The Cross
Under the Cross

English
Indonesian
Search
Archives
Photos
Maps
Help Ambon
Statistics

HTML pages
designed &
maintained by
Alifuru67

Copyright ©
1999/2000 -
1364283024 &
1367286044


 

AMBON Berdarah On-Line
About Us


Tanggapan Mengenai Berita Dibentuknya Posko Perdamaian di Maluku

> SUARA PEMBARUAN DAILY
> Komnas HAM Bentuk Posko Perdamaian di Maluku
> Jakarta, 26 September 2000
> (-- deleted --)

Membaca tulisan di atas ini saya merasa geli karena sesuai isinya, tak ada apa yang dinamakan oleh pak Bambang Soeharto sebagai Posko Perdamaian di Maluku. Tak ada juga tim Posko yang terdiri dari kelompok Muslim serta Kristen. Informasi tentang Posko ini -- menurut seorang relawan kemanusiaan di Ambon -- tidak riel. Mereka sempat mendengar kabar tentang Posko sejenis ini melalui aparat darurat Sipil. Tapi bagaimana mungkin ada pertemuan antara kelompok Muslim dan Kristen saat ini. Terutama setelah sejumlah penyerangan yang dimotori terus oleh laskar jihad ­ dengan berbagai macam nama seperti mujahidin Maluku dll ­ kembali mengharu-biru kehidupan masyarakat.

Bagaimana mungkin ada pertemuan dan kerjasama yang otentik antara kelompok Islam dan Kristen, jika operasi-operasi intelijen terus berlangsung tanpa bisa dipantau masyarakat. Akhirnya, lihatlah apa yang disebut sebagai "kasus penembakan speed-boat di tanjung Ouw, Saparua" (beritanya pernah dilansir Masariku), yang kemudian memicu konflik sekaligus di pulau Saparua, Ambon dan Seram.

Siapakah orang sipil yang mampu menembak tepat pada sasaran bergerak (moving target) dari jarak lebih dari 200 m ? Saya tidak "under-estimate" terhadap kemampuan para petarung Lease, tetapi jika hal itu ingin dilakukan mereka, maka Saparua sudah lama "terbakar". Desa Iha tidak perlu terlalu lama menunggu kehancurannya. Begitu pula Kulur dan Sirisori Salam. Satu gerakan saja yang terjadi di Saparua tempo hari ( yang membuka babak kedua kerusuhan Maluku ­ sekitar Juli 2000) telah mampu membersihkan Saparua-Tiouw dari mereka yang dianggap bagian dari permusuhan terhadap umat Kristen.

Lalu mengapa setelah si Kristen menembak speed-boat, Sirisori dan Kulur seakan-akan diberi waktu untuk menerima bala bantuan sebelum diserang ? Jawabannya sangat jelas. Penembakan itu bukanlah skenario warga Kristen di P. Saparua, yang selalu berikhtiar untuk tidak memperluas konflik di pulau mereka yang pernah dicatat mampu membuat sejarah dalam gerakan tradisional melawan kolonialisme di Indonesia pada awal abad ke-19. ini. Karena itu Gereja Protestan dan Katolik yang ada di Ambon telah menyatu-bulat untuk:

    Pertama, tidak melakukan dialog apapun terutama sebagai orang bersaudara selama Laskar Jihad belum dikeluarkan dari wilayah konflik Maluku/Maluku Utara.

    Sedang kedua, pihak Kristen tidak akan berdialog dengan pihak Muslim jika Peace Keeping Mission tidak diijinkan masuk menjadi fasilitator dialog sekaligus memantau operasi keamanan di wilayah Maluku/Maluku Utara.

Dengan mengamati seluruh fenomena ini, apakah signifikansi pak Bambang Soeharto/Komnas HAM untuk membentuk atau mengfasilitasi pembentukan apa yang disebutnya adalah Posko Perdamaian Maluku ? Saya kuatir, pak Bambang sedang melakukan langkah-langkah permukaan yang tanpa sadar mengakibatkan masyarakat lambat-laun tidak lagi percaya pada modus-modus perdamaian yang dirancang, serta terjebak dalam politisasi isu perdamaian Maluku.

Mari kita catat bahwa kelompok sejenis pernah dibentuk bersama (Muslim-Kristen) dengan fasilitator Danrem XIV Pattimura (Kolonel Karel Ralahalo) dan bekerja dengan target untuk melakukan disimenasi informasi. Selanjutnya ….. ya bubar, karena eskalasi yang terus meningkat menimbulkan rasa was-was serta hilangnya orientasi bersama terhadap tugas yang harus dilakukan bersama-sama. Apa artinya? Sangat jelas bahwa jika kekerasan tidak berhenti, semua pra-kondisi bagi dialog dan yang sejenis tidak akan terbangun dengan baik dan benar.

Jadi kerjasama sejenis yang hendak diwujudkan pak Bambang ­ saat ini -- sangat tergantung hasil kerja aparat kemanan. Jika rencana sedemikian gagal, janganlah mempersalahkan kaum Muslim maupun Kristen; atau para pemukanya. Mereka bukan orang-orang yang pada tahap pertama harus memikul beban pengendalian keamanan dalam kerangka penghentian kekerasan. Kalau mau dipaksa berarti mereka harus bersedia ­ sadar atau tidak ­ untuk ditunggangi tentara/aparat keamanan.

Yang bertanggungjawab pertama-tama untuk pengendalian keamanan adalah aparat keamanan yang saat ini masih hidup dalam hegemoni TNI/AD. Mengapa mereka kelihatan gagal mengendalikan keamanan. Hanya satu sebabnya. Mereka memainkan peran ganda sebagai pengendali keamanan sekaligus aktor politik. Saya pernah baca tesis Ulf Sundhausen (ilmuwan Australia) tentang militer Indonesia. Bahwa militer Indonesia tidak bisa dipahami dari sisi profesionalitas semata-mata.

Mereka hanya bisa dipahami dengan benar jika mereka juga dilihat sebagai kelompok dengan ambisi politik dalam arti yang sebenarnya. Disinilah letak sebab-musabab di balik sulitnya aparat keamanan mengendalikan kerusuhan Maluku. Sebab bagaimana mereka bisa efektif mengendalikan keamanan jika situasi yang instabil diperlukan untuk memperkuat bargaining posisi politiknya ? Jangan kaget sebab sudah tiga dekade ini tentara memainkan politik Machiaveli seperti ini. Mereka mungkin anti komunis tetapi mereka (terutama dari Jenderal sampai Kolonel) adalah Machiavelian yang unggul dalam tubuh masyarakat dan bangsa Indonesia.

Jadi Pokja Perdamaian Maluku ala pak Bambang Soeharto (KOMNAS HAM) atau Pokja Masalah Maluku (ala Letjen Suaidi Marasabessy, Mayjen (purn) Ade Picaulima, Brigjen Franky Kaihatu atau Amir Hamzah dengan pemain cadangan Freddy Pietersz, Cos Ririhena dll) harus dilihat dari paradigma ini. Saya ­minimal sendirian ­ yakin sepenuhnya bahwa kerjasama Islam-Kristen untuk menghentikan pertikaian Maluku bisa berkembang ke arah yang positif bukan karena para alim-ulama Kristen dan Muslim terlibat tetapi pertama-tama jika Penguasa dan Pelaksana Darurat Sipil (DS) bekerja secara efektif dan sepaham dalam mengeliminasi semua potensi konflik yang kemudian bisa beralih rupa menjadi aksi-aksi kekerasan.

Yang konyol adalah para jenderal (aktif atau purnawirawan tidak ada bedanya) bekerja seolah-olah hendak mendamaikan masyarakat Maluku tanpa sedikitpun melakukan koreksi terhadap apa yang dibuat perwira militer lainnya di lapangan (contoh : semua yang dilakukan Pangdam Pattimura, Brigjen I Made Yasa). Sebaiknya, para jenderal itu melakukan penertiban di kalangan militer saja dulu berkaitan dengan link-link mereka di militer. Itu akan membantu banyak dalam hal mewujudkan keinginan masyarakat Maluku.

Tindakan atau prakarsa para jenderal itu tidak akan membantu jika strategi serta tindakan-tindakan pengamanan yang dilakukan Pangdam I Made Yasa misalnya, selaku Pelaksana Darurat Sipil, hanya terus membuka peluang terjadinya kekerasan dalam bentuk penyerangan dan penghancuran fisik sejumlah desa, rumah penduduk serta fasilitas publik seperti sarana-sarana pendidikan dan kesehatan a/l universitas negeri Pattimura, sejumlah SD, SMA dan Puskesmas-Puskesmas di berbagai wilayah.

Pihak pelaksana Darurat Sipil juga ternyata tidak berhasil membangun situasi yang kondusif dalam hal ini keamanan wilayah, sehingga kekerasan terhenti dan memungkinkan pihak-pihak yang bertikai dapat sedikit -- sekali lagi sedikit -- leluasa untuk bergerak maju dari "posisi masing-masing" dalam rangka membicarakan "treatment" bersama terhadap kondisi riel saat ini di Maluku.

Terima kasih,

Salam,

MUSA SIPANARYA
 

Received via e-mail from : Peter by way of PJS
Copyright © 1999-2000  - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML pages designed and maintained by Alifuru67 * http://www.oocities.org/ambon67
Send your comments to alifuru67@egroups.com