Koran Tempo, Sabtu, 17 Juni 2006 |
|
Menyingkirlah Para Pria |
|
Sabtu malam, di sebuah rumah tua di Jalan Paseban, Jakarta Pusat. Dibalut sinar neon tua yang redup, empat perempuan dari generasi berbeda bersatu. Ada gairah seks di antara mereka. |
|
Kediaman Kenanga, 58 tahun, itu jadi markas enam kaum Hawa satu orientasi seks. Kebetulan, malam itu, sepasang lagi sedang tak bisa datang. Komunitas tanpa nama ini sebenarnya beranggota 20 orang. Ada yang di Yogyakarta dan Bandung. Hubungan mereka cukup lekat. Komunikasi tak hanya lewat sambungan telepon. Tak jarang ada acara saling kunjung. Khusus yang di Jakarta, kegiatannya, ya, kongko, diskusi, makan, atau jalan-jalan. Kadang, kata Cempaka, 54 tahun, "Kami liburan ke rumah peristirahatan Kenanga di Gadog, Puncak." Komunitas ini baru berdiri setahun lalu. Kenanga, yang mengajar di sebuah perguruan tinggi, punya mahasiswi bernama Melati. Lesbian juga. |
![]() |
Sejak saling tahu, komunikasi makin lancar. Hingga akhirnya Melati ikut berkumpul dengan rekan-rekan Kenanga, dan lahirlah komunitas tanpa bentuk itu. Mereka merasa perlu bersatu lantaran punya kesadaran yang sama. Pilihan menjadi lesbian masih dianggap penyimpangan oleh masyarakat. Karena itu, perlu saling mendukung lewat komunitas itu. Sarjana diploma sastra ini juga merasa banyak belajar dari kelompoknya, terutama menyangkut masalah lesbian. Maklum, pada masa kecilnya, anak tunggal berambut cepak ini selalu dibentuk sebagai seorang perempuan, sesuai dengan kelamin yang dimilikinya. Orangtuanya minta dia pakai rok dan blus. Semua paksaan itu tak mampu mengubah kodratnya. "Saya ternyata lebih suka perempuan." Kesadaran yang dia rasakan sejak di bangku kelas IV sekolah dasar. Dia menemukan Melati, kekasihnya kini, di kampus. Berawal dari seringnya merokok bareng di kantin, cinta pun bersemi di hati keduanya. Di mata wanita berkulit kuning langsat ini, Melati adalah sosok penuh perhatian. Dia merasa nyaman setiap ada di sisinya."Aku menikmati rasa sensual ketika di samping Melati," katanya sambil tertawa renyah. "Akhirnya, Oktober 2003, aku jadian (pacaran) sama dia." Sambil berkisah, sesekali Melati dan Mawar bertatap mata. Diselingi saling suap martabak, tangannya ikut jail, saling bersentuhan separuh meremas. Dalam komunitas, generasi paruh baya diwakili oleh Kenanga dan Cempaka. Keduanya pernah menjadi sepasang kekasih sepanjang tujuh tahun. Di ruang bercat hijau pupus ini, Kenanga berkisah, mereka biasa berbagi cerita. "Ini adalah tempat yang membuat kami dekat satu sama lain," ujarnya. Di Negeri Kincir Angin inilah, katanya, dia mulai berpacaran, yang kebetulan dengan orang Indonesia. Di sana pula dia mulai masuk ke komunitas sesama wanita ini. Berkumpul di kafe khusus kaum Hawa, "Yang semua pelayannya adalah lesbian." Kini keduanya memang tak lagi menjadi sepasang kekasih. Tapi, di mata Cempaka, Kenanga adalah belahan jiwanya. "Sejatinya kami terus bersama sampai mati." Dan saat ini mereka hidup seperti keluarga kecil yang bahagia. Apalagi, kata Kenanga, "Seks bagi kami adalah rekreasi." Sekadar sarana mencari kenikmatan. Karena itu, "Kami tak butuh tubuh laki-laki." • Ninin P. Damayanti |
|