Media Indonesia – Humaniora, Rabu 13 September 2006, Halaman 12 |
|
Kaum 'Gay' Kehilangan Hak Publik |
|
RASA khawatir terus mengganggu kenyamanan Tutus, 25, saat tengah duduk mengamati sebuah fashion show. Berada di tengah komunitas homoseksual tidak cuma membuat keringat terus mengucur karena grogi. Dalam benak pemuda ini juga dihinggapi rasa takut. Khawatir dia nantinya bisa tertular menjadi homoseksual. Ketakutan semacam ini disebut dengan homophobia. Ketakutan itu lahir dari ketidak-nyarnanan terhadap individu lain dengan orientasi seksual yang menyimpang. Apalagi sapaan lembut dari sesama pria yang ada di sampingnya seperti "Tanganmu halus, kukumu lentik lagi." Kalimat itu membuat Tutus merinding dan langsung kabur dari kerumunan acara fashion show. | |
Kaum gay (homoseksual) di belahan dunia mana pun termasuk Indonesia merupakan kelompok minoritas. Mereka dianggap berbeda jika dibandingkan dengan masyarakat heteroseksual. Secara kalkulasi, pakar seksualitas Dr Boyke Dian Nugraha sempat mencatat bahwa frekuensi kaum gay yang murni adalah satu dari 10 pria. Sementara untuk lesbian, frekuensinya jauh lebih kecil yaitu satu di antara 15 perempuan adalah lesbian. | 'Kerancuan hukum di Indonesia merugikan kaum minoritas homoseksual. Tidak jarang fitrah homoseksualitas juga dibenturkan dengan norma agama tertentu.' |
Di Indonesia, upaya kaum homoseksual menyingkap identitasnya cukup mendapat ruang. Forum diskusi di internet melalui mailing list, penempatan peran homoseksual di film layar lebar. Bahkan ranah yang lebih luas seperti ajang ke-5 festival film gay dan lesbian Q! Film Festival pada 1-10 September di Jakarta menunjukkan mereka punya kekuatan untuk tampil. Sebaliknya dalam konstruksi sosial masyarakat, homophobia pun berkembang luas. Aktivis homoseksual Widodo Budi Dharmo dalam bedah buku berjudul Indahnya Kawin Sejenis di Pusat Kebudayaan Francis, Jumat (8/9) mengatakan, berbagai perundangan dan rancangannya terus menekan dan mengkriminalisasi komunitas homoseksual. Dia memberi contoh lahirnya fatwa MUI yang memasukkan homoseksual sebagai perilaku haram. Fatwa ini diperkuat dengan lahirnya perda yang memasukkan homoseksualitas sebagai aksi kriminal. "Kerancuan hukum di Indonesia merugikan kaum minoritas homoseksual. Tidak jarang fitrah homoseksualitas juga dibenturkan dengan norma agama tertentu. Akibatnya kelompok masyarakat ini kehilangan publiknya," kata Widodo. Menurutnya, stigma, diskriminasi, atau alienasi kaum homoseksual selama ini, hanya dipandang melalui kacamata kaum mayoritas, alias lewat perspektif heteroseksual. Penolakan masyarakat pun cukup mempersulit mereka dalam penentuan identitas gender. Tidak jarang kelompok ini pun muncul dalam rupa transgender atau transeksual, Antropolog UI, Yophie Septiady dalam risetnya mengenai kebudayaan dan penampilan waria di Jakarta merumuskan bahwa kaum homoseksual mengalami 2 konflik, yaitu konflik psikologis dan sosial. Konflik psikologis menurut Yophie berkaitan dengan keinginan yang berlawanan dengan keadaan fisiknya. Sedangkan konflik sosial berkaitan dengan tersisihnya mereka dari kehidupan keluarga dan pergaulan sosial. Ia merujuk pada Erring Goffman yang mengidentifikasi dari 2 jenis stigma, yang dapat direndahkan dan orang yang direndahkan, Yophie memasukkan waria ke dalam stigma orang-orang yang direndahkan. Baik untuk alasan kekacauan mental maupun dosa. Stigma semacam itu, menurut Yophie, pada akhirnya membentuk suatu identitas dan jati diri masyarakat dan atributnya. Clara Rondonuwu/H-5 |
|