Gatra, 4 Oktober 2003, halaman 36 - 37 |
|
Ekspresi Cinta Lewat Meong |
|
KAUM homoseksual di Indonesia umumnya belum berpikir untuk menikah sejenis.Yang penting, happy bercinta dan tak terusik. Ada yang tobat, banyak pula yang maju terus. Beberapa gay dan lesbian bicara blak-blakan. | |
![]() |
|
ANDRE, 32 TAHUN. Seks bumbu utama.BAGI lelaki bertampang Oriental ini, pacaran berarti eksplorasi seks. Kasih sayang juga mesti diekspresikan dengan seks. Itulah sebabnya, ia bersama pasangan gay-nya menggeber aktivitas seksual. Dua kali sehari, tujuh kali sepekan. Tanpa absen. Ruaarr biasa! "Gue sangat menikmati hidup ini," katanya ketika berbincang dengan GATRA di foodcourt Sarinah Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa lalu. Andre, nama samaran, mengaku selalu berperan sebagai lekong alias laki-laki. Ia tak pernah mau berganti peran sebagai pewong atawa perempuan. Ia pun ogah "menafkahi" pasangannya, sebagaimana lazimnya lekong. Malah, ia melulu disantuni pasangannya. Maklum, Andre belum punya pekerjaan tetap, sedangkan sang pacar, sebut saja Ruli, karyawan bank. Pasangan ini tinggal di rumah kontrakan di Pluit, Jakarta Utara. "Kalo pewong gue mau sama gue, ya, begitulah risikonya. Ternyata, ia sayang banget sama gue," kata Andre, sumringah. Mungkin sang pacar klepek-klepek lantaran kepiawaian Andre bermain seks. Kata Andre pula, ia menetapkan peraturan tak boleh mengekang. Ruli sering dibuatnya cemburu karena petualangannya dengan gay lain. "Kalo gue, nggak mau cemburu-cemburuan," tutur lelaki urakan ini. Andre punya perasaan suka terhadap lelaki sejak kelas II SD. Makin lama, perasaan aneh itu kian subur. Untuk mengelabui orangtuanya, ia berusaha jadi bocah bandel dengan merokok, berkelahi, dan menggoda teman wanita. Di belakang mereka, tetap saja Andre berdesir-desir menampak bocah lelaki, apalagi menyentuhnya. Pas kuliah di perguruan tinggi di Jakarta Selatan, Andre merasa uenak tenan ketika untuk pertama kalinya berhubungan seks dengan cowok sekampus. Toh, ia masih berusaha menjadi lelaki normal. Berpacaran dengan perempuan, berhubungan seks normal, dan gonta-ganti pasangan. Tapi, ia segera menyadari, gairahnya lebih menggebu terhadap lelaki. Dan ia tak mau berpura-pura lagi. Sebelum nempel dengan Ruli, sejak tahun lalu, ia kerap berganti pasangan gay. "Akhirnya gue putuskan menikmati hidup lebih santai sebagai gay," katanya lagi. Kendati begitu, ia tetap menjaga "rahasia" ini dari orangtuanya. RONI, 30 TAHUN. Peran ganda.SEPERTI Andre, Roni (nama alias) mengaku aktivitas seks sangat penting dalam berpacaran. Bedanya, ia dan pasangannya, sebutlah Alex, bisa berperan ganda: lekong dan pewong. "Itu sih fleksibel, tergantung siapa yang duluan ngangkang," ujarnya sembari ngakak. Diakuinya, peran pewong lebih sering.dilakoninya. Tiga bulan ini Roni, karyawan hotel, menjalin cinta dengan Alex, pegawai swasta. Mereka tinggal di rumah sederhana di Kalibata, Jakarta Selatan, yang disewa Rp 600.000 sebulan. Sebelum berpacaran dengan Alex, bungsu dari lima bersaudara ini sering gonta-ganti pasangan gay. Ketertarikan terhadap cowok dirasakan Roni sejak di SD. Hidup serumah bersama pasangan, bagi Roni, adalah mutlak. Dengan begitu, mereka lebih leluasa melampiaskan "ser-seran" dengan meong alias beraktivitas seksual, meski tak selalu harus begitu. Sentuhan tangan dan kecup mesra juga mewarnai keseharian pasangan Roni-Alex. Setiap hendak pergi bekerja, keduanya saling mengecup kening. Roni amat menyayangi Alex. Sebaliknya, kata Roni pula, Alex amat mencintainya. Tahu dari mana? "Kelihatan nafsunya gede kalau lagi meong" begitu alasan Roni. Busyet, ada-ada saja. Aktivitas meong biasanya ngesong (oral) dan tempong (anal). Roni mengatakan, hubungan cinta mereka dilakoni tak atraktif. Mereka juga tak punya niat mengeksposenya, apalagi sampai menikah. Mereka menyambut dingin keberanian pasangan gay lokal yang secara terbuka menyatakan menikah, atau akan menikah. "Kalo gue, nggaklah. Secara budaya, masyarakat kita belum bisa menerima itu. Biarlah seperti ini saja," kata Roni. |
|
SUPRIYATNA, 23 TAHUN. Leluasa mencari pasanganBENARLAH kata orang, perilaku homoseks bisa menular. Itu juga dialami Supriyatna alias Nana, kini mahasiswa di Yogyakarta. Saat ia kelas V SD, usia 10 tahun, sang paman menyetubuhi Nana. Bocah itu sempat terpukul, tapi kemudian malah menikmati acara meong-meongan ini dengan sang paman. "Saya kemudian menyenangi sosok lelaki," tutur lelaki asal Batam, Riau, itu kepada GATRA. Padahal, sebelumnya, ia merasa sebagai bocah lelaki tulen yang doyan menggoda bocah perempuan. Lepas SMU, Nana makin leluasa mencari pasangannya di Yogyakarta. |
![]() |
Ia pun masuk Komunitas Pelangi, salah satu komunitas gay di sana. Kendati menyadari sulit menjadi lelaki normal lagi, Nana belum terpikir kelak menikah dengan pasangannya.
ADE KUSUMANINGRUM, 31 TAHUN. Berkali-kali mencoba bunuh diri.TANPA cinta, hidupku hampa. Itulah yang kerap dirasakan Ade, terutama ketika ditinggal pacarnya, sesama lesbian. Kehampaan itu mendorongnya untuk mengakhiri hidup. Pada 1994, ketika pacar pertama meninggalkannya, Ade mencoba bunuh diri. Mujur, ia masih selamat. Masih di tahun itu, Ade kembali berusaha bunuh diri, menenggak obat tidur, gara-gara ditinggal menikah pacarnya. Lagi-lagi ia selamat. Ade suka terhadap perempuan sejak kelas II SD. Mulanya sekadar tertarik dan merasa sepi kalau tak jumpa sehari. Perasaan aneh itu makin menjadi selepas SD. Dari buku agama, Ade sempat tahu bahwa perilaku homoseksual diharamkan. Bocah itu frustrasi, lalu memotong nadinya. Beruntung, ia diselamatkan ibunya. |
|
Sejak itu, ia berusaha menekan pikirannya tentang seksualitas. Hingga SMU, Ade menutupi kelainannya itu. Ia menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas, seperti karate. Tak tahan berpura-pura dan hidup dalam kehampaan, Ade kembali mencoba bunuh diri dengan minum obat tidur. "Nggak berhasil juga, cuma tidur berhari-hari," tutur Ade kepada Luky Setyarini dari GATRA. Baru sejak dua tahun silam, konsultan media itu bisa lebih tenang. Pasalnya, ia telah mendeklarasikan kelainannya itu di lingkungan keluarga dan teman-temannya, dan diterima dengan baik. Ade pun bebas membawa pacar barunya, sebut saja Nita, ke rumah orangtuanya. |
![]() |
Ade dan Nita — mereka biasa melepas hasrat seksual dengan mulut dan jari — sempat membahas kemungkinan punya anak, lewat inseminasi buatan. "Tapi keburu putus," ujar Ade, yang kini masih melajang. Pehobi fotografi itu berharap, masyarakat bisa mengubah stereotipe tentang kaum homoseksual. "Kami sama dengan heteroseksual. Punya potensi dan bakat sama besar. Hanya satu aspek pribadi yang membedakan kami. Dan, penilaian orang atas manusia lain tidak harus berdasar seksualitasnya," kata Ade. |
|
IMELDA TAURINA MANDALA, Happy bangetSEJAK kecil, Imel berpenampilan tomboi. Belakangan berkembang menjadi lesbian, dan dia nyatakan ketika berusia 19 tahun, pada 1997. Lingkungan keluarga dan teman menerimanya dengan baik. "Mungkin itu keberuntungan gue," kata karyawan perusahaan musik di Jakarta itu sambil tertawa renyah. Gadis hitam manis ini amat happy dengan "takdirnya" sebagai lesbian. Ia tak pernah berpikir mau hidup secara normal kembali. "Hidup bersama wanita sangat membahagiakan, sama seperti orang hetero dengan cowok atau ceweknya. Masak gue ninggalin kebahagiaan itu," ujarnya blak-blakan kepada Rini Anggraini dari Gatra. |
![]() |
Toh, ia tak pernah berpikir untuk menikah dengan pasangan lesbinya, apalagi diekspose pula. Tak perlu itu. Lagi pula, "Ngapain tell the world?" kata Imel, yang mengaku agak tertutup soal "masa depan" pasangan lesbian ini. Malah, ia pun tertutup soal pacarnya. "Itu masalah pribadi gue," katanya lagi. |
|
SAMUEL WATTIMENA, 42 TAHUN. Berusaha normal sampai mati.SOSOK perancang busana kenamaan ini sempat menyentak publik kala memberi pengakuan secara terbuka perihal perilakunya sebagai gay. Dalam acara yang disiarkan televisi, dua tahun silam itu, Sammy — panggilan Samuel — juga menyatakan tekadnya untuk kembali menjadi lelaki normal. Apa Sammy masih konsisten dengan tekadnya itu? Ya, setidaknya ia masih berusaha keras. "Dalam usaha menjadi normal, sampai mati," ujarnya kepada Arief Ardiansyah dari Gatra. Sammy bilang begitu karena tak bisa memperkirakan seandainya suatu saat ia kacau lagi. |
![]() |
Selama 24 tahun, Sammy nyemplung dalam kehidupan homoseksual. Ia sendiri meong-meongan di usia 15 tahun. Lalu ketagihan, meski berusaha berhenti. Ketika dewasa, ia kian kecanduan cowok. Lima kali seminggu harus melakukan hubungan seks. Biasanya, cowoknya muda, kulit kencang. Sammy kala itu betul-betul mengumbar syahwatnya. Kini, Sammy menjauhi kehidupan gay. Ia mengaku tak memikirkan hal itu lagi, dan bukan topik baginya lagi. "Gay adalah masalah kecil. Bangsa ini butuh more than that. Hal terpenting bagi seseorang adalah apa yang dia lakukan untuk bangsanya," kata Sammy, bersemangat. Katanya pula, sesungguhnya bukan hal penting bagi kaum homoseks untuk makin diterima di masyarakat. Yang lebih penting, bagaimana mereka mengatasi rasa bersalah, sehingga bisa hidup lebih tenang. Taufik Alwie, Bambang Sulistyo dan Sawariyanto (Yogyakarta) | |