|
|
From: made bagus <pravda20@yahoo.com> TELAH LAHIR JOKI BARU ATAU SANG JOKI SEDANG GANTI MODEL BAJUNYA DENGAN MENJADIKAN ISLAM TETAP KUDA TUNGGANGANNYA Berdasarkan berita TVRI tanggal 26/03/2001 pukul 3.00 WIB Siang, dan SCTV pukul 12.00 WIB siang, diberitakan bahwa di Istora Senayan telah diikrarkan pembentukan majelis Mujahidin oleh sejumlah orang yang menamakan dirinya tokoh Islam. Tampak hadir fungsionaris PBB Ahmad Sumargono, Ketua Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia Egy Sudjana, dan Ketua Front Pembela Islam Habib Rizieq, Ketua Dewan Syuro Majelis Mujahdiri Abu Bakar Baasir. Isu mereka bertekad mensosialisasikan dan menjadikan syariat Islam sebagai bagian dari konstitusi negara. Mereka yakin hanya syariat Islamlah krisis multi dimensi yang sedang dialami Indonesia saat ini dapat diselesaikan. Mendengar berita di atas, saya hanya tertawa ngakak besar. Dalam batok kepala saya muncul konklusi, kini telah lahir joki (penunggang kuda) baru, atau para joki Islam ini sedang mengganti mode bajunya dengan tetap kuda tunggangannya adalah Islam. Saya katakan telah lahir joki (penunggang kuda) baru, atau para joki Islam ini sedang mengganti mode bajunya dengan kuda tunggangannya tetap Islam, dengan pertanyaan dalam batok kelapa saya, apa memang benar syariat Islamlah satu-satunya yang dapat menyelesaikan krisis multi dimensi yang sedang dialami Indonesia saat ini???. Apa bukan sebaliknya. Melalui semangat hijrah sang joki, bangsa Indonesia akan dihijrahkan dari persatuan kepada perpecahan? Pelaksanaan syariat Islam di Indonesia justru akan melahirkan krisis multi dimensi yang lebih berat. Beberapa wilayah di Indonesia, baik dalam tingkatan propinsi maupun kotamadya dan kabupaten, yang tidak didominasi muslim atau yang berimbang antara Muslim dan non Muslim, tidak akan mendukung penegakkan pelaksanaan syariat Islam ini. Bahkan beberapa bisa, melepaskan diri dari negara kesatuan Indonesia. Dalam konteks ini pelaksanaan syariat Islam justru melahirkan krisis baru. Dalam konteks ini semangat hijrah sang joki, bangsa Indonesia dihijrahkan dari persatuan kepada perpecahan. Maka dalam dalam konteks ini, keinginan Mujahidin untuk melaksanakan syariat Islam untuk menyelesaikan krisis multi dimensi yang sedang dialami Indonesia saat ini, selain lebih besar omong kosongnya, justru lebih besar bahayanya bagi keutuhan bangsa. Fakta Yang Selalu Dikaburkan. Ada satu fakta yang selalu dikaburkan oleh mereka yang senang memperkuda agama sebagai alat tunggangannya yaitu menggelapkan kasus banyaknya terjadi konflik antar umat beragama di dunia ini. Kutipan dari tulisan Nurcholish Madjid yang berjudul === Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang === dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an. Nomor I, Vol IV pada tahun 1993, halaman 7-8) perlu kita renungkan bersama demi kepentingan kita bersama di Indonesia ini. Nurcholish Madjid menulis tentang sengketa yang bersumber dari konflik agama, menurutnya peta dunia sekarang sedang ditandai oleh konflik-konflik dengan warna keagamaan. Meskipun agama bukanlah satu-satunya faktor, namun jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan dalam konflik-konflik itu dan dalam eskalasinya sangat banyak memainkan peranan. Di ujung paling utara, di Irlandia ialah pertentangan tidak berkesudahan antara kaum Katolik dan kaum Protestan. Dan di tengah-tengah Eropah, sekitar Perancis dan Jerman, sedang terjadi konflik-konflik yang malu-malu disebut bersifat keagamaan (karena akan menodai "liberalisme" mereka (dan terbungkus rasialisme atau kepentingan ekonomi terhadap para pekerja asing yang kebanyakan beragama Islam. Sedikit ke selatan, dan masih dalam wilayah Eropah, kita mendapati bentuk paling baru konflik dengan banyak warna keagamaan yaitu di Bosnis-Herzegovina. Kemudian di Cyprus, betapun juga pertentangan antara mereka yang keturunan Turki dan yang keturunan Yunani tetap sedikit banyak diwarnai oleh sentimen keagamaan. Konflik-konflik di Palestina khususnya Timur Dekat umumnya yang melibatkan kaum Yahudi, Muslim dan Kristen, dengan faksi masing-masing yang cukup membingungkan, hampir merupakan anomali bagi sebuah tempat buaian peradapan manusia yang paling berpengaruh, dan jelas anakronistik bahwa kaum Yahudi hendak mendirikan negara agama di zaman moderen atas bantuan negara moderen. Dan di Afrika Hitam pun konflik-konflik dengan warna keagamaan juga tidak mudah disembunyikan. Di Sudan ada konflik antara Islam yang "Arab" di sebelah Utara dan Kristen yang "Negro" di sebelah Selatan. Belum lagi konflik- konflik karena rasialisme dan paham apartheid, yang juga mengundang keterlibatan berbagai tokoh keagamaan (Kristen). Negeri-negeri Timur Tengah yang lain, juga diramaikan oleh konflik-konflik dengan warna keagamaan, sebagian daripadanya sungguh dramatis. Tidak saja konflik antara Irak dan Iran merupakan konflik antara pemerintah yang berturut-turut didominasi oleh Islam Sunni dan Islam Syi’i, bahkan juga masing-masing pihak dengan jelas menggunakan simbol-simbol keagamaan, seperti heroisme Q’adisiyyah dari pihak Irak dan jihad melawan thaghut (tiran) yang jelas ateis dari pihak Iran. Perang teluk yang dahsyat itu secara resmi terhindar dari pewarnaan keagamaan, namun tidak luput terjadi persepsi populer yang aneh di sementara kalangan bahwa perang itu adalah perang antara Islam (Irak) melawan kekafiran (Kuwait, Saudi, Syria, Mesir, yang dibantu negeri- negeri Barat khususnya Amerika)!. Dan jika kita teruskan ke Timur, kita melewati Afghanistan yang masih dalam kemelut konflik-konflik politik dengan tema perebutan keabsahan menurut jenis penganut keagamaan (Islam) mereka. Anak Benua sekitarnya juga meriah dengan percekcokan keagamaan: Islam Sunnah lawan Islam Syi’ah di Pakistan, Hindu lawan Islam di India, Hindu lawan Budhisme (dan Islam) di Srilangka, dan Budhisme lawan Islam di Burma dan Thailand. Di Filipina kita sudah lama mengetahui adanya konflik yang berlarut-larut antara Katolik dan Islam. Di tempat-tempat lain, konflik keagamaan itu jelas selalu merupakan potensi yang syukurlah belum, tidak atau malah tidak akan terbuka. Walaupun tulisannya itu ditulis tahun 1993 yang lalu, kondisi konflik yang bersumber dari agama ini tetap tidak berubah sampai saat ini. Bahkan di Indonesia menjadi-jadi. Di Maluku, Poso, bahkan oleh harian republik terbitan Sabtu, 24 Februari 2001, kasus Sampit, mau diarahkan menjadi rusuh yang mengarah ke sentimen agama yaitu ingin menggiring opini masyarakat pembacanya seolah-olah rusuh Sampit berselubung rusuh agama. Himbauan Kepada Wilayah-Wilayah di Luar Jawa Salah satu program kerja Majelis Mujahidin ini dalam waktu dekat adalah dengan mendirikan cabang-cabangnya di luar Jawa. Dalam kaitan otonomi daerah, kepada daerah-daerah diharapkan hati-hati menerima kehadiran cabang majelis Mujahidin ini. Bila perlu ditolak saja pembukaan cabangnya, dengan alasan sudah banyak berdiri organisasi yang bermerek Islam. Sebab, jangan-jangan setelah mereka membentuk cabangnya, justru melahirkan masalah baru, memperkeruh suasana yang menjurus kepada ketegangan antar umat beragama di wilayah dimana organisasi ini membuka cabangnya. Pemda, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama yang masih mencintai negara ini, harus tegas menilai organisasi Mujahidin ini. Limbah orang-orang Jakarta ini sarat dengan virus disintegrasi, ya disintegrasi kerukunan masyarakat dari agama yang berbeda, disintegrasi etnis, terutama etnis-etnis yang dalam masyarakatnya ada pengikut Islam, Kristen, atau Islam, Kristen, Hindu. Dalam kondisi bangsa Indonesia yang sedang mengalami eforia disintegrasi bangsa ini, seharusnya organisasi-organisasi yang bersifat kebangsaanlah yang perlu banyak ditumbuh kembangkan, bukan organisasi-organisasi yang memecah belah masyarakat, apakah itu berdasarkan agama, suku, atau afiliasi politik yang tidak jelas kebangsaannya. Kalau ini tidak dilakukan, maka apa yang ditakutkan, hancurnya bangsa Indonesia, akan menjadi nyata. Hancur bangsa, pradapan kita mundur kebelakang. Dalam konteks ini pula pembentukan organisasi Mujahidin Indonesia, perlu dicermati. Kita telah sama-sama tahu, sepak terjang FPI, Ahmad Sumargono, maupun Egy Sudjana, pendapat mereka hanya benar demi kepentingan mereka, namun salah dalam kerangka kebangsaan. Perhatikan saja, cuplikan tulisan Ahmad Sumargono yang pernah disiarkan harian Kompas pada tanggal 15 Juni 1999, dengan judul Isu Agama dan Sekulerisme Politik, Catatan untuk Denny JA. Diungkapkan Ahmad Sumargono, === Umat Islam Indonesia telah mengalami trauma yang panjang berhadapan dengan rezim Orde Lama dan Orde Baru. Di masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno menindas umat Islam, mendorong sekulerisme, dan membela PKI. Partai Masyumi dibubarkan, tokoh- tokohnya dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan. Selama hampir 30 tahun, Orde Baru juga melakukan hal yang sama. Tidak perlu disembunyikan, bahwa pada era 1970-an dan 1980-an, umat Islam tertindas dan dipinggirkan. === Apa memang benar demikian, umat Islam ditindas sejak republik ini berdiri? Presiden Indonesia dan wakil Presiden Indonesia hingga hari ini, semuanya beragama Islam. Para menteri Kabinet pun 90 % Islam. Dengan data di atas, jelas tidak benar islam dipinggirkan. Di titik mana Islam di pinggirkan sejak republik ini ada? Yang jelas kalau ada Islam yang dipinggirkan itu adalah islam yang tidak mendukung pemerintah yang berkuasa. Kenapa? Negara Indonesia ini berdasarkan kebangsaan dan bukan berdasarkan agama, bila ada Islam yang kurang menghargai kebangsaan dan mengharapkan negara berdasarkan agama (islam), sah-sah saja dipinggirkan. Dan kalau pun ada islam yang dipinggirkan yang meminggirkan islam juga adalah umat islam sendiri. Kenapa mesti umat Islam yang meminggirkan Islam diberi kesan mereka bukan Islam? Mereka juga kan Islam, tetapi bukan Islam politik, mereka adalah Islam budaya. Maka ada apa dibalik logika Ahmad Sumargono alias Gogon di atas? Kenapa mesti dia mengatakan selama rezim Orde Lama dan Orde Baru, Islam dipinggirkan?. Yang jelas kalau pahamnya tidak bersifat nasionalisme, akan tetap dipinggirkan. Kenapa? Karena negara ini dibangun atas paham nasionalisme. Betapa konyol dan biasnya logika Ahmad Sumargono di atas. Jelas sekali Ahmad Sumargono menjadikan Islam kuda tunggangan politiknya, dengan mengatakan Islam dipinggirkan sejak orde lama dan ordebaru, dengan tujuan agar semua umat Islam Indonesia mendukungnya. Hal yang tidak akan pernah terwujud hingga dunia ini kiamat. Karena apa? karena logika di atas bertentangan dengan hukum alam. Demikianlah gaya Gogon memanipulasi isu Islam untuk kepentingan pribadinya. Dia memanipulasi Islam untuk demi kepentingan dirinya. Soal Laskar FPI sudah sama-sama kita ketahui perilakunya yang suka menutup tempat-tempat hiburan secara paksa atas nama Islam dengan dalih sebagai tempat maksiat. Padahal penutupan secara paksa jelas-jelas melanggar hak asasi manusia dalam hal mendapatkan pekerjaan. Apalagi negara Indonesia bukan negara agama (Islam), tidak ada hak siapapun memaksakan kehendaknya atas nama agama. Perilaku FPI ini jelas lebih kejam dari Tuhan. Tuhan saja tidak sekejam itu kepada manusia. Islam ditangan FPI ini, bukan Islam menyembah Tuhan tetapi Islam menyembah ajaran. Kalau islam menyembah Tuhan selalu mengedepan otaknya, mengedepankan nilai kemanusiaan dalam melakukan aktivitasnya. Mereka ini selalu mengutamakan pendekatan secara persuasif, tanpa memaksakan kehendaknya. Mereka ini berpikiran: soal dosa atau tidak berdosa, soal haram atau tidak haram, itu urusan individu masing-masing. Rambu-rambu menurut agama diberitahukan. Kehidupan keagamaannya tidak demonstratif, baik dalam ucapan, tindakan, cara berpakaian dan sebagainya. Sedangkan Islam menyembah ajaran adalah sebaliknya, kehidupan keagamaanya sangat demonstratif, baik dalam ucapan, tindakan, cara berpakaian. Bila sembahyang sangat taat kepada waktu. Namun dalam hatinya, semangat kebangsaannya tidak jelas, memaksakan kehendaknya, memaksakan kebenaran berdasarkan persepsinya yang dibalut atas nama Tuhan. Maka mereka ini lebih mengedepankan OTOT- nya. Otaknya nomor sekian. Rasa kemanusiaannya hanya terhadap seagamanya. Itu pun kalau orang yang seagamanya itu mau mengikuti kehendak mereka. Kalau Islam menyembah Tuhan, jungkirbalik pun seseorang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agamanya, tidak akan dipusingkan, baginya Tuhan telah mengatur semuanya, semuanya berjalan sesuai dengan perannya yang telah ditentukan Tuhan sendiri, dan Tuhan akan mencatat dan menghukum perilaku dari manusia yang menyimpang tersebut dikemudian hari. Maka sebagai manusia, dia tidak perlu repot-repot mengurusi secara paksa perilaku manusia yang menyimpang atas nama Tuhan (kecuali berdasarkan hukum yang dibuat manusia). Sedangkan Islam menyembah ajaran, adalah sebaliknya karena ketidakmampuannya membina umatnya, pengikutnya, orang lain yang disalahkan. Alasannya menutup paksa tempat-tempat hiburan selama seperti bulan puasa, beberapa waktu dahulu yang katanya untuk menghormati bulan puasa, sebenarnya bukanlah untuk menghormati bulan puasa, tetapi untuk mengotori, mencemari bulan puasa tersebut atas nama Tuhan, mengkerdilkan Keesaan Tuhan itu sendiri. Kan menjadi lucu, Tuhan koq takut kepada maksiat, koq takut kepada hiburan malam, koq takut kepada judi, koq takut kepada miras, sampai koq takut kepada PKI. Katanya Tuhan itu MAHA, MAHA penyayang, MAHA pengasih, Yang MAHA mengetahui, Yang MAHA ESA, kalau demikian dimana letak MAHA, kalau Tuhan takut kepada tempat-tempat hiburan, takut kepada maksiat, judi, miras, sampai kepada PKI?. Disinilah konyolnya dasar logika FPI tersebut. Tuhan diadunya dengan restunya sendiri. Adanya maksiat, hiburan malam, judi, miras, sampai kepada PKI, itu ada karena restu Tuhan sendiri. Sebab kalau tidak ada restu Tuhan terhadap tempat maksiat, hiburan malam, judi, miras, sampai kepada PKI, budaya seperti ini tidak akan diijinkan Tuhan ada. Dan Tuhan sendiri tidak memerlukan tangan-tangan orang seperti FPI untuk memberantas semua itu, cukup dibuatnya lokasi yang bermasalah tersebut terbakar, apakah itu melalui korseleting listrik, atau petir yang datang tiba- tiba, atau membuat pelakunya mati secara mendadak, atau membuat gempa sehingga lokasi-lokasi yang tidak direstuinya itu hancur. Inikan tidak terjadi, justru tangan-tangan FPI yang datang atas nama Islam yang menghancurkannya. Memangnya Tuhan pernah bicara dan mengamanahkan kepada FPI untuk merusak dan menyakiti manusia ciptaan Tuhan yang lain? Disinilah konyolnya logika FPI tersebut. Inilah yang dilakukan FPI atas nama Islam. Maka FPI itu sebenarnya beribadah bukan kepada Tuhan, tetapi kepada ajaran. Ajaranlah yang mereka sembah, bukan Tuhan. Dikatakan dia menyembah ajaran, kepatuhannya beribadah bukan kepada Tuhan, tetapi kepada ajaran yang diyakini kelompoknya. Sholat setiap waktu, pasti tidak pernah tinggal (komplet), atribut keislaman, seperti pakaian, tutup kepala (komplet) dan tidak pernah lepas dari tubuhnya, namun yaitu tadi, perilaku dan perbuatannya tidak karu-karuan. Hal ini karena mereka menyembah ajaran, mereka melaksanakan ajaran Islam bukan untuk beribadah kepada Tuhan, tetapi beribadah ajaran yang diyakininya sendiri, inilah kalau ibadah mereka tidak mereka imani secara manusiawi, namun mereka imani secara kelompok. Kesimpulannya FPI mengajarkan menyembah ajaran agama bukan Tuhan. Kalau mereka menyembah Tuhan mereka akan meletakkan otaknya di kepala, tidak akan mempermasalahkan misalnya buka tutupnya tempat-tempat hiburan, tempat-tempat judi, miras dan sebagainya. Keberadaan semua ini di dunia ini adalah restu Tuhan. Kalau Tuhan tidak merestuinya, tidak akan ada. Maka masalah di atas, tidak perlu lagi dipersoalkan dari sisi agama. Biarkan aparat terkait yang menanganinya. Namun bagi mereka para sipenyembah ajaran yang meletakkan otaknya di dengkul atau dipantatnya, justru mempermasalahkannya, atas nama Tuhan. Keberadaan Tuhan mereka manipulasi demi kepentingan mereka atas nama agama yang mereka anut. Mereka selalu berpatokan tindakan mereka yang merusak, menjarah bahkan melukai orang lain sangat Islami. Disinilah letak pemanipulasian, keberadaan Tuhan Yang Maha Penyayang, Maha Pengasih, Maha Mengetahui tersebut. Ke MAHA-AN Tuhan mereka manipulasi menjadi alat untuk melampiaskan kegagalannya, kejengkelannya, kebenciannya kepada orang lain atas nama Tuhan. Nama Tuhan dicatut untuk kepentingan pribadinya, golongannya, aspirasi politiknya. Seolah-olah apa yang mereka kerjakan tersebut, diridhoi Tuhan. Dalam pandangan mereka rupanya Tuhan itu menjadi pendendam bagi ciptaannya sendiri. Makanya di tangan Islam garis otot ini, Tuhan itu sebenarnya telah mati. Kembali ke isu majelis Mujahidin di atas, yang ingin menegakkan syariat Islam sebagai upaya atau jawaban yang dapat menyelesaikan krisis multi dimensi yang sedang dialami Indonesia saat ini, apa memang bisa? Apakah dengan tegaknya syariat Islam dapat menyelesaikan krisis multi dimensi bangsa Indonesia? Kalau ada yang mengatakan bisa, saya jawab omong besar! Sekali lagi omong kosong. Selagi dunia ini masih tegak, yang namanya penegakkan syariat Islam, syariat Kristen, syariat Hindu, syariat Budha, syariat kepercayaan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Konsep ideal masyarakat seperti yang tertulis dalam kitab-kitab suci tidak akan pernah bisa ditegakkan, sampai dunia ini kiamat. Selagi manusia itu masih makan dan mengeluarkan ampas dari tubuhnya, entah itu yang namanya keringat, kotoran, air besar, taik dan entah apa lagi namanya, konsep ideal masyarakat seperti yang tertulis dalam kitab- kitab suci tidak akan pernah bisa diwujudkan. Maka jangan bermimpilah, apalagi ingin menciptakan kondisi hidup di dunia seperti konsep ideal yang tertulis dalam kitab-kitab suci. Hentikanlah mimpi itu, hentikanlah menjual-jual nama Tuhan. Biarkan masyarakat itu secara individu memilih apa yang dikehendakinya, tanpa melalui paksaan. Krisis multi dimensi yang sedang dialami Indonesia saat ini, hanya dapat diselesaikan dengan semangat kebangsaan (bukan kebangsaan yang sempit lho!). Semua lapisan masyarakat turut serta mengendalikan nafsu keinginan berkuasa, nafsu mencari-cari kesalahan orang lain, nafsu membodoh-bodohi rakyat. Anak-anak bangsa jangan berubah menjadi anak-anak bangsat, yang menggunting dalam lipatan kebangsaan. Permasalahan bangsa ini yaitu krisis multi dimensi, bukan hanya tanggungjawab Kabinet Gus Dur (Pemerintah) tetapi juga tanggungjawab semua lapisan bangsa ini, mulai dari ketua dan anggota MPR, DPR, media massa sampai kepada LSM-LSM terutama yang tidak jelas kebangsaannya. Kasus Aceh, Kalimantan Selatan (pertikaian Dayak Madura), Poso, Maluku, Papua, tidak fair hanya dibebankan kepada pemerintah. Kalau demikian ada apa dibalik dibentuknya majelis Mujahidin dengan isu ingin menegakkan syariat Islam di Indonesia? Jawabannya hanya satu, mereka sedang mengganti mode bajunya agar Islam tetap dapat dijadikan kuda tunggangan atau kenderaan politiknya. Pelaksanaan syariat Islam justru akan melahirkan krisis multi dimensi yang lebih berat. Beberapa wilayah di Indonesia ini, yang tidak mendukung penegakkan pelaksanaan syariat Islam ini, akan menggeliat, boleh jadi geliatnya arahnya melepaskan diri dari negara kesatuan Indonesia. Dalam konteks ini isu pelaksanaan syariat Islam bukan solusi terhadap krisis multi dimensi, tetapi justru melahirkan krisis baru. Pola pikir dengan menganggap syariat islam hanya satu-satunya alat untuk menyelesaikan krisis multi dimensi yang sedang dialami Indonesia saat ini, omong kosong saja, justru hijrah seperti ini merusak keutuhan bangsa Indonesia. Inilah virus yang ditabur majelis Mujahidin di atas. Semangat hijrah yang dianutnya semangat hijrah dari persatuan bangsa kepada perpecahan bangsa. SAINOI Received via email from: Masariku@yahoogroups.com |