Radar Banyumas, Minggu Pahing, 17 September 2006 |
Kaum Minoritas Mulai Bersuara |
Keinginan untuk diakui dan mendapat hak-hak yang sama melatar belakangi mereka untuk membangun sebuah wadah. Usaha yang dilakukan tidak hanya di ruang kampanye atau wacana belaka. Mereka mulai berbicara tentang aturan atau kebijakan yang kerap mendiskreditkan kaum, gay, lesbian, bisexual, transsexual dan transgender (LGBT). Bermula dari Widodo Budi Darmo (35), seorang gay yang sadar akan posisi mereka yang selalu rentan dengan kekerasan dan ketidakberdayaan. Sebagai seorang gay, lelaki itu juga pernah menjadi waria di Semarang hingga merasakan pahit getirnya seorang yang memiliki orientasi sexual yang berbeda. Merasakan kegelisahan yang tak berujung, ia kemudian menjalin komunikasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang peduli dengan kaum (LGBT). Perkenalannya dengan komunitas LSM dan LBH menyadarkannya untuk bangkit dan memperjuangkan sesama kaumnya. Pergelutannya membangkitkan kesadaran hukum dan HAM. Baginya hukum dan HAM selalu berinteraksi dengan kaumnya. Hal itu terwujud dalam peraturan atau perundang-undangan yang menempatkan mereka sebagai penyandang cacat mental, dan penyakit masyarakat. "Diskriminasi hukum dan undang-undang, waria yang menjadi korban jarang diselidiki apalagi di-tuntaskan kasus hukumnya, sedangkan jika pelakunya waria akan selalu ditonjolkan kasusnya" ungkap Widodo. Untuk mengasah pengetahuannya dengan hukum dan HAM ia bergabung dengan INSIST Jogjakarta. Di lembaga itu ia bergabung menjadi anggota di bidang Research, Education and Dialogue (RED). Semenjak tahun 2000 Widodo mulai memperdalarn pengetahuan dengan berdiskusi, dialog dan mengkampanyekan hak-hak kaum (LGBT). Selama berada di Jogjakarta Widodo membangun Organisasi Masa (Ormas) Kelompok Pelangi Jogjakarta, organisasi yang mewadahi kaum LGBT. Beberapa hal yang diperjuangkan di antaranya pendidikan HAM terhadap anggota, menuntut kontrak politik presiden untuk mengakui keberadaan mereka. Tak cukup hanya bergabung dengan Insist, Widodo kemudian bergabung dengan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI). Hingga akhirnya pada 15 Januari tahun 2006, Arus Pelangi resmi berbadan hukum. Semenjak itu, Widodo dan rekan senasibnya mulai mengkampanyekan program-programnya secara luas dan membangun jaringan. Perjuangan dalam bidang Ekonomi, Sosial, Budaya (Ekosob) diantaranya, menuntut hak kerja waria di sektor publik dan sektor formal. "Selama ini waria tidak diberi kesempatan untuk bekerja yang layak, padahal banyak dari mereka yang bisa kuliah sampai S1 dan S2," ujarnya. Sementara itu perjuangan di bidang Sipil Politik (Sipol), menentang diskriminasi hukum dan undang-undang. Untuk perjuangan ini, mereka mendorong melalui pembahasan RUU anti diskriminasi dan rancangan perubahan KUHP. Langkah yang pernah dilakukan di antaranya mengadvokasi Perda Kabupaten Palembang No 2 /2004. "Di sana jelas menempatkan lesbian homo dan sodomi masuk dalam pelacuran, kenapa teknik seks yang seperti itu diperdakan," ujarnya keras. Di wilayah Purwokerto, Arus Pelangi melakukan advokasi terhadap kasus pembunuhan yang menimpa setahun tahun lalu. Saat ini mereka juga tengah berusaha mengangkat kasus pembunuhan 3 orang waria di Jakarta Barat pada tahun 2003. (sofyan/sakur) |