|
|
MASARIKU REPORT 134: KONSOLIDASI MUSLIM MALUKU TERHADAP PENGEMBANGAN PULAU SERAM DAN PULAU-PULAU LAINNYA DI MALUKU. Ditengah meningkatnya suhu konflik di kota Ambon dan sekitarnya akhir-akhir ini, masyarakat (Kristen khususnya) tak memperhatikan beberapa event penting yang sedang digodok di pihak Muslim dalam kemasan "konsolidasi internal". Orang seharusnya menaruh perhatian kritis ketika siaran berita daerah pada TVRI station Ambon menayangkan persiapan, dan bahkan penyelenggaraan "Musyawarah Nasional Ikatan Persaudaraan Muslim Nusa Ina" yang mulai berlangsung di Masjid Raya Alfatah sejak kemarin (21 Mei). Pelaksanaan musyawarah nasional dengan menghadirkan beberapa nara sumber di tingkat nasional, serta juga mengumpulkan para raja-raja Muslim Pulau Seram terkesan tertutup dari publikasi. Namun pernyataan singkat penyelenggara yang dilansir TVRI station Ambon, dengan segera menuntut dilakukannya suatu kajian kritis berkaitan dengan posisi Pulau Seram ke depan. Antara lain melalui penayangan TVRI disebutkan bahwa penyelenggaraan musyawarah nasional ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan masyarakat pulau Seram, yang selama ini seakan-akan menjadi anak yang ditinggalkan. Bahkan "penguasaan" terhadap Pulau Seram dilakukan oleh para pendatang yang bukan "Orang Seram Asli". Selain itu posisi Seram dalam proyeksi ke depan sebagai kawasan pengembangan ekonomi terpadu, terutama dalam periode otonomisasi merupakan pertimbangan khusus penyelenggaraan musyawarah ini. Menariknya juga dalam acara pembukaan yang dilakukan melalui suatu tablig akbar di depan masjid raya al'fatah, disebutkan bahwa pelaksanaan musyawarah ini juga ditujukan untuk mengeliminir berkembangnya gerakan "RMS dan FKM". Sepintas kelihatan menarik dan ideal penyelengaraan musyawarah ini. Terutama dalam kaitan dengan proyeksi pengembangan Pulau Seram ke depan. Namun bila disimak dengan kritis, maka secara prinsipil ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan. 1. realitas Pulau Seram selama kerusuhan sampai saat ini telah mengalami pembelahan geografis menjadi kantong kristen dan kantong muslim. Kantong muslim membujur sepanjang pesisir Ruta dan melingkar ke bagian timur Seram sampai ke sebagian Pulau Seram bagian utara. Termasuk didalamnya Pulau Geser dan kepulauan Watubela. Demikian pula komunitas muslim melalui aneksasi paksa telah menguasai sebagian kecil dari wilayah Seram Barat, terutama daerah pesisi di belakang Piru. Puluhan Negeri adat yang beragama Kristen pada seluruh wilayah tersebut tersingkir habis menuju wilayah-wilayah pengungsian, atau bahkan dipaksa beralih agama menjadi Muslim. Kenyataan ini memperhadapkan kita pada suatu posisi kritis berkaitan dengan pengembangan Pulau Seram ke depan. Posisi kritis tersebut semakin dipertegas bilamana penyelenggaraan musyawarah nasional persaudaraan muslim Nusa Ina, digunakan sebagai momentum untuk menegaskan posisi aneksasi wilayah dan hegemoni muslim atas dataran Seram. Ini berarti membenarkan sinyalemen yang terbangun selama ini bahwa aneksasi wilayah akan segera diikuti dengan bargaining politik dan ekonomi. Upaya keras para raja-raja adat Pulau Seram yang beragama Muslim yang "dipandu" ke Jakarta untuk menuntut pengembangan Seram Timur menjadi sebuah kabupaten baru, lebih merupakan suatu bargaining position terhadap Pulau Seram, yang menempel ketat dengan proses hegemoni Muslim terhadap Pulau Seram. Dengan sendirinya proyeksi pengembangan Seram ke depan, dan terutama ketika penerapan otonomi yang memberikan kewenangan luas terhadap kabupaten diimplementasikan secara penuh, maka masyarakat kristen Pulau Seram akan terpuruk dan termarginalisasi di dalam berbagai pengambilan keputusan politik, ekonomi, dan bahkan sosial. 2. Memperhadapkan secara konfrontatif masyarakat asli Seram dan pendatang, tentunya harus memperoleh penjelasan yang lebih detail. Realitas selama ini memperlihatkan bahwa Seram (selain Buru)telah menjadi salah satu daerah tujuan proyek nasional transmigrasi. Ini berarti membicarakan pendatang, nota bene harus dikaitkan pertama-tama dengan puluhan ribu transmigran yang didatangkan dari berbagai wilayah di luar Maluku. Tentunya lalu menarik bila disimak bahwa selama kerusuhan di pulau Seram, masyarakat Muslim Seram diprovokasi untuk mengusir dan tidak menerima "orang-orang Lease dan Tenggara", yang adalah etnis Maluku sendiri. Artinya secara halus kategori pendatang digeserkan dari pendatang yang bukan orang Maluku, ke "pendatang" yang adalah orang Maluku sendiri. Atau tegasnya pemetaan pendatang dan bukan pendatang (anak negeri) tidak lagi merupakan pemetaan sosio-ethnis, melainkan pemetaan sosio-religius. Konsekwensi logis yang segera muncul bahwa pada garis ethnis terjadi proses pembelahan dan disintegrasi sosial yang terstruktur. Sebaliknya pada garis religiositas terjadi proses kristalisasi dan pengetalan baik pada kubu muslim maupun kristen di Pulau Seram. 3. Mempertegas tujuan musyawarah sebagai salah satu upaya mengeliminir gerakan "RMS dan FKM", dengan sangat gamblang memperlihatkan bagaimana bola FKM dipakai sebagai salah satu elemen perekat, dalam upaya kristalisasi spirit pembelahan etnis. Tak susah-susah menduga bahwa dengan menekankan RMS dan FKM sebagai salah satu isu musyawarah ini, maka upaya stilasi emosi sedang digiring habis-habisan, dalam kaitan historis dengan penggunaan Seram sebagai basis perjuangan RMS. RMS dan FKM digunakan sebagai bola liar bagi suatu proses hegemoni, yang sementara dipersiapkan dalam proyeksi pengembangan Seram ke depan. Celakanya RMS dan FKM dengan serta merta diidentikan dengan komunitas kristen Maluku. 4. Bagaimanapun juga realitas di atas memperhadapkan seluruh elemen kekristenan Maluku dan Gereja secara khusus pada suatu posisi krusial, dimana betapa seringnya kita ketinggalan kereta dalam upaya antisipasi dan mekanisme penanggulangannya. Bila realitas kerusuhan ditanggapi secara parsial, tanpa mengkonsolidasikan suatu sikap strategis dan integratif pada gilirannya akan menggiring umat menjadi korban ganda dari kerusuhan ini. Proses hegemoni yang terstruktur bukan saja akan dialami umat Kristen di pulau Seram, tetapi juga pulau Buru dan berbagai pulau lainnya. Dilain pihak pelaksanaan konsolidasi Muslim diberbagai pulau besar tersebut, semakin memantapkan gerak pembelahan etnis Maluku menurut garis agama. Musyawarah Muslim Maluku yang telah berlangsung di Pulau Buru sebelumnya, yang diikuti dengan pemilihan wakil-wakil rakyat dari kabupaten Buru tanpa menyisakan satu kursipun bagi wakil rakyat beragama Kristen, merupakan contoh kecil yang akan berdampak luas ke depan. Demikian pula upaya pemekaran Maluku Tenggara menjadi provinsi sendiri, tak pernah akan terlepas dari agenda pembelahan masyarakat dan etnis Maluku secara luas. Desakan tokoh-tokoh muslim Maluku Tenggara untuk merealisir pembentukan provinsi baru tersebut, harus dilihat dan disikapi dengan sangat kritis. Jangan sampai kondisi hegemoni muslim yang terjadi lewat pemberlakuan syariat islam di Ternate khususnya, dan Maluku Utara umumnya menjadi bagian masa depan dari Maluku tenggara pula. Di atas semua kenyataan ini, barangkali tidak salah bilamana kekristenan perlu pula menggagas adanya musyawarah Kristen Maluku. Bila tidak maka kita akan semakin ketinggalan kereta dalam proses konsolidasi ke depan. Apalagi jika musyawarah besar Muslim Maluku jadi direalisasi pada bulan Juni mendatang. Masariku Network Received via email from: Masariku@yahoogroups.com |