"Jadi, kau tak merasa bersalah?" Mengungkap Fakta Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Orang-orang dengan Orientasi Seksual Berbeda di Indonesia Negara harus peduli terhadap segala bentuk ketidak-adilan. Negara semestinya menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan setiap kelompok masyarakat untuk mereformasi diri dan membuka diri terhadap pluralisme. Negara harus memberikan perlindungan eksternal; yaitu mengurangi kerentanan minoritas homoseksual terhadap keputusan dari kelompok yang lebih besar, yaitu heteroseksual. Omong kosong sebuah negara mengklaim dirinya negara demokrasi jika hak-hak kaum minoritas ini masih diabaikan. Di dalam buku ini digambarkan secara jelas pelanggaran hak-hak kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseksual (LGBTI) yang terjadi di Indonesia, seperti diskriminasi dan kekerasan, yang disertakan juga dengan paradigma terhadap kelompok LGBTI yang tumbuh berkembang di dalam masyarakat Indonesia. Sehingga pembaca diharapkan dapat memahami bahwa stigma-stigma terhadap kelompok LGBTI lah yang sering menyebabkan tindakan-tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok LGBTI terjadi di Indonesia. Hal itu bukan hanya muncul dari kelompok-kelompok masyarakat tertentu, tetapi juga dari kalangan pemerintah sendiri. Akhirnya pembaca diharapkan dapat menilai apakah tindakan-tindakan diskriminasi ataupun kekerasan terhadap orang-orang dengan orientasi seksual berbeda itu lazim untuk dilanjutkan, ataukah tindakan-tindakan seperti itu sudah selayaknya dibuang dari negara RI.
|
|
OutZine! No.3 / Juli 2008
• Dari Redaksi: Mari rayakan keberagaman |
|
OutZine! No.2 / Januari 2008
|
download [2100Kb] |
Hak Kerja Waria: Tanggung Jawab Negara Kaum waria merupakan bagian dari masyarakat tersisih yang dilupakan kehadirannya, baik oleh masyarakat maupun negara. Mereka mengalami diskriminasi berlapis. Mulai dari pengucilan oleh lingkungan keluarga, dihinakan di sekolah, dikeluarkan dari tempat kerja, hingga perbedaan perlakuan oleh aparat pemerintahan. Meski ada banyak di antara mereka yang bertitel sarjana S-1 dan S-2, pada umumnya kalangan waria hanya berserak sebagai bagian dari kehidupan jalanan. Siang bekerja di salon atau jadi pengamen, malam jadi penghibur dan pemuas laki-laki. Tampak jelas bahwa perangkat HAM di Indonesia sama sekali tak memberikan perlindungan kepada mereka. Isi buku ini menggambarkan bahwa kaum waria Indonesia, seperti juga kaum gay dan lesbian adalah korban dari sebuah cara pandang dominan terhadap orientasi seksual secara hitam-putih. Suatu cara pandang yang kerap diproduksi oleh sebuah rejim fascis-phallucratic. Kelompok waria sebenarnya dapat bekerja sama dengan masyarakat lainnya, permasalahannya kemudian kelompok waria itu harus terus meningkatkan kemampuan, kapasitas, dan kepercayaan dirinya sendiri agar dapat lebih diterima lagi di lingkungan masyarakat. Dengan begitu masyarakat akan melihat bahwa kelompok waria juga dapat dan mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lainnya. Diskriminasi berawal dari keangkuhan melihat diri dan perendahan orang lain karena berbeda dengan dirinya. Mindset yang oppressive ini awal dari subordinasi yang pernah melahirkan perbudakan. Pelecehan kemanusiaan atas waria merupakan sisa praktek jahiliyah di jaman modern. "Penulisan buku ini adalah usaha yang layak dihargai. Dengan segala kekurangannya, buku ini ditulis dengan cita-cita mengajak pembacanya melihat realita kehidupan dan menyadari bahwa kita diciptakan Tuhan dengan keadaan yang berbeda-beda. Tentu saja dengan harapan untuk menjadikan perbedaan itu sebagai kekayaan dan kekuatan". |
pesan buku |
OutZine! No. 1 /Agustus 2007 Memuat antara lain:
|
download [1200Kb] |
Parodi Negeri Pelangi: Salah Siapa? Seperti kita ketahui bahwa saat ini sedang berlangsung upaya penyeragaman budaya di Indonesia yang dilakukan oleg pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah . Hal itu terbukti dengan munculnya peraturan-peraturan daerah (Perda) di berbagai daerah di Indonesia, yang mengatur wilayah privat warganya. Perda-perda tersebut sangat diskriminatif terutama terhadap kelompok masyarakat rentan, seperti kelompok perempuan, LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender/transseksual), adat, agama minoritas dan kepercayaan dll. Namun sayangnya belum banyak masyarakat yang menyadari dan memahami dampak negatif perda-perda diskriminatif tersebut karena minimnya upaya sosialisasi perda-perda yang dilakukan oleh pemerintah daerah. |
|