Sejarah Asmak Malaikat
Ilmu Kebal dari Sunan Muria
Hadirnya naskah ini adalah untuk memberi Anda informasi
tentang sebuah "ilmu selamat" yang diturunkan oleh Sunan Muria
kepada Mbah Ahmad Anshori ketika ia berpuasa mencari ketenangan
batin selama 2 tahun di gunung Muria, Jawa Tengah. Tulisan ini adalah hasil
wawancara dengan Mbah Ahmad Anshori.
Mbah Ahmad Anshori
Pewaris Pertama Asmak Malaikat
Nama
kecilnya Jastro Tumbas, lahir pada tahun 1931, adalah penemu sekaligus pakar utama ilmu
keselamatan Asmak Malaikat. Sekarang beliau lebih dikenal dengan panggilan
Ahmad Anshori. Disebut “penemu ilmu keselamatan Asmak Malaikat” karena ia
mendapatkan ilmu bukan dari berguru pada manusia, melainkan ia
secara tidak sengaja dan tidak diharapkan, mendapat pelajaran
langsung dari Sunan Muria, salah satu anggota Wali Songo yang
jenazahnya disemayamkan di Gunung Muria, Kudus, Jawa Tengah,
Indonesia.
|
 |
Perjalanan hidup Mbah Ahmad Anshori boleh dikatan tidak selalu mulus.
Pernikahan pertamanya kandas karena faktor ekonomi kurang mengdukung, yang menyebabkan
keluarganya kurang harmonis. Karena itu, pada pertengahan tahun 1970-an ia memutuskan untuk meninggalkan rumah dengan tujuan yang
tidak jelas. Kepergiannya ini bukan karena lari dari tanggung jawab,
melainkan karena kehadiranya di rumah sudah tidak diharapkan oleh
mertua (baca: orang tua istri).
Dari desanya di wilayah pedalaman Jepara, Mbah Anshori menumpang truk
pengangkut barang. Ketika ditanya mau kemanakah Mbah Anshori oleh
sopir truk, Mbah Anshori menjawab “Sampai tujuan akhir truk ini, saya ikut
saja”. Ternyata, truk itu berhenti di desa Gembong, Pati.
Selanjutnya Mbah Anshori berjalan kaki mengikuti kata hatinya hingga
akhirnya menjelang magrib, seseorang mempersilakannya menginap.
“Saya dipersilakan menginap di kediaman Mbah Joyo Suwito” tegasnya.
Joyo Suwito adalah perangkat desa (kebayan) di dukuh Bengkal,
Gembong, Pati yang berprofesi sebagai dukun yang cukup terkenal di
wilayah Pati, Kudus dan Jepara.
Mbah Anshori tidak tahu bahwa wilayah yang disinggahinya itu
berdekatan dengan makam Sunan Muria. Maka, ketika banyak peziarah
berjalan kaki menuju makam Sunan Muria, ia pun ikut-ikutan. Niatnya saat itu hanya mencari
ketenangan batin saja.
Sesampai di makam Sunan Muria, Mbah Anshori merasa tempat tersebut
kurang tenang untuk melakukan tirakat disebabkan ramainya peziarah.
Ia pun mencari tempat lain berjarak sekitar 500 meter dari makam
Sunan Muria, yaitu makam Pangeran Gadung Sosro Kusumo, paman dari
Sunan Muria.
Sejak saat itu, di makan sunan Gadung, ia melakukan laku
batin dengan puasa dan hanya buka serta sahur dengan pisang, bahkan
jika tidak ditemukan makanan, untuk buka puasanya cukup dengan
menjilati telapak tangannya. Selama puasa itu ia mengamalkan wirid,
doa dan apa saja untuk menenangkan hatinya dan berdoa agar Tuhan
memberikan petunjuk atas problem hidup yang yang dialaminya.
Hal itu dilakukannya hampir 2 tahun hingga akhirnya, suatu malam ia
ditemui seseorang yang memperkenalkan diri sebagai Pangeran Gadung
Sosro Kusumo dan menawarkan diri untuk mempertemukannya dengan Sunan
Muria.
“Saat itu saya tidak mimpi. Saya sadar ketika berjalan di
belakang Pangeran Gadung menuju Makam Sunan Muria.” kata Mbah
Anshori.
Selanjutnya, Mbah Ansori dipertemukan pada Sunan Muria. Tapi pada
pertemuan awal itu tidak banyak yang disampaikan kepada Mbah Anshori.
Sunan Muria hanya berpesan jika Mbah Anshori hendak menemuinya,
ucapkan salam saja dari jarak jauh dengan suara lirih.
Mbah Anshori pun kembali ke makam Pageran Gadung guna meneruskan
tirakatnya. Hingga suatu saat ada petunjuk untuk ziarah ke makam
Sunan Muria lagi. Maka, ia pun ingat pesan agar mengucapkan salam
dari kejauhan. Yang kemudian terjadi, Sunan Muria menjawab salamnya,
bahkan beliau memberikan wejangan berbahasa Arab campur Jawa.
Dikisahkan, “ilham dari alam gaib” itu prosesnya sekali terdengar
telinga, langsung melekat dihati, dan selamanya mampu dihafalnya.
Tapi, walaupun hafal, saat itu Mbah Ansori tidak tahu apa manfaat
dari wejangan yang diterimanya karena Sunan Muria belum menjelaskan
mengenai manfaat wejangan tersebut. (Wejangan
= petuah-petuah berupa ajaran sebuah ilmu batin yang disampaikan
guru kepada muridnya)
Baru diketahui manfaat wejangan itu saat ia turun gunung
menuju kediaman Mbah Joyo Suwito. Mbah Anshori menceritakan dan
mengajarkan wejangan yang didapatnya dari Sunan Muria kepada 7
orang penduduk dukuh Bengkal diantaranya yang masih hidup sampai
naskah ini ditulis adalah Soleh, Kasmin, Sidik, dan Basir.
Sungguh unik
cara Tuhan mengajarkan sebuah ilmu pada Mbah Anshori. Ya.. karena
salah satu
orang dari 7 orang itu terlibat perkelahian setelah mendapatkan
wejangan dari mbah Anshori itu. Sungguh tak disangka, ternyata
orang tersebut kebal, tidak terluka meskipun berkali-kali terkena
sabetan senjata tajam dalam perkelahian.
Kejadian unik ini kemudian dilaporkan kepada Mbah Anshori. Kejadian
itu membuat Mbah Anshori menduga bahwa wejangan yang dari Sunan
Muria adalah ilmu untuk keselamatan.
Merasa mendapatkan ilmu baru yang belum sempurna, Mbah Anshori pun
kembali tirakat di makam Pangeran Gadung dan di Makam Sunan Muria.
Petunjuk Gaib pun terus membimbingnya, bahkan dalam kurun waktu 2
bulan ia menerima lanjutan dua ilmu yang bacaan doa-nya cukup panjang.
Ternyata, yang diterima pada tahap 2 dan 3 pun bukan sekedar ajaran
ilmu kanuragan, melainkan tata-cara menurunkan ilmu itu kepada orang
lain.
Perkembangan Asmak Malaikat
Saat Mbah Anshori baru menerima ilham wejangan tingkat 1,
beberapa orang sudah ada yang belajar ilmu padanya, yaitu tamu-tamu
Mbah Joyo Suwito. Namun setelah Mbah Joyo menerima ilmu Asmak
Malaikat dari Mbah Anshori, Asmak Malaikat pun berkembang lebih pesat
karena pada saat itu nama Mbah Joyo Suwito sudah terkenal dan
memiliki banyak murid.
Proses belajar Joyo Suwito kepada Mbah Anshori pun cukup unik. Karena
sudah memiliki nama besar dan malu jika diketahui murid-muridnya, saat
menerima wejangan pun dilakukan dipinggiran sungai pada
tengah malam hari.
Ketika Asmak Malaikat mulai dipelajari banyak orang dari daerah
sekitar Gunung Muria (Pati, Kudus, Jepara) juga dari luar Jawa,
khususnya para transmigran, nama Mbah Anshori sebagai pemilik “hak
paten” ilmu itu justru tidak dikenal orang, justru orang mengira
penemu ilmu itu adalah Mbah Joyo. Joyo Suwito itu sendiri
menerima ilmu dari Mbah Anshori pada gelombang kedua setelah 7
penduduk dukuh Bengkal diantaranya Soleh, Kasmin, Sidik, dan Basir.
Setelah menerima wejangan ilmu sampai tingakat kunci, Mbah Anshori pun “turun gunung” dan
kembali ke kampung kelahirannya di sebuah desa kecil di pedalaman Jepara.
Aktivitasnya dalam keseharian pun berubah. Ia yang semula kerja
secara serabutan, berubah menjadi guru ilmu kanurangan. Asmak Malaikat pun
makin berkembang ketika suatu hari terjadi pergolakan di suatu
daerah. Mbah Anshori menerima banyak tamu untuk "mengisi" penduduk secara masal.
Tujuannya untuk keselamatan, karena pihak penyerang menggunakan
senjata tajam dan mesin gergaji.
Memasuki tahun 80-an Asmak Malaikat makin berkembang seiring dengan
makin banyaknya orang belajar pada mbah Anshori.
Tragisnya, murid-murid yang kemudian juga “buka praktek” mengajarkan
Asmak Malaikat, justru murid yang belum menyelesaikan tahapan
ilmu secara sempurna.
Menurut mbah Anshori, ada beberapa murid yang baru tingkat 1 dan 2
sudah berani memberi pelajaran. Murid macam Ini disebut murid nekat.
Jika yang sudah tingkat 3 lalu memberikan pelajaran orang lain, itu
masih disebut wajar. Namun jika ingin lebih sempurna, seorang guru
Asmak Malaikat harus menguasai paling tidak tingkat 4.
|