![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Bolehkah menghukum? Karya: Taman Budicipta |
||||||||
![]() |
||||||||
Hukuman fisik (physical punishment) memang bukanlah suatu jenis hukuman yang diadopsi oleh umat Buddhis. Di masa kehidupan Sang Buddha, kita dapat melihat berbagai cara yang dipakai oleh Sang Buddha untuk mendisiplin murid-murid Beliau. Metode yang Beliau gunakan mencakup metode yang halus sampai kepada metode yang agak keras. 1) Metode yang halus mencakup: - Kritikan halus terhadap apa yang tak pantas - Pujian terhadap apa yang pantas 2) Metode yang kurang halus mencakup kritikan yang agak keras (yang tak menyenangkan hati si pendengar). Hal ini dapat dibaca di Abhaya Raja Kumara Sutta yang menjelaskan bahwa sesuatu yang tak menyenangkan hati mungkin saja diucapkan oleh Sang Buddha asal ia dapat membawa manfaat, memiliki kenyataan yang benar, dan diucapkan pada waktu dan situasi yang tepat. Bukan hanya asal-asalan, tetapi harus memenuhi 3 syarat di atas! 3) Metode yang agak keras dapat berupa "outcast" atau "pengucilan." Dapat dibaca di sutta Dhammacariya. Tetapi metode ini tidak bersifat "irreversible" dan tak mengandung "marah" atau "benci" atau "jengkel." Bhikkhu Channa pernah dikucilkan dari Sangha. Menurut komentar para tokoh Buddhis, beliau sengaja dikucilkan karena Sang Buddha mengetahui bahwa dengan jalan itulah Bhikkhu Channa akan menyadari kesalahannya dengan sepenuhnya. Dan memang benarlah bahwa dengan pengucilan tersebut, Bhikkhu Channa kemudian menyendiri dan menjadi seorang Bhikkhu yang lebih giat melaksanakan Dhamma (pelatihan diri). Kemudian beliau mencapai tingkat kesucian tertinggi, Arahat. Saat itulah pengucilan terhadap Beliau dihentikan (jadi gak bersifat "irreversible.") Jadi kita harus menyadari manfaat yang terkandung di dalamnya dan tak sekedar melihat sesuatu perbuatan dari "surface" kulit luarnya. Hampir sama seperti penjelasan Bhante Pannavaro tentang tindakan seorang Buddhis yang menaruh sepatu butut di atas patung Sang Buddha (dengan berpikiran positif bahwa sepatu tsb dapat dijadikan alat teduh). Semoga penjelasan di atas mampu memberikan sedikit perspektif Buddhis dalam hal hukuman. Kita umat biasa harus sangat berwaspada terhadap yang namanya pemberian hukuman oleh karena pikiran kita yang tak terlatih. Dari pikiran yang tak terlatih, pemberian hukuman kerap kali diiringi oleh dosa (kemarahan, kebencian, kejengkelan, dll.) Bila demikian, maka hukuman tersebut dengan sendirinya menjadi tak pantas. |
||||||||
![]() |