Memilih Jalan Hidup

Semperfy:

Barusan saya browsing ke sebuah situs islam yg juga melayani konsultasi. Tentu saja, kalau saya browsing ke sana, pasti mencari keyword tertentu: Homoseks. Singkatnya, dari bbrp konsulti yang masuk, semuanya mendapatkan jawaban yang sama: Homoseks itu dosa lho, wajib dihukum bunuh, pelakunya dilaknat Allah SWT, tidak selamat dunia akherat, dsb dst. Cuma ada sedikit tambahan kecil: Jika ada wanita yang mau menikahi dengan maksud membantu ke jalan yang benar, maka "...itu merupakan perbuatan yang mulia..." Wah, kalau itu sih, kita semua udah tahu!

Mohon maaf kalau ada nada sinis dalam tulisan saya, tapi saya nggak bermaksud begitu, kok. Maksud saya mengangkat hal ini adalah untuk menggugah browser yang kebetulan membaca pesan ini agar tidak sekedar menggunakan ayat suci sebagai alat saja, namun juga sebagai sikap. Sesungguhnya kasih sayang Allah SWT mendahului kemurkaann-Nya, nama lembut-Nya jauh lebih banyak dari nama perkasa-Nya. Bukankah Allah menginginkan agar manusia juga memiliki sifat-Nya (meskipun tidak menggunakan "Maha"). Jika Ia Maha Pengasih, bukankah wajar jika Ia menginginkan hamba-Nya menjadi pengasih juga bagi sesamanya?

Hingga saat ini, setiap kali ada konsulti yang mengangkat masalah homoseksual, pasti kembalinya ke ancaman hukum. Padahal, Islam tidak hanya terdiri dari hukum. Ada juga toleransi, harapan, kasih sayang, belas kasihan, kesabaran, kepedulian, yang notabene --wah, kayaknya ini kata favorit saya hari ini-- juga dibutuhkan dalam mendekati dan merangkul sesama muslim yang kebetulan dalam hidupnya mendapati dirinya dicoba dengan dorongan homoseksual. (Saya tidak pandai menghafal ayat, moga-moga nggak salah kutip) Allah SWT pernah berfirman agar dalam menyeru kita tidak menggunakan kekerasan, karena para audiens bakal meninggalkan kita. Bukankah junjungan kita yang amat mencintai kita dan kita cintai, Muhammad SAW, tidak dengan serta merta melarang hari raya jahiliyah warga Yatsrib? Beliau memberitahukan adanya hari raya baru yang lebih baik!

Jika boleh berpendapat, hukum dalam Islam tentu harus kita pegang sebagai konsekuensi keislaman kita. Namun dalam memperlakukan sesama saudara tentu kita tidak menunjukan wajah keras kita, jika kita memang peduli dan ingin agar mereka ikut ke jalan yang benar. Sebaliknya, mendengarkan dengan penuh perhatian untuk turut memahami pergulatan batin mereka (istilah kerennya, empati) tentu akan memperbesar kemungkinan keberhasilan dakwah, termasuk dalam masalah homoseksualitas ini. Ini tidak berlaku bagi para straight saja, tapi juga kita semua. Bukankah --diakui atau tidak-- sesekali kita juga gemas dan jengkel dengan sesama saudara yang masih asyik dengan ke- gay-annya? Semoga kemarahan kita (meskipun marah karena Alah) tidak menodai amar maruf nahi munkar kita...

Semperfy:

Sebenarnya ini pertanyaan yang wajib direnungkan oleh kita semua, tanpa memandang orientasi seksualnya. Apa yang sebenarnya kita inginkan? Kebahagiaankah? O, tentu. Siapa sih yang tidak ingin bahagia? Namun, apakah kebahagiaan itu? Hilangnya orientasi homoseksual dalam diri kita? Menikmati homoseksualitas tanpa terganggu oleh rasa bersalah dan kecaman masyarakat? Penerimaan oleh keluarga dan teman-teman atas kondisi kita? Diridhai Allah dan dimasukkan ke surga-Nya? Bersama kekasih yang kita idamkan (sesuai dengan orientasi seksual kita saat ini? Atau apa?

Beberapa di antara kita merasa puas dengan apa yang dimilikinya saat ini, dan bagi mereka inilah kebahagiaan. Hidupku indah, demikian katanya. Sebagai muslim, tentunya kita tidak hanya menginginkan hidup yang indah, namun juga mati yang indah. Ironisnya, sering sekali kita harus memilih satu di antara keduanya. Nah, jika kita dihadapkan pada pilihan demikian, manakah yang harus diprioritaskan? Bisa jadi kita memiliki seorang kekasih (pria) yang amat kita cintai dan mencintai kita, keluarga menerima apapun yang membuat kita bahagia, masyarakat menghomati gaya hidup kita, lingkungan pekerjaan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan kondisi kita. Dan semua itu bertahan hingga kematian. Itukah hidup yang bahagia? Jangan terburu-buru berkata tidak. Memang iya, itu hidup yang bahagia. Tapi tidak seperti dongeng yang diakhiri dengan "...dan mereka hidup berbahagia selamanya", kematian bukanlah garis finish dari riwayat kita. Itu hanyalah akhir masa kerja, dan dimulainya masa pensiun, dimana kita menerima apa yang sudah kita investasikan sebelumnya. Nah, bagaimana cara kita berinvestasi? Bagaimana kita bisa merasa yakin bahwa kita telah memilih investasi yang tepat?

Kalau ditanyakan pada muhajirin --saya lebih suka istilah ini daripada gay muslim, karena muslim yang memiliki orientasi homoseksual biasanya tidak "gay" (ceria)-- dan para homoseks lainnya yang baru memulai perjalanannya di dunia homoseksual, mungkin menginginkan hilangnya homoseksualitas dan tumbuhnya heteroseksualitas dalam dirinya. Bisa dipahami, karena dengan itu, urusan bakal lebih gampang; Dengan menjadi straight, tentu kita tidak usah memusingkan: Bisa nikah apa nggak, ortu nanti bilang apa, apa pandangan masyarakat, takut dosa, dll. Masalahnya adalah, apakah menjadi straight berarti segala-galanya? Apakah dalam kondisi sebagai homoseks (bukan gay, lho ya) berarti tertutup kesempatan kita menjadi muslim, yang notabene menyebarkan keselamatan bagi semua umat? Apakah dengan menjadi straight, berarti tidak ada masalah?

Teman-teman straight saya sendiri tidak bebas masalah: Pornografi, free sex, hingga yang bukan penyimpangan (tapi lumayan mengganggu juga), misalnya memiliki mitos bahwa homoseks itu agresif, suka menyodomi anak kecil, dll. Bukan berarti bahwa saya mencegah atau menganjurkan agar kita semua menyerah, tetapi saya rasa kurang bijaksana apabila kita membebani diri dengan target yang sulit dicapai dalam jangka pendek, sehingga mengabaikan kesempatan untuk menjadi seorang muslim. Jangan sampai kita terbebani dengan masalah, sehingga kita lupa bahwa masih ada tugas lain yang menunggu kita. Misalnya rekan kita gaymuslimus dan MJS yang berbagi pengalaman hidupnya di grup ini, mereka tidak menunggu "hilangnya mendung", tapi masih bisa berbuat sesuatu di bawah emndung itu.

Semperfy:

Manusia punya kecenderungan untuk membuat klasifikasi, mengkotak- kotakkan segala hal dan peristiwa ke dalam kategori-2. Hal ini memudahkan manusia untuk belajar dan mengambil sikap. Sayangnya, kemampuan yang semestinya digunakan untuk memahami dunia yang berwarna-warni, dikelirugunakan untuk melihat dunia dalam hitam dan putih saja.

Dalam memandang homoseksualitas, orang awam cenderung untuk menggunakan pola pikir dikotomis: Dia jadi 'laki' atau 'perempuan'? Bagi mereka yang cukup kritis terhadap pergerakan gay dan lesbian, orang-orang yang seharusnya bisa memahami dunia dalam keberagamannya, ternyata masih juga menggunakan pola hitam putih: Yang bisa menerima kondisinya berarti adalah gay yang sehat, yang juga harus menikmati homoseksualitasnya, bercinta dengan sesama jenis, memiliki pasangan pria, dan ikut berjuang dalam membela perjuangan gay dan lesbian. Di luar kelompok ini adalah gay (?) yang tidak sehat, tidak menerima dirinya sendiri, selalu cemas dan menderita dalam keterasingannya, terlalu kaku mengadopsi norma yang dipaksakan masyarakat yang tidak manusiawi, dan segala hal yang negatif. Nah, yang manakah posisi kita? Haruskah kita memaksakan diri tunduk dengan aturan dikotomis ini dengan konsekuensi menyesuaikan diri dengan salah satu ciri kelompok, atau tetap mempertahankan hak kita untuk tetap memiliki karakter kita sendiri, yang berarti mungkin tidak masuk dalam kelompok manapun?

Sebelum memutuskan, ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri, pilihan kita ini berdasar apa? Wahyu tertulis? Introspeksi? Pembelaan diri? Tekanan masyarakat? Kampanye kelompok gay? Hasrat duniawi? Atau apa? Apa yang paling penting dalam hidup kita yang singkat ini? Mungkin kita tidak bisa memperpanjang hidup kita hingga 1000 tahun, namun hendaknya kita bisa memperlebarnya. Marilah, kita pandang dunia penuh warna melalui mata (kepala dan hati) pemberian-Nya.

Wah, moga-moga saya nggak terlalu nyinyir, ya?

DS:

Saya seorang gay berumur diatas 40 tahun. Lahir dari keluarga tentara yang keras, dan tidak pernah mau menerima kata2 'banci, gay, homo', dan semua label2 yang berorientasi penyimpangan gender. Saya dilahirkan Islam, tetapi saya dididik secara katolik.

Waktu kecil saya termasuk pintar tapi gemulai. Dari kecil saya dipanggil dengan sebutan yang menyakitkan 'banci, waria, wadam' sehingga sampai saat ini rasa sakit itu tidak pernah hilang. Saya berusaha untuk bertingkah laku laki2, menyukai hal-hal yang hanya dilakukan oleh laki2. Akhirnya saya mampu sampai hampir 80% tidak bertingkah feminin. Malahan saya menjadi gemar olah raga dan benci hal2 yang bersifat kewanitaan. Tapi satu hal yang tidak hilang adalah naluri saya untuk menyukai sesama laki2.

Saya pernah putus asa bahkan ingin mengakhiri hidup, namun suatu ketika saya seolah mendapat kekuatan ketika saya berdoa dan seolah mendapat jawaban. Bahwa kalau Tuhan menginginkan kita menjadi laki2 murni dia akan memberikan keajaiban, seandainya tidak saya akan tetap menjadi seorang gay syaratnya harus menjadi gay yang baik. Saya ingat itu menjadi kekuatan saya untuk terus, saya berusaha menjadi seorang gay yang baik dan alhamdulillah saya bukan orang yang suka mengumbar nafsu, saya berdoa agar diberikan teman hidup (wanita ataupun pria).

Akhirnya saya dipertemukan dengan seseorang yang sangat saya cintai (pria tentunya) dan kami sudah tinggal bersama selama lebih dari 20 tahun. Awalnya hubungan kami sama halnya seperti hubungan2 lainnya penuh dengan cobaan, namun kami dapat melaluinya dan kini kami bagaikan saudara kandung yang sulit dipisahkan dan seluruh keluarga kami mendukung hubungan ini.

Saya tahu pengetahuan saya tentang agama sangat minim tetapi saya percaya Tuhan itu maha adil dan penuh pengertian Ia tidak menilai kita secara hitam putih, jahat atau baik.

Handy:

Saya 42 tahun, dengan pengetahuan agama yang minim, dan berusaha untuk selalu belajar.. Saya beristri dan berpacar pria.. istri saya mengerti ke-gay-an saya, saya tidak pernah menggauli dia meskipun sudah lebih dari 15 tahun menikah, dia berfikir bahwa saya adalah memang jodohnya, dan dia menerima apa adanya, karena itu adalah suratan NYA.. meskipun saya tidak mengesampingkan faktor lingkungan yang akan menjudge dia sebagai janda cerai.. sehingga ia mempertahankan perkawinan ini.. sementara saya selalu merasa bersalah telah menikahinya dan menelantarkannya dari segi kebutuhan biologis.. beberapa kali pernah saya katakan padanya, bahwa ide perpisahan harus dari pihaknya..

Perlu dicatat, saya TIDAK MAMPU mengauli istri saya.. bukan berarti saya tidak pernah mencoba.. lain jika berhadapan dengan pacar pria saya.. Hubungan saya dengan istri cukup rumit.. antara tahu, tidak tahu, tidak mau tahu, dan concern kegiatan ke-gay-an saya..

Sedangkan saya sendiri, sewaktu sebelum menikah, bisa dikatakan belum mengerti seluruhnya tentang apa itu gay.. Saya sudah mencoba untuk tidak berhubungan badan (dan bathin) dengan pria.. ternyata membuat hidup saya menjadi sangat menderita.. saya selalu berfikir, apakah saya sebagai gay, saya tidak berhak untuk mendapatkan kepuasan seks, karena saya tidak mampu dengan wanita.. sedangkan pria, katanya haram..

Saya merasa bahwa ke-gay-an saya ini "halal' karena ketidak sanggupan saya dengan wanita.. dan juga ke tenteraman saya saya dapat dari pacra pria saya..

Pelu pula di ketahui, saya tidak fiminin, sama serperti mas DS, saya hingga kini pun selalu berusaha bertingkah laku maskulin, malah postur tubuh dan wajah saya mengukung hal itu.. Alhamdulillah… Meskipun saya pernah tinggal di Amerika total selama kira-2 7 tahun, tapi bukan hal itu yg membuat saya gay..

DS:

Saya juga punya banyak teman yang sekasus dengan Mas Handy. Saya sampai saat ini saya belum tahu apa yang sebetulnya mereka inginkan. Ibaratnya bagaikan stuck di pasir terapung. Saran saya, doa itu sangat manjur, apapun yang kita inginkan selama tujuannya adalah kebaikan akan dikabulkan. Dalam kasus saya mungkin beberapa akan mengutuk saya dan mengatakan doa saya dikabulkan oleh setan (sudah banyak yang mengatakan demikian), tapi wallahu allam, saya masih percaya terhadap Allah SWT.

Edi Jaka:

Saya sendiri masih bingung, dan sekarang ada seseorang yang berniat untuk menjalin hubungan secara serius dengan saya. Saya juga berfikir, seandainya nanti saya menjalin hubungan dengan seseorang, saya ingin tetap menjalankan shalat dan ibadah lainnya, meskipun kami berbeda keyakinan. Namun saya juga tidak ingin hanya mengambil sesuatu yang sifatnya hanya menguntungkan saya.

Walau bagaimanapun, berhubungan sex dengan orang lain yang tanpa menikah adalah haram. Saya juga tidak mengerti bila ada pernikahan secara islami antara pria dengan lelaki. Kita sadar akan hal ini, dan jika kita tetap melaksanankan hal tersebut, kita harus mengatakan kepada diri kita sendiri bahwa suatu saat nanti di hari akhir kita akan menerima hasil dari apa yang kita kerjakan di dunia ini. Bila kita menanam benih yang baik, kita akan memetik hasil yang baik, dan bila kita menanam benih buruk, kita akan memetik hasil ynag buruk pula. Semoga Allah SWT akan tetap membalas perbuatan terpuji yang kita lakukan, walaupun sekecil apapun perbuatan tersebut.

Handy:

Amieeennn..
Mas, itulah yang saya takutkan, Adzab dari Allah.. itu kalau kita (saya) salah.. Saya merasa nyaman, tenteram di pelukkan pacar saya, hanya berpegangan tangan, dunia ini serasa terseyum.. itu yang saya rasakan.. saya hanya merasa bersyukur untuk hanya hal sederhana tersebut, saya diberi rejeki untuk berpegangan tangan dengan dia..

Menurut saya juga nih.. seks tuh bisa dinikmati tanpa melanggar khok.. kita berdua sudah commit untuk tidak bersodomi.. itu aja..

Kerna kita gay, mungkin hal ini ada juga hikmahnya, sehingga ktia selalu berusaha mendekat ke Allah dengan melakukan hal-2 yang baik, khan kita udah gay, yang notabene jelek.. ngapain ngelakuin lagi yang jelek..??

Soal pasangan yg non-seiman, pengalaman saya tuh agak sulit mas, kerna kita nggak bicara dengan bahasa yang sama..

Semperfy:

Dalam keterbatasan wawasan kita mengenai agama, bukan menjadi halangan bagi kita untuk saling berbagi sedikit yang kita punya. Tanggung jawabnya tetap sama dengan yang berpengetahuan luas: Harus bertanggung jawab atas bimbingan yang diberikan.

Cuma mengingatkan saja, ketika Allah murka atas insiden Pohon Khuldi, Iblis dan Adam mengambil pendirian yang berbeda. Adam menangis, "Sesungguhnya kami telah menganiaya diri kami sendiri...", sedangkan Iblis menantang, "Karena Engkau telah membuat aku sesat...". Hendaknya kita tetap bertanggung jawab, tidak sekedar mengatakan "ini adalah takdir".

Dalam keterbatasan, percayalah, Allah masih memberi kita kebebasan memilih dan bersikap dalam sangkar keterbatasan.

Handy:

Satu pertanyaan : APAKAH KITA PUNYA PILIHAN..??

Saya mengerti kalau memang ada sebagian dari kita mempunyai pilihan, tapi sebagian dari kita tidak..

Ataukah keputusan kita untuk melihat diri kita mempunya pilihan atau tidak masih dipengaruhi oleh hal-2 lain atau memang begitu kenyataannya..

Waddooohhh.. kalau udah ngomong masalah abstrak khok susah sih.. tapi kalian ngarti khan..?? insya Allah..

DS:

Alangkah angkuhnya kita mengatakan ada pilihan, bagaimana dengan kaum perempuannya apakah mereka tidak berhak untuk memilih mendapatkan yang mereka inginkan.

Apakah perlu harus ada orang yang mengkaji lagi ayat-ayat dalam Al quran atau Injil, karena hanya pada kedua agama ini homoseksual merupakan dosa yang tidak dapat terampuni.

Menerima diri sendiri apa adanya sudah susah, apalagi dengan kaum perempuan yang harus menerima kita sebagai suami mereka.

Handy:

Ini komentarku lho :
Ngawur aja..!! aku udah yakin khok kalau Al-Quran itu bener khok nggak ada yg salah.. Cuman, selama ini belum ada pembahasan yg detail tentang kite-2.. yg ada langsung.. NERAKA.. payah dong kite..

Cahaya:

Menarik sekali mendengar sharing cerita2x dari teman2x dalam menghadapi ke-gay-an masing2x ... terus terang saya sendiri sih belum bisa menemukan solusi dari masalah ini and probably it is just meant to be like this ... yaitu ya kita ini memang di chalange sama the Creator dengan keterbatasan kita sebagai Gay utk tetap bisa mendapatkan Ridho-Nya ...

Saya sendiri sih memang sampai sekarang (Alhamdulillah) belum pernah berhubungan dg pria (both phisically and emotionally) tapi frankly speaking ... rasa utk ingin bersama laki2 & ketertarikan dg laki2x sangat2x besar ...

Pengalaman saya sih dalam menghadapi ini cuman mencoba banget untuk bisa hidup Ikhlas & Ridho dengan keadaan saya ... & saya percaya bgt kalao Allah SWT sebenernya punya rencana yang jauh lebih baik utk saya ... oh iya berdoa itu juga bener2x helps a lot ... selain itu juga mencoba utk menempatkan akhir tujuan bukan ke sorga atau neraka tapi giman cara utk mendapatkan Cinta-Nya yg hakiki ...

Aduh jadi ngelindur .... buat yg tertarik utk pendekatan Gay secara psikologi coba deh lihat www.narth.com ... I found this site very usefull for people like us ...

Semperfy:

Saudara-2ku, sungguh Allah Maha Pemurah, sehingga memberi kita kebebasan, BUKAN untuk bebas-dari, tapi bebas-untuk. Jika Ia seandainya menjadikan kita tanpa kebebasan ini, jailah kita seperti salah seorang hamba-Nya yang berkata, "Karena engkau telah membuatku sesat...", dan ia masih berani pula menambahkan, "Maka aku akan menyesatkan mereka semua." (Duh, moga-2 kutipannya bener. Inilah resiknya kalau jarang membuka Al-Quran).

Bisa kita lihat teman-2 kita yang belum mendapat nikmat petunjuk-Nya yang berkata, "Aku begini karena Allah menghendaki aku seperti ini. Maka, nggak salah dong aku bertindak seperti yang Allah kehendaki?" Na'udzubilah. Jka memang demikian halnya, mengapa Allah melarang 2 org hambanya mendekati Pohon Terlarang, bukankah bisa saja Ia memindahkan mereka berdua dan si Pohon itu ke tempat yang berbeda, atau sekalian aja mereka dibuat nggak doyan makan buah-2an?

Tanpa kebebasan, maka sifat Allah seperti Maha Adil (dalam memutuskan keadilan), Maha Santun (dalam menunda siksa-Nya), Maha Pembalas (perbuatan bak dan buruk), tidak akan dikenal. Demikian pula Maha Pengampun (segala kesalahan), karena manusia tidak akan berbuat salah. Padahal, bukankah salah satu alasan Allah menciptakan manusia adalah karena Ia ingin agar manusia mengenal-Nya?

Ketika Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih putranya, ia sempat bimbang, namun tidak mempertanyakan-Nya. Ia bertaat. Kalau kita sempat nonton Xena, mungkin ada yang ingat dialog ini, "Macam apa Tuhanmu itu, masa menyuruh menyembelih anak sendiri?" Bandingkanlah dengan hal ini: Ketika Iblis diminta bersujud, salah satu versi hikayat kejadian ini menuliskan bahwa keengganannya adalah karena ia hanya bersujud kepada-Nya, tidak pada yang lain, termasuk Adam. IA MENGKLAIM BAHWA MESKIPUN ALLAH MEMERINTAHKANNYA BERSUJUD, NAMUN IA MENDUGA BAHWA ALLAH TIDAK BERKEHENDAK DEMIKIAN. Dengan demikian, ia mengabaikan perintah-Nya dan memutuskan untuk mengikuti logikanya sendiri.

Bagi kita, tidak cukupkah ayat-ayat muhkamat, yang jelas-jelas menyatakan bahwa "mendatangi sesama lelaki untuk melampiaskan nafsu" adalah fahisyah, 'perbuatan yang tak perlu diragukan lagi kekejiannya', tanpa memandang apakah kita melakukan sodomi atau yang lebih ringan dari itu. Perlu digarisbawahi, bahwa hubungan seksual yang diridha-Nya hanyalah yang dilakukan dalam ikatan pernikahan Islami, itupun masih denagn sejumalh tata cara bergau dengan pasangannya.

Memang patut disayangkan, bahwa para cendekiawan muslim, dalam setiap pembahasannya mengenai homoseksualitas, masih terhenti pada hukum. Begitu muncul kata dosa, maka segala kemungkinan untuk menyelami lebih jauh pikiran pemilik kecenderungan homoseksual terhenti. Boro-2 mau membahas kemungkinan lainnya, seperti selibat, metode fantasi- masturbasi terbimbing, sikap istri, sikap keluarga, de el el.

Padahal, perkembangan gerakan menuntut hak-hak asasi kaum gay sangat progresif. Masa kita harus ketinggalan, nunggu semua ulama ikut-2an jadi gay? Nah, makanya kita mulai dari group ini, siapa tahu di antara kita ada cendekiawan yang mau mengangkat issue ini.

Menutup uraian singkat (yg terlalu panjang ini), ijinkan saya menggarisbawahi bahwa meskipun kita terkurung dalam sangkar keterbatasan kita (arah dorongan seksual, arah kebutuhan emosional), namun kita masih diberi-Nya kebebasan untuk bersikap, berpendirian, menentukan siapa jati diri kita, dan mengharapkan ridho-Nya. Masa, hanya karena kita punya kecenderungan homoseksual, terus otomatis kita adalah gay? Memiliki arah dorongan seksual tertentu tidak menjadikan kita otomatis pasti melakukannya sesuai dengan itu, 'kan?

Nah, di sinilah letak kebebasan kita dalam memilih: UNTUK TIDAK MENYERAH PADA DORONGAN NAFS (JIWA) KITA. Berbau utopia? Ya kali, ya. Tapi, semua orang butuh bermimpi, apalagi mimpi yang aik. Mumpung belum dikenai tarif...

DS:

Saya setuju banget dengan sintesis anda. Dari kecil aku sudah mendengar bahwa Tafsir Al Qur'an itu masih belum menafsirkan semuanya, mungkin karena itu disebut tafsir (kesimpulan). Saya pernah berdebat dengan adik saya yang santri bahwa mungkin saja sekali lagi mungkin ada salah satu ayat yang menyatakan bukan membenarkan, bahwa penyimpangan gender itu memang ada dan mungkin mahluk di dunia ini tidak harus dibedakan oleh jenis kelaminnya. Tapi debat itu tidak pernah tuntas, karena dia juga ragu2.

mqzf:

saya gabung disini untuk bisa saling berbagi pikiran mengenai bagaimana seorang dengan orientasi homoseks bisa tetap mempertahankan keyakinannya kepada Allah SWT. Terus terang saya sering sekali berburuk sangka kepada-Nya, tapi hal itu membuat saya semakin tidak punya pegangan. Saya mencoba untuk yakin bahwa tidak ada yang salah dalam penciptaan saya, saya memang diciptakan seperti ini. Jika penciptaan ini salah, mungkinkah Allah salah?, dan mungkinkah kesalahan itu berulang terus dilakukan hingga kini?

Yang menjadi masalah tidak adanya petunjuk jelas bagaimana seharusnya menjalani hidup ini. Al Qur'an dan Hadits tidak akan berubah lagi, penafsiran-penafsiran baru terhadap bahasa Al Qur'an harus didasari kemampuan yang tinggi tidak bisa sembarangan. Seperti penafsiran yang diambil kelompok gay muslim yang pernah saya baca di salah satu situs, terasa mengada-ada hanya untuk menghalalkan jalan hidup mereka.

Saya sendiri belum mengambil keputusan akan jalan hidup saya. Selama ini saya tidak pernah mendekati dunia gay, karena saya takut terjerumus terlalu dalam. Saya juga selalu berusaha menghindar dari wanita-wanita yang mencoba "mendekati" saya, karena saya tidak mau menipu mereka. Bergaul dengan teman pria membuat saya capek karena harus pasang topeng tebal-tebal. Hasilnya saya mengisolasi diri...(kesepian? that's for sure).

Edi Jaka:

Menarik sekali ketika saya membaca khotbah, eh bukan dech, Komentar rekan-rekan di group kita yang tercinta. Ketika saya membacanya, terkadang semakin terasa bahwa apa yang ada pada diri saya ini. Saya menjadi tambah bingung, sebab tidak pernah ada kesimpulan akhir. Dan memang saya berharap bahwa group ini tidak berusaha untuk menyimpulkan sesuatu, tapi memberikan input (produksi kali) dan rekan-rekan yang membaca silahkan menentukan sikapnya sendiri.

Terkadang, saya berfikir bahwa apa yang terjadi pada diri saya saat ini merupakan cobaan dari-Nya. Tapi mengapa cobaan ini terasa teramat sangat berat. Bukan Allah SWT tidak memberikan cobaan kepada hamba-Nya jika mereka tida sanggup mengembannya. Apakah ini merupakan takdir-Nya.

Berbicara tentang takdir (kita harus percaya karena merupakan bagian dari RUKUN IMAN), saya ditakdirkan dan dilahirkan menjadi seorang Pria/Lelaki, namun Allah juga memberikan kebebasan (bukan bebas dari) kepada kita untuk melakukan sesuatu (dengan segala konsekuensinya). Apakah dengan dilahirkan (or ditakdirkan) menjadi Pria lantas saya harus menikah dengan Wanita. Mungkah seorang pria ditakdirkan untuk menikah (in rleatiionship) dengan sesama pria lain. Jika ini merupakan takdir (pria dengan pria) adalh berdosa jika kita melawan takdir (tidak mengakui ke-gay-an kita). Apakah kita juga harus pasrah pada takdir (see what will happen) tanpa berusaha.

Semperfy:

Sesungguhnya, kita dianugerahi oleh-Nya 2 jalan, yaitu jalan menuju kebaikan dan jalan menuju kemungkaran. Maka, dengan kebebsan yang dianugerahkannya pula, kita bebas untuk taat maupun ingkar pada-Nya. Begitupun kita semua sebagai umat dan hamba, hanya bertuags mengingatkan, agar kelak kita tidak disalahkan-Nya karena tidak menjalankan amar maruf nahi munkar. Namun, lebih dari itu, ini merupakan bentuk rasa sayang dan kepedulian terhadap sesama kita. Kita tidak harus menunggu anak, kekasih, atau sahabat kita mengalami hal ini untuk bisa peduli.

Soal takdir, kita memang wajib mengimaninya. Apa yang sudah tak bisa diubah, misalnya masa lalu yang penuh petualangan cinta dengan sesama jenis, kita bisa mengatakan bahwa itu takdir. Namun Al-Ghazali pernah mengingatkan ketika ditanya: Jika Allah Maha Kuasa dalam mentakdirkan, apa yang harus kita lakukan? Bukannya kita harus menyerah, tapi APAPUN YANG KITA LAKUKAN, AKAN MENDEKATKAN KITA PADA TAKDIR KITA. Sesungguhnya Allah berkenan untuk menetapkan segala sesuatu dalam kitab-Nya, juga berkuasa untuk menghapusnya. Jangan hanya bertawakal saja tanpa berusaha, dan jangan keburu mengatakan bahwa kita telah cukup berusaha. Rasulullah sendiri kita menghadapi seorang badui yang memarkirkan kendaraannya di halaman masjid tanpa menguncinya sempat menegur: Ikat dulu untamu, barulah bertawakal.

Takdir itu bukanlah benda mati yang pasti selalu tetap. Beberapa hal, seperti siapa orang tua kita, jenis kelamin kita, adalah contoh hal- hal yang sudah diakdirkan, tak bisa dibah lagi. Ada juga takdir yang sudah disiapkan bagi kita, namun belum ditetapkan karena Allah masih sayang dengan kita, Ia menunda kepastiannya hingga melhat cara kita menyikapinya. Contoh yang paling jelas adalah kematian. Ini sudah ditetapkan kapan terjadinya, namun apa yang kita lakukan dapat menunda (dengan sedekah, menyambung silaturahmi) maupun menyegerakannya (berzinah, memutus silaturahmi, bersumpah palsu) selama saat itu belum tiba. Allah masih berbelas kasihan mengijinkan kita membentuk kehidupan kita di masa depan, tertaih-taih memunguti dan menumpuk sepotong demi sepotong batu bata...

Saudara-2ku, pernahkah terpikrkan apa jadinya kehidupan kita seandainya kita tidak pernah mengalami cobaan sedahsyat ini? Saya membandingkannya dengan beberapa teman heteroseksual (bukankah ini juga jadi cita-2 kita?), dan ternyata saya sempat kecewa. Dalam ke- straight-annya, mereka mensyukurinya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, tapi dengan menggoda cewek-2 yang mangkal di jalanan setiap malam minggu, nonton VCD porno rame-2, berhubungan seks di luar nikah baik dengan pacar maupun dengan pekerja seks, selingkuh, gonta-ganti pacar, main peluk-kiss dengan teman-2 ceweknya, dll. Maksud saya adalah, dalam setiap keadaan, hidup manusia mengandung hikmah, bahkan dalam penderitaan sekalipun. Tinggal tergantung kita saja, bisa menggalinya atau tidak. Jika kita menemukannya, tentu kita tidak akan menikmatinya sendirian, kan?

Menutup khotbah saya (ceileee...), saya jadi terinat seorang sahabat dari sahabat saya yang keluar dari Islam karena tidak ingin menyembah sesuatu yang melaknat-Nya (masih dalam masalah yang sama). Saya jadi ingin mengingatkan bahwa Allah pernah berfirman, barangsiapa yang tidak bertaat pada-Ku, hendaknya mencari Tuhan lain saja selain Aku. Jangan hidup di atas bumi-Ku. Sungguh, ini ancaman menakutkan, karena jika kita tidak membaca apa yang dikehendaki-Nya sebagaimana yang diperintahkan-Nya di Al-Quran dengan lebih mementingkan pembenaran-2 yang diciptakan oleh benda kelabu berukuran kecil di rongga tengkorak kita, maka kita mau lari kemana? Siapapun yang kita Tuhankan (dengan mengabaikan firman Allah) toh kita tetap akan berhadapan dengan Allah.

Mengenai pilihan-2 yang tersedia bagi kita, saya hanya bisa menawarkan. Justru, melalui group inilah bisa kita diskusikan. Saya hanyalah seekor lebah kecil berumur pendek, yang berusaha singgah di 6.000.000 bunga hanya demi 1 liter madu untuk dinikmai sediri dan dibagi-bagikan. Saya rasa kita semua juga demikian. Usia dan kemandirian saya saat ini juga belum memungkinkan saya untuk menikah, misalnya. Namun Insya Allah, jika Ia berkehendak (dan pasti selalu baik) siapa yang sanggup menghalangi?

Cahaya:

Menurut singkat saya sih terminologi gay, straight, hitam, putih, tinggi, pendek dll dll merupakan istilah ciptaan kita Manusia ... karena ALlh sendiri hanya menganggap kita semua satu Makhulk (manusia) ciptaannya yg membedakan ya cuman tingkat ke-Imanan nya aja.

Untuk Edi Jaka:
Cobalah bila anda melihat dengan keberadaan anda di U.S. justru mebuat cobaan anda (bila memang niat anda utk tdk menjalani ke-Gay-an anda) semakin berat .. ? saya pernah membaca/mendengar bahwa Allah itu semakin sayang (sebenernya) dengan umat2x yg diberinya cobaan karena dengan adanya cobaan ini (biasanya) kita selalu akan kembali ingat kepada-Nya ... jadi dengan kata lain justru dengan kondisi anda seharusnya bersyukur bahwa Dia sangat sayang dengan anda ...

Nah dalam membalas rasa sayang ini (atau membalas Cinta kita kpd Allah) saya juga pernah mendengar ada 4 tingkatannya yaitu : 1. Sabar dalam menghadapi cobaannya
2. Kita berterima-kasih kepada-Nya dengan cobaan yg diberikan
3. Kita menikmati cobaan yg diberikan-Nya itu sebagai suatu anugerah
4. Kita melupakan semua cobaan dan lain segala selain-Nya
Mungkin memang terlalu platonik sekali kalau kita harus mencapai sampai tingkat ke empat ..

Untuk Mas Semperfey:
Harus sedikit hati-hati dalam membahas masalah Taqdir dan Qadr ... memang ini merupakan big question dari kita semua ... tetapi pada akhirnya semua ini (termasuk mengapa kit semua gay) adalah Misteri Illahi (aduh kaya lagunya Arie Lasso .... ) yg tidak seorangpun dari kita mengetahuinya ... cuman satu yg harus kita yakini bahwa jalan yg diberikan-Nya (Al-quran dan Hadist) pasti membawa kita kepada kebaikan (sirathal mustaqien)... ada beberpa hal yg sama sekali tidak akan terjangkau oleh akal manusia (salah satunya ya Taqdir dan Qadr ini) .. tetapi pada hakikatnya ini merupakan pengalaman pribadi dari sang Pencipta dan Makhluk ciptaannya ...

mqzf:

Bercita-cita menjadi hetero? it never comes to my mind. Saya tidak pernah berharap jadi hetero. Saya hanya ingin hidup tenang dan bahagia. Tapi sialnya, untuk bisa hidup tenang dalam lingkungan manusia saya harus menjadi orang normal. Dan standar normal itu ditentukan oleh kondisi mayoritas manusia dan norma-norma yang ada. Jadi ya saya harus siap bahwa hidup saya akan penuh gejolak. Tapi kalau diijinkan untuk dilahirkan kembali dan memulai dari awal, absolutely saya akan memilih menjadi orang normal.

Kalau saya membayangkan diri saya adalah seorang hetero, yang saya temukan adalah orang lain sama sekali dengan cara hidup dan cara berfikir yang berbeda. Itu bukan lagi diri saya. Mmmm .... mungkin sebenarnya kesimpulan itu adalah egoisme saya saja. Saya tidak tahu. Katanya manusia cenderung lebih menuntut orang lain dan lingkungannya yang berubah menyesuaikan dengan dirinya daripada dirinya sendiri yang berubah. Hal ini pula yang katanya penyebab utama kegagalan terapi gay. entahlah ... mungkin juga itu hanya alasan saya saja untuk tidak mau berubah, karena berubah itu berat.

Edi Jaka:

Sepertinya masalah yang dihadapi oleh hampir semua gay muslim adalah pertentangan antara agama dan dorongan seksual. Setiap insan diberikan oleh Allh hasrat untuk berhubungan sex, namun ternyata tidak semua insan memiliki kesamaan fikiran dalam hal cara melakukan hubungan sex. Yand menyukai lawan jenis (hetero) dianggap normal, sedangkan selebihnya abnormal. Apak ini adil bagi gay, hanya Alla SWT yang mengetahui.

Terkadang terlintas dibenak saya untuk mengecilkan dosa dengan cara mencari pasangan yang seiman (sama-sama muslim). Andaikan saya bisa menemukan pasangan yang cocok mungkin saya akan sangat berbahagia sekali. Mungkin dia dan saya bisa saling memberikan dorongan, dan mengingatkan dalam rangka mencari Ridho-Nya, deang jalan yang mungkin kami anggap paling baik diantara pilihan-pilihan buruk yang ada.

Semoga Allah SWT selalu memberikan hidayah kepada kita semua. Amien.

LSP:

Bisa saja kita berijtihad seperti itu dengan kaidah bahwa dalam keadaan terpaksa hal terbaik yang bisa dipilih adalah meminimalkan mudharat. Masalahnya sering kali kita mendefinisikan keadaan terpaksa tersebut tanpa ada niat dan ikhtiar yang kuat untuk tetap berada pada jalan Allah. Yang disebut tetap pada jalan Allah tidaklah sekedar secara teratur menjalankan ritual peribadatan (sholat, zakat, shaum dll) semata-mata untuk menunaikan kewajiban. Bisa diperkirakan bahwa bila seseorang masih bisa menjalani kehidupan homoseksualnya secara aktif (menjalin hubungan khusus dengan partner laki-laki) saat itu sholatnya sulit untuk khusyu' karena dua sebab yang mungkin. Sebab pertama adalah hatinya tidak sedang dalam keadaan berserah diri kepada Allah. Saat seperti itu sholat ibarat hanya gerakan-gerakan senam dan lantunan kalimat-kalimat yang tak berbekas di hati. Sebab lainnya adalah hatinya dalam keadaan gundah karena rasa berdosa yang mendalam, merasa diri tidak cukup bersih untuk bermunajat kepada Yang Maha Suci.

Jadi boleh dikatakan mustahil menggabungkan aktivitas homoseksual dengan ketaatan kepada Allah. Bahwa hingga akhir hayatnya ada seorang muslim yang masih belum berhasil mengatasi kecenderungan homoseksualitasnya mungkin tidak menjadi masalah. Artinya yang bersangkutan tetap merasa ada ketertarikan terhadap lelaki tapi berikhtiar kuat untuk tidak menindaklanjuti ketertarikannya tersebut dengan hal-hal yang tidak diridhoi Allah. Yang menjadi masalah adalah bila yang bersangkutan kurang berikhtiar untuk mengatasi cobaan ini, atau lebih buruk lagi memperturutkan hawa nafsu untuk sexually active dengan pasangan homoseksualnya.

Semoga Allah S.W.T. masih berkenan mengaruniai petunjuk dan kekuatan kepada kita untuk berhijrah. Aamiin.

Noeg:

Adakah menolak untuk menuruti hawa nafsu adalah suatu kepalsuan?

Manusia memang diciptakan memiliki dan cenderung kepada hawa nafsu, sebagaimana juga diciptakan untuk binatang. Tetapi manusia juga dikaruniai akal untuk melakukan pertimbangan dan kemudian mengambil pilihan.

Dengan akalnya manusia bisa mengendalikan nafsunya untuk mendekat kepada jalan Tuhannya, sehingga menjadi mahluk yang mulia.

Dengan akalnya pula manusia bisa habis-habisan mengeksploitasi nafsunya, sehingga lebih buruk daripada binatang yang menyalurkan nafsu hanya sebatas instingnya saja.

Manusia di dunia bukanlah sekedar menjalani hidupnya sesuai insting sebagaimana binatang, tetapi kehidupan di dunia adalah proses pembentukan dan pengujian sisi spiritual sebelum menghadap Tuhannya di kehidupan selanjutnya.

mqzf:

Kepalsuan?
Tergantung kepada individu yang menjalaninya.

Jika hal itu dilakukan hanya sebagai kamuflase, agar tetap tampak terhormat di mata orang lain, maka itu adalah kepalsuan dan kepura-puraan. Orang bilang "munafik" dalam konteks bahasa pergaulan (lebih mengacu kepada "hipokrit", bukan "munafiq" dalam pengertian Islam).

Tapi jika itu dilakukan sebagai pengabdian kepada Allah Yang Maha Menguasai seluruh alam semesta, maka itu adalah ibadah dan penyerahan diri.

Tergantung dimana kita meletakkan Allah dan nafsu dalam hati kita. Tergantung seberapa besar cinta kita kepada Allah hingga kita rela menyerahkan diri.

Ex Oriente:

Saya setuju,
jika kita tetap ber-orbit- kepada Allah swt dan minta kerendahan hati untuk tetap beriman. Manusia itu adalah perpaduan antara syetan dan malaikat, selagi, selama hidup manusia itu, kedua kekuatan itu akan tetap berperang. Tinggal dimana kita meletakan dan mengalahkan syetan.

Capunk:

Tapi kadang-kadang sebel juga klo ada yg bilang klo menolak menuruti hawa nafsu itu dibilang gay yang MUNAFIK, sok suci lah,.. hiiks, teman2 gimana menurut kalian..!? soalnya aku pernah dibilang seperti itu..

<< Sebelumnya | Indeks Diskusi | Selanjutnya >>