatan studi banding DPRD Maluku, rapat-rapat komisi, pembahasan Ranperda, itu kan semua jalan seperti biasa. Ini berarti dalam keadaan darurat sipil di daerah ini, semua agenda legislatif berjalan. Jadi, tidak bisa pakai alasan darurat sipil lalu DPRD tidak bisa mengeluarkan memorandum," tutur Maspaitella.

Dikatakan, memorandum yang perlu dikeluarkan DPRD Maluku ini harus mengarah pada perbaikan-perbaikan kerja atau kebijakan pemerintah terkait dengan penyelesaian konflik Maluku. "Ya, katakanlah memorandum pertama, diberi batas waktu selama tiga bulan. Nah, setelah itu dewan mengadakan rapat paripurna untuk mengevaluasi memorandum yang pertama itu. Kalau toh, berdasarkan hasil evaluasi, DPRD menilai bahwa pemerintah tidak mematuhi memoradum yang pertama, maka dewan bisa mengeluarkan memorandum yang kedua, yang batas waktunya satu bulan. Kalaupun memorandum yang kedua juga tidak dipatuhi lagi, bukankah DPRD Maluku dapat berteriak untuk menurunkan Latuconsina?" papar Maspaitella. (S12)


Tak Peduli Larangan Attamimi, Pedagang Ngaku Cuma Cari Makan
Waimalaka Sinyalir Ada yang Berkepentingan Atas Konflik Salam-Sarani

Ambon, Siwalima

Ini sudah menyangkut tuntutan perut. Sejumlah pedagang kaki lima mengaku tidak peduli dengan adanya larangan dari Ustad Moh. Atamimi, pimpinan Satgas Amar Ma'ruf Nahi Mungkar, agar mereka tidak melakukan transaksi dengan umat Kristen. Bahkan, ada pula yang mengaku baru tahu kalau ada "ijin" dari Satgas untuk melakukan transaksi bisnis.

Hal itu terungkap dalam percakapan Siwalima dengan sejumlah pedagang Salam di sejumlah kawasan perbatasan pemukiman Islam-Kristen yang tengah menjajakan barang dagangannya, kemarin. Ada yang mengaku sama sekali tak mengantongi surat ijin dari Satgas pimpinan Atamimi.

Sejumlah pedagang mengaku kalau mereka sempat tidak berjualan beberapa hari terakhir bukan karena adanya larangan dari Atamimi dkk. Menurut mereka, absennya mereka berjualan disebabkan oleh unjukrasa besar-besaran massa Muslim berkaitan dengan pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) oleh FKM, pada hari Jumat (27/4) lalu, yang dikhawatirkan jangan sampai muncul ketegangan baru. "Jadi kami tidak tahu dengan surat ijin satgas itu. Sebab kami sendiri tahu yang kami lakukan disini (berjualan-Red), hanyalah untuk menghidupi keluarga kami. Itu saja. Kami tak tahu dengan segala urusan ijin-ijin yang membuat pusing itu," ucap seorang pedagang Salam, (maaf, namanya sengaja tidak ditulis), kesal.

Toh begitu, dia mengaku kalau dirinya pernah mendengar soal adanya larangan untuk melakukan transaksi bisnis dengan umat Kristen. Tetapi, ia mengaku tidak tahu menahu kelanjutan informasi tersebut secara persis. "Yang saya tahu memang pernah ada larangan dari satgas untuk mengadakan transaksi bahkan berhubungan dengan orang Kristen. Namun saya kembali tanya, siapa yang akan membeli barang kami di bawah (Waihaong-Red), sebab semua orang berjualan. Lalu jika tidak mengadakan hubungan dengan orang Kristen, kami mau kasih makan apa buat anak-istri," tukas pedagang yang saa.

Dia malah menduga kalau ijin transaksi itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang bertransaksi dengan kendaraan saja. "Atau mungkin hanya untuk orang-orang yang dekat dengan Usthad Attamimi saja yang harus bertransaksi dengan membawa ijin. Ini hanya dugaan saya saja. Sebab saya sama sekali tidak berjualan dengan membawa ijin dari satgas, dan teman-teman disini juga kami semua berjualan tidak mengantongi surat dari satgas itu. Ya, mungkin surat ijin itu hanya untuk orang-orang yang dekat dengan Attamimi saja," tambah seorang pedagang Salam yang lain di tempat terpisah.

Kepentingan
Sementara itu, seorang tokoh pemuda Muslim, Ridwan Waimalaka menyambut positif gagasan seorang agen bisnis yang bertransaksi dengan agen dari kalangan Kristen di Simpang Galala, Madi Sam Jais, agar PDSD turun dan melihat rekonsiliasi alamiah yang sudah mereka lakukan selama ini ketimbang membuang dana untuk biaya rekonsiliasi hingga ke luar daerah namun tak membawa hasil yang optimal.

Ditemui Siwalima di Ambon, kemarin, Waimakala menuturkan bahwa apa yang disampaikan oleh para egen transaksi itu patut untuk mendapat perhatian dari PDSD. "Sebab memang harus diakui merekalah yang secara tak langsung menjalankan rekonsiliasi, dan itu berjalan sendiri tanpa lewat rekayasa orang atau suatu badan. Ini yang patut kita cermati bersama," tutur dia.

Sekretaris Umum HIMPEMESET ini juga menyebutkan, apa yang terjadi beberapa hari belakangan ini telah memberikan gambaran yang nyata bahwa masih ada kelompok masyarakat yang belum menginginkan adanya suatu rekonsiliasi di Ambon ini. "Itulah yang jadi sebab. Harus diakui, baik dari Muslim maupun Kristen, ada masyarakat yang belum menginginkan terciptanya rekonsiliasi, dan mereka-mereka itu biasanya ada yang karena dendam yang masih kental. Namun tak dapat dipungkiri juga orang-orang yang masih punya kepentingan dengan konflik ini," ungkap Waimakala.

Khusus untuk kalangan Muslim sendiri memang ada kelompok yang masih belum mendukung proses rekonsiliasi basudara Salam-Sarani. Dimana, kata dia, rencana konsolidasi internal Muslim Maluku melalui Musyawarah Umat Muslim masih belum dapat dilaksanakan sampai sekarang. "Memang berpijak dari belum terlaksananya konsolidasi internal kami (Muslim-Red), sebenarnya tergambar sudah bahwa rekonsiliasi itu belum dapat diterima sepenuhnya oleh masyarakat secara menyeluruh, pun kelompok-kelompok tertentu," tutur Waimakala.

Karena itu, dia sependapat dengan ide para agen transaksi itu agar rekonsiliasi sebaiknya dibangun secara alamiah. Ya, "Saya setuju dengan buah pikir dari para agen transaksi itu. Sebab sudah terbentang didepan mata kita semua, bahwa hasil dari rekonsiliasi yang selama ini diupayakan oleh PDSD maupun LSM-LSM yang bergerak di bidang itu membuahkan hasil yang semu. Karena memang semua yang mereka buat itu terlalu dipaksakan dan direkayasa. Oleh karenanya, jika PDSD ingin menciptakan rekonsiliasi yang bertahan, biarlah bangun rekonsiliasi secara alamiah. Itu yang paling utama, lain tidak," tandas Waimakala. (S11)


Larangan Attamimi Langgar HAM
Usir Jihad, Ubro Ajak Salam-Sarani Bersatu

Ambon, Siwalima

Larangan transaksi yang dikeluarkan Pimpinan Satgas Amar Ma'ruf Nahi Mungkar, Ustad Mohammad Attamimi kepada para agen transaksi Salam agar tidak melakukan transaksi dengan agen Sarani dinilai sebagai sebuah bentuk pelanggaran Hak-Hak Asasi Manusia (HAM).

"Orang melakukan transaksi, saling berhubungan satu sama lain, merupakan hak asasi setiap orang. Dan kalau ada orang yang melarang, ini jelas-jelas tidak sesuai dengan etika hubungan kemanusiaan. Dan tentunya ini sebuah pelanggaran HAM," tandas Ketua Yayasan Lentera Maluku, Drs. Rolly Ubro, kepada Siwalima di Ambon, kemarin .

Dikatakan, Atamimi dkk tidak ada punya alasan untuk melarang orang saling berhubungan atau bertransaksi. "Apakah satgas pimpinan Attamimi itu merupakan sebuah lembaga tandingan pemerintah, sehingga dia mau mengambil sikap pada orang Maluku. Nah, dengan sikap yang ditunjukkan oleh Attamimi ini, maka sudah jelas, bagi masyarakat Maluku, baik Salam maupun Sarani yang cinta damai, siapa sebenarnya orang yang menjadi batu sandungan bagi Masyarakat Maluku untuk membangun sebuah kehidupan yang damai," ujar Ubro.

Menurut dia, masyarakat Maluku telah dijadikan obyek pemerasan oleh orang luar. Ya, "Kita masyarakat Maluku sekarang ini seakan sudah dijadikan obyek pemerasan dari orang luar (Laskar Jihad-Red). Oleh karena itu, seharusnya Masyarakat Maluku, baik Salam maupun Sarani yang punya niat tulus untuk berdamai harus bersatu mendesak PDSD, serta TNI-Polri untuk berjuang bersama menolak tindakan-tindakan Laskar Jihad," tandas Ubro.

Dikatakan, pelarangan yang dikeluarkan oleh Attamimi ini menunjukan bahwa Atamimi dkk telah memposisikan diri sebagai institusi yang punya kekuatan lebih besar dari PDSD Maluku. "Karena itu, Dr. Ir. Saleh Latuconsina selaku PDSD Maluku harus mengambil sikap tegas terhadap kelompok Attamimi, yang jelas-jelas tidak menginginkan daerah ini aman. PDSD Maluku harus ingat, bahwa transaksi-transaksi jual beli yang dilakukan para agen Salam-Sarani ini merupakan bentuk-bentuk rekonsiliasi alamiah, yang tentunya menjadi sebuah kekuatan untuk menciptakan kedamaian. Jadi bukan sesuatu yang direkayasa," papar Ubro, mengingatkan.

Dia menambahkan, "Kalau ada kelompok-kelompok yang mau merusak hubungan ini, PDSD jangan tinggal diam. Yang bisa melarang manusia untuk tidak saling berhubungan hanya Tuhan Allah. Itu berarti manusia itu sudah mati. Sehingga manusia itu tidak bisa lagi berhubungan. Tapi sepanjang manusia itu masih bernafas, dia punyak hak untuk saling berhungan dengan siapapun." (S12)


Antisipasi Monopoli Orang Luar, Kualitas Jadi Taruhan
Rektor Unpatti: Universitas Harus Bisa Seperti Badan Usaha

Ambon, Siwalima

Inilah warning Rektor Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Prof. Dr. Mus Huliselan bagi rakyat Maluku. Diingatkan bahwa jika tidak ingin tergilas dalam suasana persaingan saat ini dan kedepan, maka perbaikan kualitas harus segera dilakukan.

Jadi, "Bicara persaingan tentu tidak lain kita bicara kualitas. Karena itu, Unpatti berupaya bagaimana bergerak saat tenang ini guna memaksimalkan segala potensi mahasiswa termasuk kualitas para dosen dalam mencetak sarjana-sarjana yang dapat bersaing di pasar internasional. Untuk lokal pun kita harus mempersiapkan sarjana-sarjana. Jika tidak, pasar kerja di Maluku dalam waktu-waktu akan datang bisa diambil-alih orang luar Maluku," tandasnya.

Hal itu diungkapkan Rektor Unpatti ini menjawab pertanyaan Siwalima di kantor Gubernur Maluku seusai membuka seminar sehari bertajuk "Strategi Membangun Unpatti ke Depan", kemarin. Seminar sehari tersebut yang diselenggarakan Unpatti yang diikuti oleh 105 dosen dari berbagai fakultas yang ada di Unpatti.

"Langkah-langkah konkrit telah dilakukan dengan menyiapkan suatu laboratorium komputer dengan sistem koneksitas yang tinggi, baik bersama universitas didalam maupun luar negeri, dengan ilmu pengetahuan mahasiswa, bukan saja di kelas dengan para dosen, tetapi bagaimana menuntut kemauan mahasiswa dan insiatif mereka untuk mencari ilmu dari berbagai sumber," papar dia.

Jadi, sambung Huliselan, "Kita tahu bahwa otonomi universitas yang akan kita masuki tahun 2004 itu sebagian besar perguruan tinggi dibiayai perguruan tinggi itu sendiri. Dengan demikian harus mengoreksi diri sendiri apakah dosen yang dipakai adalah betul-betul dosen yang mampu meningkatkan kualitas perguruan tinggi ataukah memang sudah terlalu banyak dosen untuk suatu perguruan tinggi juga bagi mahasiswa. Sekarang mungkin kita bukan mengejar 20 atau 30 ribu mahasisiwa lagi, tetapi dengan jumlah mahasiwia yang hanya 6 ribu tetapi betul-betul diseleksi sebagai mahasiswa Unpatti."

Dia menuturkan bahwa universitas tahun 2004 bukan suatu universitas yang tidak bisa 'menjual' bangsa. "Karena pembangunan suatu universitas menjadi tanggungjawab universitas itu sendiri. Karena itu, universitas harus merubah bentuknya menjadi suatu badan usaha (BU) yang bisa menawarkan jasa kepada dunia industri ataupun bisa menjual temuan-temuan yang didapat untuk dunia yang lain, sehingga menjadi income (penghasilan) bagi universitas untuk kelanjutan pendidikan di universitas tersebut," jelas Huliselan.

Menurut dia, jika dilakukan penawaran jasa, maka diharapkan agar badan usaha tujuan penawaran akan memberikan sejumlah dana. "Intinya kedua belah pihak berada pada posisi saling menguntungkan," katanya.

Namun, kata Huliselan, pihaknya harus mempunyai kemampuan lobi keluar guna menarik simpati dari universitas dari negara lain agar memberikan bantuan dana. Dimana, dana itu dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. "Artinya, dana itu bisa dimaksimalkan dan dapat dimanfaatkan. Ini akan kita buktikan bahwa ada suatu timbul balik antara pemberi dana dan penerima dana. Dalam memperoleh dana tersebut kita harus berkompetisi memperoleh dana-dananya demi perkemangan kita ke depan. Karena itu kita membutuhkan suatu tim yang kuat dan profesional dalam menjalankan tugas-tugas yang disasarkan," jelas dia. (S10)


Ketua FPDI-P DPRD Maluku, Bitto S. Temar Soal Pelembagaan Humas
DPRD Punya Good Will yang Belum Signifikan untuk Perubahan

Ambon, Siwalima

Keputusan DPRD Maluku untuk melembagakan fungsi humas menjadi Biro tersendiri masih saja melahirkan tanda tanya. Pasalnya, sejak awal semua anggota Panitia Khusus (Pansus) yang membahas tiga Ranperda yang diusulkan eksekutif sepakat untuk menolak pelembagaan fungsi humas, tapi mengusulkan untuk digabungkan ke Biro Umum. Apakah enam bulan kedepan Biro Humas diliquidasi? Apa yang melatari perubahan sikap itu? Bagaimana peran Dewan selanjutnya bagi perubahan di daerah ini? Ikuti nukilan wawancara Siwalima dengan Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Drs Bitto S Temar di Ambon, kemarin, berikut ini.

Voting terhadap kontroversi fungsi Humas akhirnya dimenangkan oleh fraksi-fraksi yang menghendaki pelembagaan humas sebagai biro. Tanggapan Anda?

Rasanya Fraksi PDI Perjungan tidak cukup terkejut dengan hasil voting itu. Yang malah mengejutkan adalah perbedaan sikap sebagian anggota dewan yang di tingkat Pansus mengingingkan subordinansi fungsi humas ke biro umum, tetapi di tingkat pengambilan keputusan politik, malah berbalik seratus delapan puluh derajat.

Maksud anda?

Dari kajian rapat kerja dengan eksekutif dan studi banding, sebagian besar anggota DPRD yang berada di kedua Pansus kemudian menyimpulkan bahwa fungsi humas lebih tepat disubordinansikan ke Biro Umum. Kesimpulan itu mestinya menjadi dasar bagi semua fraksi ketika menyatakan sikap politiknya melalui apa yang kita kenal sebagai stemotivering (kata akhir). Sayangnya, ketika paripurna dilaksanakan, hanya Fraksi PDI Perjuangan yang benar-benar konsisten terhadap kesimpulan subordinansi tadi. Karena konsistensi itulah yang menyebabkan dilakukan voting.

Kok bisa begitu?

Di masyarakat ada pemeo bahwa dalam kehidupan politik, satu detik pun sesuatu bisa berubah. Barangkali teman-teman di fraksi lain sangat mahfum dengan pemeo tadi. Karena itu, ketika masalah tadi di Pansus mereka begitu bersemangat menolak keberadaan Biro Humas. Tetapi lain lagi di tingkat paripurna.

Dugaan Anda soal terhadap perubahan sikap itu?

Saya tidak ingin menduga-duga. Yang pasti, fraksi kami telah bersikap untuk menolak keberadaan biro itu karena alasan-alasan obyektif rasional dan alasan-alasan itu disimpulkan bersama-sama dengan anggota DPRD dari fraksi lain. Jadi jangan sampai ada yang berpikir bahwa kesimpulan yang menjadi dasar penolakan an sich dari Fraksi PDI Perjuangan.

Bisa dijelaskan lebih rinci?

Pertama, terbukti bahwa secara empirik beban kerja Biro Humas selama ini begitu ringan dan karena itu jarang dijumpai tingkat kesibukan kerja di situ yang sedemikian padat. Kedua, dan memang fungsi Humas itu menyebar di sekujur tubuh birokrasi pemerintah daerah. Secara teoritik semua orang di birokrasi menjalankan fungsi Humas. Seorang pesuruh, entah dia sadar atau tidak, sejak masuk sampai keluar kantor dia menjalankan fungsi humas yang dimanifestasikan dalam perilakunya. Perilaku di tempat kerjanya ini menciptakan image (public opinion). Maka tidak perlu dilembagakan setingkat biro karena kalau demikian berlaku apa yang sering disebut besar pasak dari tiang. Apalagi, dan ini kesimpulan ketiga yang terpenting, keuangan daerah kita ini lagi kembang kempis. Tiga kesimpulan ini yang dibuat ketika masalah ini masih menjadi pokok perdebatan di tingkat Pansus. Tetapi yang sudah terjadi, hanya fraksi kami yang benar-benar konsisten dengan kesimpulan yang dibuat bersama.

Fraski Anda kecewa dengan perubahan sikap fraksi-fraksi lain?

Oh iya, benar-benar kecewa. Sebab peluang untuk melakukan perubahan pergi begitu saja. Saya tidak tahu, apakah tahun depan saat evaluasi dilakukan dewan terhormat ini. Tetapi sebagai ketua fraksi, saya cukup bangga dengan rekan-rekan saya. Sebab ketika Pansus-pansus dibentuk saya minta untuk tidak seorang pun absen dengan tugas-tugas Pansus dan syukur bahwa sampai dengan tahap akhir kami semua serius dengan tugas ini.

Artinya, PDI Perjuangan memandang Perda-Perda kelembagaan ini penting?

Teramat penting karena kedudukannya yang sangat strategis. Saya katakan demikian sebab Orde Baru mewariskan kepada kita sosok birokrasi yang jauh dari ukuran-ukuran sehat. Kalau anda mengikuti kajian dan eksplanasi saintifik, rasanya anda akan memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh mengenai sosok dan karakter birokrasi Indonesia dibawah Rezim Orde Baru. Tetapi secara singkat saya ingin menjelaskan bahwa beberapa sarjana menyebut birokrasi kita yang diwariskan Orde Baru dengan beberapa sebutan yang sangat memalukan. Siagian, tidak tanggung-tanggung menyebut birokrasi kita sebagai "Birokrasi Korupsi." Pendek kata, semua tanda keterbelakangan administratif ada di dalam birokrasi kita. Maka adigum analogis bahwa birokrasi sebagai hamba dan masyarakat sebagai tuan, dalam kenyataan empiriknya, dibalikan sehingga yang jadi tuan adalah birokrasi dan rakyat menjadi hamba-sahayanya.

Di Maluku, tanda-tanda keterbelakangan itu mudah dilihat secara kasat mata. Ada yang bersifat struktural, tetapi ada yang bersifat kultural. Yang bersifat struktural sejauh saya amati bersumber pada model "otonomi semu" yang dibangun Orde Baru melalui UU No. 5/1974. Di bawah UU itu, terjadi duplikasi dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan, seperti adanya dinas daerah dan kanwil yang menangani urusan pemerintahan yang sama. Dalam hal ini instansi vertikal yang menangani dekosentrasi sangat dominan, sedangkan dinas daerah hanya menangani residu (ampas)-nya.

Sedangkan yang bersifat kultural dapat dilihat pada kebijakan rekrutmen, promosi dan demosi di lingkungan birokrasi kita. Kalau anda amati, mereka yang jadi pimpro atau bandaharawan di lingkungan birokrasi kita, sebagian besar berasal dari sekelompok kampung yang berdekatan. Atau yang menjadi pejabat hampir karena faktor patronase. Karena patronasi ini, kebirokratannya benar-benar amatiran. Dan ini membuat daerah ini sekarang menjadi "besi tua". Konyolnya, rakyatlah yang menanggung akibat dari kondisi birokrasi yang bobrok selama ini.

Karena itu, fraksi kami sejak awal pembahasan tiga Ranperda Kelembagaan ingin menjadikan sebagai entry point dalam kerangka penyehatan birokrasi pemerintah daerah. Dan kalau mereka yang mencermati proses pembahasan ketiga Ranperda, pasti tahu kontribusi anggota fraksi kami. Sayangnya, kami di DPRD punya good will yang belum signifikan untuk menggerakan perubahan yang kami impikan.

Tetapi bukankah lembaga produk Perda sekarang, masih akan dievaluasi tahun depan?

Salah satu dimensi kultur birokrasi adalah establishmet (kemapanan). Siapa bisa menjamin bahwa Biro Humas akan bisa dilikwidasi dan disubordinasi ke Biro Umum, jika kelak dievaluasi. Yang lebih penting lagi, apakah DPRD kelak akan merdeka atau otonom untuk secara kritis mengevaluasi kelembagaan produk Perda yang sudah disetujui? Lebih dari itu, sampai dengan disetujui sebagai Perda, tak seorang akademisi yang sudi mengahadiri sidang-sidang DPRD untuk...?

Kok akademisi?

Oh ya! Tugas utama mereka adalah mengkritisi kalau mereka yang hadir dalam persidangan, barang kali wacana seputar kelembagan produk Perda mungkin sedemikian menggairahkan sehingga dapat menjadi faktor yang membentuk pilihan keputusan politik DPRD dan siapa tahu bisa mengalihkan perhatian orang untuk tidak lagi berkutat dengan membuat bom rakitan atau menyusun program pembumihangusan kapung-kampung. Tapi , itulah ...mau apalagi? (S08)


Soal Proses Hukum Terhadap FKM
Hengky Hattu: Pemerintah Mesti Bersikap Adil

Ambon, Siwalima

Harapan publik agar pemerintah bersikap hati-hati dalam menerapkan proses hukum terhadap Front Kedaulatan Maluku (FKM) terus mendapat sorotan. Tak urung sorotan itu datang dari Ketua Yayasan Sala Waku, Hengky, Hattu,SH.

Kepada Siwalima, di Ambon, kemarin, Hengky Hattu yang juga staf pengajar Fakultas Hukum Unpatti itu menilai, sudah seharusnya pemerintah bersikap adil. Jika, proses hukum diberikan kepada FKM, maka hal yang sama mestinya juga harus dikenakan juga kepada Laskar Jihat.

"Bahwa jika mereka kemudian dinyatakan bersalah, maka itu urusan pengadilan yang akan mengadili. Namun, sekarang bagaimana berdasarkan dugaan yang ada itu pemerintah bisa bertindak dan bersikap adil untuk meredam keinginan publik," ujar Hattu yang kini memimpin DPD Parkindo Maluku.

Dia mengingatkan, jika pemerintah tidak memperhatikan asas keadilan dalam konteks keputusannya, maka bukan tidak mungkin akan memicu kontroversi baru dalam masyarakat. Memang dirinya tidak mengikuti proses penangkapan pimpinan FKM dr Alex Manuputty, tetapi melihat kehadiran FKM saat ini, maka itu bagian dari fenomena persoalan-persoalan yang terjadi sebelumnya. Satu diantaranya adalah fenomena Laskar Jihad yang tidak tertangani secara baik.

Karena itu, tanya dia, kenapa pada saat pimpinan FKM ditangkap, ada tuntutan masyarakat yang kian menggelembung. "Nah, tuntutan masyarakat ini harus dilihat sebagai gugatan agar pemerintah, terutama aparat penegak hukum dalam mengenakan tindakan hukum tidak pandang bulu.

"Saya pikir, titik krusial dalam rangka bagaimana mempertahankan kondisi yang kondusif seperti sekarang ini, maka pemerintah harus bersikap hati-hati. Artinya, tindakan pemerintah haruslah adil, jujur dan bijaksana, sehingga pihak lain tidak merasa dirugikan atas sesuatu tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri," tukas dia sembari mengingatkan bahwa sebaiknya supremasi hukum diterapkan tanpa memperhatikan status sosial serta latar belakang agama, budaya, pendidikan dan lain-lain. (S08)

Received via email from: Masariku@yahoogroups.com

Copyright © 1999-2001  - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML pages designed and maintained by Alifuru67 * http://www.oocities.org/maluku67
Send your comments to alifuru67@egroups.com