Gatra, 4 Oktober 2003, halaman 31 - 32 |
|
Legalitas Abu-abu Hubungan Sejenis |
|
Perkawinan kaum sejenis sudah legal di beberapa negara. Pandangan publik Amerika beringsut. Di Thailand, kuil-kuil membuka tangan untuk pasangan gay. | |
ADA berita menggembirakan bagi para homoseks. Tahun depan, diperkirakan bertambah satu lagi negeri tempat mereka dapat melegalkan perkawinan sejenis. Setelah selama ini perkawinan antarhomo diakui secara sah di Belanda dan Belgia, aturan sefupa bakal lolos di Kanada. Pada beberapa pekan belakangan ini, tanda-tanda ke arah itu makin tampak jelas. Suara-suara yang rnendukung sikap pemerintah yang berniat melegalkan perkawinan sejenis kian bertambah. Itu tampak dalam pemungutan suara di Majelis Rendah yang dilakukan pekan silam. Dengan komposisi suara 137 menolak dan 132 setuju, pemerintahan Perdana Menteri Jean Chretien tak terlalu sulit lagi menggolkan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Sejenis pada tahun depan. |
|
Di Kanada, selama ini baru dua negara bagian yang mengakui hak para gay untuk menikah, yakni Ontario dan British Columbia. Pengadilan tinggi di kedua negara bagian itu melegalkan perkawinan pasangan sejenis karena mereka menganggap definisi perkawinan yang berlaku selama ini — antara lelaki dan perempuan — bersifat diskriminatif dan melawan hukum. Mereka menilai, para homoseksual pun punya hak asasi sama dengan kaum heteroseksual untuk menikah. "Kita tak dapat mengesampingkan begitu saja hak-hak anggota masyarakat. Keberadaan mereka (para homoseks) tentu tak boleh diabaikan," kata Menteri Kehakiman Kanada, Martin Cauchon. | ![]() |
Pada Juni silam, Pengadilan Tinggi Ontario memang mengeluarkan putusan yang mengesahkan perkawinan antar-gay. Serentak dengan itu, hakim pengadilan itu pun mendesak pemerintah federal mengubah definisi tentang perkawinan. Perkawinan bukan lagi berarti bersatunya laki-laki dan perempuan, melainkan bersatunya dua insan, dalam kehidupan bersama. Pengadilan Tinggi British Columbia segera pula mengikuti jejak hakim tinggi Ontario. Kalau benar undang-undang (UU) bikinan pemerintahan Chretien itu lolos tahun depan, Kanada berarti akan mengikuti jejak Belanda. Pemerintah "negeri kincir angin" itu telah menerapkan UU sejenis sejak 2001. Ditandai dengan perkawinan empat pasangan homo di Balai Kota Amsterdam, para gay kini bisa memperoleh legalitas dan akta perkawinan di negeri itu. Sejak itulah, kaum homo dan lesbian dari seluruh penjuru dunia merasa mendapat pengakuan. Menurut The Washington Post, sejak UU tersebut disahkan, angka perkawinan gay meningkat pesat di Belanda. Kini, 8% dari seluruh pernikahan yang tercatat di negeri itu adalah perkawinan sejenis, baik pasangan sesama lelaki maupun sesama perempuan. Perkawinan model ini sudah terasa lazim di negeri itu. "Makanya, aku heran mengapa banyak orang menentang. Toh, mereka tak paham benar apa bagaimananya hidup sebagai gay," kata Pasker, yang mengaku hidup normal bersama Kasteel, pasangan gay pertama yang mendapat akta nikah di Belanda. Parker tampaknya menyindir keadaan yang kini berlangsung di Amerika Serikat. Terutama karena negeri itu dikenal ihwal kebebasan seksnya. Belum lama ini, misalnya, Presiden George W. Bush menyatakan ketidaksetujuannya pada ide pembuatan UU Perkawinan Sejenis. Pernyataan itu tampaknya seiring dengan sikap mayoritas pemerintah negara bagian di sana. Dari 52 negara bagian, hanya delapanyangjelas-jelas memberi peluang bagi perkawinan sejenis. Pemerintah di kedelapan negara bagian itu —Wyoming, Wisconsin, West Virginia, Vermont, Rhode Island, Maryland, Iowa, dan Hawaii— gagal melarang lahirnya aturan tentang perkawinan sejenis. Legalitas di kedelapan negara bagian itu pun sebenarnya bukan tanpa landasan. Bermula dari kasus perkawinan sejenis yang merebakdi Hawaii pada 1991. Kalaitu, Hawaii masih menerapkan UU lama, yang takmengizinkan pasangan sejenis menikah. Lewat perdebatan panjang dan alot, kini Pengadilan Hawaii mengaku telah mengganggu hak konstitusional Baehr dan pasangannya, serta meralat status perkawinan mereka yang sebelumnyatakdiakui. Setelah itu, tujuh negara bagian lainnya mengikuti jejak Pengadilan Hawaii. |
|
Tak hanya itu. Sikap masyarakat Amerika sendiri pun beringsut drastis dalam melihat persoalan gay ini. Menurut jajak pendapat General Social Survey pada 1991 yang dilansir The New York Times, 71% responden menyatakan seks antar-gay ini salah besar. Sebelas tahun kemudian, hanya 53% responden yang menjawab seperti itu dan 32% menyatakan seks antar-gay tak salah, silakan saja. | ![]() |
Yang cukup mengherankan adalah Thailand. Di negeri yang dikenal dengan wisata seksnya itu, belum ada sedikit pun pasal yang menyinggung posisi kaum homo. Yang ada sebatas hukum yang tak menghalalkan pergantian kelamin. Pemerintah negeri itu bersikap abu-abu soal perkawinan antarhomo. Faktanya, selama ini cukup banyak kalangan homo asing melangsungkan perkawinan sejenis di negeri itu. Pasangannya tentu kalangan homo pribumi karena perkawinan berlangsung di tempat peribadatan penganut Buddha di sana. Kuil Chai Mongkhon di Pattaya menjadi satu dari sekian banyak tempat upacara perkawinan pilihan para gay ini. Para biksu di Thailand sendiri bersikap dapat menerima hubungan sejenis seperti itu. "Para biksu itu mendukung semua orang yang berbuat baik. Itu sebabnya, mereka mengizinkan perkawinan berlangsung di kuil mereka," ujar Somboon Inpradith, seorang editor majalah gay. Perkawinan yang berlangsung di kuil itu, menurut Somboon, memang bukan pernikahan yang dilegalkan agama. Perkawinan homoseks di negeri itu lebih sebagai upacara menurut tradisi masyarakat Thai. Walau demikian, sikap para biksu dan Pemerintah Thailand tentu cukup membuat nyaman para gay. Upacara pernikahan tradisional ini toh punya arti tersendiri — terutama menyangkut pengakuan terhadap eksistensi mereka. Mirip-mirip Thailand, hukum Vietnam juga masih abu-abu dalam memandang homoseksualitas dan perkawinan sejenis. Belum ada rumusan hukum yang secara eksplisit melarang atau memperbolehkan aksi homoseks. Sejak zaman baheula, baik dalam UU yang digariskan Dinasti Le (1428-1787) maupun dalam UU semasa Dinasti Nguyen (1802 -1945), gay ataupun kaum homoseks tak diperhitungkan. Yang ada dan diatur dalam hukum pidananya hanya sekitar pemerkosaan, penyiksaan anggota keluarga, penyerangan secara seksual, dan perzinaan. Soal hubungan sejenis tak disinggung sama sekali. Aturan yang bersinggungan dengan soal jenis kelamin hanyalah yang melarang laki-laki mengenakan pakaian perempuan dan ganjil. Hukum kuno negeri ini juga melarang laki-laki dikebiri atau mengebiri diri sendiri. Aktivitas para homoseks masa itu tampaknya dijerat dengan tindak pidana perzinaan atau pemerkosaan. Begitu pun di era modern sekarang ini. Padahal, kalau ditimang-timang, keadaan itu boleh dikata cukup aneh. Sebab, "saudara tua" bangsa ini dari wilayah barat, Cina, telah memiliki aturan sederhana mengenai hubungan sejenis sejak era Dinasti Ching pada 1740. Kaisar Cina masa itu sudah menetapkan sodomi sebagai perbuatan sangat terlarang dan diancam dengan hukuman berat. Namun, aturan itu ternyata tak diadopsi penguasa Vietnam, bahkan yang modern sekalipun. Dalam UU Perkawinan dan Keluarga yang disahkan pada 1986 juga tak tercantum soal homoseks ini. Jerat yang bisa dipakai untuk menghukum kaum homoseksual di sana adalah pasal tentang pelanggaran tatanan moral masyarakat. Mesir sebagai salah satu negeri tertua di dunia pun ternyata belum memiliki hukum yang mengatur soal homoseksual. Padahal, kasus hubungan sejenis yang cukup besar pernah merebak di sana pada Mei tahun lalu. Kala itu, polisi Mesir menangkap 52 laki-laki di sebuah klub malam di kawasan elite Zamalek, Kairo. Kasus itu disidangkan di Pengadilan Negeri Abdeen, Kairo, tiga bulan kemudian, yakni Agustus 2002. Kesemua laki-laki itu dituding melakukan penyimpangan seksual yang ada dalam pasal-pasal antiprostitusi. Malah, lebih jauh, polisi Mesir sempat menuding kelompok ini sebagai komunitas penganut ajaran sesat. Pemimpin kelompok gay ini, Sherif Marei, dituduh sebagai penganjur dan penyebar ajaran itu. Lepas dari lubang hukum tentang homoseksual, Sherif dijerat dengan pasal penghinaan agama. Ketika menangkap mereka, polisi pun memakai UU Darurat yang diterapkan di Mesir sejak tragedi pembunuhan Presiden Anwar Sadat pada 1981. Menurut UU itu, polisi berhak menangkap dan menahan seseorang yang dicurigai, tanpa surat penangkapan dan izin pihak mana pun. Kasus ini sempat membuahkan protes dari berbagai kalangan, termasuk kelompok Organisasi Hak-hak Asasi Manusia Mesir (EOHR). Tak kurang dari aktivis Al-Fatiha, organisasi kelompok muslim gay, berunjuk rasa di kedutaan-kedutaan Mesir di beberapa negara. "Tapi, berbagai upaya kami untuk menekan tak digubris sama sekali oleh Pemerintah Mesir," kata Faisal Alam, Koordinator Al-Fatiha. Komunitas gay, diakui atau tidak, rupanya kian menjamur di Mesir. Tapi, pemunculan mereka masih malu-malu kucing. Setelah kasus penangkapan 52 orang itu, mereka mulai berani tampil dan bersuara. Mereka membentuk kelompok sendiri dan sempat unjuk gigi lewat situs internet. Tapi, apa mau dikata, hubungan via komputer itu pun diawasi polisi. "Mereka selalu mengintip kegiatan kami, dan situs kami pun mereka hancurkan," kata sumber di kalangan gay ini. Tempat nongkrong yang cukup disukai kelompok yang dijuluki "kaum Luth" ini tentu saja lokasi seperti klub malam, diskotek, dan pub. "Pub-pub di sekitar Mohandessen menjadi tempat mangkal yang disukai para gay" kata Maher, pemuda Mesir yang senang menelusuri dunia gemerlap di Kairo. Menurut Maher, para gay Kairo terbilang sangat tertutup. Apalagi kini polisi setempat begitu gencar melancarkan razia. Lebih-lebih, pandangan masyarakat yang mengharamkan homoseksual dan hukum Mesir yang kian keras terhadap para gay. Tak seperti Thailand, Vietnam, Amerika, Kanada, apalagi Belanda. Mesir — dan tentu banyak negara lain — bukanlah tempat yang nyaman untuk para gay berkiprah. Erwin Y. Salim, dan Dede Permana (Kairo) |
|