The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

SUARA PEMBARUAN DAILY


SUARA PEMBARUAN DAILY, 4/3/2003

Di balik Gerakan Deotonomisasi Pusat dan Provinsi

Indra J Piliang

Proses tarik-ulur pelaksanaan otonomi khusus (Otsus) terus mencuat. Untuk Aceh, terdapat keengganan yang begitu tinggi di kalangan pimpinan DPRD Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk segera membuat sejumlah Rancangan Peraturan Daerah (qanun) sebagaimana amanat UU No. 18/2001. Untuk Papua, keluar Inpres No. 1/2003 tentang Percepatan Pemekaran Provinsi Papua Menjadi Tiga Bagian sebagaimana diatur dalam UU No. 45/1999. Sementara, Pemerintah Pusat (baca: Jakarta) sangat terlambat menindaklanjuti Raperda Khusus Papua yang sudah diajukan oleh DPRD Papua, sebagaimana amanat UU No. 21/2001, termasuk pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP).

Hasil minimal pelaksanaan kedua UU Otsus itu sudah dirasakan masyarakat Aceh dan Papua, sekalipun masih dihinggapi berbagai penyakit bawaan berupa tingginya tingkat korupsi atau minimal penyelewengan anggaran. Terdapat tiga pihak yang sesungguhnya terlibat dalam proses itu. Pertama, Jakarta sendiri sebagai payung pengorganisasian pemerintahan, sekaligus pengendalian politik, untuk kedua daerah itu. Kedua, pimpinan pemerintah kedua provinsi. Ketiga, masyarakat sebagai subjek utama kedua UU itu.

Bagi Jakarta, kedua provinsi ini dikenal dengan kelompok separatis bersenjata, terutama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Jakarta menggunakan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tetapi dalam kerangka traumatis atas kemerdekaan Timor Leste. Padahal, persoalannya bukan terletak di situ, melainkan lebih pada keseriusan Jakarta untuk menangani kedua provinsi ini dengan damai. Kelalaian pelaksanaan yang selama ini ditunjukkan, begitu juga tingginya intensitas pengerahan militer dan polisi dalam mengatasi masalah-masalah yang sebetulnya menyangkut tuntutan kesejahteraan, sepertinya tak juga menyadarkan Jakarta untuk segera mengubah kerangka berpikir yang digunakan.

Inkonsistensi Jakarta

Jakarta sendiri patut dilihat sebagai tempat berlangsungnya pertarungan kekuasaan dengan amat vulgar. Jatuh-bangunnya para penguasa di Istana Negara menunjukkan betapa Jakarta mempunyai masalah serius dalam dirinya. Perebutan kekuasaan, dominasi kepentingan antarparpol, sampai belum tertatanya hubungan sipil militer, menyebabkan Jakarta sering inkonsisten untuk menjalankan kebijakan yang sudah diambil. Seolah, Jakarta diatur bukan oleh mekanisme hukum dan organisasi yang baik dan rapi, melainkan oleh kehendak personal para pimpinan negara.

Hal ini menimbulkan kendala serius bagi hubungan Jakarta dengan Aceh dan Papua. Perbedaan pendapat, perubahan kebijakan, sampai pergantian pimpinan negara membawa konsekuensi dan implikasi tersendiri. Persoalan yang paling parah adalah proses keluarnya sebuah kebijakan. Sering Jakarta melupakan rakyat di kedua daerah. Yang dilibatkan hanyalah kalangan terbatas, seperti pimpinan DPRD serta Kepala Pemerintah Daerah (KPD) yang notabene juga merupakan pilihan parpol. Rakyat direduksi menjadi hanya DPRD dan KPD. Padahal, dengan tiadanya pemilihan langsung (pilsung) dengan daftar terbuka untuk DPRD, juga pilsung untuk KPD, tingkat legitimasi kedua lembaga ini sangatlah lemah. Belum lagi model intervensi politik dari elite Jakarta yang turut membawa instabilitas politik di daerah.

Jakarta terlihat melakukan upaya dekonstruksi negatif atas konsep Otsus. Padahal, konsep Otsus yang masuk dalam UU No. 21/2001 yang semula ditolak oleh elemen OPM, kini justru menjadi titik harapan banyak orang di Papua. Tetapi, ketika konsep itu belum berjalan penuh, padahal sudah dilaksanakan, Jakarta kembali mengeluarkan kontraversi baru, yakni mengeluarkan Inpres No. 1/2003. Begitu juga otsus Aceh yang sempat ditolak GAM, kini malahan menjadi starting point dalam proses damai di Aceh. Sekalipun begitu, Jakarta juga pernah mengeluarkan Inpres yang menyangkut pengerahan kekuatan militer, sampai pendirian Kodam Iskandar Muda.

Inkonsistensi langsung terjadi. Jakarta terlalu percaya diri untuk mengeluarkan keputusan-keputusan penting menyangkut daerah dengan mengabaikan aspirasi daerah. Akibatnya, rasa tentram yang sudah mulai tertanam, sekaligus kepercayaan masyarakat Aceh dan Papua atas Jakarta yang mulai tumbuh, kini justru turun serendah-rendahnya. Indikatornya adalah sejumlah aksi penolakan atas Inpres No. 1/2003 hampir oleh semua elemen masyarakat Papua, baik yang ada di Papua atau di Jakarta. Juga aksi penentangan atas penerapan Inpres No. 4 dan No. 7/2001 tentang Langkah-langkah Komprehensif Penyelesaian Masalah Aceh yang menggunakan security approach. Perulangan pola penggunaan Inpres ini menunjukkan dengan jelas kepentingan Jakarta minimal untuk memperlambat pelaksanaan Otsus.

Resentralisasi?

Sekalipun konsep dan implementasi otsus sulit ditarik kembali, misalnya dengan cara melakukan revisi atas UU No. 18/2001 dan UU No. 21/2001, bukan berarti kehendak resentralisasi oleh Jakarta tidak terbaca. Minimal, dengan cara pelarangan terbentuknya parpol lokal dan pemilu lokal yang sesungguhnya dibuka oleh dua UU otsus itu, sekaligus memperlambat proses persetujuan atas Raperdasus untuk Papua dan pembentukan Qanun untuk Aceh. Mengingat desentralisasi di Papua dan Aceh terletak di tingkat provinsi, keberadaan DPRD dan KPD terasa lebih mewakili kepentingan Jakarta ketimbang daerah.

Sebagaimana diketahui, desentralisasi daerah lain di luar Aceh dan Papua terletak di tingkat kabupaten/kota. Akibatnya, peran provinsi menjadi sangat minimal, bahkan tak jarang kurang dipedulikan oleh DPRD dan KPD Kabupaten/Kota. Jakarta juga sulit melakukan intervensi, mengingat tidak mempunyai kaki-tangan.

Dengan Otsus, Jakarta setidaknya memiliki pengaruh untuk mengendalikan provinsi. Begitu juga provinsi lebih berperan untuk mengarahkan kabupaten/kota. Keuntungan itu menimbulkan sinergi kekuatan Jakarta dan provinsi, dengan meminimalisasi peran kabupaten/kota. Terdapat cukup kemudahan dalam proses keluarnya sebuah kebijakan oleh Jakarta, tinggal didorong oleh elemen-elemen DPRD dan KPD provinsi.

Pembentukan Kodam Iskandar Muda di Aceh adalah contohnya, juga berbagai proyek mercusuar seperti Seulawah Air dan pembelian kapal cepat yang direstui Jakarta. Untuk Papua berupa tingkat pengabaian yang tinggi atas masukan-masukan dari Gubernur dan DPRD Papua yang antara lain ditunjukkan dengan Inpres No. 1/2003.

Dalam kasus pemekaran Provinsi Kepulauan Riau, misalnya, Jakarta juga melakukan hal yang sama, sekalipun lewat keputusan Mahkamah Agung yang sebelumnya ditetapkan DPR tanpa persetujuan presiden. Sekalipun DPRD Riau menolak pemekaran, "proyek" itu tetap berlangsung. Jadi, tiga lembaga negara di Jakarta melakukan tindakan serupa yang satu sama lainnya saling bertentangan, tergantung kasusnya. Makanya, apabila ada pihak di Papua menghendaki judicial review atas Inpres No. 1/2003, kekhawatiran muncul bahwa MA akan memenangkan Jakarta dengan telak, mengingat UU adalah bentukan Pemeritah dan DPR.

Selamatkan Otonomi

Lalu, sampai kapan berbagai kontradiksi dalam pengambilan kebijakan itu terus dilakukan? Proyek otda dan otsus harus diselamatkan, mengingat Jakarta sekarang dipenuhi oleh kepentingan politik elite yang mengabaikan daerah. Banyak contohnya, termasuk luntang-lantungnya pimpinan negara dengan melakukan kunjungan keluar negeri untuk berbagai tujuan pribadi, termasuk dengan naik haji. Juga, kontraversi politik yang kian tajam dan umumnya berpusat pada elite yang sama. Sosok Jakarta semakin menunjukkan ciri-ciri duopoli sampai oligopoli pengelolaan pemerintahan, baik antar elite, maupun antar lembaga negara.

Tetapi, terus-menerus menyalahkan Jakarta juga bukan sesuatu yang fair. Sebab, Jakarta juga terlalu gerah dengan perilaku elite pemerintahan dan birokrasi di daerah, berikut kalangan politisinya. Jumlah KPD, birokrat, sampai anggota DPRD yang kini jadi tersangka berbagai kasus penyewengan anggaran meningkat tajam. Alokasi anggaran untuk dinas luar KPD dan DPRD menggelembung. Dan itu terjadi selama proses pelaksanaan otda dan otsus. Politisi Papua dikenal royal membelanjakan uangnya di rumah-rumah hiburan.

Elite-elite daerah dikenal berpenampilan parlente, bermewah-mewah, bahkan dengan kendaraan yang di negara-negara Eropa hanya pantas digunakan oleh pengusaha sukses atau menteri negara. Mobil-mobil itu, sebagian masuk lewat pelabuhan bebas Sabang di Aceh, lantas dibawa ke Jakarta dan daerah-daerah lainnya.

Artinya, terdapat kolaborasi yang kuat antara pihak-pihak Jakarta dan daerah dalam menunjukkan rendahnya kepedulian elite terhadap nasib manusia-manusia Indonesia. Yang terjadi bukan lagi sebatas kehilangan sense of crisis, melainkan juga sense of humanity. Kesemuanya itu berlangsung telanjang selama otsus. Desentralisasi model ini belum menyentuh titik sasaran yang sesungguhnya, yakni masyarakat yang paling terkebelakang, paling miskin, paling bodoh, dan paling menderita. Desentralisasi baru mencapai tahapan desentralisasi pemerintahan, tetapi belum dalam artian struktur kepemilikan atau akses terhadap kekuasaan yang berubah, dari fungsi penguasa menjadi pelayan masyarakat.

Lalu, pada titik itu, mana yang perlu dilakukan? Apakah resentralisasi menjadi jalan keluar dengan cara deotonomisasi yang kini kian marak berjalan, baik atas inisiatif Jakarta, atau berdasarkan kebutuhan elite-elite di daerah? Sekalipun menggejala, kehendak resentralisasi bukan jalan keluar. Strong leadership tampaknya belum lahir di Indonesia, karena resentralisasi membutuhkannya. Yang diperlukan adalah memilah-milah kekuasaan menjadi sekecil-kecilnya, agar mampu berada dibawah kendali rakyat atas dasar demokrasi.

Kalaupun yang terlihat selama otda dan otsus adalah sisi buramnya, hal itu tak bisa dilepaskan dari kondisi makro, berubah transisi demokrasi, baik dalam artian kelembagaan, ataupun dari segi aktor-aktornya yang pelan-pelan diambil alih oleh kalangan sipil (civil supremacy).

Yang diperlukan sekarang adalah menyelamatkan otda dan otsus, sembari melakukan penyaringan atas elite-elite sipil yang berkualitas dan profesional, juga mengubah paradigma pemerintahan menjadi lebih terbuka dari partisipasi dan aspirasi masyarakat. Pengabaian hal-hal demikian, pada dasarnya hanya akan menguntungkan penguasa-penguasa politik, baik di Jakarta atau daerah.

Penulis adalah analis politik lokal CSIS, Jakarta.

----------
Last modified: 4/3/2003

 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/batu_capeu
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044