LAMAN SELIMAN

TAZKERAH

1.   TAHAPAN & PROSES UKHUWAH ISLAMIYAH

Ikhwah/akhawat fiLlah, assalamu'alaikum

   Akh Abu Zahra dalam postingnya "Potensi Islam" kemarin, secara pas, telah menyoroti dua hal - aqidah dan ukhuwah yang kuat - sebagai prasyarat datangnya pertolongan dan kemenangan hakiki yang dijanjikan Allah Rabbul 'alamiin. Jazakallahu khair Abu Zahra, tulisan akhi benar-benar dapat memperluas wawasan saya.

   Saya ingin mengulas lebih jauh mengenai elemen kedua, yaitu ukhuwah, yang telah dibahas karakteristik dan prekondisinya dalam tulisan "Potensi Islam" tersebut. Saya sependapat dengan akh Abu Zahra bahwa ukhuwah Islamiyah muncul mengikuti potensi aqidah dan merupakan ni'mat yang Allah berikan dan atas kehendak Allah. Kita hanya dapat berupaya untuk selalu mempersatukan hati-hati kita, namun Allah jugalah yang dapat memadukannya (Al-Anfal:63).

   Berkenaan dengan upaya peningkatan ukhuwah Islamiyah ini, saya ingin share satu uraian yang saya rangkum dari tulisan Dr. AbduLlah Nasikh 'Ulwan dalam bukunya "Ukhuwah Islamiyah". Tulisan yang dilandasi dengan pengalaman beliau di lapangan da'wah, merinci tahapan-tahapan (marahil) yang pernah ditempuh oleh RasuluLlah dan para sahabat, dan selayaknya merupakan dasar pijakan kita dalam membina ukhuwah Islamiyah, di negeri manapun kita berada.

   Program penguatan ikatan ukhuwah Islamiyyah membutuhkan proses yang tidak singkat, bertahap dan berkesinambungan. Setidaknya ada empat tahap yang mesti dilalui sebelum terwujudnya ukhuwah Islamiyyah yang benar-benar kuat dan utuh.

1. Tahap Saling Kenal (Ta'aruf).
   Dalam tahap ini, seorang muslim tidak hanya mengenal begitu saja saudaranya; akan tetapi lebih jauh mencoba mengenali penampilan, sifat-sifat (shaksiyah) dan pemikiran saudaranya. pengenalan dalam tahap ini mencakup aspek jasadiy (fisik), fikriy (pemikiran) dan nafsiy (kejiwaan).

2. Tahap Saling Memahami (Tafahum).
   Ini merupakan tahap yang penting, karena mencakup berbagai proses penyatuan. Seperti juga dalam fase pertama, ruang lingkup proses tafahum ini kurang lebih sama. Perbedaannya terletak pada intensitas pengenalan. Pada tahap ini, setiap muslim dituntut
untuk memahami kebiasaan, kesukaan, karakter, ciri khas individu dan juga cara berpikir saudaranya. Dengan demikian perasaan-perasaan seperti "tidak enak", "tidak cocok" dan lain sebagainya dapat dieliminasi dalam rangka saling menasehati. Dalam tahapan ini terdapat tiga buah proses perpaduan, yang meliputi:

2.1. Perpaduan hati (Ta'liful Qulb).
     Penyatuan hati merupakan asas awal yang mesti ada dalam proses pembentukan ukhuwah, sebab hati (qalbu) merupakan sumber gerak dan sikap seseorang dalam menilai, memilih, memilah, mencinta dan membenci orang lain. Bila hati telah terpaut dan jiwa telah terpadu, barulah persaudaraan seseorang dengan yang lainnya bisa berjalan mulus, bersih dan penuh rasa kasih. Hati manusia hanya bisa disatukan secara murni dan bersih apabila bermuara pada satu simpul ikatan yang fitrah. Simpul tali itu adalah aqidah (seperti yang telah dibahas Abu Zahra). Inilah satu-satunya dasar berpijak, bertemu dan pengikat yang utuh dan abadi (Ali Imran:103).

2.2. Perpaduan Pemikiran (Ta'liful Afkar).
     Dalam proses ini, orang-orang yang sudah sehati sepatutnya berhimpun bersama untuk mempelajari suatu sumber yang sama sehingga menghasilkan suatu fikrah (cara berfikir) yang serupa. Dan yang jauh lebih penting adalah bila terjadi perbedaan cara pandang, maka dengan starting point cara berpikir yang sama akan dapat diselesaikan dengan segera, sehingga dapat meningkatkan efektifitas kerja.

   Ikatan ukhuwah Islamiyyah adalah ikatan yang aktif dan dinamis dalam menegakkan kalimat ALlah. Untuk itu diperlukan tidak hanya sekedar hati yang ikhlas tetapi juga gagasan, pemikiran, konsep dan idealisme yang cemerlang. Meskipun sekelompok individu telah saling mengikatkan diri, sehati dan sejiwa; namun karena terdapat perbedaan orientasi dan wawasan pemikiran, maka strategi dan taktik pun menjadi berantakan. Akhirnya kerja berakhir pada kegagalan dan kekalahan. Oleh karena itulah tahap "penyatuan pemikiran" ini mutlak adanya.

2.3. Perpaduan Kerja (Ta'liful 'Amal)
     Individu-individu yang telah berhimpun di atas persamaan tujuan dan pemikiran ini, tidak boleh hanya berdiam diri saja atau bekerja sendiri-sendiri (single fighter). Adalah merupakan sunatuLlah bahwa segala yang diam di tempat, cenderung menjadi penyakit. Air yang tergenang bisa menjadi sumber penyakit, demikian pula dengan kumpulan individu yang bersemangat tinggi dan memiliki setumpuk gagasan cemerlang, akan menjadi "penyakit" bila tidak ada langkah kerjanya. Oleh karena itu sangat perlu adanya kerja nyata dalam berbagai bidang dan keahlian. Agar kerja itu efektif, maka harus terakit dalam suatu kerja yang terarah.

3. Tahap Saling Tolong (Ta'awun).
   Dalam proses penyatuan kerja, mutlak diperlukan adanya tolong-menolong yang merupakan kelanjutan dari tahap tafahum (saling memahami) pada point 2 di atas. Saling kenal saja, tanpa dilanjutkan dengan saling memahami, tidak akan mampu membentuk hubungan antar individu yang mampu tolong menolong, saling isi-mengisi dengan kekurang dan kelebihan yang terdapat pada tiap individu.

4. Rasa Senasib Sepenanggungan (Takaful).
   Tahap ini merupakan muara dari proses ukhuwah Islamiyyah, yaitu terletak pada timbulnya rasa senasib dan sepenanggungan, suka maupun duka, dalam tiap langkah kerja. Bila fase takaful ini terwujud, maka ikatan ukhuwah Islamiyyah pun terbentuk dengan utuh.

   Ikhwan/akhwat fiLlah, dari rangkuman ini dapat kita lihat bahwa upaya penyatuan pribadi-pribadi muslim dalam suatu kerja Islami adalah merupakan perbuatan yang sia-sia, bila tidak diawali dengan tahapan dan proses yang telah disebutkan di atas.

WaLlahu'alam bissawab
Wassalamu'alaikum
abu akhyar
 

2.       T A A T

     " Sesungguhnya sambutan orang-orang mu'minin apabila diajak kembali kepada Allah dan Rasulnya untuk menghukum diantara mereka ialah berkata 'kami dengar dan       kami taat'.  Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung " ( Q.S. 24:51)

   Unsur utama pembentuk akhlaq islami adalah taat kepada Allah dan Rasulnya.  Budi pekerti yang ihsan dalam islam muncul dalam tempaaan taat, mekar dalam fikrah dan berbuah dalam jihad.  Tanpa taat tak akan muncul akhlaq, tanpanya tak akan ada iman, tak ada islam, tak ada sunah, tak ada Al Qur'an. Kalaupun ada semua itu terpapas maknanya dari dada seorang Muslim. Segumpal hafal ayat di kepala, semanis suara melafalkan hadits tak akan pernah melambungkan islam dan mengagungkannya kalau taat terhadap isi keduanya tidak dimiliki.

   Dalam sudut tertentu, bahkan "sami'na wa atho'ana" (kami dengar dan kami taat) adalah motto seorang Muslim dalam menapaki hidup, motto yang membedakannya dengan kaum munafiq, yang mendengar dan meninggalkan.  Motto yang menstimulus semangat, sekaligus sebagai bukti dari syahadah yang diproklamasikan seorang manusia kepada Tuhannya, Rabb manusia. Taat tak lain dari pewujudan atau pemenuhan janji seorang Muslim akan apa yang telah dia ikrarkan kepada Pencipta Yang Agung, dimana jiwanya ada dalam genggamanNya.  Taat tak lain hanyalah konsekuensi logis dari pengumuman diri, bahwa "tiada YANG DIIKUTI (ilah) selain Allah".  Tanpa ini kalimat syahadah hanya menjadi persaksian kosong yang terpenggal kamnanya, hanya suatu formalitas absurd.

   Tak pernah dapat dibayangkan kalau semua prajurit suatu kompi tidak taat pada komandan kompinya.  Jadi apa kompi itu ? Maka akanlah menjadi aneh kalau para jundullah (prajurit Allah) yang siap membela agama Allah dalam barisan yang teratur, kokoh, dan kuat tidak taat kepada Allah dan RasulNya.

   Maka tidak masuk akal sama sekali kalau seseorang atau kelompok manusia yang jelas-jelas menentang Allah dan RasulNya, namun masih mengaku sebagai orang yang berserah diri (Muslim), atau bilang sebagai Muslim yang kurang/tidak taat.  Kenapa tidak langsung saja berkata, saya anti Allah dan RasulNya, saya penentang Allah dan RasulNya, saya siap berperang melawan Allah dan RasulNya ? Mereka masih mengaku Muslim namun berserah diri tidak kepada Allah dan RasulNya, bersedia diatur dan diperintah oleh hukum yang tidak bersumber dari Allah dan RasulNya, memberikan loyalitas dan pengabdian tidak kepada Allah dan RasulNya, menggangkat pemimpin yang bukan saja tidak membela agama Allah tapi malah merendahkannya, berburuk sangka pada para pejuang agama Allah, namun berkasih-sayang dan bermesraan dengan para musuh Allah.  Kenapa tidak mereka katakan, bahwa mereka adalah hamba taghut ?

   Pada titik pemahaman ini dapat dimengerti kalau "taat" menempati urutan yang tinggi dalam mewujudkan akhlaq islami. Akhlaq Rasulullah adalah Al Qur'an, artinya adalah ketaatan pada Al Qur'an (Allah).  Sedang kita mentaati Allah dan meneladani Rasul, sebagai uswatun khazanah, tauhidul uswah.
   Taat kepada Allah dan RasulNya membuat akhlaq seorang Muslim sehalus bahkan lebih halus dari sutera.  Dan jaminan Allah untuk mereka ini adalah jannah, surga yang mengalir sungai di bawahnya, yang segala keni'matan, keindahan, keharuman dan sejuta kesenangan melimpah-ruah, yang hanya diisi oleh jiwa-jiwa yang tenang suci dan tawadlu.  Itulah tempat untuk orang-orang YANG BERUNTUNG; orang-orang yang taat, orang-orang yang berakhlaqul kharimah.  Sedang untuk para pembangkang, para munafiq, tempat kembali yang terburuk adalah neraka jahanam, yang bahan bakarnya dari manusia dan batu, mereka kekal di dalamnya. Naudzu billah min dzalik.

   Akhirnya, jangan bermimpi untuk dapat merebut hegemoni--kepemimpinan dunia, atau menampakkan keagungan Islam kalau taat hilang dari dalam dada kaum Muslimin. Jangan bermimpi! Tanpa taat, yang ada hanyalah azab; sesungguhnya azab Allah sangatlah pedih. Sangat pedih!

Wallahu a'lam bisshowab

Wassalam,
abu zahra
 

3.       T A W A D L U'

   " Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang  yang  berjalan  di atas bumi dengan RENDAH HATI dan apabila orang-orang yang jahil     menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan "           (Al Furqaan: 63)
 

   Tawadlu', berendah hati adalah awal terbentuknya cinta dan silaturakhim.  Sikap ini muncul atas kesadaran diri, betapa sebagai makhluk Allah, seorang Muslim terbatas dalam banyak hal, termasuk juga ilmu pengetahuan. Allah lah Al Ilm, Al Haq, sementara produk akal fikiran manusia hanyalah dzon, dugaan, rekaan, hipotesis belaka. Allah lah sumber kebenaran, sedang dari manusia datang kesalahan.

   Maka dalam titik pandang ini adalah tidak pantas uzub, sombong bagi seorang Muslim ketika berjalan di muka bumi ini. Tak ada hujjah bagi seorang manusia untuk berlagak di hadapan Allah.  Karena dia hanyalah makhluk, hanya kreasi hasil cipta Sang Khalik yang sarat dengan kelemahan, kealfaan dan keterikatan terhadap hawa nafsu.  Dia hanyalah turunan Adam yang tercipta dari tanah dan air.  Sedang malaikat yang tercipta dari nur sekalipun mensujudkan diri di hadapan Allah Rabbul Izzati.  Dia hanyalah makhluk yang hidup hanya karena rizki, pertolongan Allah, dan kasih-sayangNya.  Tanpa ini semua manusia akan musnah dan binasa. Lalu pantaskah dia "mengangkat dada" di hadapan aturan, jalan hidup yang diturunkan Allah ?

   Tawadlu', akhlaq ini muncul dari kefahaman, bahwa sebagai seorang Muslim, belumlah tentu ia lebih baik dari saudaranya yang lain. Bisa jadi saudaranya yang lain malah lebih mulia di mata Allah ketimbang dirinya. Karena Allah lah Hakim Agung Yang Maha Tahu.

   Akhlaq ini muncul dari proses panjang penyerapan ilmu yang haq, pemahaman mendalam hakekat jalan hidup Rabbani dan semangat yang terus merekah untuk membumikan nilai-nilai "langit". Dia muncul dari kematangan jiwa, tempaan tarbiyah, keuletan takwiniyah (pembinaan), dan kemampuan penuh menundukkan ego dan hawa nafsu.

   Maka, dalam semangat dien ini, tawadlu' adalah pertanda kefahaman akan hahekat dienullah dan bukan kebodohan, ia pertanda keluasan ilmu dan bukan kesempitan hawa nafsu, dia lambang kedalaman aqidah dan bukan ketakutan kronis terhadap kekuasaan.  Maka tawadlu' adalah buah manis keimanan. Yang demikian manis sehingga bersamanya setiap Muslim merendahkan diri terhadap aturan Allah, terikat dan mengikatkan diri pada jalan hidup yang dituntunkan Allah kepadanya, di dalamnya pengakuan betapa syamil dan kamilnya (sempurna dan terpadunya) al islam diikrarkan, dalam tuntunannya amaliah dan harokah dipersembahkan.  Karena seorang Muslim sejati memahami tawadlu' bukanlah sifat yang lemah, tetapi kemuliaan, sifat dari hamba-hamba Allah yang baik, sifat dari hamba-hamba Allah pilihan.

   Maka bila matahari keimanan bersinar dan tawadlu' mewujud dalam akhlaq islami, maka pancarannya adalah keterikatan hati sesama muslim, saling mema'afkan atas kesalahan, rasa kasih-sayang dan cinta. Bahkan sekalipun orang-orang jahil (bodoh) menyapa mereka, mereka akan membalas sapaan itu dengan lemah-lembut dan dengan ucapan-ucapan yang mengandung keselamatan. Apabila orang-orang jahil mendebatnya maka mereka akan mendebat dengan cara yang baik. Karena kejahilan hanya sirna dengan kebenaran, dan kebenaran makin bersinar dengan tawadlu'.

   Inilah dienullah yang mengagumkan, yang memancarkan kerendahan hati penganutnya, yang memancarkan kasih-sayang dan izzah (kebanggaan).  Agama yang lurus, agama yang diridhai Allah, agama yang mengantarkan keselamatan dunia dan akhirat.

Hasbunallah wa ni'mal wakiil.

Wassalam,
abu zahra
 

4.       TA'ABBUD

Wamaa kholaqtuljinna wal 'insan illa liya'buduun.
Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.
(Adz-Dzaariyaat: 56)

   'Ubudiyah manusia kepada Allah adalah merupakan simbol sekaligus pernyataan pengakuan manusia sebagai makhluk yang diciptakan akan eksistensi Khaliqnya(Penciptanya), juga merupakan konsekuensi logis dari sifat Rububiyah dan UluhiyahNya.  Keimanan kepada Dzat yang menciptakan, yang mengatur, dan memberi rizki, Allah yang mesti diikuti, ditakuti dan dicintai tak akan pernah membawa makna tanpa diikuti sikap ta'abbud kepadaNya, menyerahkan 'ubudiyah hanya kepadaNya.  Karena hanya Dia dan cuma Dia yang berhaq menerima ta'abbud manusia.

   Setelah seorang manusia berikrar dan menyatakan dirinya sebagai Muslim, maka pada detik itu dia telah menjadi seorang mukallaf, yang menerima beban dan siap akan pembebanan (taklif).  Manakala seseorang telah bersyahadat, menyatakan tiada ilah selain Allah, maka berarti ia mengakui UluhiyahNya untuk ikut, takut dan cinta hanya kepada Allah.  Pada titik ini kewajiban menyerahkan 'ubudiyah, sikap ta'abud, dan menerima taklif hanya sebuah alur logis di atas kesadaran manusia dewasa seorang Muslim.  Bila dia tidak ingin disebut sebagai pendusta besar.  Maka garis setelah titik awal ini adalah jalan lurus medan da'wah.

   Sikap ta'abud seseorang yang telah menyerahkan dirinya untuk diatur oleh hukum Allah, makhluk yang mengimani Mulukiyah Allah mestilah mengambil bentuk nyata sikap diri berupa; pertama penegakkan nilai-nilai/syariat Islam dalam dirinya, keluarga terdekatnya, kerabat, baru masyarakatnya.  Kedua, berjalan dalam garis penegakkan ini dengan segenap kesungguhan, menanggung beban yang ada di setiap hasta perjalanan, siap untuk menerima celaan dari orang-orang yang suka mencela, intimidasi dan teror dari musuh-musuh Allah, bahkan tak dapat menghindar dari kemungkinan harus membunuh dan terbunuh. Karena; Allah telah membeli jiwa dan harta orang-orang yang beriman dengan syurga.  Mereka berperang (qital) di jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh. (At-Taubah:111)

Pada titik ini, kesungguhan (jihad), kesabaran, pengorbanan (tajarrud), pembelaan (tamassuk), kesiapan dan keikhlasan mendapat tempat dan ladang subur pembuktian.

   Tugas pertama adalah membangun rijal-rijal, pribadi-pribadi yang kokoh, para jundullah (prajurit Allah) yang siap menegakkan nilai-nilai islam, yang sigap menegakkan keadilan, cinta-kasih, perlindungan terhadap kaum yang lemah dan tertindas.  Dalam tugas ini setiap pribadi Muslim mestilah menghaluskan perasaannya.  Lembut sedemikian lembutnya, sehingga kalau nama Allah disebut bergetarlah hatinya, kalau dibacakan Al Qur'an kepadanya maka bertambah-tambahlah keimanannya, sehingga hati mereka dapat dengan mudah beresonansi meski atas sentilan sinyal lemah sekalipun.  Hati mereka peka akan kebenaran dan kebhatilan, dapat dengan mudah membedakan mana nilai-nilai Islami, yang pekat dengan kejujuran, kesetiaan, kasih-sayang, keadilan, ihsan, pantang menyerah, dan mana nilai-nilai yang berasal taghut berupa penindasan dan kepalsuan.  Lembut karena ruh mereka mendapat santapan Al Ghazi ar-ruh yang sesuai kadar dan kebutuhannya; yakni dzikrullah, dalam setiap detiknya.  Pribadi Muslim adalah pribadi yang bersih dan penuh kesetiakawanan.  Dari rijal-rijal inilah diharapkan terbentuknya keluarga dan masyarakat yang islami; masyarakat yang adil, yang bersih, yang jujur, yang ihsan, yang lemah-lembut terhadap sesamanya dan bersikap keras terhadap musuh-musuh, masyarakat yang amanah, masyarakat yang diridhai Allah dan mereka pun ridha kepada Allah, masyarakat yang menempatkan kalimatullah tinggi-tinggi, menempatkan peraturan dan hukum Allah sebagai landasan hidup dan prikehidupannya, masyarakat yang membawa rakhmattan lil 'alamiin, masyarakat yang dinamis, yang mengalir dan bergerak bagai alir sungai, kuat dan deras, yang jernih sehingga dapat bercermin peradaban lain kepadanya, masyarakat yang terus membesar dan membesar secara sunatullah hingga tak ada lagi fitnah, tak ada lagi penyembahan manusia atas sesuatu selain Allah, tak ada lagi penyembahan manusia atas manusia, hingga semua manusia kembali kepada hakekat fitri penciptaannya, makhluk yang hanif, makhluk yang menyerahkan sikap ta'abbudnya kepada Allah semata, itulah khalifah Allah di bumi.

   Tugas tersebut tidaklah mudah.  Dan adalah sunah ilahiyah, kalau jalan tersebut sukar lagi mendaki.  Adalah tidak masuk akal kalau imbalan yang besar dari Allah, bahkan sangat besar, yakni berupa syurga dan segenap isinya dan segala kenikmatan yang ada di dalamnya dapat diperoleh cukup dengan santai atau sekedar diskusi dan disksui sebatas kata-kaya.  Mustahil!  Sulitnya jalan da'wah itu sendiri adalah ujian untuk sebuah kualitas, untuk memisahkan makhluk yang sabar dan yang tidak, mereka yang beriman dalam makna yang sesungguhnya atau hanya sekedar keimanan di bibir saja, kelompok manusia yang sungguh-sungguh (mujahid) dan kaum munafiq.  Kerasnya jalan da'wah adalah "bumbu" dan "gula" yang membuat rasa sedap dan manis ta'abbud, yang membuat timbangan taklif bergerak dan menuntut jawab, yang membuat syahadat, bai'at, sumpah setia mempunyai makna.

   Ta'abbud ilallah mestilah mengambil dua bentuk di atas bukan sekedar ibadah mahdoh (khusus) apalagi bersembunyi dalam gua-gua untuk menghindar dari realitas pahit peradaban ummat saat ini. Sungguh dien yang mulia ini, didukung oleh manusia-manusia mulia, akan menumbuhkan manusia-manusia mulia, dan untuk mencapai kemuliaan di dunia dan akhirat.  Ta'abbud adalah sikap mulia makhluk yang memahami hakekat penciptaan dirinya, sikap hamba yang berakhlaq mulia.

Hasbunallah wa nimal wakil

wassalam,
abu zahra
 


Laman UtamaAhli KeluargaGambar KeluargaTazkerahLaman Lain Chat Mukah Balingian Forum