|
“Nita? Kenapa menanyakan dia?” tanya si pemuda dengan suara rendah dan muka memerah.
“Ah, aku iseng aja kok. Dia cewek kamu kan?”
Tak ada lagi jawaban. Ternyata si pemuda sudah berjalan ke meja terdekat, dengan asal meletakkan tas ransel dan tas plastik ke arah kursi, meninggalkan si gadis sendirian di depan counter dengan pelayan yang berdiri di balik meja menanti keputusan si gadis dengan sabar. Demikian juga dengan para kubus tersebut. Hanya saja mereka tidak sesabar si pelayan.
“Taruhan dia pasti milih es mangga!” kata sebuah kubus dengan yakin sambil mengamati si gadis yang menunduk meneliti dafter menu yang tertempel di meja counter.
“Mungkin saja. Kita kan yang paling sehat dan berserat tinggi!” timpal yang lain.
“Kalau begitu, apa yang bakal dipilih cowoknya?”
Sebuah pertanyaan sederhana yang mengundang desisan dari yang lain-lain, memerintahkan si empunya pertanyaan untuk diam.
“Kamu nggak dengar tadi ya? Itu bukan cowoknya. Tadi kan ada yang bernama Nita atau siapa lah.”
Tiba-tiba semua terdiam dan memandang kedua pasangan itu dengan prihatin.
“Sayang ya,” cetus salah satu dari mereka dengan tiba-tiba. “Padahal mereka cocok deh satu sam lain. Lihat saja. Aku tidak pernah melihat cewek dengan bibir semungil miliknya. Lalu matanya, aduh! Begitu berbinar-binar!”
“Iya. Si cowok juga keren. Tapi anehnya, rambutnya kok sama warnanya dengan kita, kuning?” Deraian tawa menyambutnya, membuat irisan mangga yang satu ini agak berubah warna menjadi merah jambu.
“Itu karena dia bule, tolol!” goda yang lain.
“Aaa… tidak mungkin!” Si kuning semu merah jambu coba membantah. “Dari tadi kan dia pakai bahasa Indonesia!”
“Ya.”
“Benar.”
“Mungkin dia memang sudah agak lama di sini,” timpal yang lain.
“Ssst… sst! Lihat itu.”
Dan semua perhatian kembali teralih ke si gadis yang berjalan menghampiri si pemuda. “Kok?” seru sepotong mangga. “Dia tidak jadi beli?”
Suara lembut si gadis menjawab pertanyaannya.
“Aku pilih mangga ya,” katanya sembari meletakkan beberapa tas plasik hasil belanjaannya ke atas kursi kosong di meja si pemuda. “Kamu apa?”
“Ah, tidak. Aku nemenin kamu saja,” sahut si pemuda pendek. Potongan mangga-mangga di kotak kaca tersebut dapat melihat betapa kening si gadis berkerut, sesudah ia membalikkan tubuh, dan dengan mengedikkan bahu ia kembali ke counter.
“Saya minta es mangga-nya satu.” |
|