|
|
6. Pembantaian Orang Kristen di Gane Timur dan di Payahe (Halmahera) Modus operandi 'serangan pasukan putih' adalah selalu sama: pasukan putih dengan jumlah kira-kira 3000-4000 orang datang dengan speedboat dari Tidore dan Makian ke desa-desa Payahe, Gane Timur, Weda, dll. (yang pada umumnya mempunyai sekitar 300-500 penduduk) dan menyerang desa-desa kecil ini, tentu saja pada taktik serangan seperti ini ada juga banyak korban dari 'pasukan putih', tetapi 'pasukan putih' oleh karena lebih banyak dan sering menggunakan senjata tajam/api dan di dalam beberapa kasus juga dibantu oleh oknum-oknum TNI pasti akan menang, sehingga desa Kristen dihabisi. Orang Kristen sebagian melarikan diri ke hutan dan sebagian mati di tempat kejadian... Kejadian-kejadian seperti ini dan cerita-cerita para pengungsi dari Payahe, Gane Barat/Timur dan Weda tentu saja membuat suasana menjadi semakin panas di seluruh pulau Halmahera. Pada akhirnya setiap desa Kristen menyiapkan diri diserang dan juga desa campuran antara Kristen dan Muslim saling berjaga-jaga. Memasuki bulan Desember 1999 sudah beredar isyu di Kecamatan Tobelo dan Galela yang disebut 'Natal Berdarah'. Hal ini tentu menimbulkan kecemasan dan ketegangan khususnya bagi masyarakat Kristen. Di Tobelo kami saksikan bahwa khususnya setelah adanya pengungsi-pengungsi Kristen dari selatan Halmahera yang datang ke wilayah-wilayah utara Halmahera dengan pengalaman-pengalaman pahit yang mereka ceritakan, membuat suasana semakin panas. Kekerasan dan kekejaman tentu akan melahirkan kekerasan dan kekejaman yang lebih sadis, dan inilah yang telah terjadi. 7. Perang yang bernuansa SARA di Kecamatan Tobelo dan Kecamatan Galela Tiba-tiba seluruh penduduk Tobelo memakai entah ikat kepala merah (Kristen) atau ikat kepala putih (Islam). Nampaknya di pihak 'putih' telah disiapkan senjata (entah untuk membela diri, karena mayoritas orang Tobelo orang Kristen, atau untuk menyerang), tetapi jelas ada persiapan di dalam masjid sehingga setelah ada seruan 'Allahhu Akbar' dari masjid mereka menyerang rumah-rumah orang Kristen, sehingga pada malam itu Tobelo-kota praktis dikuasai orang-orang Islam, rumah-rumah milik orang Kristen dan toko-toko milik orang Tionghoa dibakar, sedangkan orang-orang Kristen mengungsi ke desa-desa di selatan Tobelo-kota. Baru pada siang hari berikut 'pasukan merah' dari Selatan dapat menembus di Tobelo oleh karena mereka dihalangi oleh aparat keamanan di Wosia (Selatan dari kota Tobelo) dan bisa mengamankan khususnya gereja Gosoma, di mana banyak orang di dalamnya mencari perlindungan. Pada tgl. 28 Desember 1999 kota Tobelo dapat dikuasai 'pasukan merah', sebagian orang Islam melarikan diri ke Masjid Raya Tobelo, dari sana mereka dievakuasi oleh militer dan dibawa ke Kompi Senapan C. 732. Berita bahwa Masjid Raya Tobelo diserang dengan seluruh orang di dalamnya, tidak benar. Tanggal 27 Desember 1999 orang-orang Islam di desa Gorua melakukan pembakaran
gereja di desa tersebut (Gereja GMIH Petrus Gorua) yang kemudian menyebabkan
kemarahan penduduk Kristen, dan pada hari itu terjadi perang besar antara pemeluk
agama yang menyebabkan banyak korban tewas. Sesuai berita, Masjid di Gorua
juga dihancurkan dan banyak warga Islam di sana dibantai. Gereja Betania GMIH di
Mede (tetangga desa Gorua) dibakar oleh 'pasukan putih', dan setelah penyerangan
besar-besaran oleh 'pasukan merah' semua penduduk Islam dari desa-desa Gorua,
Popilo, Mede dan Luari mengungsi ke Galela (Soasio) dan ke pulau Tolonuo di depan
desa Gorua. Ketika situasi di Tobelo sudah dirasa tidak aman untuk orang Islam, pendeta di desa Gamhoku membuat perjanjian dengan imam di desa tersebut untuk mengundang semua orang Islam Gamhoku masuk ke dalam gereja supaya tidak diserang oleh orang-orang Kristen dari desa-desa lain. Ketika semua orang Islam sudah berada di dalam gereja, tiba-tiba ada seorang Islam desa tetangga (Upa) lari karena dikejar orang-orang Kristen, setelah ia memotong tangan dari seorang Kristen di dalam satu pertikaian. Ia lari ke desa Gamhoku dan masuk ke dalam gereja. Massa Kristen menuntut orang tersebut dikeluarkan dari gereja, tetapi dia tetap
dilindungi di dalam gereja. Pendeta Gamhoku berusaha bernegosiasi dengan massa
Kristen, tetapi setelah 2,5 jam situasi tidak dapat dikendalikan lagi, sehingga
terjadilah penyerangan orang-orang Kristen ke dalam gereja di mana orang Islam
berlindung. Pada akhirnya orang-orang Islam di dalam gereja melarikan diri ke hutan,
ke rumah-rumah penduduk Kristen yang masih ada hubungan keluarga dan sebagian
yang tidak sempat menyelamatkan diri terbunuh. 8. Perang yang bernuansa SARA di Kecamatan Sahu, Jailolo, Wasilei, dll. Gelombang pengungsian terus-menerus terjadi, orang-orang Kristen mengungsi ke Bitung/Manado-Sulawesi Utara (menurut laporan Pemda 17.941 orang) dan ke Kecamatan Tobelo (menurut laporan GMIH, tgl. 12 Februari 2000: 16.300 orang ) dan Kao (24.500 orang), sedangkan orang-orang Islam mengungsi ke Ternate (50.000 orang), Gorontalo, dan Makassar. Hal ini lagi-lagi menimbulkan kenaikan 'suhu' pada daerah-daerah pengungsian dan juga kesulitan mencukupi kebutuhan pangan para pengungsi tersebut. Received via e-mail from : Tali_Hulaleng
|