Radar Banyumas, Minggu Wage, 13 November 2005 

Mengenal Dunia Waria di Trotoar Jalan Purwokerto (3) 

Bosan Menjual Diri, Tapi Tak Tahu Harus Kerja Apa

RIDWAN ANSHORI, Purwokerto

Mereka sadar, pekerjaan yang dilakoni ibarat sampah. Banyak orang mencibirnya, tetapi sedikit orang yang membutuhkannya. Mereka tak tahu harus mencari pekerjaan apa selain mangkal di trotoar.

Malam itu semakin larut. Lalu lalang pengguna jalan di sepanjang Jalan S. Parman Purwokerto mulai lenggang. Aktivitas dan hiruk pikuk orang-orang di jalan mulai berkurang. Itulah saat yang digunakan oleh sebagian besar orang beristirahat setelah seharian bekerja.

Namun, tidak seperti yang dijalani Kiki dan Nina. Malam itu, dua waria ini dengan setia bekerja, menunggu dan merayu para lelaki di pinggir jalan di bawah temaram lampu kota yang agak meremang adalah tempat dua lady boy ini.

Keduanya tampak akur, sesekali gelak tawa ringan mengemuka dari bibirnya. Dari bibir berlipstik tebal itu sesekali asap rokok disemburkannya. Nyaris tak terlihat dari raut wajahnya yang menyiratkan kegelisahan. Mereka tampak tegar bergelut dengan dinginnya angin malam.

Apakah aura ketegaran juga menyelinap di dalam benaknya? Ternyata tidak. Mereka bosan menjalani malam demi malam seperti ini; mangkal, melirik, merayukan, (maaf) bercinta dengan orang yang mungkin tidak pernah mereka kenal. Sebagian besar, mereka menjalani demi uang, bukan kepuasan.

Kiki, waria seksi itu berkisah tentang kejenuhannya bergelut dengan dunia malam di pinggir trotoar. “Semua orang pasti tahu, menunggu (tamu) adalah acara yang paling membosankan. Ada tamu datang ya syukur, kalau tidak ya, mungkin belum rejekinya,” ujar waria yang mengaku telah menjalani dunia ini sejak 4 tahun yang lalu.

Nina, karibnya Kiki yang juga menungkapkan hal serupa. Bagi Nina, selain bosan dengan menunggu tamu, waria harus dituntut tampil seseksi mungkin. “Kalau tidak seksi nanti tidak menarik. Padahal itu mengumbar aurat,” katanya. “Meski udara dingin harus tampil begini,” sambungnya sambil menunjukkan kostum yang dikenakannya malam itu. Nina mengenakan celana pendek ketat dan T-shirt ketat.

Tak sampai di situ. Dari sisi pendapatan semalam mangkal, pekerjaan ini tak banyak menghasilkan berlembar-lembar uang. Dari penuturannya, dalam semalam mereka hanya bisa melayani dua kencan. “Maksimal dapat 30 ribu semalam, bahkan sering tidak dapat sama sekali,” kata Kiki sambil menambahkan kalau ’penggemar’ waria di Purwokerto belum banyak.

Penghasilan sekecil itu tidak sebanding dengan kebutuhan untuk mencukupi penunjang penampilan seperti kosmetik beserta peralatannya, juga pakaian. “Kita butuh lipstik, bedak, pakaian yang bagus-bagus dan perawatan,” tutur Kiki. “Belum untuk makan dan bayar kos-kosan,” sambung waria yang menempati indekost di Karangpucung ini.

Penghasilan sekecil itu juga tidak sebanding dengan resikonya. Diuber-uber petugas adalah ‘menu’ pekerjaannya. Tetapi ada resiko yang tak kalah berbahaya, karena dengan gonta-ganti pasangan, mereka  sangat rentang tertular penyakit kelamin; juga disebut Penyakit Kulit Menular (PKM). Mereka sepenuhnya sadar.  “Saya  tahu pekerjaannya akan mendatangkan penyakit yang menular,” ujar Nina, lirih.

Nina juga Kiki, maupun waria-waria yang lain sadar semua resiko atas pekerjaannya. Tetapi mereka mengaku tak punya pilihan lain selain melakukan pekerjaan mangkal di trotoar itu. Mereka juga mengaku pekerjaan yang digeluti tiap malam itu adalah karena keterpaksaan. "Saya melakukan ini karena terpaksa karena tidak tahu harus kerja apa," ujar Nina yang diamini Kiki.

Keduanya atau mungkin waria yang lain berharap, suatu saat bisa mengakhiri petualangan seksnta. Mereka juga berharap ada pihak yang bisa memberikan ketrampilan yang bisa dijadikan bekal mencari nafkah. "Saya pingin ada yang mengajari menjahit," kata Nina. Sementara Kiki berujar, "Saya pingin berwiraswasta buka usaha salon kecantikan." (*)

back