Indo Pos, Selasa 4 Juli 2006 |
|
Kiai Berjubah Sentil Preman Berjubah |
|
![]() |
AKSI premanisme atas nama agama, hukum, politik maupun kepentingan ekonomi yang makin marak di ibu kota benar-benar telah meresahkan. Korban aksi kekerasan ini tak lagi dialami kaum miskin atau korban penggusuran, tapi sudah merambah kalangan pemuka agama, entertainer, budayawan, hingga jurnalis. Parahnya lagi, di tengah meluasnya tindakan premanisme yang umumnya dilakukan kelompok masa itu, negara justru hadir sebagai pihak yang mendesain dan terkesan sengaja dan menjalin hubungan saling menguntungkan dengan kelompok-kelompok tersebut. |
Kelompok masyarakat marginal seperti lesbian, gay, biseksual, dan transeksual, kaum miskin perkotaan, kelompok perempuan, kelompok minoritas, dan buruh yang sehari-harinya nyaris tidak ada perhatian sama sekali dari pemerintah dan masyarakat. "Kita menggugat negara atas pembiaran masalah ini dan meminta pembenahan dan penataan kembali tatanan sosial, politik dan ekonomi yang berkeadilan sosial dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal HAM," ujar Ines dari LBH Jakarta saat meluncurkan gerakan bersama menentang aksi premanisme di pelataran LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, kemarin. Shinta Nuriah yang saat itu juga hadir menyatakan bahwa premanisme merupakan bagian dari pemerintah yang tidak becus mengatur negara. Menurut mantan ibu negara tersebut, melawan premanisme berarti sama dengan membela negara. "Karena mereka arogansi rnelakukan tindak kekerasan pada kelompok lain atau mengganggu kepentingan umum. Ironisnya, negara yang seharusnya melindungi justru membiarkan ini berlanjut bahkan pura-pura tidak melihat," katanya bersemangat. Seharusnya, lanjut dia, Pemerintah memberi tindakan yang jelas bagi pihak yang menggusur kelompok minoritas, terutama yang mengatasnamakan hukum, menggunakan topeng TNI dan masih banyak lagi. "Bagi yang tidak konsisten memberlakukan hukum, jangan salahkan mereka yang menganggap premanisme sebagai bagian dari Pemerintah yang tidak becus mengatur negara Indonesia," katanya. Sementara itu, pengasuh pesantren Sokotunggal, Nuril Arifin, dalam orasinya mengaku prihatin dengan sekelompok orang yang selama ini dijuluki premanisme berjubah itu. "lya, soalnya sebelum mereka pakai jubah, saya sudah pakai jubah. Kan jadi malu," ujar pria yang juga menjadi ketua Forum Kerukunan Umat Beragama dan hak Asasi Manusia (Forkagama) itu. Gerakan Antipremanisme ini didukung sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti YLBHI, LBH Jakarta, LBH APIK, PBHI Jakarta, LBH Pers, AJI Jakarta, Arus Pelangi, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, dan UPC. (vit) |
|