Masariku Update, 16 April 2003
Dear All,
Sekian lama kami tidak mengirimkan berita bagi members Masariku langsung dari
Maluku. Ini diakibatkan kerusakan tekhnis pada computer Masariku Network Ambon,
yang membutuhkan waktu lama bagi perbaikannya. Sekalipun demikian kami kira
members Masariku bisa mendapatkan perkembangan berita dari berbagai sumber.
Beberapa informasi yang dapat kami sampaikan, berkaitan dengan perkembangan
situasi terakhir di Maluku a/l:
Interaksi Masyarakat & Proses Rekonsiliasi
Interaksi masyarakat pada berbagai wilayah dapat dikatakan berlangsung semakin
baik, sekalipun kondisi segregasi masih tetap berlangsung. Khusus untuk Kota dan
Pulau Ambon masarakat dari kedua komunitas telah dapat saling mengunjungi untuk
berbagai kebutuhan. Tentu rasa trauma masih tetap saja melekat, namun dari
waktu-ke waktu semakin tereliminasi seiring berkembangnya situasi yang semakin
membaik. Masariku Network Ambon sendiri untuk beberapa kesempatan dapat
mengunjungi wilayah Galunggung dan Air Kuning, untuk berdialog dengan beberapa
tokoh yang selama ini dianggap berada pada posisi hard liner. Lewat berbagai dialog
yang dilakukan terasa munculnya kesadaran bersama untuk pentingnya menghindari
berbagai kemungkinan konflik baru, yang kembali membelah masyarakat Maluku.
Kesadaran ini didorong pada kenyataan bersama, hancurnya tatanan hidup
masyarakat pada segala aspek, yang menuntut perbaikan segera oleh semua pihak.
Beberapa indikator semakin berkembangnya proses interaksi
masyarakat,diantaranya; Perluasan Pasar Bersama -- Saat ini pasar bersama yang
terletak di bekas terminal bus dalam kota telah diperluas ke ruas jalan pantai
Mardika. Pasar yang menjual berbagai kebutuhan pokok sehari-hari didominasi oleh
para pedagang Muslim. Sekalipun demikian beberapa pedagang Kristen telah juga
menempati kios-kios jualan yang dibangun oleh pemda kodya Ambon. Di lain pihak
beberapa pasar kaget yang terletak di wilayah Kristen masih tetap eksist sampai saat
ini, sekalipun semakin kekurangan pembeli karena akses yang semakin terbuka di
pasar bersama; Interaksi Pengemudi Becak -- Selama konflik berlangsung becak
merupakan salah satu isyu sensitif pelanggeng konflik yang dilansir oleh beberapa
pihak. Menariknya saat ini berkembang interaksi yang semakin baik antara para
pengemudi becak yang beragama Kristen dan Muslim. Hal mana terlihat dengan
mulai terbukanya akses secara terbatas untuk memasuki wilayah-wilayah yang
selama ini dianggap wilayah musuh. Seringkali terlihat para pengemudi becak dari
kedua komunitas mangkal bersama-sama dalam suasana akrab, untuk menunggu
penumpang di beberapa ruas jalan; Rumah Kopi Rekonsiliasi -- Rumah/warung kopi
sejak sebelum kerusuhan merupakan hal yang khas dan digemari di Ambon sebagai
tempat pertemuan dan interaksi masyarakat. Di rumah kopi segala hal dibicarakan,
terutama yang berkaitan dengan persoalan-persoalan politik dan kemasyarakatan.
Karenanya tak jarang rumah kopi di Ambon memperoleh julukan sebagai DPR
jalanan. Saat ini kekhasan itu mulai terlihat lagi, setelah sempat hilang selama
kerusuhan. Para lelaki (umumnya pengunjung rumah kopi didominasi oleh para lelaki)
dari kedua komunitas sehari-hari terlihat duduk berbincang dan bercengkerama
selama berjam-jam di beberapa rumah kopi, yang kemudian dijuluki sebagai rumah
kopi rekonsiliasi. Terutama yang terletak di perempatan bundaran tugu Trikora di
pusat kota Ambon. Topik percakapan didominasi oleh persoalan-persoalan
perkembangan politik lokal, nasional, dan international. Perkembangan perang Irak
juga merupakan topik yang ramai dipilih untuk dipercakapkan. Tak terkecuali
percakapan menyangkut kemungkinan-kemungkinan melakukan usaha ekonomi
bersama; Tempat-tempat Rekreasi Bersama -- Selama konflik berlangsung
wilayah-wilayah pantai yang menjadi pusat rekreasi masyarakat (seperti pantai
Natsepa, Namalatu, Santai, dll) umumnya menjadi milik satu pihak saja, karena
terletak di wilayah yang dikuasai komunitas Kristen. Namun saat ini lokasi-lokasi
dimaksud mulai kembali menjadi tujuan bersama kedua komunitas. Hal ini semakin
menggairahkan beberapa pengelola lokasi-lokasi tersebut untuk melakukan promosi
terbuka ke masyarakat, dan menambah beberapa fasilitas rekreasi; Balapan Motor --
Bagi banyak pemuda di Ambon belakangan ini, hari libur telah menjadi hari khusus
untuk menggelar ajang balap motor pada beberapa ruas jalan di luar pusat kota
Ambon. Umumnya mereka memilih ruas jalan dari Passo ke Natsepa, atau dari Poka
ke Laha. Balapan yang melibatkan ratusan pengendara motor dari dua komunitas ini,
biasanya dilakukan dengan taruhan yang terkadang cukup besar untuk ukuran
masyarakat di Ambon. Jumlah taruhan biasanya berkisar antara 3 -- 7 juta rupiah:
Sepakbola Gawang Mini -- Selain ajang balap motor, maka sepakbola gawang/gol
mini juga menjadi fenomena yang cukup menggairahkan para pemuda di Ambon
belakangan ini. Berbagai club gawang mini tumbuh subur dilengkapi berbagai atribut
pelengkapnya. Hampir setiap minggu kita bisa menyaksikan dan mendengar teriakan
yel-yel kemenangan dari berbagai club melalui konvoi mobil dan motor yang
mengarak tim favoritnya; Panitia Bersama MTQ Saparua -- Awal April merupakan
momentum yang cukup menarik untuk Pulau dan Kecamatan Saparua. Di Negeri
Sirisori Islam diselenggarakan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) sekecamatan
Saparua. Kegiatan ini diikuti oleh negeri Sirisori Islam dan Negeri Iha. Sekalipun
hanya dua negeri Muslim (Kulur tak turut serta) yang mengambil bagian dalam
kegiatan ini, namun penyelenggaraan kegiatan melibatkan masyarakat Kristen di
Saparua. Sekretaris Klasis GPM Pulau-Pulau Lease misalnya ditunjuk sebagai wakil
ketua panitia kegiatan dimaksud. Pelaksanaan kegiatan didukung oleh penggalangan
dana yang juga melibatkan warga Kristen di Saparua. Dalam rangkaian persiapan
kegiatan dimaksud, warga Negeri Iha yang mengungsi telah sempat datang ke
reruntuhan Negeri Iha di Saparua dengan disambut hangat oleh masyarakat negeri
Noloth dan Ihamahu. Dalam percakapan yang berlangsung hangat sebagian besar
warga meminta masyarakat Iha segera kembali menempati wilayah petuanan
negerinya. Proses interaksi yang terjadi di Saparua sendiri secara perlahan mulai
berlangsung. Jalur Tenggara Mulai Terbuka -- Masih dalam rangkaian proses di Pulau
Saparua, saat ini jalur transportasi darat ke wilayah tenggara Saparua mulai terbuka.
Untuk ke Negeri Ulath dan Ouw masyarakat mulai berani melewati jalan darat,
dengan melalui negeri Siriori Islam. Sekalipun trayek kendaraan umum ke arah
wilayah tenggara belum dibuka, namun kenderaan pribadi baik mobil maupun motor
sudah semakin sering melintasi Sirisori Islam menuju Ulath dan Ouw. Demikian pula
warga Sirisori Islam terkadang sudah datang ke Saparua untuk memenuhi beberapa
kebutuhan. Masariku Network Ambon sendiri berkesempatan untuk melintasi jalur
darat tersebut menuju Negeri Ulath dua minggu yang lalu. Dengan menyewa mobil
angkutan umum milik warga negeri Haria kami menuju Ulath dengan melewati negeri
Sirisori Islam. Sepanjang jalan melintasi negeri Sirisori Islam terkadang kami dengar
warga masyarakat menyapa dengan sebutan ‘Ela’. Hal ini mengingat hubungan
Pela Keras antara Haria dan Sirisori Islam; Interaksi Terbatas di Pulau Haruku --
Sebulan lalu Masariku Network Ambon bertemu Raja Negeri Sameth dan beberapa
staff pemerintahannya di Masohi. Menariknya, menurut mereka kedatangan mereka
ke Masohi dengan menumpangi speed boat di Negeri Rohomoni. Ini merupakan
indikator bahwa semakin terbuka akses interaksi di wilayah pulau Haruku, yang
tentunya menjadi modal untuk mengembangkan proses selanjutnya; Pulau Seram
Semakin Kondusif -- Perjalanan terakhir Masariku Network Ambon ke Pulau Seram
berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan pelatihan dan pendampingan korban stress
pasca trauma yang diselenggarakan Crisis Centre GPM bagi komunitas Kristen dan
Islam di Masohi dan sekitarnya. Pada kesempatan kegiatan dimaksud kami mencoba
mengamati lebih jauh proses-proses interaksi masyarakat yang berlangsung.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa jalur darat untuk wilayah
Seram Timur telah kembali terbuka dari Masohi ke Tehoru dan sebaliknya. Masariku
Network Ambon sendiri berkesempatan mengunjungi Negeri Hatu di kecamatan
Tehoru dengan melintasi jalur darat. Perjalanan yang melewati sekian banyak negeri
Islam di pesisir, berlangsung aman. Bahkan ketika kami harus melanjutkan
perjalanan laut dari Tehoru menuju Hatu, angkutan laut yang digunakan adalah milik
warga Muslim Tehoru. Sementara itu pusat-pusat interaksi mesyarakat sebelum
konflik mulai kembali diramaikan oleh kehadiran bersama dua komunitas. Negeri
Amahai dan Soahuku misalnya kembali menjadi wilayah transit bagi warga dari
negeri-negeri Islam di pesisir Seram Timur yang hendak bepergian ke Masohi atau ke
Ambon. Demikian pula pasar Amahai telah menjadi pasar bersama yang
mengakomodir pedagang-pedagang Islam yang datang dari negeri-negeri Islam
disekitarnya. Di kota Masohi sendiri interaksi masyarakat telah berlangsung hampir
disemua bidang. Memang ketika malam tiba kota Masohi masih terlihat ibarat kota
mati. Namun ini lebih disebabkan terbatasnya fasilitas, terutama berkaitan dengan
hancurnya berbagai sarana selama berlangsungnya konflik. Segregasi wilayah masih
tetap terjadi dan memisahkan pemukiman kedua komunitas. Meskipun demikian
pada beberapa wilayah pemukiman yang hancur, terlihat mulai dibangunnya
rumah-rumah jatah pengungsi, dengan membaurkan baik warga Muslim maupun
Kristen. Sekalipun belum ditempati, namun ini memberikan indikasi berkembangnya
upaya-upya untuk mengeliminir kondisi segregasi yang terjadi. Wilayah Seram Barat
dan Utara belum sempat kami kunjungi, namun berdasarkan informasi dari
rekan-rekan yang berproses untuk mendorong berkembangnya interaksi disana,
diketahui bahwa proses interaksi masyarakat berkembang semakin baik; Namlea
Telah Dapat Dikunjungi Kristen -- Di Pulau Buru, terutama di Namlea ibukota
Kabupaten Buru warga Kristen telah memperoleh akses untuk datang dan
berinterkasi disana. Sekalipun belum menetap secara permanen, namun untuk
beberapa urusan warga Kristen bisa menginap dalam jangka waktu tertentu.Warga
Kristen dari Buru Utara Barat yang sebagian besar sudah kembali dari tempat
pengungsian, kerapkali mengunjungi Namlea untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
atau untuk interaksi lainnya. Akses transportasi dari Ambon menuju Namlea juga
mempermudah proses interaksi yang mulai terbangun. Saat ini kabupaten Buru telah
melakukan pengadaan satu kapal cepat dengan kapasitas 300 orang untuk trayek
Namlea -- Ambon PP.
Jarak itu dapat ditempuh selama 3 jam perjalanan laut. Keberadaan kapal cepat ini
memberi perluasan akses bagi warga Kristen yang berangkat dari Ambon menuju
Namlea untuk urusan-urusan pemerintahan maupun ekonomi. Selain Namlea maka
interaksi yang lebih permanen mulai jugat erbangun diantara komunitas Muslim dan
Kristen pada beberapa negeri di pesisir antara perbatasan Buru Utara dan Selatan.
Menjelang akhir tahun yang lalu misalnya, Crisis Centre GPM melakukan kegiatan
penguatan ketahanan pangan bagi beberapa negeri Kristen di wilayah itu, yang juga
menjangkau penduduk beragama Muslim yang terpuruk; Pelantikan Raja --
Belakangan ini acara pelantikan raja terjadi di berbagai negeri di Pulau Ambon dan
sekitarnya. Tercatat dalam beberapa bulan terakhir proses pelantikan raja semarak
berlangsung di negeri Tulehu, Tial, Ulath, Boy, Tiow, Kampung Mahu. Menariknya
proses pelantikan raja melibatkan negeri-negeri Islam dan Kristen dalam ritual adat
secara bersama, terutama yang berada dalam hubungan Pela dan Gandong. Muncul
kecenderungan kuat untuk kembali merajut jalinan ikatan adat yang menjadi longgar
selama berlangsungnya konflik. Hal ini menumbuhkan banyak harapan terhadap
pengembangan penggunaan instrumen adat dan budaya sebagai elemen kohesif
dalam proses-proses rekonsiliasi menuju perdamaian.
Potensi-potensi Konflik
Sekalipun situasi umum berkembang semakin baik dan kondusif, namun tak dapat
disangkal bahwa potensi-potensi konflik dalam berbagai aspek masih cenderung
terpelihara. Beberapa potensi konflik yang dapat diungkapkan disini antara lain;
Masalah Pengungsi dan Penanganan Pemerintah -- Penanganan masalah pengungsi
selama ini menjadi problema serius yang tak pernah tuntas. Hal mendasar yang
menggumpalkan persoalan penanganan pengungsi dari aspek pemerintah adalah
bahwa pola penanganan yang dikembangkan tidak pernah bersifat terpadu.
Penanganan dikembangkan melalui pendekatan proyek mendorong berkembangnya
ego departemental dalam kondisi yang sangat serius. Sekalipun melalui Penguasa
Darurat Sipil telah dibentuk posko penanganan terpadu, namun mekanisme yang
terbangun didalamnya tetap bersifat segmentaris dengan bertumpu pada
kebijakan-kebijakan terpisah yang dilakoni oleh masing-masing departemen atau
dinas terkait. Tercatat empat dinas terkait memgang peranan penting dalam proses
penanganan pengungsi. Masing-masing; Dinas pekerjaan Umum, Dinas Sosial, dan
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Dinas Kesehatan. Ironisnya sekalipun pola
koordinasi dalam penanganan terpadu telah dibuat, namun implementasinya terjebak
dalam ego kebijakan masing-masing dinas terkait. Contohnya masing-masing dinas
terkait melakukan pendataan pengungsi secara terpisah, tanpa pernah melakukan
kompilasi terhadap data bersama. Akibatnya dalam penanganan dilapangan terjadi
tumpang tindih kebijakan yang menimbulkan ketidakpuasan dan penolakan pengungsi
terhadap berbagai ketidakberesan yang dialami mereka. Data base terpadu yang
diharapkan ditemukan pada posko penanganan pengungsi, ternyata sampai saat ini
tak terlihat disana. Selain tumpang tindihnya kebijakan antar departemen atau dinas
terkait, maka hal serupa ditemukan pula dalam hubungan antara pemerintah provinsi
dengan pemerintah kabupaten -- kota. Jalur koordinasi berkaitan dengan mekanisme
pendataan sebagai hal yang paling prinsip untuk memandu mekanisme perumusan
kebijakan terlihat sangat berantakan. Hal ini berakibat langsung pada timbulnya
ketegangan antara pemerintah provinsi dengan pihak kabupaten -- kota dalam
menentukan strategi terpadu penanggulangan masalah pengungsi. Lemahnya
pendataan dan koordinasi terpadu membuka ruang bagi munculnya
persoalan-persoalan ikutan. Diantaranya, merajalelanya tindak korupsi terhadap
hak-hak pengungsi sampai pada tahap yang tak bisa ditolerir lagi. Beras-beras jatah
pengungsi diperjualbelikan dengan bebas di pasar umum. Pembangunan rumah
pengungsi dengan harga dasar yang selalu berubah (menjadi lebih kecil), dan dengan
tipe yang tak lebih baik dari sebuah kandang sapi (banyak yang dibangun tanpa WC
dan kamar mandi). Pembayaran tunjangan pengungsi dan uang pemulangan yang
tersunat. Pengendapan dana penanggulangan pengungsi di rekening-rekening pribadi
para pejabat. Serta berbagai kebobrokan lain yang mengindikasikan bahwa
penanganan pengungsi cenderung telah menjadi proyek penggelembungan kantong
pribadi dari berbagai pihak terkait. Celakanya hal ini tidak saja dilakoni oleh berbagai
pihak di dalam tubuh pemerintah (dari provinsi sampai ke desa), tetapi juga dilakukan
oleh berbagai LSM lokal yang tiba-tiba bertumbuh dalam jumlah ratusan lembaga
selama konflik berlangsung. Saat ini melalui PDS Daerah Maluku telah dibentuk Tim
Penanggulangan dan Monitoring Penanganan Pengungsi yang diketuai langsung oleh
Penjabat Gubernur Maluku. Tim ini dibentuk 2 bulan yang lalu untuk mengganti Posko
Penanggulangan Pengungsi dan Satkorlak Tingkat I Maluku. Pembentukan tim ini
bertolak dari keinginan untuk kembali mendinamisir prinsip keterpaduan dan
sinergisasi penanganan yang sebelumnya dianggap berantakan. Untuk
mengembangkan mekanisme kontrol publik terhadap kinerja tim, maka beberapa
pihak yang dianggap independent dilibatkan dalam keanggotaan tim terpadu. Secara
kebetulan Masariku Network Ambon diminta terlibat mendukung keanggotaan tim
yang baru dibentuk. Sayangnya sampai saat ini mekanisme tim tak berjalan
sebagaimana yang diharapkan sejak pertemuan awal pembentukan digelar. Hal ini
antara lain disebabkan karena belum disepakatinya suatu pola penanganan terpadu,
yang mengandaikan terjadinya koordinasi terbuka antara semua instansi yang
terlibat. Sementara itu mekanisme kontrol berdasarkan otoritas Penguasa Darurat
Sipil tak berjalan sebagaimana biasanya. Pendelegasian wewenang dari Penjabat
Gubernur pada Asisten II Pemda Maluku, tak diikuti dengan implementasi
pendelegasian kewenangan secara terukur. Rapat koordinasi sebagai instrumen
monitoring dan evaluasi berlangsung secara sangat insidentil, tanpa suatu penentuan
schedule yang disepakati. Mekanisme amburadul seperti ini mengakibatkan
terjebaknya pengelolaaan kebijakan pada pola yang sangat segmentaris dan
departemental, berdasarkan ego masing-masing departemen dan dinas terkait.
Sementara di pihak lain target penyelesaian masalah pengungsi diagendakan selesai
tuntas dalam tahun ini. Hal mana merupakan instruksi pemerintah pusat. Penetapan
target demikian mengkondisikan kerja penanganan dan penanggulangan pengungsi
dipolakan dengan pendekatan yang sangat menekankan aspek fisik dengan
hitungan-hitungan kwantitatif semata. Pendekatan sosio-kultural cederung dihindari
dan bahkan sedapat mungkin dieliminir dari keutuhan proses. Contohnya pada proses
pemulangan pengungsi, ukuran keberhasilan ditentukan berdasarkan kategori yang
sangat kwantitatif (banyaknya rumah dibangun, banyaknya pengungsi dipulangkan,
banyaknya tunjangan pemulangan diberikan, dll). Sementara itu pekerjaan
mempersiapkan masyarakat lokal dalam proses interaksi pasca pemulangan hampir
tak pernah tersentuh, bahkan dalam penggodokan strategis. Dapat dikatakan bahwa
pada semua aspek pengelolaan kebijakan dan penentuan strategi penanganan pasca
konflik, dimensi partisipatoris sebagai salah satu jiwa pengembangan civil society
dalam prospek pembentukan masyarakat Maluku pasca konflik, merupakan indikator
marginal. Hal ini tak ubahnya meninggalkan bom waktu di tengah masyarakat, yang
siap tersulut kapan saja dalam perkembangan kemudian; Kondisi Politik Lokal --
Situasi politik lokal tetap dihangati oleh sejumlah isyu, namun pertarungan menuju
suksesi gubernur merupakan isyu dominan yang dielaborasi dalam wacana publik.
Saat ini DPRD Maluku bersama Penjabat Gubernur Maluku tengah berada di Jakarta
untuk melakukan negosiasi dengan pemerintah pusat berkaitan dengan persiapan
proses pemilihan gubernur Maluku. Opini publik berkembang dua arah dalam
menyikapi keberangkatan DPRD Maluku. Di satu pihak dipertanyakan efektifitas
negosiasi yang dilakukan ke pemerintah pusat, seakan menunjukan ketidakmampuan
dan sikap dependensi DPRD yang berlebihan terhadap pemerintah pusat. Di lain
pihak muncul dukungan terhadap proses negosiasi dengan alasan belum dicabutnya
pemberlakuan UU Darurat Sipil di Maluku. Selain dikotomi perlu tidaknya negosiasi
ke pemerintah pusat maka dikotomi-dikotomi lainnya muncul pada tataran wacana.
Diantaranya; perlu tidaknya dibuka pendaftaran ulang calon gubernur -- wakil
gubernur; calon sipil vs militer; putra daerah vs pendatang; Kristen vs Islam,
Dilaksanakan sekarang vs ditunda setelah Pemilu nasional, dll. Namun tentunya
menarik untuk diamati dimulainya kembali proses-proses negosiasi alot dan
pembentukan opini yang dilakukan berbagai tim sukses di belakang dinamika
pertarungan para kandidat. Termasuk didalamnya dinamika pembantaian karakter
antara para kandidat yang dimainkan secara terbuka maupun tertutup. Sempat
fenomena pertarungan ini mereda beberapa waktu yang silam, setelah pemerintah
pusat melalui menteri dalam negeri menunda proses pemilihan. Namun kini dengan
berakhirnya perumusan Anggaran Belanja dan Pembangunan Daerah Maluku 2003,
maka dinamika pertarungan akan kembali mendominasi wacana publik, mengingat
penyelesaian penetapan APBD Maluku 2003 dijadikan indikator dimulainya kembali
proses suksesi gubernur maluku; Suksesi Rektor Unpatti -- Beberapa waktu
belakangan ini suksesi rektor Universitas Pattimura menjadi wacana menarik, selain
wacana suksesi gubernur. Hal ini berkaitan dengan terpublikasinya proses dan
dinamika suksesi yang diberitakan sarat KKN. Proses pembantaian karakter
berlangsung marak, dan diusung pada gerakan demo mahasiswa Unpatti untuk
mendukung dan menolak para kandidat. Kampus terbelah dua antara mendukung dan
menolak kebijakan pemilihan calon rektor di tingkat senat universitas. Polemik
bertumpu pada Mus Huliselan, rektor saat ini yang dianggap memihak Berth
Tetelepta, salah satu calon rektor yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan
di tingkat senat universitas. Huliselan dianggap KKN dalam proses penggalangan
suara kepada Berth, dengan tujuan untuk mengamankan sekian banyak
penyimpanganyang dilakukan Huliselan selama menjabat rektor Unpatti. Sementara
itu kubu Huliselan yang memenangkan Berth dan mengalahkan kandidat lainnya,
menganggap bahwa proses penjaringan calon sudah berjalan demokratis. Menurut
mereka ketidakpuasan merupakan hal wajar, dan lebih sebagai ekspresi orang-orang
kalah. Bagaimanapun juga proses ini belum selesai. Dua nama yang dikirim ke
pemerintah pusat, masing-masing Berth Tetelepta dan Co Louhanapessy akan
memperoleh penentuan dan penetapan terakhir dari presiden melalui menteri
pendidikan nasional. Sekalipun pemerintah belum memutuskan, namun demo sudah
terlanjur digelar. Bahkan menariknya demo yang menggalang mahasiswa dari kedua
kubu yang bertarung digelar pada hari yang sama. Demo segera diikuti oleh
penyebaran selebaran gelap di lingkungan kampus PGSD, yang isinya tak lebih dari
berbagai isyu yang dilontarkan untuk membantai sesama civitas akademika dari
kampus yang sedang terpuruk. Menariknya dalam perkembangan kemudian
penggalangan dukungan melibatkan pula para Latupati, yang menuntut diloloskannya
salah satu kandidat bila menginginkan terbukanya akses terhadap dukungan
masyarakat bagi pembangunan kembali kampus Universitas pattimura di daerah Poka
-- Rumahtiga. Alasan mereka yang kemudian diituangkan dalam surat kepada
pemerintah pusat di Jakarta, bahwa bersama salah seorang kandidat (yang
dikalahkan dalam pemilihan di tingkat senat universitas) mereka telah berproses
cukup lama untuk menggagas dukungan masyarakat dalam upaya pembangunan
ulang kampus Unpatti di Poka-Rumahtiga. Upaya yang menurut mereka dianeksasi,
namun tak dipertanggung-jawabkan secara fair dalam proses pemilihan rektor;
Penggelembungan Isyu Separatis RMS dan FKM -- Menjelang tanggal 25 April 2003
wacana publik kembali diramaikan oleh berbagai isyu menyangkut stigmatisasi RMS
yang selama ini dimainkan oleh berbagai pihak. Awalnya wacana ini menjadi ramai
ketika beberapa puluh mahasiswa STAIN Ambon mengusung demo anti intervensi ke
Irak, yang lalu ditempelkan dengan sikap penolakan terhadap UN Centre Office yang
akan diresmikan. Entah mengapa sikap penolakan kemudian dibumbui dengan
penolakan terhadap FKM, RMS dan separatis yang menurut mereka telah melakukan
negosiasi tertutup dengan UN Centre Office yang rencananya akan diresmikan
sebulan lalu. Pengkondisian demo anti invasi Irak dengan mengusung isyu anti FKM
dan RMS terasa aneh, mengingat UN Cetre Office sebenarnya merupakan
pengkoordinasian berbagai international NGO yang bekerja selama konflik Maluku,
untuk terpusat pada satu wilayah/bangunan berdasarkan standard pengamanan yang
berlaku baku. Selama ini semua international NGO, baik yang berada langsung di
bawah UN maupun tidak menempati lokasi kantor yang terpisah satu sama lain.
Setelah ditemukan sebuah bangunan yang dirasakan cukup memadai, maka
mekanisme koordinasi dan pengamanan standard diberlakukan. Dengan demikian
pusat koordinasi bersama ini bukanlah merupakan sebuah representasi yang sama
sekali baru selama konflik Maluku. Polemik kemudian berkembang di berbagai media
lokal, yang tidak lagi menyoal invasi Irak, namun yang secara substansial telah
bergeser ke wilayah wacana separatis. Para petinggi polisi dan militer terpancing
untuk menghangati opini publik, setelah kelompok FKM mengeluarkan pernyataan
siap mengibarkan bendera dan bahkan bersedia mati demi bendera RMS yang akan
dikibarkan pada tanggal 25 April mendatang. Operasi intelejen mulai digelar untuk
mengantisipasi persiapan pengibaran bendera oleh kelompok FKM, yang belum pasti
akan dilangsungkan dimana. Beberapa hari belakangan helikopter militer sudah mulai
menyebarkan selebaran dari udara, yang menghimbau untuk tidak mengibarkan
bendera RMS. Kunjungan-kunjungan kerja militer ke berbagai negeri dan wilayah
kecamatan mulai berlangsung. Beberapa hari yang lalu kunjungan (yang lucunya
menurut mereka tidak berkaitan dengan isyu FKM dan RMS) dilakukan di negeri
Aboru, yang kemudian dipolemikan secara hangat di beberapa media lokal. Di tengah
polemik yang mulai memanas pihak gereja mulai turut angkat bicara. Uskup diosis
Amboina dalam pernyataan di media lokal menekankan perlu dihindarinya pemicu
konflik baru yang mengorbankan masyarakat sipil melalui upaya pengibaran bendera.
Bahkan dengan keras Uskup menentang upaya sekelompok orang yang ingin
menaikan bendera RMS, berdasarkan alasan akan memicu ketegangan antar
kelompok, maupun akan menjebak masyarakat untuk berhadapan dengan aparat
keamanan. Bagaimanapun juga polemik ini tak terlalu memancing ketegangan di
masyarakat. Bahkan banyak kalangan di masyarakat merasa penyikapan isyu ini
oleh pemerintah dan aparat keamanan terasa sangat berlebihan dan lucu, bila
dibandingkan dengan realitas keberadaan FKM sendiri. Dikhawatirkan bahwa
penggelembungan isyu ini merupakan setting untuk membiaskan beberapa tuntutan
masyarakat berkaitan dengan interaksi TNI dan Polri. Antara lain tuntutan untuk
segera dicabutnya UU Darurat Sipil dan kembali ke tertib sipil. Bagaimanapun juga
penggelembungan isyu semacam ini memberi justifikasi bagi keberadaan TNI & Polri,
yang dikhawatirkan memainkan kembali cara-cara represif yang tak tertanggung
jawab menurut kategori HAM. Sekalipun ketegangan tak terlalu terasa di tengah
masyarakat, namun antisipasi masyarakat mulai ditingkatkan untuk mewaspadai
dipakainya orang-orang tertentu di kalangan warga sebagai agent kelompok tertentu
(TNI ?, Polri ?, Politisi ?) untuk memprovokasi masyarakat melalui upaya pengibaran
bendera. Beradasarkan analisa yang berkembang diprediksikan pengibaran bendera
akan dilakukan oleh sekurang-kurangnya empat pihak. Masing-masing: Kelompok
FKM asli (yang mengibarkan bendera karena keyakinan ideologis); Kelompok FKM
ikutan (yang mengibarkan bendera karena ingin meledek / baterek sikap phobia yang
dipicu pemerintah dan aparat keamanan); Kelompok para agent aparat keamanan
(yang mengibarkan bendera untuk menjustifikasi stigmatisasi separatis, serta
mendorong diambilnya kebijakan represif); Kelompok anti FKM dan RMS (yang
mengibarkan bendera sebagai upaya pembenaran terhadap tuduhan yang dilontarkan
selama ini bahwa RMS terlibat konflik Maluku). Kelompok terkahir ini bisa saja
berafiliasi dengan beberapa politisi yang berkepentingan terhadap proses suksesi
gubernur Maluku. Tegasnya isyu pengibaran bendera menjadi bola liar yang bisa
digulirkan dan dimainkan oleh siapa saja berdasarkan kepentingan masing-masing
kelompok; Pemekaran Wilayah dan Tuntutan Otonomisasi -- Salah satu fenomena
yang jamak terjadi memasuki era otonomi adalah berkembangnya tuntutan
pemekaran wilayah. Baik pemekaran wilayah provinsi, maupun wilayah kabupaten
dan kecamatan. Hal yang sama terjadi juga di Maluku. Setelah dipenuhinya aspirasi
masyarakat yang berwujud pada pembentukan kabupaten Buru dan MTB (Maluku
Tenggara Barat), maka kini tuntutan yang sama digulirkan oleh masyarakat di
berbagai wilayah lainnya. Antara lain tuntutan pembentukan kabupaten Seram Barat
dan Kabupaten Seram Timur; Kabupaten Selatan Daya di Maluku Tenggara;
Kabupaten Pulau-Pulau Aru, dll. Ironisnya proses pembentukan kabupaten dan
kecamatan baru tak signifikan berjalan dengan tingkat kesiapan pengelolaan
pemerintahan di wilayah-wilayah baru tersebut. Yang terjadi kemudian bahwa
praktek-praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme yang sebelumnya mengental secara
general pada struktur pemerintahan yang lebih luas, saat ini teraplikasikan dalam
dinamika struktur yang lebih kecil dan terbatas. Fanatisme sub etnis bertumbuh
pesat dan memperhadapkan masyarakat secara dikotomis berdasarkan kategori
penduduk lokal dan pendatang. Hal ini memicu konflik di beberapa wilayah baru,
bahkan yang berujung pada sikap anarkis masyarakat. Tarik menarik tuntutan
pemekaran beberapa wilayah kabupaten dan kecamatan juga berada dalam
ketegangan sub etnis maupun ditempeli interese-interese politik dan ekonomi yang
lebih luas. Dalam scope yang lebih luas realitas ini mendorong kita untuk mengkritisi
secara dalam karakteristik dan model otonomi seperti apakah yang sedang
dikembangkan saat ini; Konflik Antar Negeri -- Realitas keterpurukan masyarakat
akibat konflik melahirkan akibat-akibat ikutan di semua aspek. Salah satu
diantaranya adalah ketegangan-ketegangan yang berujung pada konflik dinatara
masyarakat. Terutama yang terjadi anatar negeri, ataupun antara pengungsi dan
masyarakat dari wilayah yang ditumpangi. Passo vs pengungsi Waai, Tawiri vs
pengungsi Hila Kristen; Ureng vs Asilulu; Tulehu vs Liang; Latu vs Hualoi, serta
beberapa wilayah lainnya. Ketegangan dan terkadang berkembang menjadi konflik
terbuka ini diakibatkan oleh berbagai hal. Diantaranya tingkat stress pasca trauma
yang cukup tinggi dikalangan masyarakat. Kondisi ini diperparah dengan
berkembangnya tingkat pengangguran dalam prosentase yang cukup besar. Judi,
narkotik, obat-obatan, prostitusi, dan minuman keras saling menjalin menjadi wilayah
hitam yang membesar dalam realitas sosial masyarakat Maluku saat ini. Hal ini
memicu terjadinya konflik antar warga dikarenakan oleh sebab-sebab yang sangat
sepele. Masyarakat menjadi sangat rentan untuk diprovokasi. Ini menjadi lahan subur
bila kelompok-kelompok tertentu memanfaatkannya untuk memicu eskalasi konflik
diantara warga demi tujuan-tujuan tersembunyi.
Demikian beberapa gambaran umum yang dapat diberikan berkaitan dengan
perkembangan situasi di maluku saat ini. Elaborasi isyu-isyu spesifik lainnya akan
disusulkan kemudian.
MASARIKU NETWORK AMBON
|