The Cross
Under the Cross

English
Indonesian
Search
Archives
Photos
Pattimura
Maps
Ambon Info
Help Ambon
Statistics
Links
References
Referral

HTML pages
designed &
maintained by
Alifuru67

Copyright ©
1999/2000 -
1364283024
& 1367286044


Ambon Island 

 

AMBON Berdarah On-Line
About Us

 

 

  Ambon Island

  Ambon City

 

 

   Latupatti

  Want to Help?

Kompas, Kamis, 19 April 2001
Konflik Maluku, Ini Perang Apa?

"INI perang apa? Tiba-tiba saja sekelompok orang bersenjata tajam datang menyerbu, sebagian lagi melempar bom molotov ke desa. Akhirnya penduduk desa harus melawan dan jatuh korban yang cukup banyak. Setelah beberapa bulan selesai, masyarakat Muslim dan Kristen sampai sekarang terpisah dan saling curiga. Sejak merdeka tahun 1945, baru kali ini terjadi bentrok yang memakan jiwa dan semua terjadi tanpa alasan. Sampai sekarang saya tidak tahu siapa mereka ...ini apa, saya benar-benar heran," begitu penuturan Raja Jan Andrias Lesnussa dari Masarete Leksula, Buru Selatan, ketika menghadiri Dialog Nasional di Langgur.

Bagaikan gempa bumi, episentrum konflik itu berada di Ambon, seluruh pulau yang jumlahnya lebih dari 1.000 buah itu terkena. Masing-masing pulau tingkat getarannya berlainan, dengan kerusakan yang berbeda-beda. Pemulihannya pun tahapnya tak sama.

Seperti di Buru, situasi sosial pascakonflik fisik masih belum pulih. Di Maluku Utara misalnya Ternate, konflik sudah 90 persen reda, tetapi masyarakatnya terpisah. Di Kota Ambon, situasinya lebih parah. Selain ketegangan antara komunitas Muslim dan Kristen tetap tinggi, konflik dengan mudah meletus. Masyarakatnya terpisah, tak bisa berkomunikasi, setidaknya situasi ini sampai pertengahan Februari 2001.

Peserta Dialog Nasional umumnya salut kepada masyarakat Maluku Tenggara yang mampu dengan cepat menyelesaikan pertikaian fisiknya. Setelah terkena imbas kejadian di Ambon yang mulai meletus 19 Januari 1999, tak tertahankan Maluku Tenggara yang berpenduduk 326.000 jiwa ini ikut meledak.

Kompas/sonya helen sinombor

Namun, konflik itu hanya berlangsung sampai April, sebulan saja berkat kekompakan tokoh agama dan adat, demikian kata Pastor Alo Tamnge. Dalam waktu beberapa bulan kemudian masyarakat Islam, Katolik, dan Kristen sudah lumer kembali, mereka bisa bergaul seperti sediakala. Ain ni ain, satu untuk satu, satu dengan yang lain bersaudara. Nilai-nilai di Maluku Tenggara masih kuat dan bisa terus bisa dipertahankan dalam masyarakat.

Revitalisasi

Panitia kelihatannya sudah memiliki tempat dialog dengan pertimbangan yang matang. Tual, ibu kota Maluku Tenggara, dapat dijangkau dari mana saja. Kota ini mempunyai lapangan terbang milik TNI Angkatan Udara. Yang lebih penting, situasi dan model penyelesaian konflik di Maluku Tenggara ini diharapkan akan mengilhami daerah lain untuk segera menyatukan kembali kerenggangan akibat konflik yang berkepanjangan itu.

Sebenarnya di manakah nilai-nilai budaya Maluku ketika konflik itu pecah? Mengapa hanya di Maluku Tenggara saja yang mampu dengan cepat memulihkan suasananya?

Menurut Ignas Kleden, kalau pergolakan daerah hendak ditinjau dari perspektif masyarakat transisi atau masa peralihan, dalam bidang kebudayaan, pergolakan di daerah dapat dilihat sebagai akibat mengaburnya nilai-nilai lama, melemahnya pegangan yang diberikan oleh tradisi dan perubahan gaya hidup yang diakibatkan oleh keterbukaan kepada pengaruh-pengaruh dari luar. Sementara itu belum ada nilai-nilai yang diterima secara umum dan belum terbentuk pula pranata-pranata sosial baru yang dapat melembagakan nilai-nilai baru itu.

Dalam bidang politik, pergolakan daerah barangkali saja merupakan akibat dari melemahnya legitimasi pemerintah pusat yang selama ini menjadi titik orientasi bagi politik lokal. Melemahnya legitimasi pemerintah pusat dapat mendorong munculnya pemimpin-pemimpin lokal yang menyuarakan dan mengartikulasikan aspirasi baru yang sebelumnya tidak begitu disadari.

Sebenarnya bibit kebangkitan daerah, bibit munculnya otonomi daerah, muncul bersamaan dengan terbentuknya negara kesatuan ini. Berbagai pemberontakan mulai dari Permesta, RMS, Gerakan Papua Merdeka, dan Aceh Merdeka, sudah dimulai jauh sebelum BJ Habibie mempunyai ide untuk memisahkan Timor Timur dari RI, sebuah kebijakan yang makin memberi inspirasi untuk penguatan kedaerahan. Ditambah lagi suasana reformasi dan pemberlakuan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, semangat untuk merdeka di tiap daerah tak tertahankan lagi.

Kekuasaan negara zaman Orde Baru luar biasa kuatnya. Soeharto salah besar dalam mengambil kebijakan dengan mengeluarkan UU No 5/1974 tentang Pemerintahan Daerah dan ditambah dengan UU No 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Menarik juga dikaji, apakah seandainya Polan yang berkuasa waktu itu, akankan ia membuat kebijakan yang lebih baik, yang lebih demokratis?

Oleh karena ada satu faktor yang harus diingat, perilaku politik Soeharto sangat dipengaruhi dengan gagasannya tentang pembangunan dan komunis phobia, sebuah monster Franskenstein yang ia ciptakan sendiri.

Ideologi pembangunan era Soeharto erat sekali dengan gagasan modernisasi atau westernisasi, perubahan nilai-nilai lama menjadi kebaratan. Dunia semuanya diarahkan menuju Amerika. Ditirulah teori pertumbuhan ekonomi ala Rostow yang waktu itu dianggap sebagai kebenaran mutlak sehingga untuk mencapainya segala rintangan dan perbedaan diharamkan. Karena itu syarat pertama yang harus ada adalah stabilitas, dan inilah peluang yang makin memantapkan apa yang disebut dwifungsi ABRI.

Dan itulah kesalahan yang paling mendasar. Menurut Tocqueville yang mengamati demokrasi Amerika abad 19, kekuatan politik dan civil society-lah yang menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Terwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik dalam civil society menyebabkan warga negara mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.

Semua telah terlambat

Pada masa Orde Baru, ketika masyarakat menengah ke atas makmur, sementara yang bawah ketakutan karena tekanan militer, semua terlena. Kaum intelektual menyadari ada sesuatu yang salah di negara ini, tetapi tidak mengira kalau dampaknya demikian parah.

Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Taufik Abdullah mengatakan dirinya tidak menyadari benar dampak sosial kultural dari sistem pemerintah yang sentralistis dan otoriter terhadap kreativitas daerah, bahkan juga terhadap kreativitas pemerintah pusat sendiri.

"Saya kurang sensitif tentang betapa sebuah "negara serakah" seperti Orde Baru yang bukan saja ingin menguasai kehidupan politik dan ekonomi, tetapi juga kesadaran dan ingatan kolektif bangsa, telah mengisap potensi daerah nyaris dalam segala hal," katanya.

Ketika kekuasaan otoriter Orde Baru runtuh, semuanya menjadi tersingkap, namun bersamaan itu pula, semuanya telah menjadi terlambat. Nilai-nilai demokratisasi yang dulunya terpinggirkan kini mendapat tempat. Bahkan kemudian dikukuhkan dalam sebuah UU tentang Otonomi Daerah yang dikuatkan lagi dengan Ketetapan MPR.

Semua hal yang dilakukan pemerintah baru untuk daerah rasanya menjadi tidak pernah cukup. Aceh dan Papua diberi keleluasaan menjadi daerah khusus, ternyata minta merdeka, berdiri sendiri.

Berbagai konflik yang muncul mulai dari Ambon sampai Sampit menunjukkan betapa pemerintah daerah maupun pusat tak berdaya. Sementara TNI dan polisi sangat gamang dan tak mampu bertindak tegas karena terbebani dosa-dosa masa lampu yang demikian besar dan kecaman masyarakat nasional maupun internasional yang terus mendera.

Menko Polsoskam Susilo Bambang Yudhoyono mengakui lembaga hak asasi (Komnas HAM, LSM HAM termasuk LSM luar negeri dan Peradilan HAM) tumbuh secara luas dan dominan. Sementara itu sorotan terhadap perilaku pemerintah dan aparat keamanan yang dianggap melanggar HAM amat mengemuka, termasuk cara-cara pers mengangkat isu itu.

Dalam konteks ini, secara intensif dilakukan pengusutan dan pengadilan pelanggaran HAM kepada pemerintah dan aparat keamanan atas tindakan eksesif masa lalu, sehingga menimbulkan implikasi psikologis yang dalam pada jajaran TNI dan Polri.

"Paduan dari faktor-faktor itu telah menciptakan 'wilayah tak bertuan', sikap pasif, keragu-raguan dan dalam bentuk yang ekstrem, demoralisasi pada aparat dan petugas di lapangan," kata Bambang.

Melihat konstelasi seperti itu, satu-satunya cara untuk mengatasi masalah ini adalah memperkuat basis kekuatan masyarakat sipil. Bersamaan itu pula segera dilakukan usaha-usaha untuk memulihkan kewibawaan negara yang saat ini dalam kondisi sangat lemah.

Seperti dikatakan Ignas Kleden, ketidakpuasan sosial yang semakin meluas saat ini dan pergolakan daerah yang tampaknya mudah saja diprovokasi, bukanlah gejala yang terpisah dan berdiri sendiri, melainkan mempunyai kaitan dengan situasi politik yang lebih makro.

"Ini artinya penanganan konflik lokal tanpa membereskan kelemahan-kelemahan pada tingkat politik makro tidak akan membawa penyelesaian yang bertahan lama, seperti halnya kita tiap hari membersihkan meja makan tanpa membersihkan langit-langit dalam rumah yang penuh debu dan sarang laba-laba," ujarnya.

Dialog Nasional di Langgur yang dihadiri sekitar 2.000 peserta dari seluruh Maluku mencoba menggali titik-titik temu sebagai langkah awal memperkuat basis kekuatan masyarakat sipil. Pendekatan budaya menjadi suatu pilihan yang tepat untuk memberi inspirasi bagi setiap anggota dan komunitas yang bertentangan.

Sebuah budaya dihasilkan jauh sebelum sebuah komunitas bersentuhan dengan negara. Setiap masyarakat tentu menghasilkan sebuah kebudayaan, apa pun juga hasilnya. Dan ketika sebuah kebudayaan itu tercipta, masyarakat itu membuktikan keberadaannya dan ketangguhannya. Hal itulah yang hendak dibangkitkan kembali ketika negara dalam keadaan sangat lemah.

Dan benar seperti yang dikatakan Taufik Abdullah, mengkaji kembali unsur-unsur kekuatan dari masyarakat dan tradisi lokal bukan berarti membawa ke masa silam, tetapi menemukan harta yang hilang, dengan harta itulah kita bersama-sama kembali menata kehidupan sosial dan kenegaraan kita. (sig)


Copyright © 1999-2001  - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML pages designed and maintained by Alifuru67 * http://www.oocities.org/maluku67
Send your comments to alifuru67@egroups.com