Forum Keadilan: No. 11, 09 Juli 2006 (Fokus) 

Geliat Banci Mengejar Eksistensi

Waria barangkali menjadi fenomena kemanusiaan yang paling unik dari berbagai varian seksualitas manusia. Kaum ini berada pada wilayah transgender: perempuan yang terperangkap dalam tubuh lelaki. Penganutan pada seksual biner atau apa pun yang berbau serba dua tanpa disadari telah mempersempit ruang gerak waria. Kontes Putri Waria untuk mendobrak keterkungkungan mereka?

Merlyn Sopjan, 33 tahun. Alangkah ayunya. Tubuhnya yang semampai semakin anggun dibalut gaun malam dan riasan wajah yang serasi. Pekan lalu, Merlyn dinobatkan sebagai putri waria se-lndonesia. Merlyn tidak saja rupawan, tetapi juga barangkali paling smart di antara 25 rekan sekaum dari seluruh Indonesia yang ikut berkontes di Teater Tanah Airku, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, Ahad, 25 Juni.

Merlyn yang memiliki nama pria Ario Pamungkas memang cukup beruntung. Walau sejak kecil tidak merasakan kelainan dalam dirinya, namun keputusannya untuk menjadi waria disejutui oleh keluarganya. Mulai SD hingga SMA, Ario kecil nonjol sebagai laki-laki. Bahkan ketika sudah masuk Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang pun, dia tidak merasakan dorongan feminin pada tubuhnya.

Awal perkenalannya dengan dunia waria dimasuki pada 1993. Kala itu, Ario diajak untuk menghadiri pertemuan gay se Malang Raya di sebuah hotel di Malang. Keluarganya sempat memintanya untuk kembali menjadi laki-laki. Namun, akhimya keluarga itu menerima Ario dengan situasi dan kondisi apa adanya. Dan bagi keluarga, sosok Ario bukanlah aib keluarga.

Hal yang paling membahagiakan bagi Ario adalah saat sang ayah mengirimkan SMS pencalonannya sebagai calon walikota Malang untuk periode 2003-2008. "SMS itu berbunyi: Papa Bangga. Saya sangat lega," imbuh waria yang pernah disebut sebagai orang berprestasi oleh wartawan New York Times Jane Perlez dalam artikelnya yang dimuat 27 Juli 2003.

Sang ayah pula pernah menawari dia untuk menjalani operasi kelamin. Tapi, tawaran ini ditolak olehnya. "Saya menikmati pemberian Tuhan apa adanya," imbuhnya.

Berbeda dengan Vera. Alasan utama waria 25 tahun ini mengikuti kontes Putri Waria Indonesia 2006 adalah untuk mendapat pengakuan dari keluarga yang telah lama menjauhinya. Vera yang kini berprofesi sebagai perias artis mengaku kondisi flsiknya ditentang habis-habisan oleh keluarganya. "Makanya, tujuan ikut Putri Waria 2006 ini untuk menunjukkan kepada keluarga saya mengenai status saya," kata Vera pada hari pertama audisi Ratu Waria 2006 di Auditorium Ruang Serba Guna, TMII, Jakarta.

Sama menyedihkan dengan yang dialami Balkist, 25 tahun. Ratu Waria 2002 ini mengaku juga dikucilkan dari keluarga. Itulah alasan baginya untuk tidak pernah menceritakan apapun yang ia jalani kota peratauannya, Jakarta. Empat tahun lalu ia memutuskan meninggalkan Palembang dan bekerja di sebuah salon kecantikan di kota metropolitan ini. Hebatnya, belum genap setahun menetap di Jakarta, ia dinobatkan sebagai ratu waria se-lndonesia. Ketika itu Balkist berhasil menyisihkan 300 kontestan waria dari seluruh indonesia.

Kemauan keras Vera dan prestasi gemilang yang diraih Balkist, nyatanya, tidak meninggalkan bekas bahagia dalam hatinya. Mungkin Vera dan Balkist hanyalah sebuah kasus perkecualian dari sekitar 8.000 waria yang diperkirakan ada di Jakarta. Keduanya, toh, tetap menyimpan misteri bagi keluarga. Keterus-terangan baginya, menjadi sesuatu yang menyiksa, bahkan untuk sekadar diucapkan. "Saya tak pernah bilang kalau saya begini di Jakarta, tapi mereka tahu saja," tutur Balkist yang lahir dengan nama Rizki Mami.

Sebagian besar waria pada akhirnya memilih menjadi "manusia urban". Pilihan itu sebenarnya sebuah pilihan untuk menjadi anonim, untuk menghindari represi keluarga dan lingkungan sosial yang mengenalnya. Bersama komunitas sekaum itulah mereka kemudian menciptakan identitas baru, yang setidaknya ditandai dengan nama-nama baru. Di kota pun, kata Koordinator Forum Komunikasi Waria Jakarta Selatan, Yuli, para waria menjadi kaum yang paling marginal. Mereka ditolak untuk mengisi ruang-ruang aktivitas: dari pegawai negeri, karyawan swasta, atau berbagai profesi lain. "Maka sebagian besar akhimya memilih turun ke jalanan. Karena tidak ada cukup tempat. Kita ditolak sana-sini;" kata Yuli.

Ekspresi ke jalanan, di mana mereka merasa bebas dari kungkungan nilai-nilai "konvensional", itu pun mesti mendapatkan berbagai tuduhan dan perlakuan tak senonoh. Tak jarang, cerita Yuli, waria dituduh melakukan tindakan kriminal atau sebaliknya tergeletak di jalanan tak terurus. Perilaku itu kemudian menjadi stigma: bahwa semua waria tidak beres! Pakar Kesehatan Masyarakat dan pemerhati waria dr Mamoto Gultom setuju dengan pendapat Yuli. Sekarang ini, kaum yang paling marginal di Indonesia sebenarnya waria.

Penolakan terhadap mereka tidak hanya sebatas rasa "jijik", tetapi sampai pada tindakan-tindakan diskriminatif yang membuat waria makin berada di garis pinggir. Padahal, katanya, waria adalah subkomunitas dari manusia normal. Bukan sebuah gejala psikologi, tetapi sesuatu yang biologis. "Tuhan menciptakan beragam-agam untuk keindahan," katanya.

Waria barangkali menjadi fenomena kemanusiaan yang paling unik dari berbagai varian seksualitas manusia. Kaum ini berada pada wilayah transgender: perempuan yang terperangkap dalam tubuh lelaki. "Kalau ganti kelamin enggaklah, bagaimanapun perempuan 'asli' pasti lebih sempurna dari kami," kata Balkist. Ia mengaku dulu pernah berkeinginan ganti kelamin dan sepenuhnya menjadi "perempuan".

Kenyataan yang terjadi di Papua barangkali jauh lebih maju dibanding daerah lain di Indonesia. Heni, 43 tahun, Ketua Forum Waria Propinsi Papua, pada tahun 1992-1997 berhasil memperjuangkan pencantuman "waria" pada kolom-kolom kartu tanda penduduk (KTP). Padahal, jelas kolom-kolom itu hanya menganut "ideologi" seksualitas biner: perempuan atau lelaki. Tidak ada tempat bagi waria. "Kami ngotot sampai mendatangi Pak Camat untuk meminta pencantuman kata 'waria' di dalam KTP kami, dan itu diterima," tutur Heni yang bernama asli Lucky Morse kepada Kompas, beberapa waktu lalu.

KTP bagi kaum waria, bukanlah sekadar kartu pengenal yang bisa dimanfaatkan untuk bepergian. Bukan pula sekadar penanda identitas yang proses pengurusannya bisa dibeli. Tetapi, telah menjadi selembar harapan baru bagi pengakuan sebuah kenyataan seksualitas manusia. Bahwa selain lelaki dan perempuan, di antaranya masih ada waria. Waria di Papua sebenarnya menolak tegas dikelompokkan ke dalam perempuan. Implikasi dari pengakuan itu, kata Heni, kaum waria di Papua sudah diizinkan bekerja atau pergi kuliah dengan mengenakan pakaian perempuan. "Hanya sampai sekarang belum bisa kerja sebagai pegawai negeri," katanya.

Di Papua, kalau masyarakat tahu seseorang adalah waria, tetapi tidak berpakaian ala perempuan, ia bisa celaka. "Banyak kasus waria dipukuli karena tak memakai pakaian perempuan. Pemuda bilang 'kalau mau jadi waria yang benar'," tutur Heni. Belakangan justru alasan ketersediaan kolom yang seksual biner itu dijadikan alasan untuk menolak pencantuman kata "waria" pada KTP mereka. "Sekarang kami pakai perempuan, karena katanya di KTP cuma ada laki-laki dan perempuan. Sebenarnya, sih, saya terus minta agar dicantumkan waria,” tutur Heni.  

Sesungguhnya, kata Yuli, forum-forum seperti pemilihan ratu waria tadi, hanyalah upaya untuk menarik waria dari jalanan dan menyadari perjuangan eksistensial mereka sebagai kaum waria, bukan perempuan. Pendeknya, semacam perjuangan atas politik identitas. Akan tetapi, kemudian beberapa anasir yang bersangkut-paut dengan semantika bahasa menjadi ganjalan lain.

Bahasa kita hanya mengenal jenis kelamin laki-laki dan perempuan, tidak ada yang netral. Maka kerancuan akan tampak pada pemakaian kata "ratu" untuk memilih waria yang rupawan. Padahal, kata "ratu" sangat berorientasi pada kecantikan yang notabene dilekatkan pada perempuan.  

Penganutan pada seksual biner atau apa pun yang berbau dua tanpa disadari telah mempersempit ruang gerak waria. Bayangkan saja, secara kebahasaan mereka sulit diterima, belum lagi kalau melihat realitas dalam keseharian yang cenderung keras. Pastilah keberadaan kaum ini dianggap pantas disingkirkan. 

Dalam buku “Memberi Suara pada yang Bisu" Dede Oetomo, pendiri Lambda Indonesia, organisasi para gay pertama di Indonesia, bahwa sebenarnya telah terjadi penerimaan terhadap transvestisme secara tradisional di Indonesia. Komunitas seperti bissu di Sulawesi Selatan, warok dan gandrung di Jawa dan Bali, atau beberapa daerah lainnya, merupakan bentuk-bentuk pengakuan terhadap kaum homoseksual. Waria juga dalam orientasi seksualnya cenderung homoseksual.

Tetapi kemudian, kata Dede, sikap menerima dan tindakan melembagakan berubah ke arah sikap menolak dan melecehkan. Sebenarnya hal itu disebabkan oleh perubahan moralitas yang berkaitan dengan perubahan keseluruhan tatanan nilai masyarakat Nusantara ketika menyadari bahwa peradaban Barat lebih maju dan modern. Peradaban itu juga dianggap lebih unggul dibanding peradaban tradisionai. "Perlu diingat bahwa moralitas Barat waktu itu adalah zaman Victoria yang sangat mementingkan kesalehan dan kesucian," kata Dede Oetomo.

Ketika pelembagaan tradisi transvestisme itu memudar oleh desakan yang mengatasnamakan kesucian moral, maka tahun 1960-an lahirlah kategori sosial baru yang lebih berkonotasi seksual seperti waria, gay, dan juga lesbian'. Setelah melewati rentang waktu lebih dari 40 tahun, barulah para waria berani menegaskan keberadaan mereka dengan setidak-tidaknya lebih berani mengakui jati diri mereka sebagai waria dan bukan perempuan. Mereka mulai melirik Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai landasan untuk tetap eksis.

Dengan alasan yang sama, mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bersedia menjadi penasehat ikatan Waria Indonesia 2006. Gus Dur beralasan, dalam UUD 1945, waria memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Dalam kesempatan menghadiri kontes Putri Waria Indonesia 2006, Gus Dur juga menyatakan dirinya bangga atas suksesnya penyelenggaraan acara tersebut.
Meski dalam kerangka bernegara status waria sudah diakui secara hukum, namun Ketua Arus Pelangi Rido Tiawan menganggap pemerintah masih belum bersikap adil terhadap keberadaan waria. "Selama ini kelompok waria selalu mendapatkan perlakuan diskriminatif ketika akan bekerja di sektor formal," kata Rido.

Arus Pelangi adalah sebuah organisasi yang mendorong terwujudnya tatanan masyarakat bersendikan nilai-nilai kesetaraan, perilaku, dan memberikan penghormatan terhadap hak-hak kaum lesbian, gay, biseksual, transeksual, dan transgender. Menurut Rido, kelompok waria yang selama ini mendapat perlakuan diskriminatif di mata masyarakat semakin menderita dengan perlakuan secara hukum oleh pemerintah. "Kita mendapat stigmatisasi sebagai kelompok penyandang cacat mental," ujarnya.

Akibatnya, kata Rido, kelompok waria sulit masuk dalam sektor kerja formal. "Dalam lamaran, disebutkan seseorang harus sehat jasmani dan rohani. Tetapi karena dianggap penyandang cacat mental, kita tidak bisa melamar pekerjaan itu," ujarnya. Padahal, menurut Rido, pendidikan dan keterampilan kelompok waria tidak lebih rendah bila dibandingkan dengan orang biasa yang memiliki status hukum jelas. "Banyak juga dari kelompok waria ini berpendidikan tinggi, hingga tingkat sarjana," ujarnya.

Karenanya, kaum waria meminta pemerintah agar dapat menghapus perlakuan diskriminatif itu. Sebab, hal tersebut bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945 Pasal 27 ayat 2 yang menyatakan setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. sukowati utami

back