Hukum Online, 04/03/03
Jangan Jadikan Media Massa Sebagai Provokator Konflik
Media massa seharusnya netral dan tidak berpihak. Namun, apa jadinya jika kantor
media itu berlokasi tepat di daerah konflik dan para wartawan serta keluarganya
menjadi bagian dari konfik itu sendiri. Walaupun kuat perasaan pribadi menolak,
keadaan juga yang mebuat media massa itu akhirnya berpihak. Akibatnya, konflik
bagai api yang disiram bensin. Makin membara.
Khusus mengenai konflik yang sepertinya tak kunjung selesai di Ambon-Maluku,
peran media sangat besar di sana. Media yang tadinya netral menjadi terpecah dan
masing-masing memihak kepada salah satu pihak yang bertikai sehingga secara
langsung atau tidak menjadi provokator. Padahal seharusnya, media tidak boleh
berubah menjadi salah satu alat untuk provokator konflik.
Imbauan tersebut tersirat dalam pendapat yang dilontarkan pengamat Maluku,
Thamrin Amal Tamagola, dalam suatu diskusi tentang peran media dalam kaitannya
dengan konflik Ambon di Jakarta. Menurutnya, memang sulit sekali bagi media untuk
tetap netral jika berada dalam pusat daerah konflik.
Thamrin mengatakan, pada saat melihat media--terlebih di daerah konflik--memang
tidak bisa berharap banyak bahwa media itu akan tetap independen. "Ada sifat
inherent (natural) dalam media, sehingga mereka harus memihak pada salah satu
pihak," ujar Thamrin. Walau demikian, idealnya media memang harus tetap bersikap
netral dalam kondisi apa pun.
Menurut Thamrin, media itu seperti suatu ruang publik yang sengaja diciptakan dan
ditujukan untuk selalu independen atau tidak memihak. Namun demikian, begitu
tujuan itu mau ditegakkan, kenyataannya selalu dipengaruhi oleh konteks sosial,
politik, dan budaya di sekitarnya. Dengan demikian, tujuan independen itu memang
dirasa semakin sulit saat media berada pada masa dan lokasi konflik.
Satu menjadi dua
Ketika berbicara tentang media di Ambon, ada satu grup media yang berperan amat
besar di sana. Bahkan, sejatinya merupakan satu-satunya grup yang mempunyai
perwakilan penerbitan di daerah tersebut, yaitu Grup Jawa Pos dengan perwakilannya
surat kabar lokal bernama Suara Maluku.
Sebelum masa konflik, Suara Maluku beroperasi layaknya seperti surat kabar lainnya
berusaha untuk menampilkan berita yang independen. Namun, keadaannya berubah
saat Maluku memasuki masa konflik. Desakan keadaan itu, membuat surat kabar itu
pecah menjadi Suara Maluku yang cenderung memihak golongan Kristen dan Ambon
Express yang cenderung memihak golongan Islam, walaupun keduanya sama-sama
di bawah Grup Jawa Pos.
Penulis buku "Media dan Konflik di Ambon", Eriyanto, yang juga hadir pada diskusi
tersebut mengatakan bahwa media di Ambon sekarang sedah berubah semenjak
terjadi konflik. Awalnya, media di Ambon memang tidak berafiliasi dengan satu pihak,
namun memang akhirnya terjadi perpecahan akibat ketidaksiapan media tersebut
menghadapi konflik yang demikian besar.
Menurut Eriyanto, yang juga menjadi penyebab perpecahan adalah karena wartawan
Suara Maluku dan keluarganya merupakan salah satu kelompok masyarakat yang
menjadi korban. Terutama, saat konflik memasuki tahap ke II, yaitu ketika sudah
terbentuk perbedaan wilayah Kristen dan Islam. Wartawan yang beragama Islam
menjadi tersingkir dari Suara Maluku yang berlokasi tepat pusat daerah Kristen.
Beberapa alasan lain memang menjadi latar belakang dari lahirnya Ambon Ekspres.
Termasuk, pendapat yang mengatakan adanya latar belakang bisnis yang ikut
lahirnya koran baru itu. Pasalnya, tersiar kabar bahwa pada saat konflik oplah Suara
Maluku melesat naik dari hanya 12.000 menjadi 300.000 eksemplar dan Ambon
Ekspres beroplah sekitar 6000 eksemplar.
Tanggung jawab moral
Menanggapi pendapat tersebut, pemimpin redaksi Jawa Pos, Arief Afandi,
mengatakan bahwa pertimbangan Jawa Pos saat membentuk Ambon Ekspres sangat
pragmatis. "Ketika ada wartawan kami yang tidak bisa bekerja, itu menjadi tanggung
jawab kami untuk menciptakan pekerjaan untuk mereka," tegas Arief. Karena itu,
lahirlah Ambon Ekspres.
Mengenai tuduhan media sebagai provokator konflik, Arief menjelaskan bahwa jangan
sampai masyarakat punya pandangan media bisa menciptakan konflik. Menurutnya,
media itu laksana cermin yang memberikan gambaran kepada masyarakat tentang
apa yang berlaku pada masyarakat itu sendiri secara apa adanya tanpa
melebih-lebihkan atau menguranginya.
Pendapat Arief juga disokong pemimpin umum Harian Fajar yang juga kelompok Jawa
Pos di Makassar, Alwi Hamoe. Menurutnya, tidak ada pikiran bisnis dengan
dibentuknya dua media di Ambon. "Dulu oplah kami lebih dari 17.000 eksemplar
dengan iklan bagus. Sekarang, bahkan hampir tidak ada iklan. Uang dari mana?,"
tegas Alwi.
Menurut Alwi, dulu antara wartawan Kristen dan Islam sangat akrab. Dengan
lokasinya di pusat Kristen, Suara Maluku dideskriditkan setiap kali memuat berita
yang tersirat memihak Islam pada saat konflik. Jadi, perpecahan ini bukan karena
keinginan wartawannya. "Mereka bisa saja bersatu, namun mereka akan kehilangan
kepercayaan pihak yang bertikai," jelas Alwi.
Dalam kesempatan itu, Alwi juga mengkritik media nasional di Jakarta yang
cenderung melebih-lebihkan apa yang terjadi di Maluku. Menurutnya, justru
pemberitaan pada media di Jakarta lah yang mengundang provokasi terjadinya konflik
di Maluku. Karena sebenarnya, menurut Alwi, media di Maluku sendiri berhati-hati
dalam pemberitaannya. (Zae)
|