|
|
Kristenisasi: sebuah rekayasa Persoalan Kristenisasi di Halmahera yang dilansir Thamrin Amal Tomagola dalam serangkaian percakapannya belakangan ini, memiliki beberapa posisi lemah yang perlu penjelasan lebih lanjut dari Thamrin sendiri. 1. Berita yang dilansir Thamrin antara lain melalui Victoria Alfarado di Kedutaan Amerika Jakarta, menyebutkan bahwa kasus Kristenisasi paksa terjadi pada akhir Desember 1999 di wilayah Halmahera Utara. Dalam percakapan di Brussel, malahan Thamrin menegaskan bahwa proses Kristenisasi paksa terjadi pada empat desa disana. Perlu dikritisi bahwa sejak akhir Desember 1999 sampai saat ini, setahu beta belum ada satu mediapun yang melansir berita ini. Ini menarik karena kasus sekecil apapun yang dialami saudara-saudara Muslim selama ini, selalu memperoleh porsi pemberitaan yang sangat besar, dan terkadang bahkan terdistorsi. Apakah mungkin empat desa yang dikristenkan secara paksa di Halmahera Utara bisa lolos dari mata jurnalis???. 2. Mengapa kasus tersebut baru belakangan dilansir Thamrin (dan sebelumnya oleh Laskar Jihad) setelah merebaknya berita Islamisasi paksa, yang dialami oleh sekian banyak wilayah-wilayah Kristen di Maluku dan Maluku Utara saat ini. Secara logis hal ini tentunya harus dipertanyakan. 3. Kalau memang benar terjadi proses Kristenisasi paksa, mungkinkah Thamrin menjelaskan dimanakah sekarang warga dari ke-empat desa korban tersebut. Apakah mereka masih terjebak di wilayah Kristen di Halmahera Utara, atau sudah bebas kembali. Logisnya kalau terjadi proses Kristenisasi Paksa, tentunya warga Kristen tak akan dengan mudah melepaskan mereka yang sudah dengan paksa dikristenkan. Hal mana terjadi pada korban-korban Islamisasi Paksa di Kesui-Teor, dan berbagai wilayah lainnya saat ini. Kalaupun mereka yang dikristenkan secara paksa sudah dibebaskan, maka pertanyaannya bagaimanakah cara mereka menjadi bebas??? 4. Terhadap kasus Kristenisasi paksa sampai saat ini belum dilakukan pembuktian juridis formal, sebagaimana yang dilakukan terhadap kasus Kesui-Teor oleh KOMNAS HAM yang turut berkunjung kesana pada saat upaya evakuasi tahap ke III. Demikian juga proses interfaith testimony yang dilakukan di Jakarta terhadap korban-korban Kristenisasi dari Kesui-Teor, dan Lata-Lata. 5. Proses interfaith testimony yang dilakukan terhadap korban force conversion dari kedua belah pihak sampai saat ini belum diekspose hasilnya. Menarik untuk dipertanyakan dan menguji seluruh mekanisme yang dilakukan dalam proses testimony tersebut. Terutama testimony dari dua korban kristenisasi paksa yang dibawa melalui support dan negosiasi Thamrin sendiri. Menarik juga untuk mengkritisi bagaimana proses interfaith testimony yang dilakukan kelompok Madia di Jakarta berlangsung melalui pengkondisian Thamrin sejak awal, dengan menyeret masuk KOMNAS Perempuan atas alasan pelecehan gender. Beta sendiri awalnya dengan keras mengkritisi mekanisme tersebut, dengan harapan Madia tidak saja berproses pada tataran interfaith testimony yang kemudian diacukan sebagai referensi Thamrin pada country repport di Geneva, tetapi bagaimana membangun suatu proses advokasi terhadap kasus ini. Hal ini penting mengingat masih sangat banyak korban umat Kristen proses islamisasi paksa yang tersebar secara acak di wilayah-wilayah Muslim di Seram, Buru, dan Maluku Utara (terutama Bacan). Proses advokasi tentunya perlu menghitung dimensi politik yang begitu besar di belakang kasus-kasus ini, dalam kaitan dengan upaya pembebasan mereka, serta penegakan hukum terhadap kasus ini. Lolosnya kasus Kesui-Teor dari upaya penegakan hukum tentunya menjadi pelajaran yang berarti bagi kita. Dan yang terpenting bahwa kepastian keselamatan saudara-saudara yang masih terjebak disana dipertaruhkan saat ini, bilamana proses elaborasi terhadap kasus ini hanya dilakukan demi tujuan sebuah diskursus atau polemik yang tidak berimbang dengan mobilisasi penanggulangannya. 6. Pembuktian terhadap kasus Kristenisasi paksa tentunya harus dilakukan melalui pengujian silang dengan pihak GMIH di Halmahera. Terhadap kasus Islamisasi paksa tentunya berbeda, karena kedua saudara Muslim yang hadir dalam delegasi bersama di Geneva, London, dan Brussel tidak membantah settiap penjelasan yang dikemukakan berkaitan dengan kasus Islamisasi paksa yang dialami di pihak Kristen. Bahkan dengan simpatik mereka menawarkan upaya untuk membebaskan saudara-saudara Kristen yang masih terjebak di Seram, Buru, dan Bacan, melalui pendekatan pemerintahan adat. Sebaliknya dengan sangat tegas dan berang saudara Yusuf Ely membantah pernyataan Thamrin tentang kasus Kristenisasi paksa yang terjadi di Halmahera Utara akhir Januari 1999. Bantahan tersebut kemudian tertuang dalam statement resmi Yusuf Ely yang pertamanya diberikan kepada delegasi America, dan selanjutnya diberikan dalam seluruh pertemuan dan percakapan yang dilakukan oleh delegasi kami sejak dari Geneva, London, dan Brussel. Bantahan tersebut antara lain didasarkan pada kondisi saat itu dimana Maluku Utara masih secara resmi bergabung dengan Maluku, dan belum terpecah menjadi propinsi sendiri. Karenanya berita apapun yang dialami oleh umat Islam pasti ada dalam dokumentasi Al Fatah di Ambon, yang masih membawahi struktur komando indul fitri berdarah, dengan Yusuf Ely sebagai salah satu pemimpinnya. 7. Kalau memang benar terjadi kasus Kristenisasi paksa terhadap empat desa Muslim di Halmahera Utara, tentunya baik kalau saudara Thamrin menyetujui dilakukannya investigasi dan monitoring international terhadap realitas pelanggaran HAM yang demikian. Toh jauh sebelum kasus Kristenisasi paksa dilansir, saudara Thamrin sudah ngotot meminta masuknya intervensi asing dalam berbagai kesempatan perjalanan, wawancara media dan pertemuan. Sayangnya dalam percakapan di Brussel, hanya saudara Thamrin sendiri yang menolak upaya semua delegasi untuk mengahadirkan UN Special Rapporteur, atau Tim Investigasi dan Monitoring internasional, dengan alasan umat Islam belum siap. Pernyataan yang dengan segera dibantah dengan sangat keras oleh Yusuf Ely dan saudara-saudara Muslim lainnya yang ada dalam delegasi yang datang langsung dari Maluku. Dengan tegas mereka menyatakan bahwa mereka merupakan representasi resmi dari umat Islam di Maluku yang saat ini turut meminta hadirnya tim pemantau dan investigasi pelanggaran HAM selama kerusuhan di Maluku. Bahkan dengan gamblang mereka menegaskan bahwa kita tidak lagi bicara soal Muslim atau Kristen, tetapi soal nasib orang Maluku yang menjadi korban yang tak lagi bisa ditolerir saat ini. 8. Apapun alasan dan pembenaran yang dipakai untuk melansir berita Kristenisasi paksa, tentunya kita perlukan pembuktian juridis formal terhadap berita dan kasus tersebut. Bila akhirnya benar, maka beta mendukung upaya penegakan hukum terhadap kasus tersebut. Tetapi bila tidak, maka beta sepakat dengan Pak John bahwa si pembawa berita harus dituntut juga demi hukum. Received via email from: Masariku@yahoogroups.com |