Ambon, Siwalima - Rektor Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ir M K J
Norimarna, Msc, Phd, mengingatkan semua komponen untuk mencari terobosan yang
lebih berani agar dapat melibatkan para elite politik nasional baik sipil atau militer untuk
menyelesaikan konflik di wilayah ini.
Itu penting, demikian tegas Norimarna, karena konflik Maluku tidak murni terlahirkan dari
kalangan bawah tetapi suatu skenario politik kotor yang sengaja ditimpakan ke rakyat
Maluku. "Ini kenyataan yang tidak perlu dirahasiakan. Konflik ini direncanakan dari
kalangan atas untuk meraih kepentingan politik kelompoknya secara nasional," ujarnya,
Selasa.
Itu dikemukakannya menjawab Siwalima sehubungan masih ada pihak tertentu yang
sampai sekarang masih tetap ingin menjustifikasikan agama tertentu sebagai ideologi
untuk meraih memenangkan kepentingan politik kelompoknya.
Hal senada ini juga sebelumnya dikemukakan Ketua D DPRD Maluku Suep Eka Putra,
bahwa konflik sulit diselesaikan karena agama dilibatkan dalam konflik. Padahal, fakta
dilapangan menunjukan kalangan bawah tidak mengerti apa sih tujuan akhir yang ingin
dicapai dari konflik yang terus berkelanjutan dan berkepanjangan di wilayah ini.
"Fakta lapangan membuktikan kalangan bawah secara terlibat langsung dalam konflik
tetapi itu terjadi karena permainan kalangan atas. Kajian saya membuktikan hal itu,"
ucap Eka Putra. Mengingat dampak kerusuhan sudah sedemikian parah, bantuan
material ke Maluku yang begitu besar sebaiknya diperuntukan untuk menangani
aspek-aspek spiritual. "Ini harus dijadikan pegangan bersama kedua pihak untuk
mengembalikan mental spiritual di masing-masing komunitas," ujarnya.
Menjawab hal ini, Norimarna mengatakan, oleh sebab itulah betapa pentingnya
mengintensifkan kaum agamawan baik Islam maupun Kristen untuk memulihkan
goncangan mental spiritual antara kedua umat beragama. Karena yang mencetuskan
pertikaian di kepulauan Maluku ini dari kalangan atas yang sengaja menjustifikasikan
agama sebagai ideologi politik.
Namun keterlibatan kaum agamawan menyelesaikan konflik, jangan dilihat dalam
kacamata politik tetapi sebagai tokoh masyarakat, agar tidak memunculkan kesan
bahwa ini konflik agama.
Sebab, "Hanya segelintir orang saja yang dipengaruhi untuk menciptakan konflik. Contoh
bukti, misalnya, ketika masyarakat Islam dan Kristen bertemu di tempat-tempat netral,
tidak ada permasalahan. Jadi kasusnya sangat situasional karena diciptakan
provokator-provokator di lapangan," sebutnya.
Itu berarti, jelasnya lagi, konflik Maluku ini diatur oleh satu kekuatan sangat besar, yang
sampai sekarang belum bisa diatasi pemerintah nasional. Ini bisa dilihat dari ekspansi
kelompok luar ke kawasan Maluku lengkap dengan berbagai peralatan perang (senjata,
mortir, granat dsb) tanpa bisa dihalangi pemerintah. Malahan Pangdam Made Yasa
sendiri secara jujur mengakui bahwa peralatan perang kaum perusuh lebih canggih dari
aparat keamanan.
"Kalau pemerintah dan aparat sulit mengatasi pertikaian apalagi tokoh-tokoh agama.
Tapi bagaimanapun peran mereka sangat dibutuhkan untuk memulihkan luka batin yang di
derita umatnya. Karena yang terjadi selama ini kan bukan konflik antarumat beragama
tapi masalah kekerasan politik yang bersifat kriminal dalam skala yang sangat luas,"
kata Norimarna. (mg5)
IZAAC TULALESSY - WARTAWAN HARIAN UMUM SIWALIMA |