The Cross
Under the Cross

English
Indonesian
Search
Archives
Photos
Pattimura
Maps
Ambon Info
Help Ambon
Statistics
Links
References
Referral

HTML pages
designed &
maintained by
Alifuru67

Copyright ©
1999/2000 -
1364283024
& 1367286044


Ambon Island 

 

AMBON Berdarah On-Line
About Us

 

 

  Ambon Island

  Ambon City

 

 

   Latupatti

  Want to Help?

Masariku Report 131
PERALIHAN AGAMA SECARA PAKSA SEBAGAI DAMPAK KERUSUHAN MALUKU
- By: Rev. Jacky Manuputty -
The Protestant Church in The Moluccas
Email : jmanuputty@yahoo.com

Dengan merebaknya kasus pemaksaan agama di desa-desa kristen Pulau Kesui dan Teor, Kecamatan Geser – Maluku Tengah, orang tiba-tiba disadarkan bahwa selama kerusuhan Maluku telah terjadi pelanggaran HAM pada salah satu hak dasar manusia yang paling hakiki. Kesadaran ini tidak dengan segera menghasilkan suatu tindakan penanggulangan yang konstruktif dan efektif. Lembaga-lembaga yang mestinya bertanggung jawab terhadap upaya penegakan HAM seketika menjadi bungkam, mengingat kasus seperti ini memiliki dimensi politis yang cukup tinggi dan bahkan sangat mudah dipolitisir untuk membangkitkan emosi masa demi pelanggengan konflik. Apa yang terjadi dalam kaitan dengan upaya penanggulangan masalah Kesui-Teor, menunjukan bahwa pemerintah sesungguhnya kehilangan format dan kendali didalam suatu tekanan mayoritas terhadap minoritas. Kasus ini dengan tiba-tiba dianggap selesai dengan dievakuasinya masyarakat Kristen Kesui-Teor keluar dari pemukiman asli mereka. Tidak ada satupun upaya lanjut berkaitan dengan penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM yang sangat hakiki ini. Dengan tegas Gubernur Maluku mengatakan bahwa kasus ini dianggap selesai. Bahkan sambil menyangkali pernyataan sebelumnya, gubernur menyatakan bahwa tidak terbukti adanya pemaksaan peralihan agama, yang ada adalah keterpaksaan. Komisi Nasional HAM yang mengirim anggotanya pada saat proses evakuasi tahap III berlangsung di Kesui-Teor, bahkan tak berani mengambil sikap yang pasti. Sementara secara terpisah mereka mengakui bahwa yang terjadi dalam kasus tersebut adalah pelanggaran HAM yang sangat mendasar. Demikian pula berbagai lembaga lainnya ternyata tak berani masuk dalam proses advokasi terhadap kasus yang satu ini. Sementara lebih kurang 1700 orang warga masyarakat yang terevakuasi berada dalam kondisi traumatis terhadap kekerasan yang mereka alami, tanpa adanya penanggulangan yang konstruktif terhadap keberadaan mereka di tempat pengungsian. Dalam kenyataannya mereka menjadi korban ganda dari berbagai proses kekerasan yang dialami. Termasuk kekerasan hukum yang tidak berpihak pada mereka.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh gereja-gereja yang berada di Maluku dalam kaitan dengan upaya penegakan hukum terhadap kasus ini. Bahkan para pendeta dari semua denominasi Protestan dan Katolik di Ambon secara demonstratif pernah mengadakan demonstrasi dalam bentuk prosesi ibadah di jalan raya, namun tidak ditanggapi oleh aparat penegak hukum yang berkompeten terhadap kasus ini. Kasus Kesui-Teor secara sistematis mulai dihilangkan dari kenangan masyarakat. Bahkan para korban hanya bisa merenung tanpa lagi menaruh banyak harapan terhadap kepastian penegakan hukum terhadap kasus yang mereka alami.

BUKAN HANYA KESUI DAN TEOR

Kasus peralihan agama secara pakasa yang sempat menjadi berita hangat di Maluku, ternyata bukan saja dialami oleh masyarakat Kristen Kesui-Teor. Jauh-jauh hari sebelumnya masyarakat Kristen di berbagai lokasi lainnya di Maluku dan Maluku utara telah mengalami hal yang sama. Beberapa desa Kristen di pesisir pantai Pulau Seram Timur misalnya, telah mengalami perlakuan serupa sejak awal januari 2000. Pada tanggal 03 Januari 2000 lebih kurang 09 desa Kristen di Kecamatan Werinama, pesisir Seram Timur diserang dan dihancurkan para perusuh, yang dibantu oleh aparat TNI dan POLRI yang bertugas di wilayah kematan tersebut. Penyerangan, penghancuran dan penguasaan wilayah ini mengakibatkan warga masyarakat mengevakuasi dirinya ke hutan dan pegunungan Seram. Ironisnya pengejaran terhadap mereka terus-menerus dilakukan, yang kemudian diikuti dengan proses pemaksaan peralihan agama. Berthy Leinussa misalnya, satu-satunya korban dari desa Liliama-Kecamatan Werinama yang kemudian lolos sampai ke ibukota kabupaten Maluku Tengah, menceritakan dengan terbuka bagaimana seluruh proses penghancuran dan pemaksaan peralihan agama yang mereka alami. Demikian pula cerita Pendeta Bas Katmael, dari jemaat GPM Lapela Kadelil yang mengalami penyerangan dan penghancuran pada hari dan tanggal yang sama. Pendeta yang saat ini telah berada di Tual-Maluku Tenggara, dengan terbuka menceritakan saat-saat penuh penderitaan ketika ia disiksa dan diintimidasi untuk berpindah agama oleh masyarakat Muslim dan aparat keamanan yang bertugas disana. Apa yang diceritakan pendeta Katmael, kemudian dibenarkan Berthy Leinussa yang menyaksikan langsung siksaan dan intimidasi yang dialami pendeta Katmael ketika mereka bertemu di lokasi penyanderaan mereka di desa Muslim Polin, Kecamatan Seram Timur. Dengan sangat jelas berthy menyaksikan bagaimana perlakuan aparat dari batalion infantri 611 bersama warga masyarakat desa Polin, yang mengurung Pendeta Katmael di ruang sekolah dan memerintahkan untuk tidak memberinya makan.

80 orang dari 300 orang warga desa Liliama yang ditemukan di hutan kemudian mengalami intimidasi untuk berpindah agama di Desa Muslim Polin, dibawah tekanan masyarakat setempat dan aparat keamanan yang bertugas disana. Hal yang sama dialami oleh lebih kurang 270 orang warga desa Lapela Kadelil, yang saat ini berada di Desa Islam Tunsai. Natan, warga desa Lapela Kadelil yang sempat lolos ke wilayah pengungsian masyarakat Kristen di Wahai, saat ini berada dalam kondisi traumatis terhadap peristiwa yang mereka alami. Lelaki yang tak lagi mampu bercerita banyak ini setiap saat selalu melakukan perjalanan ke wilayah kecamatan Wahai, dengan harapan bisa menemukan istri dan anak-anaknya, yang kemungkinan lolos dari desa Lapela Kadelil. Harapan yang sampai saat ini belum tercapai. Demikian pula dusun Kristen Perek di Seram Timur ternyata mengalami perlakuan serupa. Samjak Keliau 67 tahun, warga dusun Perek sampai saat ini berada dalam kondisi trauma di wilayah pengungsian Waipia – Pulau Seram. Ia menuturkan apa yang dialaminya bersama keluarga dan anggota masyarakat lainnya. Bahkan dengan struktur kalimat yang tidak teratur ia mengemukakan harapannya untuk bisa menemukan anak-anak dan istrinya yang tertinggal di desa-desa Muslim sekitar dusun Perek, dan dalam keyakinannya sudah diislamkan dengan paksa. Intimidasi dan paksaan serupa kemudian berlanjut pada warga masyarakat dari berbagai desa Kristen di pesisir Kecamatan Tehoru dan Werinama Seram Timur, yang tertinggal atau kemudian tertangkap oleh perusuh saat mereka berupaya melarikan diri masuk ke hutan. Tercatat dusun Kristen Sawol (40 0rang), warga Kristen di dusun Adabai (lebih kurang 50 orang), Dusun Kristen Balakeu (Lebih kurang 35 orang)serta beberapa dusun dan desa Kristen lainnya yang sampai saat ini keberadaan penduduk mereka tidak jelas (antara lain masyarakat Kristen di Dusun Budi Jaya, dusun Budi Mulia, dan dusun Kota Baru) , karena tak ditemukan di wilayah-wilayah pengungsian Kristen. Beberapa dusun yang disebutkan terakhir di atas secara administratif berada di bawah penguasaan Desa  Islam Atiahu

Selain warga kristen pada beberapa desa di kecamatan Tehoru dan Werinama, Seram Timur, maka perlakuan yang sama dialami pula oleh warga Kristen di kecamatan Bula – Seram Timur. Beberapa saksi mata yang sempat keluar dari kecamatan ini menuturkan bagaimana kondisi kekerasan dan intimidasi yang dialami mereka dalam peristiwa penyerangan dan pasca penyerangan di desa-desa mereka. Pendeta Rita Takaria dari jemaat desa Salas di kecamatan Bula misalnya menceritakan perlakuan yang dialaminya sehingga terusir bersama keluarganya dari jemaat Salas yang dilayaninya selama ini. Ia kemudian mencoba memperjuangkan proses evakuasi warga jemaat Salas selama berbulan-bulan, mengingat proses pemaksaan peralihan agama telah terjadi disana pada warga masyarakat yang belum sempat dievakuasi keluar dari sana. Lewat jalur formal ia mencoba menghubungi penguasa darurat sipil Maluku, namun sampai saat ini realisasi tindakan yang diharapkan, ternyata hanya sebatas janji-janji kosong. Ia menjadi semakin terpukul, ketika memperoleh informasi melalui telpon dari aparat kepolisian yang bertugas di kota Bula, maupun dari koleganya yang beragama Muslim disana, bahwa warga jemaatnya telah beralih agama dengan sukarela. Sementara ia sendiri sangat yakin bahwa tindakan itu dilakukan dibawah intimidasi dan paksaan, mengingat harapan-harapan untuk dievakuasi yang dikirimkan warga jemaatnya melalui surat-surat yang diseludupkan keluar dari Bula. Ia semakin kehilangan harapan saat ini, ketika para koleganya yang beragama Muslim disana tidak lagi mau melayani hubungan yang dilakukannya, sekedar untuk mengetahui kondisi warga jemaatnya yang masih terjebak disana. Keputusasaan yang sama dialami oleh Edy Tongke, warge Desa Dawang – Kecamatan Bula yang juga terusir keluar meninggalkan istri dan ketiga anaknya, sebelum desa Dawang diserang dan dihancurkan. Bersama Pendeta Rita Takaria, Edy berjuang melalui berbagai lembaga formal di kota Ambon dan Masohi, untuk dapat membebaskan keluarganya serta warga masyarakat Dawang yang saat ini telah bergabung bersama warga desa Salas serta warga desa Solan-Bonvia di daerah kota Bula dan sekitarnya. Hal ini dirasa tak gampang mengingat proses penyebaran paksa 625 orang warga Kristen dari ketiga desa itu, untuk tinggal secara terpisah pada berbagai desa Islam disekitarnya telah berlangsung lama. Edy bahkan berharap agar masalah ini tidak diekspose secara luas, bila tidak segera diikuti dengan tindakan penyelamatan mereka. Ia sangat mengkhawatirkan nasib mereka, bilamana akibat ekspose media, maka mereka akan mengalami tekanan dan bahkan mungkin kekerasan bila pemberitaan media menjadi polemik terbuka yang dapat dipolitisir oleh siapapun juga.

Masih di Pulau Seram, peristiwa penyerangan dan penghancuran di bulan januari 2001 terhadap wilayah Kristen di kota Wahai dan sekitarnya kecamatan Wahai Seram Utara, berdampak langsung pada proses islamisasi paksa yang dialami oleh beberapa keluarga Kristen yang terjebak disana. Laporan bagian intelejen Komando Distrik Militer 1502 Maluku Tengah tentang peristiwa konflik di kecamatan Wahai, dengan sangat jelas menggambarkan terjadinya proses pemaksaan peralihan agama disana.  Laporan tertanggal 26 Pebruari 2001 menggambarkan terjadinya proses islamisasi paksa, yang dilakukan di Pesantren Kori Uma terhadap beberapa keluarga Kristen asal Jawa yang sebelumnya menjadi transmigran di Seram. Penyunatan masal yang didalam kesaksian para korban dilakukan oleh bapak Jaini di Pesantren Kori Uma, menurut mereka dijalani secara terpaksa akibat intimidasi dan paksaan. Laporan yang dikirimkan langsung ke Kepala Seksi Intelejen KODIM 1502 ini, ternyata tak mengalami penanganan sampai saat ini.

Di pulau Buru kasus peralihan agama secara paksa ternyata terjadi di beberapa tempat yang berbeda. Ibu Maria Ertyani (60 tahun) warga desa Waitina menuturkan pengalamannya dimandikan disungai dan kemudian dibawa ke masjid bersama warga Kristen lainnya untuk diambil sumpahnya. Selanjutnya masing-masing mereka disuruh mengumpulkan uang sebanyak Rp. 15 000 untuk keperluan pemotretan dan membeli kerudung bagi wanita. Beruntung bahwa ia dapat diselamatkan kemudian oleh cucunya yang datang menjemputnya. Tercatat beberrapa warga transmigrasi asal Kristen Jawa yang berpindah agama secara paksa di desa waitina. Mereka antara lain; Koulan, toro, Joses, Dugon, Pripto, Udin, Sokran Harno, dan lain-lain. Stevanus watlitir (40 tahun) warga waitina lainnya, menjelaskan bahwa ia memperoleh informasi dari bapak Wahidi (ketua pemuda desa Waitina yang beragama Muslim) bahwa 75 keluarga Protestan sudah dipaksa masuk Islam supaya mereka selamat.

Peristiwa penyerangan terhadap desa dan masyarakat kristen di Buru Utara pada bulan Desember 1999 mengakibatkan beberapa warga Kristen di desa Wailou – kecamatan Buru Utara juga beralih agama menjadi Islam dibawah ancaman dan teror. Yoseph Sutrisno (30 tahun) menggambarkan bagaimana caranya ia bersama warga kristen di desa wailou melarikan diri ke hutan dan pegunungan, akibat paksaan untuk berpindah agama menjadi Muslim. Sekalipun demikian beberapa diantara mereka yang terjebak, akhirnya menyerah untuk beralih agama menjadi Muslim bersama seluruh keluarga mereka. Antara lain; bapak Jari, bapak Warisi, bapak Nyoto, beserta seluruh keluarga mereka. 

Selain Seram dan Buru, maka kasus peralihan agama secara paksa juga terjadi pada desa-desa Kristen di kepulauan Bacan – Maluku Utara. Desa Kristen Lata-Lata yang diserang pada tanggal 05 Januari 2000 merupakan contoh tragis proses peralihan agama secara paksa di kepulauan Bacan-Maluku Utara. Jumlah warga sebanyak lebih kurang 1200 orang mengalami proses paksa islamisasi akibat tak adanya jalan keluar bagi mereka untuk melarikan diri. Jumlah mayoritas desa-desa Muslim disekitarnya secara psikologis sudah menjadi instrument pemaksa, selain intimidasi dan paksaan fisik yang mereka alami. Bahkan dalam kaitan ini Pendeta Yusuf Pattiasina dibantai dengan sangat keji oleh perusuh Muslim, yang menyerang dan menawan seluruh warga Kristen di desa Lata-Lata. Menyaksikan pembantaian yang dialami oleh ayahnya, anak perempuan dari pendeta Pattiasina sampai saat ini berada dalam kondisi sangat traumatis, dan cenderung memilih menghindar untuk berbicara dengan orang yang tidak dikenalinya. Beberapa warga desa Lata-Lata yang meloloskan diri setahun kemudian setelah proses Islamisasi, menceritakan bagaimana proses penyunatan masal yang dialami mereka, dihadapan aparat keamanan dari batalion 511 Brawijaya. Pasca penyunatan masal, pasangan-pasangan yang telah menikah dinikahkan ulang secara islami. Selanjutnya mereka diwajibkan untuk mempelajari ajaran-ajaran agama Islam secara kontinu, oleh para ustad Muslim yang didatangkan secara bergantian dari ibukota kecamatan. Menurut informasi ketiga korban yang lolos ke Ambon, saat ini masyarakat Kristen di Lata-Lata sedang dipaksa untuk membangun sebuah masjid sebagai tempat peribadahan mereka. Sekalipun demikian secara rutin mereka melakukan ibadah secara kristiani sambil bersembunyi di hutan-hutan dibelakang desa mereka yang telah dihancurkan. Masyarakat Lata-Lata yang mulanya berasal dari daratan Halmahera ini, sangat berharap supaya mereka dapat dievakuasi keluar dari Lata-Lata, dan kembali ke wilayah asal mereka di Pulau Halmahera. Selain Lata-Lata maka dusun Waringin di dekat desa Lata-Lata juga mengalami hal yang sama. Dusun kecil dengan jumlah jiwa sekitar 45 orang ini mengalami pengahancuran, yang kemudian diikuti dengan proses islamisasi secara paksa. Selain desa Lata-Lata yang secara pasti telah diketahui mengalami proses peralihan agama secara paksa, maka saat ini kami masih mencoba mendata berbagai wilayah lain di kepulauan Bacan, maupun daratan Pulau Halmahera yang sangat besar kemungkinan mengalami hal serupa. Antara lain seperti warga jemaat Kristen di desa Jibubu, Desa Gane, dan beberapa lainnya.

SIKAP DAN PENANGANAN PEMERINTAH

Penanganan Kasus Islamisasi paksa di pulau Kesui dan Teor memberi pengalaman betapa terlambatnya pemerintah menyikapi masalah ini. Sejak Kasus Kesui – Teor dipublikasi secara luas, dan berdampak pada tekanan international barulah pemerintah mengambil sikap yang pasti untuk mengevakuasi mereka keluar dari kedua pulau tersebut. Hal ini tentunya bukan tanpa upaya advokasi secara keras, yang dilakukan oleh berbagai jaringan gereja dan lembaga kemasyarakatan lainnya. Berulangkali pihak pengusa darurat sipil daerah Maluku telah dihubungi untuk menyelesaikan permasalahan ini. Bahkan para korban yang sempat dievakuasi telah dibawa untuk bertemu dengan gubernur dan staf darurat sipil. Anggota Komisi Nasional HAM sendiri telah diturunkan untuk melakukan investigasi sebelumnya di Kesui & Teor, yang membuahkan laporan pembenaran terjadinya proses perpindahan agama secara paksa. Namun penanganan tuntas kasus tersebut rupanya terbentur pada tekanan mayoritas umat Muslim, yang membuat penguasa darurat sipil harus bekerja dengan ekstra hati-hati dalam proses penyelesaian kasus ini. Kondisi masyarakat Kristen di kedua pulau ini sendiri saat itu berada dalam keadaan yang sangat sulit, mengingat mereka telah disebarkan pada berbagai desa Muslim di pulau Kesui dan Teor. Bahkan sampai  ke pulau Geser, dengan alasan mereka perlu memperoleh pengajaran tentang ajaran Muslim. Barulah setelah pemberitaaan kasus ini memperoleh tanggapan jaringan international secara luas, pemerintah mulai membentuk tim evakuasi Kesui-Teor. Proses evakuasi yang direncanakan ternyata mengalami tarik ulur diantara beberapa instrumen darurat sipil Maluku. KAPOLDA Maluku yang semula telah mempersiapkan regu pengamanan dari BRIMOB, beserta dengan tim penyidik dari POLDA Maluku ternyata membatalkan keberangkatan mereka beberapa jam sebelum tim evakuasi berangkat ke Pulau Kesui dan Teor. Kenyataan ini mengakibatkan tidak terjadinya penyidikan standard terhadap kasus islamisasi Kesui-teor, yang harus dilakukan oleh pihak kepolisian demi kebutuhan proses penegakan hukum. Dengan selesainya proses evakuasi terhadap warga Kesui-Teor, pemerintah daerah Maluku lalu menyatakan bahwa kasus tersebut dianggap selesai. Dalam  penjelasannya di media cetak dan elektronik gubernur Maluku menyatakan bahwa hanya beberapa orang yang dipaksa berpindah agama disana. Selebihnya melakukan hal itu karena “TERPAKSA” dan bukan “DIPAKSA”. Proses hukum terhadap kasus Kesui-Teor dengan demikian tidak ditindak lanjuti sampai saat ini. Semua lembaga yang bertanggung jawab terhadap masalah ini lebih memilih sikap diam.

Sikap yang diambil penguasa darurat sipil terhadap kasus Kesui-Teor ternyata tak berbeda dengan sikap mereka terhadap berbagai kasus yang sama di wilayah lainnya. Terhadap kasus yang sama di desa Salas misalnya, ibu wakil gubernur sebagai wakil penguasa darurat sipil di maluku telah mengeluarkan rekomendasi evakuasi terhadap warga desa Salas sejak Agustus 2000. Namun rekomendasi tersebut tak ditindak lanjuti, sehingga warga desa Salas dan beberapa desa kristen lainnya masih tetap terjebak disana dan telah mengalami proses islamisasi paksa.  Upaya formal yang kami lakukan untuk membebaskan mereka tertumbuk dengan kendali birokrat pemerintahan yang cukup ruwet. Panglima KODAM Pattimura yang telah dihubungi dalam kaitan dengan kasus Salas misalnya, telah menyatakan kesiapan mereka untuk melakukan pengamanan proses evakuasi. Masalahnya mereka menunggu rekomendasi ulang dari gubernur sebagai penguasa darurat sipil. Ironisnya rekomendasi itu tak kunjung tiba. Sementara masyarakat desa salas telah disebarkan untuk tinggal di berbagai wilayah pemukiman Muslim di kota Bula dan sekitarnya. Aparat keamanan yang bertugas di Bula dan diharapkan dapat melindungi mereka, dalam pernyataannya melalui telpon bahkan menegaskan bahwa mereka telah beralih menjadi Muslim dan tinggal di desa-desa muslim. Sikap aparat keamanan bukan saja menunjukan indikasi lemahnya manejemen pengamanan, tetapi juga secara transparan menunjukan keterlibatan militer dan polisi dalam proses islamisasi paksa. Kesaksian Berthy Leinussa tentang tindakan kasar aparat Yonif 611 bagi mereka yang tak mau mengikuti pelajaran pengajian di desa muslim Polin, dengan sangat jelas membuktikan betapa jauhnya keterlibatan aparat keamanan dalam proses pelanggaran HAM di Maluku.

Apa yang terjadi di desa Lata-Lata Maluku Utara semakin membuktikan kelemahan pemerintah dan aparat keamanan untuk memberikan jaminan rasa aman bagi para korban, terutama yang berkaitan dengan hak-hak dasar mereka sebagai manusia. Proses islamisasi paksa yang terjadi di Lata-Lata di dalam pengawasan aparat militer dari batalion 511 Brawijaya, membuktikan bahwa pemerintah dan aparat keamanan bukan saja memberi ruang bagi berlangsungnya proses itu, tetapi juga turut terlibat secara aktif dalam kegiatan dimaksud. Pola pengamanan serta mekanisme pertanggung jawaban pemerintah yang impoten tersebut, pada gilirannya mengakibatkan terjadinya rekonstruksi sosial bagi masyarakat yang berpindah agama secara paksa, dan masih tetap terjebak di wilayah-wilayah Muslim sampai saat ini. Sikap pemerintah daerah yang serba tidak pasti untuk menyikapi kasus ini, ternyata tak berbeda  dengan siikap serupa yang ditunjukan pemerintah pusat di Jakarta. Percakapan terakhir kami dengan presiden Gus Dur di istana negara 3 minggu yang lalu, memberi gambaran betapa presidenpun mengalami kesulitan untuk menentukan sikapnya yang pasti terhadap upaya penyelesaian konflik Maluku. Upaya penegakan hukum yang menjadi tuntutan kelompok islam dan kristen maluku yang hadir dalam pertemuan dengannya, ternyata dimandulkan oleh sikap para pembantu Gus Dur sendiri yang menurutnya tidak loyal terhadapnya. Yuzril Mahendra mantan menteri kehakiman beserta Marzuki Darusman pernah diminta oleh Gus Dur untuk membuat draft penegakan hukum sekembalinya mereka dari perkunjungannya di Ambon dan sekitarnya. Namun sampai saat ini mereka tak pernah mempersiapkannya bagi Gus Dur. Sambil bercanda Gus Dur malah menekankan bahwa Marszuki lebih takut kepada Akbar Tanjung. Bahkan dengan tegas Gus Dur meminta supaya semua surat kami kepadanya jangan lagi dialamatkan ke istana negara, melainkan ke jalan irian (rumah peristirahatan milik teman Gus Dur). Setidaknya penegasan ini merupakan indikasi bahwa pada level presidenpun dapat terjadi manipulasi pemberitaan terhadap berbagai kasus, yang seharusnya dapat ditanggulangi oleh presiden. Dengan sendirinya kasus pemaksaan peralihan agama yang terjadi di berbagai wilayah di Maluku, semakin jauh dari harapan adanya suatu proses penanggulangan yang efektif dari pemerintah.

UPAYA INTERNATIONAL SEBAGAI SOLUSI

Menyadari  betapa terbatasnya kemampuan pemerintah untuk menyelesaikan berbagai kasus kerusuhan di Indonesia, terutama kasus yang spesific seperti peralihan agama secara paksa, maka gereja-gereja di Maluku secara terus-menerus meminta perlindungan international terhadap proses penghancuran kemanusiaan yang telah berlangsung selama dua tahun ini. Berbagai bentuk pelanggaran HAM selama dua tahun kerusuhan, dan terutama kasus-kasus peralihan agama secara paksa membutuhkan dengan segera penanganan yang efektif dan tuntas. Bentuk intervensi international yang sangat mungkin diharapkan, adalah pengiriman tim monitoring dan pencatat pelanggaran HAM di wilayah Maluku, dalam kerjasama dengan pemerintah Indonesia. Tim Baku Bae Maluku yang merupakan representasi dari kedua kelompok yang bertikai disana sama sepakat bahwa proses penegakan hukum harus dilakukan. Antara lain dengan menghadirkan suatu tim investigasi independent yang dapat bekerja secara simultan untuk membongkar akar permasalahan serta berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Maluku. Namun mengingat betapa kompleks dan sensitif penanggulangan kasus-kasus dengan spesifikasi khusus seperti kasus peralihan agama secara paksa, maka diharapkan komposisi tim monitoring merupakan representasi dari berbagai golongan agama.

Sikap minimal kedua yang kiranya dapat membantu melalui kerjasama international adalah melakukan penekanan diplomatik secara continue, dalam kaitan hubungan antar negara dengan pemerintah Indonesia. Hal ini dirasakan efektif mengingat kasus penaggulangan masalah islamisasi paksa di pulau Kesui-teor barulah berjalan, setelah kasus ini memperoleh publikasi international yang luas. Dalam kaitan ini kami sangat berhati hati untuk tidak melakukan publikasi terbuka di wilayah Indonesia, mengingat tingginya tingkat sensitifitas masyarakat terhadap kasus-kasus seperti ini, serta kemungkinan politisasi kasus demi tujuan pelanggengan konflik. Terlebih lagi Indonesia belum memiliki perangkat perundang-undangan bagi perlindungan saksi dan korban. Bagaimanapun juga, sekalipun proses penegakan hukum lebih lanjut terhadap kasus ini tidak berjalan, namun setidaknya 1700 orang warga Kristen di Kesui & Teor telah berhasil dievakuasi keluar dari pulau itu. Hal ini membuktikan bahwa efektifitas tindakan pemerintah barulah terlihat, ketika seluruh upaya sistematis untuk menyembunyikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang demikian, berhasil dibongkar dan mendatangkan tekanan secara international.

Bantuan berikutnya yang diharapkan adalah penanggulangan masalah pengungsi. Kami sering diperhadapkan pada situasi dilematis antara evakuasi dan penanggulangan pengungsi pasca evakuasi. Terhadap kasus Kesui & Teor misanya penaggulangan pengungsi pasca evakuasi menjadi maslah tersendiri, mengingat betapa terbatasnya kemampuan pemerintah untuk secara terus menerus menyalurkan bantuan kemanusiaan, sementara beberapa lembaga kemanusiaan international yang bekerja bagi pengungsi di Maluku masih dirasakan sangat terbatas dalam upaya penanggulangan pengungsi. Alokasi dana dan bantuan kemanusiaan dalam kaitan dengan kerjasama international perlu secara terus menerus dilakukan, di wilayah dengan jumlah pengungsi yang terbesar di Indonesia ini. Mekanisme penyaluran bantuan yang terjadi selama ini menemui kendala, sehubungan dengan mobilitas pengungsi dari suatu pulau ke pulau lainnya secara terus menerus dan tidak terkontrol. Mengingat karakteristik geografis Maluku yang terdiri dari ribuan pulau, maka diharapkan masyarakat international dapat menyumbangkan kapal-kapal angkut berskala menengah yang dapat difungsikan untuk berbagai fungsi penanganan dan penanggulangan pengungsi. Dengan demikian diharapkan terjadinya peningkatan mobilitas penanggulangan pengungsi yang merata, di berbagai pulau di Maluku dan Maluku Utara yang selama ini sulit dijangkau.

Akhirnya secara lebih keras dan tegas masyarakat international diharapkan dapat memberi tekanan yang keras untuk mengeluarkan berbagai unsur pelanggeng konflik di maluku, serta upaya pemulangan kembali para pengungsi ke wilayah asal mereka. Laskar jihad yang lebih merupakan pasukan para militer telah menjadi suatu permasalahan yang sangat signifikan dengan proses pelanggengan konflik. Masuknya kelompok laskar jihad secara terus menerus merupakan ancaman yang sangat potensial bagi seluruh upaya masyarakat lokal dan pemerintah untuk menghentikan konflik, dan membangun berbagai langkah menuju ke arah rekonsiliasi. Militerisasi masyarakat muslim melalui latihan-latihan para militer yang dilakukan laskar jihad secara terbuka di berbagai wilayah di Maluku, menunjukan betapa terbatasnya otoritas pemerintah untuk mengambil suatu tindakan tegas terhadap mereka. Bahkan sangat dikhwatirkan bahwa gerakan dan mobilisasi laskar jihad memperoleh ruang dan pembenaran secara tersembunyi, melalui otoritas-otoritas tertentu di militer dan pemerintahan dengan tujuan pelanggengan konflik. Belakangan ini sangat dikhwatirkan terjadinya peningkatan eskalasi konflik kembali, melihat konsolidasi latihan laskar jihad yang dilakukan secara terbuka, bahkan yang dilakukan didepan pos-pos penjagaan aparat TNI & POLRI. Demikian pula provokasi terus menerus bagi pelanggengan konflik melalui station radio laskar jihad di kota Ambon, merupakan faktor pemicu konflik baru yang tak pernah dapat dikendalikan oleh pemerintah. Ketegangan terhadap berkembangnya konflik baru semakin terpicu, dengan terlihatnya kehadiran warga-warga asing dengan tipical timur tengah yang belakangan ini selalu datang ke Ambon bersama dengan Jafar Umar Thalib, komandan laskar Jihad. Kehadiran mereka yang terkadang disambut dan dikawal oleh aparat TNI & Polri, semakin menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat terhadap eksistensi keberadaan mereka yang tidak pernah tersentuh oleh tindakan hukum. Sekalipun dengan jelas mereka selalu melakukan provokasi terbuka bagi pelanggengan konflik, serta memicu langsung munculnya konflik-konflik baru. Pernyataan gubernur Maluku untuk meminta bantuan pemerintah pusat dalam upaya pemulangan laskar jihad, menunjukan bahwa otoritas penguasa darurat sipil Maluku ternyata tak mampu untuk menentukan sikap yang tegas bagi kehadiran laskar jihad di daerah ini. Sementara dalam percakapan terakhir kami dengan presiden Gus Dur 3 minggu lalu, ia mengeluhkan tentang realisasi perintah-perintahnya yang tidak dilaksanakan, dalam kaitan dengan penanganan konflik Maluku. Khususnya menyangkut proses hukum terhadap jaringan Laskar Jihad. Dengan demikian hampir dapat dipercaya bahwa laskar jihad

-Masariku Network-

Received via email from: Alifuru67@yahoogroups.com

Copyright © 1999-2001  - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML pages designed and maintained by Alifuru67 * http://www.oocities.org/maluku67
Send your comments to alifuru67@egroups.com