|
|
Sumber:
1. Pengantar 2. Latar Belakang Politik Kejadian di Tidore, Ternate, dan di Halmahera
(Propinsi Maluku Utara) Kepentingan Islam fundamentalis secara nasional yang ingin membelokkan komitmen kebangsaan Indonesia dengan merubahnya menjadi penguasaan Negara oleh Islam radikal, ditambah dengan kasus Ambon yang berlarut-larut sehingga menimbulkan emosi yang tak terkendali, juga ditambah dengan ambisi Bahar Andili (Bupati Halmahera Tengah) untuk menjadi Gubernur Propinsi Maluku Utara dan ambisi adiknya – Syamsir Andili – untuk mempertahankan kedudukannya sebagai Walikota Ternate, ditumpuk lagi dengan bom waktu yang ditinggalkan oleh Abdullah Assegaf (mantan Bupati Maluku Utara) yang bersekongkol dengan beberapa pejabat dari suku Makian yang berangan-angan akan menjadikan Malifut sebagai ibukota calon Kabupaten Halmahera Utara, yang kesemua ambisi dan rencana ini tidak mendapat dukungan dari masyarakat luas di Propinsi termuda Republik Indonesia, membuat mereka membabi-buta, bahkan tidak segan-segan memancing emosi masyarakat dengan membawa slogan-slogan agama Islam (agama mayoritas penduduk). 3. Pertikaian Tapal-Batas antara Kecamatan Malifut dan Kecamatan Kao
sebagai Latar Belakang Kejadian di Tidore, Ternate dan di Halmahera Sebenarnya wilayah Malifut dahulu adalah tanah milik penduduk Kao dan Jailolo
(gabungan antara suku Kao, Pagu, Boeng, dan Modole yang mayoritas penduduknya
beragama Kristen) yang diberikan kepada orang Makian untuk menjadi
'transmigran-lokal'. Berbenturanlah kultur dan budaya masyarakat di Kecamatan
Malifut dengan penduduk asal, yang sebenarnya tidak terlalu menyetujui
pembentukan Kecamatan Malifut. Akan tetapi begitu kuatnya posisi Pemerintah
saat itu yang sebagian diduduki oleh orang-orang suku Makian yang pindah ke
Tidore dan Ternate, sehingga masyarakat sama sekali tidak berkutik. Pemerintah
pada waktu itu memberi 'dispensasi' untuk warga ke-5 desa (desa Sosol,
Wangeotak, Gayok, Balisosang, dan Tabobo) asal Kecamatan Kao bahwa mereka
secara administratif tetap berhubungan dengan Kecamatan Kao. Terobsesi dengan angan-angan ini membuat mereka harus berpacu menyelesaikan tapal-batas antara Kec. Malifut dengan Kec. Kao yang diganjal oleh 5 desa tersebut, sehingga diusulkanlah secara diam-diam ke Pemerintah Pusat pembentukan Kecamatan Baru yang diberi nama Kecamatan Malifut Makian-Daratan dengan mengklaim 5 desa (desa Sosol, Wangeotak, Gayok, Balisosang dan Tabobo) tersebut dan memasukkan ke-5 desa tersebut ke dalamnya untuk memenuhi persyaratan luas daerah maupun jumlah penduduk satu kecamatan. Kelima desa ini tidak mau bergabung ke dalam wilayah Malifut karena mereka menganggap diri sebagai penduduk asli Kao yang sebenarnya pemilik tanah mereka, dan oleh karena itu mereka tidak mau tunduk di bawah penduduk pendatang. Perlu di sini diketahui orang-orang suku Makian beragama Islam, sedangkan suku Kao mayoritas beragama Kristen dan ada juga kelompok-kelompok yang beragama Islam di beberapa desa, termasuk di antaranya tinggal di beberapa desa yang dipersengketakan. Sekitar akhir Juli atau awal Agustus 1999 suasana di Kao semakin panas karena dikeluarkannya PP No. 42/99 dari Pemda Tk II Maluku Utara untuk meresmikan wilayah Malifut sebagai kecamatan Makian-Malifut atau Kecamatan Makian-Daratan dengan diperkuat oleh dukungan mahasiswa-mahasiswa Makian-Kayoa di Universitas Khairun (Ternate) yang menggunakan RRI-Stasiun Ternate untuk mengancam warga dari 5 desa Kecamatan Kao dengan mengatakan: 'Siapa saja yang mencoba menghalangi realisasi PP No. 24/99 ia akan berhadapan dengan mahasiswa Makayoa'. Masing-masing pihak tetap pada pendiriannya, bahkan kemudian mulai saling
mengancam. Keresahan semakin meningkat dan terjadi bentrokan-bentrokan pada
waktu Kecamatan Malifut/Makian Daratan secara resmi dinyatakan pada tanggal Pada malam tanggal 18 Agustus 1999 diakukan pembakaran 3 gedung gereja dan rumah-rumah penduduk desa Sosol dan Wangeotak oleh orang-orang Makian. Penduduk Kecamatan Kao terlihat semakin geram dan hampir tidak bisa menahan emosi lagi. Tetapi walaupun demikian pihak Kao masih sempat membentuk Tim Sembilan yang mencoba menyelesaikan masalah dengan damai dan beberapa kali menghubungi Pemda Tk. II Maluku Utara di Ternate untuk segera menyelesaikan masalah. Namun pemerintah sama sekali tidak bergerak. Sampai pada hari Minggu, 24 Oktober 1999 (dua bulan setelah kejadian pertama ketika penduduk Kao-Kristen sedang beribadah di gereja dan penduduk Kao-Islam menjaga perbatasan wilayah Kao, tiba-tiba penduduk Malifut memasuki daerah Kao. Nampaknya hal ini dianggap oleh orang Kao sebagai serangan dari orang Malifut, maka malam pada hari itu juga orang Kao membalas menyerang Malifut dengan membakar rumah-rumah penduduk sekaligus membunuh orang-orang di sana. Pertumpahan darah besar-besaran terjadi di sana, jumlah yang pasti tidak dapat
dirinci, yang jelas puluhan mungkin juga ratusan orang mati. Ada yang nampak
sekarang hanyalah puing-puing rumah, 18 desa Kec. Malifut semuanya hancur,
tidak ada satu pun rumah yang utuh kecuali masjid-masjid (sebagai rumah ibadah)
yang sengaja tidak disentuh sebagai simbol bahwa 'perang' ini murni perang antar
suku, karena yang menyerang Malifut adalah orang Kao baik orang Kristen maupun
orang Islam. Tiga hari kemudian situasi di Ternate semakin resah dengan adanya isyu-isyu yang antara lain mengatakan bahwa orang Kao sudah membakar semua penduduk Malifut termasuk masjid-masjidnya, atau isyu lain mengatakan bahwa orang Kao bergabung dengan orang Tobelo, Galela, dan Morotai akan menyerang orang Ternate. Suhu di Ternate semakin naik setelah pada awal November muncul surat kaleng yang isinya mengatakan Gereja Kristen Maluku (GPM) bersama dengan Gereja Kristen Injili di Halmahera (GMIH) akan menyerang orang Islam di Ternate dan Tidore. Surat ini seolah-olah ditandatangani oleh Ketua Sinode GPM, yang kemudian terbukti tidak benar karena baik nama ketua Sinode GPM salah, juga tanda tangan sama sekali bukan tanda tangannya. Mendengar berita yang tidak benar ini ketua GPM di Ambon langsung bereaksi membantah surat tersebut, namun nampaknya terlambat karena memang jelas surat ini hanya dibuat-buat supaya konflik yang semula menyangkut wilayah antar suku berubah menjadi konflik agama. Pada tanggal 1 November 1999 dalam 'pertemuan' antara pemuka Agama -tokoh masyarakat/pemuda yang diprakarsai oleh Bupati Maluku Utara, pegawai Binmas Kristen (Pendeta Papuling) dipaksa dan diancam membacakan selebaran tersebut, sedangkan para Pejabat Sipil dan Militer hanya menonton saja. Pada waktu para pendeta mau pulang mereka diancam oleh pemuda-pemuda Islam. Received via e-mail from : Tali_Hulaleng
|