Kompas, Sabtu, 15 April 2006 |
Penopang Keluarga yang Dinista |
Oleh IWAN SANTOSA Ribuan wanita pekerja malam terjun ke dunia remang-remang dengan pelbagai alasan. Dari sekadar untuk menyambung hidup sebagai orangtua tunggal hingga mampu membangun rumah dan membelikan sawah di desa bagi keluarga. Keberadaan mereka sebagai magnet dunia hiburan juga mampu menghidupi komunitas marjinal perkotaan, dari tukang bajaj, sopir taksi, tukang parkir, satuan pengamanan, hingga penjaja makanan ringan beserta keluarganya. Perputaran uang hingga miliaran rupiah dihasilkan para wanita pekerja malam di Jakarta. Mereka memiliki profesi bervariasi, dari pemandu lagu karaoke, lighting girl, disc jockey di diskotek, penyanyi band, pelayan rumah makan, pemijat, hingga praktik prostitusi terselubung. Dina—sebut saja demikian—seorang pemandu lagu di karaoke di sebuah tempat hiburan dekat Ancol, Jakarta Utara, mengaku sudah bekerja lebih dari enam tahun. "Lumayan Mas, bisa membelikan sawah beberapa petak, membangun rumah, dan sempat punya sedan Baleno," ujar Dina. Saat ini dia tinggal di sebuah Paviliun di bilangan Jakarta Barat yang disewa Rp 1,5 juta per bulan, tak seberapa dibandingkan dengan total pendapatan yang bisa mencapai Rp 8 juta per bulan. Dina sebagai kakak pun bertanggung jawab menyekolahkan dan kini menampung adik lelakinya yang bekerja di Jakarta Utara. Setiap bulan dia biasa mengirim Rp 2 juta-Rp 3 juta ke kampung halaman untuk membantu perekonomian keluarga. Namun, sejak awal tahun pendapatan menurun karena dunia hiburan malam di Jakarta menjadi sepi akibat perekonomian sedang lesu. Menurut dia, sejumlah rekan pemandu karaoke di tempat kerjanya memiliki mobil pribadi hasil menabung sekian tahun. Gaji pokok mereka memang tidak seberapa besar hanya berkisar Rp 2 juta per bulan, tetapi uang tip, undangan untuk menyanyi, serta komisi mendatangkan rezeki lebih mencapai dua atau tiga kali lipat gaji mereka. Pada sektor lain di dunia malam, Silvy—bukan nama asli—seorang masseur (pemijat) di sebuah spa di kawasan Casablanca, mengaku hidup keluarga besarnya tergantung dari uang kiriman yang dikirimnya dari Jakarta setiap bulan. "Keluarga aku petani miskin di kampung Bang. Saya harus merawat anak dan membantu keluarga. Kalau tidak mengandalkan tip dan komisi, mana bisa bertahan hidup," kata Silvy. Bekerja di sebuah spa mendatangkan penghasilan Rp 1,5 juta di luar komisi dan tip. Pendapatan tambahan dari tip dan komisi bisa mencapai Rp 4 juta tiap bulan. Sebagian besar masseur, dari sekitar 60 masseur di tempat Silvy bekerja, tinggal di penampungan di lantai atas tempat mereka bekerja. Kalaupun ada yang tinggal di luar, mereka harus membayar jaminan Rp 10 juta kepada pengelola spa. Para masseur yang tinggal di luar sebagian bermukim di rumah susun di kawasan Pejompongan. Sejumlah rumah susun memang menjadi pilihan tinggal bagi para wanita pekerja malam dengan sewa berkisar Rp 800.000 hingga Rp 1 juta. Bagi yang berpenghasilan tinggi, tak jarang mereka tinggal di apartemen dengan sewa Rp 4 juta per bulan dengan dua kamar tidur yang biasanya disewa bersama dua atau tiga orang sekaligus. Dampak ikutan Pelbagai salon, jasa tukang ojek, taksi, warung, warnet, laundry, hingga penitipan anak juga berkembang di sekitar tempat wanita pekerja malam itu tinggal. Bentuk usaha itu adalah bukti dampak ikutan dari sebuah kegiatan ekonomi, yakni dunia hiburan malam. Lingkungan kerja mereka juga merasakan dampak serupa. Semisal kawasan Little Tokyo di Melawai tempat belasan karaoke yang setiap malam disambangi warga Jepang dan Korea di Jakarta. Tempat ini merupakan tempat sekitar 2.000 ladies (pemandu lagu) bekerja di belasan karaoke juga membuka kesempatan kerja bagi ribuan orang lainnya. Pengemudi angkutan umum, taksi, dan ojek menjadi langganan mereka. Demikian pula pedagang warung tegal, tukang bubur, mi ayam, serta kalangan masyarakat bawah langsung merasakan dampak ekonomi yang bergulir dari dunia hiburan malam. Waktu gajian bagi ribuan pemandu karaoke di Little Tokyo adalah saat yang menyentuh. Pada pagi hari, ribuan wanita muda, yang umumnya menjadi orangtua tunggal, datang bersama anak mereka untuk mengambil gaji, kemudian berbelanja dan berusaha menyenangkan buah hati. Mereka hanyalah manusia biasa seperti kita yang kerap berbicara soal moral dan harga diri tanpa melihat betapa sempitnya lapangan kerja dan kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih baik di Indonesia. Para wanita pekerja malam yang senantiasa mengakrabi risiko dilecehkan, menjadi korban kejahatan dan disakiti, merupakan potret ironi masyarakat yang sedang sakit ini. Namun, di mata masyarakat, profesi mereka dipandang sebelah mata meski menggerakkan sedemikian banyak sektor informal di saat pemerintah tidak berdaya dan para politisi bergandengan tangan dengan kelompok preman terorganisasi merajalela. Mereka - pekerja wanita malam - itu adalah potret kecil dari mayoritas sesungguhnya manusia Indonesia: berjenis kelamin perempuan, berpendidikan terbatas, berlatar belakang urban, dan hanya sekadar bertahan hidup untuk dirinya dan keluarga. Meski tanpa mereka sadari, pekerjaan mereka menghidupi ribuan orang lainnya. |