|
|
Kompas, Kamis, 19 April 2001 PENGANTAR REDAKSI Tanggal 15-18 Maret 2001, sekitar 2.000 warga Maluku hadir dalam sebuah acara Dialog Nasional yang diselenggarakan di Desa Langgur, Tual, Maluku Tenggara. Mereka datang dari segala penjuru untuk mencari penyelesaian secara bersama-sama tentang konflik di Maluku yang pecah sejak 19 Januari 1999. Dialog Nasional yang juga dihadiri Menteri Muda Urusan Percepatan Pembangunan Kawasan Timur, Manuel Kaisiepo serta pemikir-pemikir dari Jakarta itu, mencoba menggali titik-titik temu sebagai langkah awal memperkuat basis kekuatan masyarakat sipil. Wartawan Kompas Bambang Sigap Sumantri yang hadir di Langgur menuliskan dua laporan, masing-masing di halaman 19 dan 20.
AMBON pertengahan Februari 2001. Pesawat Airfast HS 748 pukul 10.00 mendarat dengan mulus di Bandara Pattimura, Ambon. Rombongan penumpang berjumlah 39 orang yang mencarter pesawat itusatu-persatu menuruni tangga. Di luar pesawat,di bawah tangga beberapa staf Pemda Kotamadya Ambon tampak menunggu. Beberapa saat kemudian, Menteri Muda Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Manuel Kaisiepo beserta rombongan diterimadi ruang VIP selamakurang lebih satu jam. HARI sudah cukup siang, Bandara Pattimura masih tetap lengang, sepi. Pesawat yang mendarat baru pesawat carteran itu. Disusul sekitar pukul 14.00, satu pesawat lagi mendarat. Sebelum dan setelah itu, mati sunyi. Lorong-lorong bangunan bandara yang megah itu hanya dihuni kursi dan meja berdebu. Loket tiket pesawat yang berderet tiap hari kosong, semua petugas sudah mengungsi. Toko suvenir, kios majalah dan warung minum tertutup rapat. Hanya satu restoran terletak agak di tengah yang berani buka. Ketika Kompas hendak membeli minuman, seorang pelayan yang minta dipanggil Jack mendekat. "Kondisi di Kota Ambon masih rawan, ada ketegangan antarkomunitas Islam dan Kristen walaupun konflik sudah agak mereda. Dari bandara menuju Ambon harus naik speedboat, karena jalan darat harus melalui dua komunitas berbeda. Jalan laut, jalan yang masih netral. Obet tak boleh masuk daerah Acang, demikian sebaliknya. Bila nekat, pasti dihabisi," kata Jack. Siapa Obet dan Acang itu ? Konon dua nama ini pemberian dari orang luar Maluku. Aparat keamanan mungkin maunya praktis saja dengan menyebut Obet dari nama Robert yang berarti golongan Kristen, sedangkan Acang berasal dari Hasan yang menunjuk pada golongan Muslim. Setiap orang yang berjalan-jalan di Ambon akan ditanya oleh "petugas" dengan dua nama itu dan kalau meragukan diperiksa KTP-nya. Jack bilang, di seluruh Ambon, hanya di bandara kami dapat menemukan pergaulan tanpa hambatan antara Muslim dan Kristen. Karena itu tak heran ketika sebagian warga Ambon datang sebagai peserta Dialog Nasional untuk mencari penyelesaian konflik di Langgur, Maluku Tenggara, sebagian lagi warga Ambon yang berada di Desa Wana dan Hitu justru berkelahi. Ambon tetap membara. Tak ada jaminan Tanggal 15-18 Maret yang lalu, sekitar 2.000 warga Maluku tumpah di Desa Langgur, Tual, Maluku Tenggara. Mereka datang dari segala penjuru untuk mencari penyelesaian secara bersama-sama tentang konflik di Maluku yang kini sudah berlangsung lebih dari dua tahun. Sudah banyak upaya rekonsiliasi dilakukan berbagai pihak dengan mempertemukan wakil komunitas yang saling berseteru. Bagaimana hasilnya? Saat bertemu satu meja, face to face, biasanya terjadi keakraban di antara mereka yang bermusuhan, tetapi tidak menjamin mereka akan dapat berhubungan dengan mesra setelah kembali ke komunitas masing-masing. Kadang-kadang terjadi deadlock ketika permasalahan yang dibahas bermuara pada pengusutan siapa yang memulai konflik ini, tuntutan permintaan maaf salah satu pihak, tuntutan agar provokator ditangkap atau tuntutan agar pelaku kerusuhan dijebloskan ke penjara. Tema-tema seperti itu akan menjebak setiap peserta dalam konflik baru yang makin tak berujung. Karena masing-masing kelompok akan berusaha sekuat tenaga memunculkan fakta-fakta yang membuktikan mereka tidak bersalah sambil menuding pihak lain. The Go East Intitute berusaha menghindari deadlock yang akan makin menjauhkan dari upaya penyelesaian. Pendekatan budaya dianggap akan lebih berdaya guna, selain itu secara teknis, seluruh peserta "dikursus kilat" oleh para pakar sosial dan budaya agar terbuka wawasannya. Melalui lebih dari sepuluh pembicara, seluruh peserta Dialog mendapat masukan dan tambahan pengetahuan yang diharapkan dapat menjadi bekal untuk bertukar pikiran secara intensif lewat workshop kelompok. Setelah mulai pagi sampai sore hari mendapatkan wawasan, peserta dikelompokkan menjadi enam kelompok besar. Yaitu terdiri dari Kota Ambon, Maluku Tengah, Maluku Utara, Key dan Aru, Maluku Tenggara Barat, dan Pulau Buru. Pesan Langgur Lalu apa hasilnya workshop selama empat hari itu? Salah satunya dihasilkan apa yang disebut "Pesan Langgur". Masalah nama saja sebelumnya menimbulkan debat yang ramai. Esok sebelum dibacakan, Panitia sudah mengedarkan hasil itu dengan nama Ikrar Langgur. Ketika siangnya dibacakan oleh Ignas Kleden, banyak peserta berasal dari Kota Ambon memprotes nama itu. Akhirnya diubah namanya menjadi pesan bukan ikrar. Ada lima poin Pesan Langgur, antara lain dikatakan mereka akan tetap memperkuat tekad dan tetap berusaha tanpa mengenal rasa putus asa untuk mencari jalan keluar dari pertentangan, kekerasan dan kemelut yang melanda Maluku. Dialog Langgur hanyalah salah satu tahap dari proses yang masih harus diteruskan dalam menciptakan kesempatan untuk membicarakan dan menyelesaikan masalah Maluku atas cara yang terbuka dan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Diusulkan juga untuk menjadikan adat dan rumah adat sebagai tempat yang dapat menampung dan mempertemukan semua pihak yang ada di Maluku. Para peserta juga menyatakan kesediaan untuk menjadi duta yang membawa gagasan dan komitmen Langgur ke dalam masyarakat masing-masing demi penyelesaian konflik, rehabilitasi masyarakat Maluku yang menderita banyak kehancuran dan kerugian dan demi pengembangan masyarakat Maluku dalam kerangka Indonesia Baru. Butir terakhir mengatakan Pesan Langgur dibuat untuk menampung aspirasi para peserta Dialog Nasional dan menyerap keinginan yang semakin meluas di kalangan masyarakat Maluku untuk mengakhiri pertentangan dan kekerasan. Selain itu juga untuk mengembalikan kehidupan bersama di Maluku sebagai sediakala, sebagaimana telah berlangsung beratus-ratus tahun karena dimungkinkan dan didukung oleh nilai-nilai budaya lokal yang dihormati oleh berbagai kelompok budaya di Maluku. Kecuali provokator dan iblis-begitu sebutan TA Kaplale terhadap pengacau di Maluku-semua orang Maluku sangat mendambakan ketenteraman dan berhentinya kekerasan. "Semua orang baik yang Islam maupun Kristen sejujurnya sudah merasa lelah bertikai selama lebih dari dua tahun ini," kata O Lawalata dan Kaplale yang semuanya mengajar di Universitas Pattimura. Masih panjang Tentu saja tidak hanya orang Maluku, bangsa ini semuanya mengharapkan kekerasan tak ada lagi di negara ini. Yang menjadi pertanyaan, apakah dengan Dialog Langgur yang menelorkan Pesan Langgur itu akan dapat menghentikan kekerasan di Maluku ? Kurang apalagi. Dialog itu sudah dihadiri sekian banyak orang yang mewakili masyarakat Maluku dan diadakan di Tual, bukan di Denpasar, Yogyakarta, atau Jakarta, seperti yang selama ini dilakukan. Dialog itu memakai metode gabungan antara Diskusi Panel dan workshop yang memungkinkan pembicaraan lebih intensif. Akan tetapi, seperti juga tercermin dalam Pesan Langgur, jalan menuju perdamaian masih panjang. Bahkan 16 Maret ketika Dialog Nasional sedang berlangsung, telah terjadi pembakaran rumah penduduk akibat pertikaian antara pemuda di Ambon. Walaupun begitu bagi Kaplale, segala usaha yang dilakukan secara internal antar-orang Maluku asli tidak akan sia-sia. "Dialog Nasional ini tetap akan ada gunanya sebagai langkah menuju berhentinya kekerasan. Jika masyarakat Muslim dan Kristen sudah sepakat tidak mau mendengar lagi suara provokator, kekerasan akan berhenti. Apalagi dalam kenyataan, kedua belah pihak sudah sengsara karena ulah provokator, mereka kini sudah setengah mati," katanya. Menurut Kaplale, ada prospek terjadi kerukunan kembali di Maluku. Sejak timbul konflik tanggal 19 Januari 1999, masyarakat sebenarnya sudah terus berupaya untuk meredakan pertikaian, kadang berhasil dan kadang gejolak itu muncul lagi. "Paling tidak sampai saat ini, lima bulan konflik besar sudah mereda. Kalau antara masyarakat Muslim dan Kristen tidak ada dendam, saya kira kami akan dapat hidup berdampingan seperti ratusan tahun yang lalu," tambah Kaplale. Memang untuk memulai hidup baru yang penuh kerukunan, hal-hal yang dapat memancing perbedaan harus disingkirkan jauh-jauh. "Misalnya seperti istilah Obet-Acang, sebaiknya jangan dipakai lagi karena mengingatkan orang pada perbedaan agama. Orang juga akan teringat pada trauma pertikaian di masa-masa lalu, kondisi psikologisnya bisa labil," kata O Lawalata. Ia juga sepakat, setiap memulai perundingan pertama-tama dicari titik-titik yang bisa mempertemukan kelompok yang sedang bertikai. Pendekatan budaya seperti yang dilakukan dalam Dialog Nasional itu bisa dijadikan contoh dan digulirkan dalam komunitas masing-masing, katanya. Sementara itu, tokoh dari Kota Ambon lainnya, Hasan Pelu, mengatakan rekonsiliasi tak dapat dipaksakan dan itu pasti akan terjadi secara alamiah. "Masyarakat Maluku mempunyai agama yang berbeda-beda namun disatukan oleh budaya lokal yang sekarang ini sedang dihidupkan lagi. Adanya budaya seperti pela dan gandong yang beberapa waktu tidak tampak, akan kami gali lagi agar dapat kembali menjadi payung bagi masyarakat walaupun berbeda agama," ujarnya. Hasan mengusulkan agar diadakan pertemuan lagi dengan mengikutsertakan perwakilan dan komunitas yang lebih besar di Maluku. Kondisi di Maluku pada umumnya, lanjutnya, harus diakui sudah banyak perubahan. Dalam kenyataan, menyebut rakyat atau penduduk Maluku sekarang ini berarti juga harus melihat penduduk yang berasal dari luar Maluku yang sudah lama menetap di kepulauan itu. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan konflik, setelah diadakan pertemuan antara penduduk asli Maluku, sebaiknya segera ditindaklanjuti dengan forum rakyat yang mengajak semua penduduk termasuk pendatang. Ini usul yang baik untuk waktu mendatang.*
|