Pengalihan Subsidi BBM
Oleh : Edy Sahputra Sitepu, SE, MSi
Untuk kedua kalinya, pemerintah telah memilih untuk menjalankan
kebijakan tidak populer dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM),
yang dinaikkan rata-rata sebesar 29%. Pemerintah beralasan, jika
tidak dinaikkan, beban subsidi BBM akan terlalu besar untuk tahun
ini, sekitar Rp 61 triliun. Dengan kenaikan rata-rata 29% ini, toh
subsidi belum hilang, namun jumlahnya menciut menjadi Rp 31 triliun.
Sebenarnya subsidi tidak selalu jelek, kalau dialokasikan dengan
benar. Masalahnya dalam kasus BBM, dengan price subsidy ,
penikmat terbesar adalah masyarakat menengah ke atas. Selama ini
subsidi tersebut hanya dinikmati 7% dari 38 juta penduduk miskin.
Artinya memang sudah sepatutnya bila sekarang pemerintah mengganti
kebijakan price subsidy dengan subsidi langsung (direct
subsidy), dalam bentuk program-program terpadu untuk
meningkatkan kualitas hidup seperti kesehatan dan pendidikan.
Jadi, kenaikan BBM kali ini hendaknya jangan dipandang sebagai
sebuah pencabutan subsidi, tetapi sebagai pengalihan subsidi, dari
subsidi harga ke subsidi langsung. Kalaulah sekarang masyarakat
bergejolak, itu adalah karena memang sudah sejak lama kita
dininabobokan oleh BBM yang murah, ketika barang dan jasa lainnya
terus melambung.
Bagaimana pun juga, aksi-aksi demonstrasi mahasiswa tidak perlu
dipandang sebagai anti kenaikan BBM. Mahasiswa adalah hati nurani
rakyat. Mereka hidup bersama rakyat, karena itu mereka adalah pihak
pertama yang menangkap kegetiran rakyat.
Jika menilik masih adanya subsidi sebesar Rp 30 triliun, ini artinya
sebagai isyarat bahwa kenaikan BBM yang sekarang ini bukan untuk
terakhir kalinya. Selagi kita masih menjadi net importir minyak,
maka setiap kenaikan harga minyak dunia tidak akan menjadi windfall
profit. Kita terus dihadapkan pada keharusan menaikkan harga.
Kenaikan harga minyak dunia akan selalu menjadi shortfall profit
yang harus disalurkan lagi untuk subsidi.
Selagi investasi di sektor migas belum tumbuh, maka status net
importir akan terus melekat. Selama itu pula, politik menaikkan BBM
akan terus berulang-ulang dan menjadi persoalan rutin yang tidak
pernah terselesaikan. Cara menyelesaikannya adalah meyakinkan rakyat
bahwa kenaikan BBM ini bukanlah pencabutan subsidi untuk rakyat,
tetapi sebuah pengalihan subsidi.
Karena itu, ada dua hal yang harus dilakukan pemerintah. Pertama,
menjamin agar program subsidi langsung benar-benar jatuh ke tangan
yang berhak, tidak dikorupsi. Tak lama setelah BBM naik, 38 juta
rakyat miskin seharusnya sudah tidak dipusingkan lagi dengan biaya
kesehatan dan pendidikan. Pengeluaran rakyat yang membesar di sektor
BBM ini, tidak akan terasa sebagai beban karena beban di sektor lain
terkurangi.
Kedua, pengendalian harga maupun stok dan kelancaran suplai
barang-barang kebutuhan pokok. Sebab, terkesan sebelum BBM naik pun
para produsen barang dan jasa sudah menaikkan harga. Kenaikan
komoditas di luar BBM selalu lebih dikarenakan persoalan
psikologis-spekulatif daripada perhitungan ekonomis.(2 Maret
2005)***
|