Media Indonesia, Kamis, 27 Maret 2003
Mempertanyakan Pemekaran Papua
Indra J Piliang, Peneliti Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta
KELUARNYA Inpres No 1/2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU No 45/1999
tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat,
Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong
membawa masalah dan polemik baru dalam hubungan pusat-daerah. Konsistensi
Jakarta digugat dan dipertanyakan oleh berbagai kalangan.
Tidak ada kesatuan pendapat rakyat Irian (kini Papua) tentang pemekaran itu, karena
sedari awal tidak dilibatkan. Selain itu, terdapat inkonsistensi Jakarta sejak keluarnya
UU No 5/2000 tentang Perubahan Atas UU No 45/1999. Juga belum transparannya
fungsi lembaga pemerintah pusat yang berkepentingan dengan Papua dan pemekaran
wilayah, antara lain Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia (DPKTI), Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), dan pansus pemekaran wilayah di DPR.
Coba perhatikan konsideran UU No 5/2000: bahwa dengan memerhatikan (1) belum
siapnya perangkat daerah, (2) terbatasnya fasilitas pendukung, (3) tidak tersedianya
pembiayaan yang memadai, (4) belum dibentuknya pengadilan tinggi dan pengadilan
negeri pada beberapa kabupaten baru, serta (5) situasi keamanan daerah yang tidak
memungkinkan, maka pemilu lokal untuk pengisian keanggotaan DPRD di wilayah
pemekaran tidak dapat dilaksanakan. Andai pun kelima hal itu dipenuhi, dan
pemerintah bersama DPR mencabut UU No 5/2000, ketentuan pemilu lokal harus
diberlakukan di tiga provinsi dan empat kabupaten/kota pemekaran. Artinya,
pemerintah juga perlu merevisi UU Parpol dan UU Pemilu dengan cara
mencantumkan adanya pemilu lokal dan parpol lokal untuk memilih anggota DPRD.
Atau, minimal pemilu lokal diadakan dengan melibatkan 48 parpol peserta Pemilu
1999. Kerumitan-kerumitan baru langsung menghadang.
Begitu juga kurang jelas kontribusi DPOD dalam pemekaran wilayah Indonesia, juga
peran DPKTI sebagai instrumen koordinasi pembangunan di kawasan timur.
Pelaksanaan UU No 21/2001 juga tersendat, antara lain pembentukan Majelis Rakyat
Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) yang sebagian anggotanya
diangkat, bukan dipilih, sebagai bentuk kekhususan politik lokal di Papua, karena
kelambanan mengeluarkan aturan pelaksanaan.
Solusi atau masalah?
Sekalipun pemerintah pusat menganggap Inpres No 1/2003 tidak bertentangan
dengan UU No 21/2001, pikiran awam kita tetap menganggapnya sebagai masalah.
Dari segi tata-urutan perundang-undangan, UU jauh lebih tinggi tingkatannya dari
inpres. Tentu, terdapat argumen lain, bahwa UU No 21/2001 sama dan sebangun
dengan UU No 34/1999 dan UU No 5/2000, yakni sama-sama UU. Tetapi, bukankah
ada rumusan lainnya yang mengatakan bahwa UU yang paling baru akan
'mengalahkan' UU lama? Begitu juga, UU khusus lebih kuat dari UU yang bersifat
umum?
Selain itu, apakah inpres bisa berlaku surut, yakni menyeret UU yang telah lama
dibuat tetapi tidak berfungsi karena adanya pertimbangan politis dan pragmatis
pemerintahan sebelumnya, yakni Habibie dan Abdurrahman Wahid? Lalu, mana
pegangan masyarakat atas tertib hukum di Republik Indonesia kalau presiden bisa
mengeluarkan inpres yang justru tidak sejalan dengan UU?
Kalau memerhatikan konsideran UU No 5/2000, sampai kini baru segi pembiayaan
untuk Papua yang mengalami perbaikan. Segi keamanan Papua masih rapuh ditimpa
masalah, mulai kematian Theys Eluay, pembunuhan di Timika atas WNI dan guru
asal Amerika, tragedi kelaparan hingga para menteri harus datang menyerahkan
bantuan, sampai penembakan keluarga aktivis HAM.
Kiranya dalam hal ini perlu dibaca pendapat Richard Chauvel dari Universitas Victoria
dalam wawancaranya dengan Radio Australia. ''Dari sudut pandang pemimpin pusat,
tampaknya tujuan strategis utamanya adalah untuk melemahkan kekuatan-kekuatan
prokemerdekaan Papua. Sepertinya, ini berhubungan dengan desain dari Gubernur
Jenderal Belanda di masa lalu berkenaan dengan cita-cita federalisme yang
bertentangan dengan prinsip Republik Indonesia selama revolusi, bahwa cara terbaik
menghadapi musuh adalah dengan devide et impera,'' kata Chauvel (Radio Australia,
2/2/2003).
Pendapat Chauvel tentang tujuan memperlemah kekuatan prokemerdekaan Papua
belum sepenuhnya benar, mengingat justru keresahan penduduk Papua memperkuat
legitimasi ke arah kemerdekaan. Kini di Papua muncul istilah OPM, yakni otonomi,
pemekaran, atau merdeka. Soal federalisme juga sulit dijadikan alasan, mengingat
kuatnya resistensi pemerintah pusat atas isu ini karena dianggap sebagai jalan tol
menuju disintegrasi ketimbang integrasi bangsa. Chauvel lebih menggunakan studi
komparasi sejarah, ketimbang mencoba melihat apa yang terjadi di Jakarta kini.
Faktor lain yang luput ditinjau adalah cara Belanda memberlakukan Papua, yaitu
dengan memberikan perbaikan pembangunan dan sarana pendidikan, dengan belajar
dari kesalahan pengelolaan atas daerah-daerah Indonesia lainnya di akhir
kekuasaannya di Papua.
Tetapi, bisa jadi hal itu yang dipikirkan Jakarta, sebagaimana juga pernah dicoba
dengan rencana pemekaran Aceh menjadi tiga provinsi, pemberlakuan Inpres No
4/2001 untuk Aceh. Hal ini semakin marak dengan terjadinya pemekaran
kabupaten/kota dan provinsi secara besar-besaran selama era reformasi dan otonomi
daerah ini. Pemerintah dan DPR, dalam keadaan yang lemah dari segi leadership dan
governability, justru bermain-main dengan api. Di saat negara-negara di belahan dunia
lain sedang saling mendekati membentuk kerja sama regional dan multilateral,
pemerintah dan DPR justru sibuk membelah-belah Indonesia menjadi
kepingan-kepingan kecil teritorial.
Aturan main
Kita tentu patut bertanya, seberapa besar sebetulnya dampak dari kebijakan
pemekaran wilayah atas kohesivitas politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Selama ini,
pemerintah dan DPR hanya mengandalkan studi-studi kelayakan yang dilakukan
tergesa-gesa oleh DPRD atau Pemda, tanpa adanya proses uji publik yang layak.
Dari 38 pansus yang dibentuk untuk RUU usulan DPR selama 2002, 13 pansus
menyangkut pembentukan 42 daerah baru termasuk Pansus Pembentukan Provinsi
Sulawesi Barat yang kini mengundang keresahan di Tana Toraja; serta perubahan UU
tentang DKI Jakarta. Dari 28 pansus yang dibentuk untuk RUU usulan pemerintah,
terdapat 10 pansus mengenai pembentukan 25 daerah baru. Uniknya, pansus-pansus
mengenai pembentukan daerah baru ini termasuk yang cepat bekerja.
Patut dipikirkan, apakah memang hak pemekaran wilayah itu sepenuhnya menjadi
wewenang pemerintah (pusat dan daerah) dan DPR/DPRD, dengan mengabaikan
aspirasi masayarakat lewat berbagai jalur misalnya menggunakan hak angket DPR.
Sampai kini pemerintah dan DPR tidak punya formulasi khusus mengenai pemekaran
wilayah, kecuali memerhatikan faktor dukungan politik yang mudah dipolitisasi dan
dimobilisasi.
Hubungan sosial antar dan inter daerah kini semakin rapuh. Pemerintah dan DPR
seakan sedang membuka kotak pandora yang menghantam kedelapan penjuru mata
angin, sehingga membuat Indonesia seperti serpihan kaca. Dampak paling minimal
dari pemekaran ini adalah buruknya hubungan psikologis antara penduduk di wilayah
baru dengan wilayah pemekaran, sebagaimana ditunjukkan antara Riau dan Kepri. Di
daerah lain, yang tidak dilakukan pemekaran, muncul proses isolasi dan
eksklusifisme sosial, antara lain dengan sikap yang kurang bersahabat kepada
'pendatang dari etnis lain'.
Agar hal ini tidak terus berkelanjutan, perlu dirumuskan rule of the game (aturan main)
baru. Cara yang paling sederhana adalah dengan melibatkan penduduk sebagai
penentu dalam sebuah referendum di tingkat lokal. Kita harus ingat, bagaimana
sulitnya untuk menyatukan kembali dua Korea setelah terbagi ke dalam blok utara
dan selatan. Begitu juga, sulit sekali melihat bagaimana masa depan antara China
Daratan dengan Taiwan. Australia sampai kini malah tak pernah menyatakan diri
sebagai negara yang terpisah 100% dari Inggris, lewat cara referendum. Provinsi
Quebec juga melakukan keputusan yang sama, tidak berpisah dengan Kanada.
Untuk Papua, pemerintah berencana melakukan sinkronisasi UU No 21/2001 dengan
UU No 45/1999. Tetapi, sinkronisasi berupa inpres jelas bukan solusi yang baik.
Idealnya, pemerintah dan DPR yang melakukan, antara lain dengan merevisi UU No
05/2000 yang jelas-jelas menunda pelaksanaan UU No 45/1999. Tidak cukup hanya
inpres sebagai dasar hukumnya. Kalau langkah-langkah itu tidak dilakukan, tentu
pemerintah dan DPR punya kontribusi atas rusaknya hubungan anak-anak negeri
pulau nan indah rupawan ini.***
Copyright © 1999-2002 Media Indonesia. All rights reserved.
|