Radar Banyumas, Jumat Pahing, 11 November 2005 |
|
Mengenal Dunia Waria di Trotoar Jalan Purwokerto (1) |
|
Bulan Puasa 'Cuti', Setelah Lebaran 'Mangkal' Lagi |
|
RIDWAN ANSHORI, Purwokerto Ada makna yang mendalam bagi para waria saat Bulan Ramadhan tiba. Aktivitas 'mangkal di pinggir trotoar jalan berkurang, namun bukan berarti libur total. Satu dua waria masih beroperasi.Tetapi setelah Lebaran, ngajak kencan dengan pengguna jalan kembali marak. RABU (9/11) jarum jam menunjuk angka 9 malam. Lampu-lampu jalan di sepanjang S Parman Purwokerto tampak benderang. Di beberapa tempat cahayanya tak mampu menembus aspal jalan karena terhalang pohon yang berdiri di trotoar. Tetapi, justru di tempat yang agak temaram itulah Kiki merasa lebih nyaman. |
![]() |
Sambil berdiri di pinggir trotoar, matanya tak pemah luput melirik setiap pengguna jalan yang melintas di depannya. Sesekali asap rokok dikepulkan dari bibirnya. Sesekali pula, dari bibir yang berlipstik tebal itu mengeluarkan kata-kata menggoda. Senuah ungkapan yang persuasif bahkan terkesan menantang.
"Mampir mas, temanin Kiki dong," demikian kira-kira kalimat yang sempat terlontar dari Kiki, seorang waria yang biasa mangkal di jalan itu. Kiki merasa senang jika ada seseorang menghampirinya. Itu pertanda, dirinya masih bisa memikat lelaki. Kiki tak sendiri. Di sana, masih ada Kiki-kiki yang lain. Mencari penghasilan di dunia malam adalah pekerjaan yang mereka lakoni. Terkadang sampai Adzan Subuh baru pulang tetapi tak jarang baru jam 11 malam lebih memilih pulang. Yang jelas, mereka harus bergelut dengan dingin malam, juga bergelut dengan kejaran aparat. |
|
Mereka tahu resiko semua itu. Mereka juga tahu, pekerjaan yang mereka lakoni adalah pekerjaan yang kerap jadi gunjingan. Mereka juga sadar, pekerjaannya adalah pekerjaan hina dan dosa. Atas kesadaran itulah, Bulan Suci Ramadhan pun, aktivitas cari mangsa di pinggir jalan pun berkurang. Kiki, salah satu waria yang berhasil diajak ngobrol dengan wartawan koran ini sedikit banyak bercerita dengan aktivitasnya selama Ramadan. "Sebenarnya bukan karena takut ditangkap Pak Polisi, tetapi karena bulan Ramadan. Ya, menghormati sedikitlah orang yang mau beribadah," katanya, bernada genit. "Kalau tertangkap aparat, paling hanya bayar denda 50 ribu, selesai," imbuhnya. Puasa ternyata memberi makna yang mendalam bagi Kiki dan kawan-kawan seprofesinya. Minimal mengenal Tuhan dengan menjalankan sholat juga dilakoni. Anehnya, meski mereka lebih menunjukkan feminimitas yang suka berdandan seksi dengan rok mini, tetapi kalau sholat mereka tetap sadar diri. Pada saat sholat mereka tetap berperan sebagai lelaki normal, yakni pakai sarung. "Ya pakai sarung. Sebenarnya, kita-kita ini kan cowok. Sejak kecil saya juga terbiasa sholat dengan menggunakan sarung dan sampai sekarang," katanya. Aura religius lumayan memayungi mereka di saat Ramadhan. Namun setelah Lebaran tiba, justru aura religius itu kembali meluntur. Pekerjaan mangkal di trotoar kembali dilakoni. Lantas, apa hanya kerja seperti itu saja yang mereka lakoni? Ternyata selain mangkal di trotoar, Kiki juga beberapa teman-temannya juga mempunyai pekerjaan sampingan. Kiki yang mengaku menempati indekos di Karangpucung sebelah barat terminal Purwokerto ini masih punya pekerjaan lain yang juga rutin dilakoni. "Besok saya harus ngamen di atas kereta. Tidak mungkin cukup hanya menghasilkan duit dari sini (kencan dengan lelaki hidung belang, red)," katanya. (bersambung) |
|