|
|
Masariku Testimony 6 1. Marnes Garera 2. Notje Maici 3. Gaspar Jumate Beberapa minggu sebelum penyerangan desa-desa tetangga yang beragama Muslim seperti Bokimiake, Sidanga, Hatijawa, Bosuwa sudah memberikan surat pernyataan kepada kepala desa Lata-Lata bahwa tidak akan terjadi penyerangan. Malahan mereka bertekad akan bersama-sama menjaga situasi keamanan disana. Namun satu hari sebelum Lata-Lata di serang Adrius Cerenge, warga desa lata-Lata yang pergi belanja rokok di desa Sidanga sudah melihat pasukan jihad berkumpul disana. Dia kemudian kembali dengan perahu ke kampung untuk memberitahukan masyarakat tentang apa yang dilihatnya. Masyarakat Lata-Lata segera melakukan persiapan seadanya setelah mendengar berita itu. Pada hari Sabtu tanggal 05 Pebruari 2000, kurang lebih jam 13.00 masa penyerang mulai mendatangi desa Lata-Lata dari arah gunung dan laut/pantai. Umumnya masa penyerang terlihat memakai jubah putih atau hijau panjang. Trelihat atribut tulisan arab pada pakaian atau ikat kepala mereka. Diselingi teriakan alahu akbar sahut menyahut, bunyi bom dan letusan senjata organik serta senjata rakitan terdengar sambung menyambung. Masa yang menyerang diperkirakan sekitar 6000 orang. Waktu penyerangan berlangsung para ibu dan anak-anak, serta orang lanjut usia berlari memencar ke hutan tanpa mempedulikan kesulitan medan. Sementara para lelaki mencoba bertahan sambil mundur ke hutan secara perlahan. Gerakan mundur sambil melindungi wanita dan anak-anak serta orang tua harus dilakukan, mengingat tak berimbangnya jumlah penduduk Lata-Lata dengan pihak penyerang. Apalagi penyerang memakai berbagai bentuk senjata standard AD-POLRI, maupun berbagai macam bom rakitan, serta senjata masyarakat lainnya. Dari arah laut mereka menyerang dan mendarat di pantai dengan menggunakan 28 buah speed boat. Selain itu mereka juga menggunakan tiga buah kapal besar, yang teridentifikasi datang dari kecamatan Kayoa. Dua diantaranya teridentifikasi sebagai KM. Senantiasa 5 & KM Senantiasa 6. Banyak orang diantara para penyerang terlihat jelas memiliki tipical pendatang, dengan jenggot-enggot panjang di wajah mereka. Beberapa orang diantaranya juga teridentifikasi. Antara lain Mail asal Tidore, serta Lut asal Bosowa. Penyerangan berlangsung sampai jam 18.00. Disaat itu kami semua sudah melarikan diri ke hutan. Setelah penyerangan baru diketahui sekitar 39 korban meninggal, dan lainnya luka-luka kena tembak maupun serpihan bom. Mereka yang meninggal antara lain Aplemon Faici, Marthen Gama, Lunas Tuepo, Juan Safati, Anelce Cerenge, Nonci Garera, Rike Garera berumur 08 tahun yang dipotong, Ois Faici, serta beberapa orang lagi. Bahkan dalam peristiwa itu ada anak dari desa waringin yang tertangkap dan dibanting di Lata-Lata. Orang tuanya sendiri sebelumnya sudah lari ke hutan. Semua mayat kemudian dikumpulkan di bak air. Selanjutnya aparat 511 Brawijaya yang baru datang setelah penyerangan selesai, memerintahkan untuk membawa semua jenasah ke kuburan untuk dimakamkan. Semua jenasah dimakamkan di tiga kolam besar yang disiapkan masyarakat. Jenasah-jenasah tersebut ditanam tanpa ibadah, karena situasi sudah tidak memungkinkan. Selesai penyerangan, para penyerang berupaya mencari pendeta pendeta Pattiasina. Mereka sempat bertanya pada paman saya. Namun dia katakan bahwa dia tidak tahu. Mereka kemudian menegaskan bila tidak tahu akan disiksa. Selanjutnya mereka mencoba mencarinya di tanjung-tanjung. Sebetulnya di sungai mereka sudah melihatnya namun mereka masih pura-pura bertanya. Baha dari Bokimiake yang sudah melihatnya, bahkan dengan mengejek mengatakan bahwa itu saya punya bapak serani {ayah Baptis}. Baha memang cukup mengenal pendeta karena sudah sering datang di Lata-Lata sebelumnya. Saat itu kebetulan Pdt. Pattiasina bermaksud hendak pergi membuang hajatnya, yang kemudian diketemukan oleh baha. Dengan segera Baha menyerukan supaya pendeta jangan lari, kalau tidak kami akan bikin pembersihan. Waktu itu sabada dari desa bokimiake sempat pula meledakan bom. Pdt pattiasina kemudian dibawa oleh mereka ke desa tetangga yang beragama Muslim untuk dibantai dan dibunuh. Secara jelas Sabada dan Baha serta beberapa orang lain terlibat dalam pembunuhan itu. Sewaktu pendeta ditahan ada yang melihat, namun tak berani untuk protes karena sudah ketakutan. Mereka antara lain Mores Garera {ayah Marnes Garera}, dan Nambong Toepo, yang turut menyaksikan ketika pendeta ditahan. Kami yang mengungsi ke hutan memakan apa saja yang ada disana. Terutama pisang dan kelapa. Pada hari Minggu kita ibadah di hutan, dan selanjutnya pada hari Senin kami keluar ke kampung untuk mencari paku-paku dan sink bekas untuk membuat rumah darurat. Setibanya di kampung, kami melihat datangnya motor laut dari arah kampung tetangga Bokimiake. Mereka hanya berlabuh di pantai, dan kemudian kepala desa Bokimiake memanggil kepala desa Lata-Lata untuk naik ke motor. Mereka melakukan percakapan di motor, dan kemudian motor pergi. Sekembalinya kepala desa Lata-Lata ia memberitahukan bahwa mereka yang datang telah menegaskan supaya kita masuk Islam. Bilamana tidak, mereka mengancam akan membuat pembersihan di Lata-Lata. Jelasnya semuanya akan dibantai. Terjadi perdebatan saat itu antara bertahan dan menuruti kehendak mereka. Orang tua-tua kemudian berunding dan putuskan sebaiknya kita turuti kehendak mereka saja dulu, tetapi tidak dengan segenap hati. Pertimbangan ini diambil karena situasi pulau tidak mengijinkan untuk melarikan diri. Besoknya mereka datang kembali untuk menanyakan keputusan kami, dan kami beritahukan bahwa kami menuruti kehendak mereka. Saat itu kepala desa Bokimiake langsung ke Labuha untuk melaporkan bahwa semua penduduk di Lata-Lata sudah siap masuk islam. Beberapa hari kemudian mereka mengeluarkan kami dari hutan lalu membuat beberapa tenda. Kami kemudian dimandikan untuk membersihkan diri dari kotoran-kotoran sebelumnya. Sewaktu memandikan mereka katakan bahwa kami harus hilangkan kotoran babi, anjing dan lain-lain. Mereka juga antara lain mengatakan bahwa kami orang kristen kotor. Masuk gereja dengan bersepatu itu agama kotor. Nyanyi pakai gitar di gereja itu agama tidak benar. Makan babi dan anjing itu kotor. Setelah selesai dimandikan mereka katakan kalian semua terlihat memiliki cahaya nur yang turun ke diri kalian masing-masing. Mereka kemudian mengajarkan kami mengucapkan dua kalimat syahadat, yang artinya tiada Tuhan selain Allah, dan Muhamad adalah utusan Allah. Setelah itu mereka kemudian mempersiapkan kami untuk disunat. Saya lupa tanggalnya, namun saya ingat pada bulan Pebruari. Kami disunat masal. Ada beberapa haji yang datang, antara lain haji John dari Bacan. Waktu itu ada juga banyak orang muslim yang mengawasi. Selain itu ada pula aparat keamanan dari Yonif 511 Brawijaya. Umumnya mereka datang dari Labuha. Pada hari pelaksanaan sunat masal kami melihat ada enam orang dokter yang bertugas melaksanakannya. Mereka yang datang dari Labuha menginformasikan bahwa diantara para dokter ada dua orang yang datang dari Malaysia. Sementara tiga orang lainnya adalah dokter dari Jawa. Tiga orang dokter dari jawa ini biasanya dipanggil dokter Rudy, dokter Supirman, dan dokter Vina {wanita}. Selain itu ada juga satu dokter dari kecamatan Bacan, yang biasanya dipanggil dokter Mato. Selain para dokter, kami juga mengenali mantri Azhar dari desa Bosuwa yang membantu proses penyunatan. Dokter yang dari Jakarta sepertinya dokter tentara, karena kedua lelaki itu mengenakan celana loreng. Karena jumlah tenaga dokter ada enam orang, makanya proses penyunatan berlangsung sekali untuk enam orang. Proses penyunatan masal dilangsungkan di Balai Desa Lata-Lata yang saat diserang tak seluruhnya terbakar. Mereka memanggil setiap orang secara bergilir untuk disunat. Kami sendiri saat menemui dokter, kami disuruh buka celana dan kemudian naik ke tempat tidur. Kemaluan kami kemudian disuntik dengan obat pemati rasa. Selanjutnya ujung kemaluan dipotong dengan peralatan dokter, baru kemudian dibersihkan. Dari cerita kami mengetahui bahwa para wanita juga disunat, hanya caranya berbeda. Umumnya mereka disuruh tidur di tikar setelah memasuki balai desa. Kemudian kemaluan mereka dibersihkan, dan selanjutnya klitorisnya disayat dengan menggunakan silet. Sekitar 200 orang perempuan disunat saat itu. Demikian pula orang tua yang berambut putih, serta anak-anak juga disunat. Jumlah jiwa Lata-Lata sendiri sekitar 1500 orang. Jumlah kepala keluarga 268 KK. Kami mengetahui itu sewaktu pembagian beras, dan datanya ada pada sekretaris desa. Setelah penyunatan masing-masing kami diberi nama Muslim, yang diumumkan di depan pos aparat. Ayah saya {Marnes} diganti namanya menjadi Abdul Karim Garera. Sedangkan ibu saya diganti namanya menjadi Nurhajijah. Pemberian nama Islam dilakukan oleh petugas pengurusan agama dari kantor agama kecamatan Labuha. Bapak Camat sendiri baru datang ketika dilangsungkan doa salamat untuk sunat. Dia datang membawa tiga ekor sapi untuk merayakan penyunatan masal. Beberapa hari setelah penyunatan ada yang terinfeksi dan kemudian dibawa ke rumah sakit labuha. atara lain rudy, nelson, arni, rones dll. Bahkan ada yang dirawat sampai dua bulan. . Selesai disunat pada kami diberikan songko/peci dan sarung baru. Untuk yang wanita diberikan sajadah, tikar sembahyang. Diajarkan pula cara sembahyang, yang pertama dengan mengucapkan takbir. Selain sunat masal diadakan pula perkawinan ulang secara islam dalam bentuk masal . Setelah penyunatan ada aparat keamanan yang menganjurkan untuk tidak memakan ikan dan sayur-sayuran. Sementara dokter sendiri menganjurkan untuk memakannya. Karena itu banyak diantara kami yang tidak memakan ikan dan sayuran selama kurang lebih dua minggu. Kami bertiga memutuskan keluar dari Lata-Lata dengan alasan untuk mencari pekerjaan. Untuk itu kami meminta surat ijin dari sekretaris desa dan aparat keamanan dari ARMED 11 yang saat ini bertugas disana. Kami menumpangi kapal ke Ternate pada tanggal 30 Januari 2001, yang kemudian tiba di Ternate pada tanggal 01 Pebruari. Dari sana kami naik LST ke Bitung-Sulawesi Utara. Baru kemudian kami datang ke Ambon. Sewaktu kami hendak meninggalkan Lata-Lata orang tua kami berpesan untuk bekerja baik-baik dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Sehingga kami bisa menjemput keluarga kami seorang demi seorang untuk keluar dari Lata-Lata. Sekretaris desa sendiri berpesan supaya kami berusaha bagaimanapun caranya untuk mengeluarkan mereka semua dari Lata-Lata. Harapan ini dikemukakan karena masyarakat sangat tidak senang masuk Islam dalam keadaan terpaksa. Biasanya Kalau hari Minggu kami ibadah secara Kristen di kebun-kebun secara berkelompok atau keluarga. Cara demikian ditempuh sebab di kampung tak boleh buat ibadah, karena ada ustad dan aparat, yang tak ijinkan ibadah. Masyarakat sendiri sudah diperintahkan untuk membangun masjid, oleh imam-imam yang datang dari labuha. Rencananya bulan Maret ini kepala masjid akan dipasang. Selain lata-lata maka dusun waringin dengan jumlah kepala keluarga sebanyak kurang lebih 10 KK juga sudah diislamkan. Kini mereka dipindahkan ke desa Islam Imbo-Imbo. Demikian juga sebagian masyarakat desa Geti sudah diislamkan. Masyarakat desa Lata-Lata sendiri saat ini hanya menunggu pengangkutan dan siap untuk keluar dari Lata-Lata. Entah kami harus berharap pada siapa, tapi kami berdoa saja mungkin ada yang mau menolong. Received via email from: Masariku@yahoogroups.com |