![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Tuhan Sumber: Taman Budicipta |
||||||||
![]() |
||||||||
Andromeda: Rekan-rekan seDhamma, Kembali kita akan melihat dan mendengar perdebatan antara mereka yang tak mempercayai Tuhan (Pencipta) dengan mereka yang mempercayai Tuhan. Saya melihat sekelompok umat Buddhis (yang menganggap diri mereka Buddhis) berdebat dengan pemeluk agama lainnya tentang ada tidaknya Tuhan itu. Apakah pandangan Buddhis tentang Tuhan? Apakah umat Buddhis mempercayai adanya Tuhan? Ataukah umat Buddhis tak mempercayai Tuhan? Jawaban singkatnya, "Umat Buddhis tak tertarik (dan tak membahas) tentang ada tidaknya Tuhan." Malahan Dhamma mengajarkan kita untuk tak mengadopsi pandangan-pandangan yang tak bermanfaat untuk kesejahteraan diri kita. Sang Buddha mengatakan bahwa apabila dengan menyembah dan berdoa, engkau bisa mendapatkan apa yang diharapkan [didoakan], maka Beliau tak menasehatimu untuk tak berdoa. Akan tetapi, doa tak dapat memberikan apa yang diharapkan, sehingga Beliau tak melihat adanya manfaat dari doa. Sering kali Sang Buddha ditanyai tentang Tuhan (awal terbentuknya jagad raya). Reaksi Beliau? Beliau hanya berdiam diri. Beliau menyadari bahwa pengetahuan ini tak akan membawa manfaat, malahan akan membawa pertikaian, keterikatan pada ide, dll. Dengan mengerti jelas tentang hal ini, maka Sang Buddha sering kali tak memberikan jawaban pada pertanyaan seperti ini. Teman-teman seDhamma, marilah kita menjauhi perdebatan tentang Tuhan. Pembahasan tentang hal ini bisa berujung buntu. Biarlah mereka yang tak mengenal Dhamma bertikai. Biarlah mereka yang mengenal Dhamma hidup berbahagia tanpa pertikaian. Mettacittena Gunawan: Rekans, Kenapa 'alergi' membahas ketuhanan dalam agama Buddha ? Dasar negara kita adalah Pancasila, dan sila pertamanya adalah ketuhanan yang maha esa. Dalam pelajaran di sekolah kita pasti ketemu dengan topik itu. Sebagai umat Buddha, kita hendaknya mempunyai pengertian yang benar tentang ketuhanan dalam agama Buddha. Supaya kalo ditanyakan oleh orang lain, kita bisa jawab dengan mantap, nggak plintat-plintut. Kalo nggak bisa jawab dengan mantap, kita akan disudutkan dengan sila pertama Pancasila. Dan itu berbahaya ! Dalam banyak pengamatan, termasuk pengalaman saya sendiri, pengertian yang benar tentang ketuhanan dalam agama Buddha juga berguna bagi kita dalam menjawab pertanyaan para calon umat Buddhis. Pertanyaan tentang ketuhanan adalah salah satu pertanyaan saya ( sebelum saya memeluk agama Buddha ) kepada teman kantor yang memperkenalkan Buddhisme kepada saya, Surjadie. Tadinya saya tidak tertarik dengan agama, agama apa pun, karena saya lihat agama itu hanya ritual, mistik dan kepercayaan membuta, sehingga nggak ada gunanya untuk hidup dan kehidupan. Di KTP sih dari dulu agamanya Buddha :) Tapi saya taunya hanya kudu sembahyang pas in Cia, Ceng Beng, Cio Ko dan Tang Cieh. Yah, saya lakukan, hanya untuk ngehormatin ortu aja. Saya tertarik belajar Agama Buddha setelah saya membaca teks Kalama Sutta yang diberikan oleh Surjadie. Ternyata Agama Buddha tidak mengajarkan kepercayaan membuta. Semangat Kalama Sutta cocok dengan pola pikir saya selama ini. Nah, kemudian saya mulai belajar dari milis, buku, VCD, internet, dengan berusaha open mind, not blind faith :) Jawaban yang cukup mantap dari Surjadie atas pertanyaan saya tentang ketuhanan adalah salah satu faktor yang membuat saya termotivasi untuk mempelajari Buddhisme lebih lanjut. Ketika saya memperkenalkan Buddhisme kepada keluarga besar saya, pertanyaan tentang ketuhanan juga muncul kembali dari mereka. Nah, kalo saya nggak bisa jawab, bagaimana saya bisa membuat mereka termotivasi mempelajarinya lebih lanjut ? Jadi, alangkah baiknya kalo kita nggak 'alergi'-an sama suatu topik. Alangkah baiknya kalo kita nggak apriori melihat suatu fenomena. Let's open our mind, not blind faith. Untuk menambah wawasan kita bersama, saya lampirkan artikel tanya jawab Bhante Uttamo mengenai Tuhan, segera setelah email ini. Yeah, barangkali saja ada yang belum pernah membacanya. Btw, secara pribadi, saya sendiri menentukan sikap MENUNDA untuk percaya maupun untuk tidak percaya terhadap segala sesuatu sampai ada BUKTI yang VALID. Konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha memang tidak sama dengan berbagai konsep Ketuhanan yang biasa dikenal dalam masyarakat. Tuhan dalam Agama Buddha bukanlah tempat orang meminta sesuatu, melainkan menjadi tujuan hidup tertinggi seorang umat Buddha. Tuhan dalam Agama Buddha adalah Nibbana atau Nirwana. Seorang umat Buddha untuk mencapai Nibbana bukan dengan berdoa atau upacara saja, melainkan dengan perjuangan untuk mengurangi kejahatan, menambah kebajikan dan menyucikan pikiran dari ketamakan, kebencian dan kegelapan batin. Oleh karena itu, dalam pengertian seorang umat Buddha, doa kepada para dewa bukanlah berisikan permintaan kepada mereka, melainkan menjadikan mereka sebagai panutan untuk kehidupan ini. Dengan demikian, seorang umat Buddha yang menghormat kepada dewi welas asih berarti ia akan selalu melaksanakan prilaku cinta kasih dalam kehidupan sehari-hari. Arca Buddha maupun para dewa lainnya adalah sebagai lambang dan idola hidupnya. Semoga penjelasan ini dapat memberikan manfaat. (Oleh: Bhante Uttamo) Jeffrey: Mengenai Tuhan, saya pernah ikut suatu seminar yang pembicaranya adalah Bhante Pannavaro dan Bpk. Andre Wongso (seminar "Pemimpin yang Sukses"). Ada seorang umat bertanya kepada Bhante Panna :"Sebenarnya agama Buddha percaya tidak adanya Tuhan?". Bhante Panna menjawab :"Agama Buddha tidak tertarik membahas masalah ini, karena tidak bermanfaat untuk mencapai kesucian, tidak bisa mengubah seseorang untuk mendapat kebahagiaan. Sang buddha juga pernah ditanyai masalah ini oleh salah satu murid-Nya, Sang Buddha hanya diam saja. Karena Sang Buddha tidak akan menjawab suatu pertanyaan jika pertanyaan itu tidak bermanfaat dan susah dimengerti oleh manusia biasa". Di beberapa buku agama Buddha yang pernah saya baca, jawaban tentang Tuhan sama seperti yang dikatakan Bhante Panna. Kecuali Bhante Ashin (Alm), di dalam buku dikatakan Bhante Ashin pernah ditanyai oleh pejabat pemerintah RI tentang Tuhan, jawaban Bhante Ashin adalah "Namo Sanghyang Adi Buddhaya, itulah Tuhan kami." Disitu tidak dijelaskan konsepnya seperti apa. Kita tentu senang kalau keluarga, family, teman2 dekat kita atau orang2 yang kita kenal bisa seagama dengan kita. Tapi kalau memang mereka tidak berkeyakinan dengan agama Buddha buat apa kita maksa, apalagi sengaja membuat suatu pandangan (katakanlah tentang Tuhan) yang TIDAK PERNAH SAMA SEKALI dibicarakan oleh Sang Penemu Jalan Kebenaran, sudah 2500 tahun lebih...tidak pernah sama sekali setau saya. OK, anggap saja orang2 yang kita kenal ikut kita masuk agama Buddha karena adanya konsep Ketuhanan itu, tapi pernah pikir tidak kalau seandainya suatu hari mereka tau bahwa ternyata agama Buddha sebenarnya TIDAK PERNAH berbicara soal itu. Trus apa yang akan mereka pikirkan, rasakan??? Menderita, nyesal, kecewa, benci, marah dll... Maukah kita membuat mereka gitu??? atau MUNGKINKAH mereka akan berpikir "Ah, sudah terlanjut masuk agama Buddha ya sudahlah, males pindah agama lagi." Bukankah kalau kita melihat orang2 dekat kita bahagia, kita juga akan ikut bahagia walaupun ada hal2 yang mungkin tidak sejalan dengan kita. ATAUKAH kita akan lebih bahagia kalau kita gimananya membuat mereka sejalan dengan kita apahal belum tentu mereka bisa terima. Saya pernah dengar Dhammadesa dari seorang Bhikkhu yang berkata bahwa agama Buddha sangat unik dan berbeda dengan agama2 yang lain. Agama lain membuat orang PERCAYA dulu baru MENGERTI ajaran2nya. Tapi agama Buddha sebaliknya membuat orang MENGERTI dulu baru PERCAYA. Saya bukannya mau berdebat, cuman saya ingin mengajak rekan2 se-Dhamma supaya tetap mempertahankan ajaran murni Sang Guru Agung kita. Umat Buddha di Indonesia memang tidak sebanyak umat agama2 lain, tapi menurut saya yang namanya ajaran KEBENARAN akan dicari oleh orang2 yang BIJAKSANA, hanya waktu yang bisa membantu menemukannya. Mohon maaf, saya tidak pandai berbicara dan pengetahuan Dhamma saya juga tidak banyak. Semoga bermanfaat. Mohon pertunjuk jika ada yang salah. Gunawan: Apabila umat Buddha INDONESIA ditanya oleh 'orang Pemerintah REPUBLIK INDONESIA' tentang Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Agama Buddha, bagaimana cara menjawabnya ? Karena dasar negara kita adalah PANCASILA, dan sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka jawaban harus tidak bertentangan dengan sila pertama Pancasila ini. Terus apa yang membuat seseorang berkeyakinan dengan agama Buddha ? Kalo pengertiannya aja nggak tau, gimana bisa jadi yakin ? saya setuju, kita bukan lagi berdebat, tetapi lagi diskusi. Itulah gunanya milis ini 'kan ? kalo ada yang murni, berarti ada yang nggak murni yach ? Apa buktinya kalo dikatakan yang satu itu murni, yang lainnya nggak murni ? Apa bukti kemurnian yang satu ? Apa bukti ketidakmurnian yang lain ? Mengapa faktor-faktor itu yang dijadikan tolok ukur kemurnian dan/atau ketidakmurnian ? Siapa yang dikasih otoritas oleh Sang Buddha untuk kasih stempel yang ini murni ajaran beliau dan yang lain nggak murni ? Atau yang dikatakan murni maupun nggak murni itu pun hanya semata-mata 'katanya buku' ? Andromeda: Karena Ko Gunawan telah bertanya sebanyak tiga kali tentang topik ini & untuk mencegah kesenjangan antar rekan, maka biarlah kita meredakannya dengan penjelasan berikut. Komentar tambahan yang bersifat meredakan dipersilahkan. Pertama-tama, kita sebagai Buddhis seharusnya mengerti ajaran dasar ini: Tujuan Dhamma hanya satu, yakni melenyapkan penderitaan. Hal-hal yang tak bersangkutan dengan tujuan mulia tersebut tak dapat dikatakan Dhamma. Dan untuk melenyapkan penderitaan, keterikatan harus dilenyapkan dengan pengertian benar. Keterikatan ini mencakup keterikatan pada 6 indera & objek-objek 6 indera. Salah satu dari objek keenam indera adalah ide. Dengan demikian, seorang Buddhis seharusnya tak terikat pada ide-ide yang tak membawa ke Tujuan. Keterikatan dapat mengambil 2 bentuk. Yang satu: menariknya (suka). Yang satunya lagi: mendorongnya (benci). Begitu pula dengan konsep Tuhan. Seseorang bisa terikat dengannya bukan hanya dengan mempercayai keberadaannya (tak menyukai mereka yang tak percaya), tetapi dapat juga dengan mempercayai ketidakberadaannya (tak menyukai mereka yang percaya). Dua-duanya adalah termasuk keterikatan dalam definisi Buddhis. Tentunya ada tidaknya Sang Pencipta yang disebut Tuhan itu bukanlah hal yang akan membawa ke Tujuan. Ajaran Sang Buddha mengajak kita untuk melihat ke diri sendiri, yakni lihatlah ketiga hukum alam ini yang bekerja di dirimu setiap saat--dukkha (tanpa kepuasan), anicca (tanpa keabadian), dan anatta (tanpa aku)--melalui perhatian terhadap badan jasmanimu, perasaanmu, pikiranmu, dan Dhamma. Singkat kata, Tujuan hanya dapat dicapai oleh usaha sendiri. Adanya Tuhan atau tidak bukanlah hal yang relevan. Jangankan pertanyaan tentang Tuhan, pertanyaan seperti apakah Sang Buddha tiada, masih ada, tiada sekaligus juga masih ada, bukan tiada maupun masih ada setelah Parinibbana juga bukanlah hal yang relevan. Pertanyaan yang tak relevan seperti inilah yang tak dijawab oleh Sang Buddha karena simply tak bermanfaat. Pengetahuan yang tak bersifat Dhamma seperti ini tentunya tak akan meningkatkan keyakinan kita sebagai seorang Buddhis. Hanya pengetahuan dan pengertian Dhammalah yang akan meningkatkan keyakinan kita. Terus bagaimana kita tahu itu Dhamma atau tidak? Tahu itu ajaran murni Sang Buddha atau tidak? Kembali ke jawaban yang sama. Bila sesuatu hal tersebut menuju ke lenyapnya penderitaan melalui pemahaman dukkha, anicca, dan anatta, yakni melalui perhatian terhadap tubuh jasmani, perasaan, pikiran, dan perenungan terhadap hal-hal yang berhubungan dengannya (mendukungnya), maka itulah Dhamma. Khotbah-khotbah Sang Buddha sendiri telah tercantum di Ti-Pitaka, dan di sutta-sutta disebutkan, "Inilah yang kudengar..." Bagian dari Ti-Pitaka yang tertua (disajikan oleh Bhante Ananda & Bhante Upali) adalah Sutta Pitaka (Digha, Majjhima, Anguttara, Samyutta Nikaya) dan Vinaya Pitaka. Ini adalah bagian yang tertua dan diterima oleh hampir seluruh umat Buddhis. Sejauh pengalaman saya membacanya, saya belum menemukan adanya hal yang bertentangan. Dan sejauh pengertian saya, siapapun yang benar-benar melaksanakan ajaran Sang Buddha yang telah tercantum disana akan mampu melenyapkan penderitaan secara total. Kembali ke hal kepemerintahan Indonesia. Apapun yang telah dijawabkan kepada pihak pemerintah adalah yang telah dijawab. Saya tak akan memberikan komentar tentang jawaban tersebut. Yang hanya ingin kusampaikan adalah apapun yang telah dipakai untuk menjelaskan ke pihak pemerintah tentang konsep Tuhan seharusnya dipahami sebagai berikut: Jawaban tersebut hanya bersifat untuk menjelaskan kepada pihak pemerintah yang tak memiliki dasar pengertian agama Buddha. Kita kan umat Buddhis yang lebih tahu tentang Dhamma dibanding mereka, sehingga sudah seharusnya kita tak memeluk erat-erat (baca: terikat) pada penjelasan yang diberikan kepada mereka tersebut. Last but not least, saya ingin menjelaskan sedikit tentang perbedaan (a gray line) antara diskusi dan perdebatan. Bila timbul rasa tak senang, jengkel (yang kesemuanya tergolong dosa), maka itu adalah perdebatan. Bila tidak, maka itu adalah diskusi. Jadi kita harus waspada terhadap diri sendiri (SATI) dalam membedakan keduanya. Semoga kita semua dapat memetik manfaat dari diskusi ini. Mettacittena Surjadie: Penjelasan KeTuhanan dalam Buddha Dhamma terdapat pada kitab Udana VIII : 3, atau adakah pada kitab lainnya? Apakah menurut pemahaman Banthe untuk Ketuhanan ? Apakah pengertian Ketuhanan menurut Buddha Dhamma itu bahwa Tuhan memang ada tetapi tak terpahami (tidak akan dimengerti oleh pikiran manusia ) tak terjangkau arti dan pengertianNya oleh manusia? Dan Tuhan berada di alam yang mana ?Apakah di Nibbana? Bhante Dhammadhiro: Sebelum menjawab lebih jelas, mohon kejelasan tentang definisi ‘tuhan’ dulu. Kalau definisi ‘tuhan’ adalah sesosok makhluk yang tak tampak oleh mata kasat, yang mempunyai perasaan, seperti cinta, benci dsb., yang dipercaya berkuasa atas alam, yang biasanya dihormat dan ditakuti oleh sebagian manusia, dsb. ‘tuhan’ adalah ‘dewa’ dalam definisi Buddhis. Hanya bedanya adalah ‘tuhan’ biasanya mengacu pada sesosok yang tunggal sedangkan ‘dewa’ mengacu pada makhluk yang jamak. Satu perbedaan lagi adalah ‘tuhan’ dipakai sebagai tempat perlindungan tertinggi oleh pemercayanya, sedangkan ‘dewa’ bukan tempat perlindungan tertinggi bagi umat Buddha. Ungkapan yang terdapat dalam Udana VIII:3 adalah satu upaya pendekatan oleh generasi sekarang terhadap istilah ‘tuhan’, bukan definisi tuhan sendiri karena istilah ‘tuhan’ belum dikenal di zaman kehidupan Sang Buddha. Di kitab itu, tidak disebutkan ada sesosok makhluk apapun yang menjabat sebagai yang tertinggi. Di sisi lain, di kitab itu hanya ditulis tentang adanya satu keberadaan yang paling tinggi yang ada di semesta alam dan kehidupannya, yang dapat dicapai oleh makhluk yang ada di alam semesta itu. Implikasi dari kitab ini adalah adanya keberadaan yang tertinggi. Ungkapan yang terdapat dalam Udana VIII:3 itu ada juga dalam kitab Itivuttaka dan Nettipakarana; ketiganya adalah bagian dari Khuddakanikaya. Ditinjau dari segi keberadaan yang benar, Empat kebenaran Mulia adalah kebenaran yang patut dimengerti oleh makhluk hidup; dan tilakkhana (keberadaan tidak tetap, tidak tahan, dan bukan diri) adalah kebenaran yang ada, baik untuk yang hidup maupun yang tidak hidup. Konsep ‘ketuhanan’ bukanlah “konsep yang ada tetapi tak terjangkau” atau ‘yang (… apa mau dikata)’ menurut agama Buddha oleh karena memang konsep itu tidak dikenal dalam Buddhis. Dan, kita juga kurang perlu memaksakan ajaran Sang Buddha untuk harus punya konsep seperti yang kepercayaan lain memiliki. Pernahkah kita berbalik tanya, bagaimana konsep kepercayaan lain atas yang ada dalam Buddhis? |
||||||||
![]() |