![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Doa Sumber: Taman Budicipta |
||||||||
![]() |
||||||||
Andromeda: Ittha Sutta (Anguttara Nikaya V.43) ini berisi kotbah Sang Buddha kepada Anathapindika. Sang Buddha bersabda: Ada lima hal, wahai upasaka-upasika, yang diidamkan tetapi sulit diraih oleh umat manusia. Apakah kelima hal tersebut? Usia panjang, rupa yang indah, kebahagiaan, status, dan kelahiran di alam surga. Kelima hal ini sangat diharapkan, sejalan dengan keinginan, menyenangkan, dan sulit diraih di dunia ini. O, upasaka-upasika, Kukatakan bahwa kelima hal ini bukanlah untuk diraih dengan sembahyang dan doa-doa. Kalau saja kelima hal ini dapat diraih dari sembahyang dan doa-doa, siapakah yang akan kekurangan kelima hal ini? Maka tidaklah pantas bagi seorang pengikut Sang Buddha yang mengidamkan kelima hal ini untuk bersembahyang dan berdoa ataupun tertarik dengan sembahyang dan doa. Seharusnyalah pengikut Sang Buddha yang mengidamkan kelima hal ini mengikuti jalan benar yang akan membawa ke pencapaian kelima hal ini. Bila saja diikuti dengan benar, maka kelima hal ini akan mampu diraihnya. Usia panjang, rupa yang indah, kebahagiaan, status, dan kelahiran di alam surga; siapapun yang mengidamkan kelima hal ini, seharusnya rajin dan tekun melakukan kebajikan, yakni kebajikan yang dianjurkan oleh mereka yang bijaksana. Mereka yang bijaksana meraih dua macam kesejahteraan, di dunia ini dan di dunia yang akan datang; dengan kehidupan yang sejahtera maka pantaslah mereka dikenal sebagai orang yang arif dan bijaksana. Herdi: aku mau tanya nih tentang agama buddha, benarkah di dalam agama buddha itu ada DOA ? sebab seperti yang bro Andro posting di taman budi cipta, Buddha sendiri tidak menjawab tentang adanya doa...selain itu rekan-rekan di viharaku masih banyak yang berdoa kepada dewa-dewi, meminta-minta, jadinya seperti pola keyakinan yang lain...itu aja sih yang aku mau share sama bro Andro Andromeda: Pertama-tama saya ingin mengajak kita semua untuk merenungi musibah gempa dahsyat yang baru saja menimpa saudara-saudari kita di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Kita seharusnya merenungi musibah tersebut dengan hati yang tulus sehingga belas kasihan akan muncul di diri kita. Kemudian kita berharap bahwa mereka yang tertimpa musibah akan terbebas dari penderitaan fisik. Bila tak terbebas dari penderitaan fisik, biarlah mereka terbebas dari penderitaan batiniah. Bila tak terbebas dari penderitaan fisik dan batiniah, biarlah mereka memiliki kekuatan, kesabaran, dan kebijaksanaan untuk menghadapi penderitaan tersebut. Ini adalah sifat belas kasihan yang dikembangkan oleh seorang Buddhis terhadap mereka yang menderita. Tentunya pikiran yang penuh metta karuna ini sedapat mungkin direalisasikan ke dalam bentuk perbuatan juga (menolong mereka). Kalau yang di atas tergolong doa, maka itulah salah satu jenis doa seorang Buddhis. Seorang Buddhis mengembangkan pikirannya (metta, karuna, muditta, upekkha) dan kemudian dari pikiran yang terlatih tersebut, perbuatan yang mulia juga akan dihasilkan. Perbuatan dan pikiran mulia ini jauh lebih unggul dari lindungan seorang dewa. Seorang Buddhis mengetahui bahwa kesaktian dan kebijaksanaan seorang Buddha jauh melampui kesaktian dan kebijaksanaan dewa maupun Brahma sekalipun. Tetapi Sang Buddha sendiri berkali-kali mengatakan kepada pengikut Beliau, "Tathagata hanyalah Guru yang menunjukan Jalan kepadamu. Engkau sendirilah yang harus berusaha (mengikuti Jalan yang telah ditunjukan)." Jadi Sang Buddha sendiri tak pernah menyuruh pengikut Beliau untuk berdoa kepadaNya. Yang Beliau anjurkan adalah, "Renungilah kwalitas-kwalitas mulia Tathagata dan Ajaran DhammaNya (serta Sangha)." Berdoa sendiri adalah termasuk ritual yang merupakan salah satu dari 10 Belenggu Samsara. Tiga belenggu pertama dari kesepuluh belenggu ini adalah: 1) Kesalahpahaman tentang adanya roh, yakni belum memahami kenyataan "tanpa aku." 2) Keterikatan pada ritual-ritual keagamaan 3) Keragu-raguan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha Ketiga belenggu pertama di atas hanya dapat dimusnahakan secara tuntas setelah seseorang mencapai kesuciaan Sotapanna. Seorang Sotapanna adalah makhluk suci yang sudah pasti akan mencapai Nibbana (selambat-lambatnya tujuh kehidupan lagi). Doa yang umumnya dilakukan seorang yang belum mengenal Dhamma adalah termasuk ke dalam belenggu kedua di atas. Sedangkan doa yang disebutkan di atas adalah tak termasuk ke dalam belenggu kedua. Agama Buddha menghargai kebebasan umatnya sehingga bagi umat yang masih terikat pada doa tak disikat habis-habisan. Umat yang mengenal Dhamma mengerti sejauh mana keampuhan doa dan bagaimana meningkatkan keampuhan sebuah doa. Saya sendiri berasal dari Medan dan mengenal baik akan ritual-ritual keagamaan yang dilabel "Buddhis" oleh umatnya sendiri. Sudah menjadi tugas generasi kita untuk perlahan-lahan meningkatkan pengertian generasi kita dan berikutnya terhadap Dhamma. Jeffry : Saya ingin nambah sedikit, setahu saya didalam ajaran Sang Buddha tidak pernah mengajarkan berdoa atau meminta-minta KEPADA siapapun (Tuhan, Buddha, dewa-dewi dll), tapi berdoa UNTUK siapapun (semua makhluk dengan mengembangkan catur paramita didalam pikiran kita). Mereka yang masih meminta-minta kepada dewa2, itu karena mereka masih belum mempunyai keyakinan terhadap ajaran Sang Buddha terutama Hukum Karma. Saya pernah diceritakan oleh seorang romo waktu mengikuti Dhamma kelas di vihara usai puja bakti. Ada seorang bapak, dia adalah keponakan dari temannya romo. Romo sendiri juga tidak kenal bapak ini. Katanya bapak ini sangat rajin mengikuti puja bakti di vihara, berdana dll. Suatu hari dia ke vihara karena tempat parkir dalam vihara penuh, terpaksa dia parkir diluar samping vihara dan tidak jauh dari pintu masuk vihara. trus pas waktu dia turun dari mobilnya, dia kena todong (ntah HP atau dompetnya diambil, saya lupa). Trus dia sangat marah dan tidak bisa menerima kenyataan yang baru terjadi kepadanya. Dia cerita dan nanya kepada umat yang ada di vihara : "kenapa saya bisa kena todong??? Saya sudah menghabiskan banyak uang dan waktu di vihara, kok saya bisa kena todong??" Trus akhirnya bapak itu pindah ke agama kristen, tapi sialnya (memang karma buruk dia) tiga bulan kemudian pas waktu keluar dari gereja habis kebaktian, mobil dia yang parkir di luar gereja hilang. Habis itu tidak tau lagi bapak ini masuk agama apa... Rekan2 se-Dhamma, umat Buddha yang belum ada keyakinan terhadap ajaran Sang Buddha masih banyak. Seperti beberapa waktu lalu di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, bhante Vijito bilang ada umat Buddha yang mau naik pesawat keluar kota minta Bhante doain, mau operasi minta doain dan ada yang lebih dasyat lagi minta bhante panggil roh suaminya yang sudah meniggal, sampai2 bhante bilang saya ini kayak dianggap DUKUN bukannya BHIKKHU:). Saya pernah ikut suatu ceramah dari seorang bhikkhu, beliau pernah bilang agama Buddha itu sangat unik dan berbeda dengan "agama2 yang lain". Kalau agama lain, mereka membuat orang PERCAYA dulu baru MENGERTI tentang agama mereka, tapi agama Buddha malah sebaliknya, membuat orang MENGERTI dulu baru PERCAYA/KEYAKINAN tentang ajaran Buddha. Saya pernah baca satu buku kecil yang ditulis oleh Bhante Pannavaro tentang mafaat beragama. Nanti saya akan kirim ke rekan2. Saya jamin jika rekan2 setelah baca isinya akan semakin yakin terhadap ajaran Sang buddha. Maaf, terlalu panjang ceritanya. Saya hanya ingin rekan2 lebih yakin terhadap ajaran Buddha dan jangan terlalu percaya yang bukan2, apalagi yang "Buddha"nya belum lahir sudah disembah2. Semoga bermanfaat dan mohon petunjuknya jika ada yang salah. Salam metta Bhante Uttamo: (Ref) Di dalam Agama Buddha sebenarnya tidak mempergunakan istilah 'doa' melainkan 'Puja Bakti'. Puja bakti yang dimaksudkan di sini adalah bahwa ketika seorang umat Buddha melakukan upacara ritual dengan membaca paritta, sesungguhnya ia sedang mengulang kotbah Sang Buddha. Setelah melakukan pengulangan kotbah Sang Buddha, umat hendaknya merenungkan dengan sungguh-sungguh arti kotbah tersebut. Hasil perenungan akan kotbah Sang Buddha itu hendaknya dapat dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai pedoman hidup. Sherry: Saya tertarik dengan jawaban dari B. Uttamo. Kesimpulan yang bisa saya tarik yakni, kita harus mengetahui arti dari paritta atau sutra yang kita baca untuk perenungan kembali. Anyway, saya pernah membaca buku yang berjudul "Popular Deities of Chinese Buddhism" oleh Kuan Ming. Salah satu komentar beliau mengenai pembacaan sutra ( seperti Ta Pei Cou/Dharani of Great Compassion, Heart Sutra, etc) adalah seperti dibawah ini : " ... The above sounds are quite meaningless as they are but translations from the original Sanskrit prayer. It must be mentioned that in mantra recitation, the meaning of it is not really that important as the sound of each of the syllables." Dari petikan diatas, jelas tertulis bahwa arti sesungguhnya tidak begitu penting. (Fyi, tidak semua Indonesian Chinese menguasai aksara Chinese. Kebanyakan kita membaca sutra dengan melihat huruf ABC, bukannya dengan membaca aksara Chinese. ) Jadi bagaimana? Kesimpulan terakhir, apakah kita harus mengetahui arti dari sutra tersebut terlebih dahulu baru membaca sutra (yang mungkin akan memakan waktu lama), ataukah kita boleh membaca sutra tanpa mengetahui arti, yang penting hanya "sound"nya ? Apakah ada manfaatnya membaca sutra tanpa mengetahui arti ? Arti dalam sutra sangat dalam, bahkan kadang sangat membingungkan. Begitu banyak terjemahan yang sudah saya baca ( misalnya Ta Pei Cou), dalam bahasa Inggris, maupun bahasa Indonesia, tapi tetap saja tidak mengerti. Contoh terjemahan untuk Dharani Sutra ( Ta Pei Cou): 1. I take refuge in the Triple Gem 2. I take refuge in the Lord-seer 3. In the Enlightened Being, in the Great Being, in the Great Compassionate One 4. Om, in the fearless one 5. May I enter into the heart of the Lord Seer 6. I take refuge in Him with the blue neck, great abode of kindness 7.Meaning the fullness of understanding of all ways, which is pure, making all sentient beings victorious and purifying all the realms of existence. dst... Bagaimana merenungkannya? Apa yang direnungkan? Ataukah mantra, Sutra tidak sama dengan paritta? Mohon penjelasannya. Terima kasih. Mettacittena Andromeda: Apa yang dijelaskan Bhante Uttamo adalah sangat tepat. Untuk menjelaskannya lebih lanjut, marilah kita mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa kehidupan Sang Buddha (yang tercantum di Ti-pitaka). Kalaupun ada suara/nada/bunyi yang memiliki "intrinsic power," maka saya akan memilih suara Sang Buddha. Karena dari segala makhluk, Beliaulah yang memiliki kwalitas termulia. Dan suara dan rupa Sang Buddha memang membawa ketenangan batin bagi yang mendengar dan melihatnya. Tak heran di artikel "Menghadapi penyakit dan kematian" disebutkan bahwa ada seseorang yang melihat Sang Buddha sesaat sebelum kematiaannya dan ia menjadi sangat girang dan kemudian terlahir di alam surga. Biarpun demikian adanya, Sang Buddha melihat adanya "bahaya" dalam keterikatan terhadap indahnya (kesaktian) suara dan rupanya. Pernah seorang bhikkhu terus mengikuti dimanapun Sang Buddha menetap. Ia terpesona terhadap keindahan rupa Sang Buddha. Ia juga terpesona oleh indahnya suara Sang Buddha. Mengetahui hal ini, Sang Buddha bertanya kepadanya, "Apa yang kamu lakukan, O Bhikkhu?" Kemudian Bhikkhu tersebut menjelaskan bahwa ia sungguh terpesona terhadap fisik tubuh Sang Buddha. Sang Buddha menjelaskan kepada Bhikkhu itu, "Janganlah engkau terpesona terhadap tubuh ini (walau tubuh Sang Tathagata!). Seindah apapun ia, ia akan hancur. Lihatlah olehmu Dhamma yang abadi." Akhirnya Bhikkhu tersebut meninggalkan Sang Buddha dan dengan tekun melatih diri. Dari cerita di atas, dapat dipelajari bahwa biarpun sesuatu itu sangat menyenangkan hati, tetapi bila ia tak mampu membawa ke kebahagiaan yang lebih tinggi, maka kita seharusnya melepaskannya dan berusaha untuk meraih kebahagiaan yang lebih tinggi itu. Kalau seandainya yang dipercayai itu adalah mendengarkan suara-suara tertentu akan memberikan "kekuatan intrinsik khusus" yang dapat membersihkan kekotoran batin seseorang, maka itu adalah termasuk keterikatan pada ritual yang telah dijelaskan di atas. Sebenarnya suara apapun dapat memiliki kekuatan "khusus" bila: 1) makna dari suara (ucapan) tersebut dipahami sehingga pengertian benar muncul. 2) perhatian terhadap suara tersebut menghasilkan pengertian benar tentang ketidakpuasannya, ketidakkekalannya (muncul, bergema, dan lenyap), dan ketidakadanya 'diri.' (aku bukan suara, suara bukan aku.) 3) setelah mendengar suara tertentu (misalnya, suara orang menjerit karena menderita), timbul semangat mendalami Dhamma (menyadari penderitaan samsara). 4) dll. Hal-hal di atas itulah yang layak dikatakan, "wahhhh suara itu benar-benar memiliki kekuatan khusus!" Sutta adalah kotbah Sang Buddha. Sedangkan paritta telah dijelaskan oleh Bhante Dhammadhiro. Mantra adalah bagian dari aliran lain yang tak tercantum di Ti-pitaka Pali. Kalau kita benar-benar percaya (menghormati, mengagumi, dll) kepada Sang Buddha, maka ikutilah ajaran yang telah dibabarkanNya. Itulah salah satu hasil renungan. |
||||||||
![]() |