Gatra, 4 Oktober 2003, (Kolom) halaman 38 

Queer

Jaleswari Pramodhawardani*

SAYA menatap lama foto di depan saya. Sebuah kloset lusuh dan kotor, dengan latar gelap dan murung, bersanding dengan sobekan koran berjudul "closet door remains shut for many gays". Kloset memang punya arti yang dalam bagi komunitas lesbian, gay, bisexual, transgender/transsexual (LGBT), karena ia menggambarkan suatu tempat yang memaksa sebuah komunitas merahasiakan sesuatu dari dunia luar.

Sejujurnya, saya bukan pengamat seni yang piawai. Namun, dalam hitungan menit bisa membedakan suasana paradoks yang menyelimuti foto-foto di tembok itu. Foto yang hampir seragam. Bicara kemuraman, suasana ganjil, dan sarat simbol. Para perupa lesbian, yang fotonya tergantung di sayap kiri itu, memang berbeda dengan rekannya gay, yang lebih relaks, jenaka, dan lebih banyak menonjolkan sisi estetika ketimbang etika dalam sebagian karya mereka. Tema LGBT yang akrab dengan sebutan "queer" inilah yang diusung pameran foto bertajuk "Roman Homo(gen)" di Gedung Oktagon, Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat.

Sehari sebelumnya, di tempat yang berbeda, festival film queer dibuka selama sebulan. Keduanya merupakan satu rangkaian kegiatan yang diprakarsai komunitas LGBT. Bukan itu saja, yang menarik, tiga bulan terakhir hampir semua stasiun televisi swasta gencar mengupas kehidupan komunitas yang mendadak jadi selebriti dadakan ini. Begitu pula media cetak. Kehidupan mereka, bahkan "perkawinan" mereka, merupakan sasaran empuk pemberitaan media. Benarkah euforia di berbagai media itu merupakan indikator keberadaan mereka mulai diakui?

Queer, yang berarti aneh, bengkok, miring atau salah, pada awalnya memang tidak menunjuk konotasi seksual tertentu, namun sejak 1920-an, kata itu dipergunakan untuk menyebut homoseksual laki-laki. Bahkan kemudian mendapat perluasan arti untuk mendeskripsikan komunitas yang berisi kaum gay, lesbian, biseksual, drag queens, transeksual. Dari segi terminologi, kata queer sendiri agak bermasalah. Ia bukanlah terma yang netral. Secara umum, queer menunjuk pada lawan dari mereka yang "normal", bukan lawan dari mereka yang "heteroseksual". Karena itulah, pemakaian kata queer seringkali dikritik karena mengandung bias-bias maskulin yang menghapus keberadaan kaum lesbian dalam kelompok itu.

Pameran foto dan festival film queer tadi boleh jadi harus dimaknai sebagai sarana komunitas itu untuk mencoba mempertanyakan dan menggugat "normalisasi" atau heteronormativisme yang mendominasi seluruh ruang kehidupan yang ada selama ini. Saya hampir percaya, karena seluruh perupa bukanlah fotografer profesional yang kita kenal selama ini. Foto lantas berfungsi sebagai media efektif yang mewakili suara mereka untuk menyampaikan sesuatu. Hal ini terungkap dari sebagian besar karya yang digelar, misalnya tulisan dengan huruf kapital dalam foto yang terpampang: "Kenapa Mesti Normal?". Atau, wujud gambar abstrak berbentuk garis ruwet yang di sampingnya tertulis: "Define Normal".

Bagi saya dan Anda yang straight, definisi "normal" mungkin demikian gamblang dan tak punya implikasi apa pun. Karena, selama ini kata itu telah didefinisikan secara sepihak oleh kita, komunitas heteroseksual. Bagi mereka, kata normal menjadi perkara besar. Tidak saja harus tunduk pada kaidah-kaidah kenormalan, namun harus memaksakan diri menjadi "normal", karena di luar itu berarti tidak normal, sakit, dan salah.

Implikasinya adalah hukuman yang dapat berwujud apa pun, penyangkalan, penolakan, yang ujungnya berbentuk kekerasan. Hal ini menegaskan apa yang telah dikemukakan Gayle Rubin tentang stratifikasi sosial berdasarkan seksualitas. Ketika heteroseksual didefinisikan sebagai satu-satunya hubungan seksual yang normal, sah, dan sehat, maka lainnya adalah abnormal, dosa, sakit. Itulah sebabnya, feminisme, meskipun berhasil menjelaskan ketidakadilan sosial berbasiskan gender, kata Rubin, gagal memberikan penjelasan atas ketidakadilan yang terjadi karena orientasi seksual.

Saya masih terpaku di sudut ruangan itu. Mencoba memahami yang mereka sampaikan. Bagi saya, karya seni tetap karya seni. Entah itu hasil karya seorang hetero atau homo. Seandainya benar Michelangelo seorang homoseksual, atau Oscar Wilde sastrawan kampiun yang terkenal dengan The Importance of Being Eamest-nya juga gay, karya mereka tetaplah karya manusia. It is, simply, human. Tidak peduli dengan orientasi seksual yang dimiliki.

Boleh jadi, ini kekenesan saya sebagai hetero, yang tak paham artinya penindasan orientasi seksual. Atau, mungkin saya lupa, dunia heteroseksual tak cukup dermawan untuk berbagi ruang di luar sesuatu yang beda dengannya. Untuk itulah, komunitas ini hadir dengan label-labelnya, mengajak kita belajar menerima dan menghargai keberadaannya. Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan Judith Butler bahwa gender harus dilihat sebagai variabel yang cair, suatu cara kita bertindak pada zaman dan situasi yang berbeda, dibandingkan sibuk mempersoalkan siapa kita. Ya, marilah menemukan persamaan dan merayakan perbedaan! Seperti yang disampaikan salah satu perupa malam itu.

*Peneliti Puslit  Kemasyarakatan Dan  Kebudayaan (PMB)-UPI
dan Direktur Local Government Studies (LOGOS)

back