|
|
From: "Faried Basalamah" <">basalamah@hotmail.com> BUKAN WAKTUNYA MENCARI BENAR ATAU SALAH "AWAS PEMBERONTAKAN NASIONAL", demikian judul berita diharian Media Indonesia dan penulis kaget sekali membaca judul berita tersebut yang dijumpai yang dijumpai pada terbitan hari Jum'at tanggal 20 April 2001. Judul tersebut adalah ungkapan Presiden Abdulrachman Wahid dalam pidatonya berbahasa Inggris pada seminar dengan tema : " Indonesia Next : Emerging from the Crisis ". Menurut jadwal ada beberapa tokoh kondang yang berbicara dalam acara tersebut : mantan Panglima Wiranto, Prof. Jeffrey Winters, Xanana Gusmao dan mantan Jenderal Kostrad Prabowo Subianto. Wahid menyebutkan bahwa sekitar 400.000 pendukungnya akan bergerak kalau parlemen tetap bersikukuh melakukan upaya penggulingan kepresidenan Gus Dur dengan cara-cara yang tidak jelas mengikuti ataukah tidak mengikuti konstitusi. Tanggapan yang mengalirpun datang dari berbagai pihak dan kalau dicermati tak ada yang aneh : pihak pro Gus Dur dan pihak anti Gus Dur, tetapi kalau benar-benar dicermati bukan lagi soal pro dan anti, tapi sudah menjurus kepersoalan yang lebih mendalam, lebih menjurus keberbagai skenario kekuasaan, keskenario bentuk negara dan juga keberbagai dugaan mempertahankan kekuasaan pola lama dengan segala kekalutan dan segala kekeliruan dimasa lalu. Pendapat kaum awam juga perlu disitir. Seorang kawan sebutlah namanya Tohir Pranoto , dari kalangan menengah dan merasa keadaan ekonomi makin memburuk. Investasinya di bursa saham hancur dan ia menderita kerugian beberapa milyar Rupiah, sedangkan perusahaan miliknya dengan beberapa pabrik secara bisnis tidak berjalan dengan mulus karena produknya menggunakan bahan baku material impor. Ia mengatakan bahwa ia tetap setuju dengan Gus Dur meskipun pada awalnya ia sempat bersikukuh bahwa Gus Dur-lah penyebab hancurnya perekonomian dengan cara mengatur kenegaraan yang tak menentu. Belakangan ia menyadari bahwa sejak awal memang Gus Dur digoncang terus dan ada rekayasa menggulingkannya. Jadi berarti siapapun juga yang menjadi presiden, selama musuh-musuh menggunakan upaya menjatuhkan akan berakibat hancurnya tatanan politik maupun tatanan ekonomi. Berarti teori yang mengatakan bahwa kehancuran ekonomi akibat tingkah polah Gus Dur bukanlah suatu kebenaran, tetapi suatu lansiran pihak-pihak perebut kekuasaan. Apa yang dinamakan Pansus Bulogate dan Bruneigate tak lebih dari petualangan kotor anti Gus Dur. Bagaimana suatu Dewan Perwakilan Rakyat melakukan hal-hal rekayasa keji dengan target menjatuhkan presiden yang dulu dipilih oleh MPR yang sebagian dari orang-orang yang sama di DPR dengan cara menjatuhkan calon terkuat yang waktu itu adalah Megawati dari PDI-P pemenang suara terbanyak dalam pemilu. Ini menyitir keterangan Tohir Pranoto yang berapi-api sebagai pendukung Gus Dur. Dan orang semacam ini cukup banyak, lepas dari pendapat bahwa Gus Dur benar atau keliru, suatu fakta bahwa pendukungnya banyak sekali. Yang paling berarti ialah pengerahan masa dari Jawa Timur yang menyebut Pasukan Berani Mati dan pasukan yang akan melancarkan gerakan jihad . Suatu keanehan ialah gerakan ini meniru gerakan yang dulunya diprakarsai oleh kelompok anti pemerintah : kelompok Jihad yang mengirim pasukan ke Maluku serta kelompok Ahlusunah Wal Jama'ah yang sempat berlatih kemiliteran disekitar Bogor dan sempat juga pasukan yang diduga sama masuk keistana kepresidenan dan mengancam presiden, pasukan yang selalu mengobrak abrik café, restauran dan beberapa tempat hiburan dengan atribut pakaian jubah putih dan membawa pedang serta golok. Jadi kalau kelompok ini dulunya tidak dicela, kenapa kelompok yang menggunakan cara yang sama tetapi gerakannya mendukung kekuasaan yang sah malah dicemoohi, malah diprotes , malah dicerca . Disini tokoh-tokoh perebut kekuasaan seperti Amien Rais, AM Fatwa seolah-olah mencuci muka sendiri, menguakkan kekotoran wajahnya : terutama Fatwa yang dikenal sebagai pengkhianat Petisi 50, kelompok yang sangat menentang kekuasaan Suharto dan mengalami penderitaan tekanan Orba. Malah Fatwa bergabung dengan Orba dan mendapat kedudukan "terhormat" sebagai wakil rakyat . Dan media televisi tetap saja menyiarkan tampang Fatwa yang ucapan dimedia masa terkesan tidak bermutu , selalu ucapan anti Gus Dur dan itu itu saja. Apakah media tidak mampu mengedepankan tokoh lain yang lebih bermutu ? Ataukah media masih menyuarakan suara pemiliknya yang orba ? Pihak yang berpihak kepada kelompok anti Gus Dur juga banyak, hal ini juga lepas dari pendapat bahwa kelompok ini disebut sebagai kelompok Orba, kelompok Sektarian, kelompok Penjarah Dana Pemerintah atau Kelompok Penikmat Dana BLBI. Tuding menuding mencari kesalahan yang dilakukan oleh kedua pihak nyatanya membawa mala petaka bagi bangsa ini, membawa keterpurukan ekonomi dan membawa kesengsaraan bagi rakyat. Apapun juga permusuhan kedua pihak sama sekali tidak menguntungkan , sama sekali tidak membawa manfaat dan sama sekali tidak berguna. Tidakkah ada upaya untuk menyelamatkan bangsa ? Kedua kelompok sama kuatnya, sama besarnya dan kalau tetap mempertahankan pendirian tanpa memikirkan nasib bangsa : jelas bahwa yang akan terjadi cuma kehancuran , terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang keliru. Sudah bukan waktunya untuk menilai siapa salah siapa benar: kedua belah pihak harus menyadari bahwa PERMUSUHAN yang telah terjadi sudah membawa kejurang kehancuran. Jakarta, 21 April 2001 Received via email from: Masariku@yahoogroups.com |